44|| Donor Darah ☀

Jika aku tidak mampu mengukir kenangan indah bersamamu untuk sementara waktu. Maka izinkan aku mengukir kenangan di saat kamu membutuhkan sebuah bantuan.

☀☀☀

Fira menarik napas dalam begitu jarum suntik menusuk tangannya. Hanya butuh beberapa detik untuk Fira dapat menahan rasa perih di tangannya. Setelah itu ia terlihat begitu tersiksa saat ada sesuatu dalam dirinya yang ditarik.

Fira mulai memejamkan matanya perlahan begitu rasa sakitnya perlahan menghilang, digantikan dengan rasa nyeri di bagian lengannya.

Dika dan Mario hanya mampu berharap-harap cemas di ruang tunggu. Setelah diberikan penanganan intensif, Mario langsung berlari menuju ruangan di mana Fira sedang melakukan pemeriksaan.

Mario mengusap-usap telapak tangannya yang diberikan perban. Hatinya terasa sesak namun ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Seseorang yang ia lindungi kini berada di dalam bersama dokter.

"Mar, lo tenang, jangan mikir negatif," ucap Dika tenang.

Mario diam masih terus menatap dan mengusap telapak tangannya. Mario merasa bahwa dirinya harus masuk ke dalam menemani Fira selama proses pemeriksaan, namun ia sadar bahwa kehadirannya akan sangat mengganggu.

"Mario."

Panggil seseorang dengan suara khas yang sudah sangat Mario hapal. Mario bertingkah seolah tidak ingin memperdulikan asal suara tersebut. Ia tetap fokus menatap jemarinya.

"Mar, Nabila juga butuh kamu! Cepat ke ruangan dia!"

Mario menarik napas lalu bangkit berdiri. "Pa! Jangan buat Mario tidak sopan dengan Papa." tegas Mario.

"Mar! Papa menyuruhmu dekat dengan Nabila! Bukan Fira." balas Martin.

Mario menghela napas lelah. "Nabila ada keluarganya,"

"Nabila hanya ada Papa-nya, Mar! Fira ada--"

"Pa, Mario mohon ... Jangan buat Mario kasar dengan Papa,"

Dika ingin sekali melerai perdebatan Mario dan juga Martin. Namun, apa boleh buat, ia tidak mampu ikut campur lebih dalam.

"Sekali, Mar, setelah itu jangan pernah lagi kamu menemani dia!"

Mario menunduk menatap lantai rumah sakit yang berada di bawahnya. Mario menarik napas dalam lalu mengeluarkan secara perlahan.

"Baiklah,"

"Mar!" peringat Dika.

Mario mengangguk. "Kesempatan terakhir gua untuk ada di dekat Fira, gue gak akan sia-siain itu semua. Jadi, mending sekarang lo pulang!"

Dika menggeleng, ia tidak percaya Mario nekad mengambil keputusan secepat itu. Bagaimana jika pada akhirnya Mario benar-benar tidak akan ada di samping Fira lagi?

"Mar, gue mohon, pi--"

"Sekali, Dik. Please, tinggalin gue,"

Seperti kemauan Mario, Dika akhirnya beranjak dari kursinya dan melangkah meninggalkan Mario dan Martin hanya berdua di ruang tunggu.

Keduanya hanya diam, duduk di kursi yang berada tepat di depan ruangan UGD.

"Katamu, kamu ingin menuruti kemauan Papa, tapi kenapa sekarang kamu membantah, Mario?" ucap Martin santai namun mampu membuat Mario merasa terintimidasi.

"Pa, Mario mohon, sekali aja,"

Martin mengangguk lalu melenggang pergi meninggalkan Mario tanpa ingin membalas semua ucapan Mario lagi.

"Sekali, Pa, sekali,"

"Mario janji, Pa."

Martin berhenti lalu berbalik badan. "Kalau begitu, setelah akhir semester, kamu harus pindah sekolah!" perintah Martin lalu kembali memutar tubuhnya dan meninggalkan Mario.

Mario mendesah lalu mengacak rambutnya. Jika ini memang yang Martin inginkan, maka Mario akan mengikuti segala ucapannya. Selama ia bisa menemani Fira di masa sulitnya seperti hari ini.

