41|| Bertemu Fotografer ☀

Aku baik-baik saja melihatmu dengannya,

Aku tidak cemburu,

Aku tidak marah,

Aku tidak sakit hati,

Detak jantungku biasa saja, tidak berdegup melihat kamu sedekat itu dengan orang lain,

Aku senang melihat senyummu ketika bersama dia,

Aku bisa mengontrol emosiku,

Aku benar-benar merelakanmu,

Dan, kita sama-sama tahu bahwa kita berharap hari ini adalah hari kebalikan. Di mana kita bebas mengatakan bahwa kita baik-baik saja, tapi dia tahu bahwa kita tidak baik-baik saja.

-------

Pernah kalian berpikir tentang sakitnya berpura-pura? Berpura-pura tidak cemburu padahal hati benar-benar hancur menjadi kepingan yang kecil.

Itu-lah yang Emily rasakan saat ini. Melihat Andre mengobrol, bercanda gurau dengan Inayah mampu membuat hatinya seperti diremas begitu kuat. Bolehkah Emily takut sekarang?

Emily takut jika pada akhirnya salah satu dari mereka ada yang bermain perasaan. Emoly tidak dapat membayangkan bagaimana jika Andre menaruh perasaannya terhadap Inayah, atau Mario yang menaruh perasaannya kepada Nabila. Emily benar-benar takut.

Ketika semalam mereka memutuskan untuk menerima resiko terburuk dari misi ini, saat itulah mereka mulai mengutarakan perasaan mereka masing-masing.

Setidaknya malam kemarin, mereka masih saling menyayangi satu sama lain.

Emily menarik napas dalam lalu membuangnya secara perlahan. Emily berdiri lalu meminta izin kepada Fira agar dirinya bisa keluar dari mejanya yang kebetulan dekat tembok.

Tarik napas ... buang. Emily melangkahkan kakinya keluar kelas lalu mulai mengeluarkan kata-kata sinisnya kepada Andre dan Inayah.

"Kalau mau pacaran, ya, di rumah atau di mall, bukan di sekolah!"

Emily merutuki kebodohannya karena secara tidak langsung Emily menunjukkan bahwa ia cemburu.

"Yaelah, Mbak, sirik aja, hahaha ... Cemburu, ya?" sahut Inayah.

Emily ingin sekali menjawab iya kepada dua orang di hadapannya. Namun, ia tahu itu sama saja merusak rencananya.

"Enggak! Gue cuma gak suka aja ada yang pacaran di depan kelas gue," ucap Emily menjawab.

"Udah-udah, kita juga yang salah, pacaran di area sekolah. Kamu balik aja ke kelas, nanti sore aku jemput kamu," ucap Andre menatap lembut mata Inayah.

Emily membuang muka ke sembarang arah, yang terpenting adalah jangan melihat adegan mesra mereka kalau