Endang, Lintang dan Gina yang baru saja datang langsung menghampiri Mario dan menanyakan keadaan Fira. Mario hanya mampu menggelengkan kepalanya, karena sampai saat ini, Dokter belum juga keluar dari ruangan.

Cklek.

Pintu ruangan terbuka lalu muncullah seorang wanita yang memakai jas putih yang langsung diyakini oleh Endang adalah Dokter yang menangani Fira.

"Dok, gimana keadaan Anak saya, Dok?" ucap Endang begitu panik.

"Luka yang Fira terima cukup dalam, sehingga membuat kita harus menjahit luka tersebut di beberapa bagian terparah, dan berita buruk lainnya adalah ...," Dojter tersebut menatap Endang dan Lintang bergantian. "... kantung persediaan darah dengan golongan darah B sedang kosong, dan  jika kita menghubungi pihak PMI itu akan memakan waktu cukup lama. Apa salah satu dari kalian ada yang memiliki golongan darah yang sama dengan Fira?"

Endang menangis sampai tersedu-sedu mendengar kabar dari Dokter mengenai putinya. "Golongan darah Saya, B, Dok," ucap Endang.

"Kalau begitu silahkan Ibu ke Laboratorium untuk pemeriksaan terlebih dahulu, apakah Ibu layak untuk mendonorkan darah atau tidak?" ucap Dokter lalu tersenyum.

Lintang memeluk Gina yang menangis sampai tubuhnya bergetar hebat.

"Yah, Kak Fira enggak parah 'kan?" tanya Gina.

Lintang hanya mampu menggeleng, karena yang Lintang tahu dari ucapan Dokter tadi. Fira mengalami luka yang cukup serius.

Mario yang sejak tadi mendengarkan tanpa bersuara akhirnya memilih pamit kepada Lintang lalu meninggalkan Lintang dan Gina. Gina menahan tangan Mario lalu berhambur memeluk Mario.

"Bang, jangan pergi, Kak Fira butuh Abang," tangisnya di balik punggung Mario.

Mario mengusap air mata di sudut matanya. Mario menarik tangan Gina agar Gina berdiri di hadapannya. Tangan Mario bergerak memegang kedua pipi Gina. Dan betapa terkejut Gina saat merasakan sesuatu yang kasar namun lembut di pipi kirinya.

Gina melirik sedikit untuk melihat apa yang ada di tangan Mario dan dia hampir saja menjerit kaget karena tangan Mario diperban. "Tangan Abang ken--"

"Gina dengerin Abang, ya?"

Gina mengangguk tidak jadi melanjutkan kata-katanya.

"Jangan bilang sama Kak Fira tentang luka ini, dan Abang mohon, Gina tetap berada di samping Kak Fira di saat Kak Fira sedih maupun senang. Jangan pernah tinggalin Kak Fira sendirian dan merasa kesepian ya, Gin. Gina sudah besar, Gina pasti tahu apa yang Kak Fira rasakan saat dia sedang merenung. Janji, ya, sama Abang?"

Gina menahan napas mendengar kata-kata Mario. Kata-kata tersebut seolah menandakan bahwa Mario mempercayai Gina untuk menjaga Fira. Dan hal tersebut biasanya diucapkan oleh seseorang yang akan pergi jauh.

"Abang mau ke mana?" tanya Gina dengan suara bergetar.

"Abang mau ke Laboratorium,"

Gina menggeleng. Bukan itu jawaban yang Gina inginkan.

"Abang mau pergi ninggalin Kak Fira?"

Mario terkejut saat mendengar pertanyaan  Gina, namun sebisa mungkin Mario langsung merubah ekspresi wajahnya.

"Abang gak akan kemana-mana,"

Gina mengangguk.

"Janji?"

"Janji."

"Gina juga janji, ya, sama Abang kalau Gina selalu ada di samping Kak Fira?"

"Janji."

☀☀☀

Mario menarik napas begitu jarum suntik menusuk lengan bagian dalamnya. Lalu detik berikutnya Mario hanya memejamkan matanya, membayangkan sekantung darah dari dalam tubuhnya sebentar lagi akan mengalir bersama darah Fira yang berada di dalam tubuh Fira.

Setelah melakukan banyak pemeriksaan, mulai dari kecocokan golongan, usia, serta kelayakan untuk mendonorkan darah akhirnya Mario bisa berada di dalam Lab dan mulai diambil darahnya.

Jangan tanya bagaimana paniknya Endang saat Dokter memberitahu bahwa Endang tak boleh mendonorkan darahnya karena penyakit yang di deritanya. Dan Endang hampir saja seperti orang gila yang mencari pendonor darah. Namun, Mario datang untuk menawarkan diri.

Endang bernapas lega begitu menyadari darah Mario cocok dengan Fira.

"Tante, Mario masih di dalam?" tanya Dika yang baru saja datang.

Endang mengangguk.

"Dika, kamu yang memberitahu Tante bahwa Fira mengalami kecelakaan. Kamu pasti tahu 'kan apa yang terjadi dengan Fira?"

Dika mengangguk. "Saya memang berada di tempat kejadian, Tan,"

Endang menoleh ke arah Dika lalu memegang kedua bahu Dika. "Jelasin sama Tante, kenapa Fira bisa kecelakaan?" tanya Endang panik.

Dika mengelus bahu Endang berharap Endang lebih tenang. "Tante, berdoa aja semoga Fira enggak kenapa-kenapa. Dika yakin Fira pasti bisa secepatnya sadar," ucap Dika.

Endang mengangguk. "Iya, Dik, ingat, ya, kamu punya hutang penjelasan sama Tante,"

Dika terkekeh. "Tan, sebenarnya ada hal penting yang ingin Dika sampaikan,"

Endang menaikkan alisnya satu. "Apa?"

"Mario akan meninggal---"

Endang langsung memukul lengan Dika keras begitu mendengar kata meninggal.

"Aduh, Tante!"

"Kamu kalau ngomong jangan sembarangan dong! Masa donor darah bisa menyebabkan kematian?!"

Dika menggeleng. "Bukan itu, Tante. Maksud Dika ... Mario akan meninggalkan kita semua di Jakarta,"

"Maksudnya?"

"Mario akan ke Jerman, Tan,"

Wajah Endang mendadak serius dan guratan cemas mulai terlihat. "Kamu kata siapa? Jangan ngarang gitu, ah...."

Dika menggeleng dan wajahnya tidak kalah serius. "Kata Om Martin,"

"Dik, lo ngapain?" tanya seseorang di balik tubuh Dika.

Endang mengerjapkan matanya begitu melihat siapa sosok yang berdiri di belakang Dika. Endang menarik napas dalam lalu mengeluarkan secara perlahan.

"Terima kasih banyak, ya, Mar. Kamu sudah berniat mendonorkan darah untuk Fira," ucap Endang dengan senyum.

Mario mengangguk.

"Sama-sama, Tante. Saya ingin bisa dikenang terus oleh Fira, semoga cara saya satu ini benar," ucap Mario tersenyum getir.

Dika menoleh ke belakang. Melihat dengan serius mimik wajah yang ditampilkan oleh Mario. Mario menunduk untuk melihat Dika.

"Lo udah tahu?"

Dika mengangguk.

"Jangan kasih tahu Fira dulu ya, Tante,"

Endang mengangguk.

"Terima kasih. Kalau gitu Mario ke ruangan Fira dulu," ucapnya lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Endang melemas di tempat duduknya. Dika menahan berat tubuh Endang di bagian bahu.

"Tante bingung harus bagaimana? Fira akan sangat terluka begitu ia mengetahui bahwa Mario akan pergi,"

"Kita masih punya waktu untuk mendekatkan mereka, Tan,"

"Bagaimana dengan permainan kalian? Apa itu namanya? Mafir Zone?"

Vino tiba-tiba datang ke arah mereka. "Kita masih di tengah jalan, jadi mari kita istirahat sejenak sebelum kita melanjutkannya lagi." ucapnya begitu tiba-tiba.

Dika menoleh ke arah Vino. "Istirahat sampai Mario pergi? Terus?"

"Kita pakai rencana B!" ucap Mario begitu tiba-tiba di balik punggung Vino.

☀☀☀

Sorry kalau kemarin aku gak nepatin janji aku untuk double up:)

Sekarang aku kasih kabar baru lagi, gimana perasaan kalian pas tahu Mario akan pindah?😅


27 Desember 2017
17 Februari 2018
-Fan-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top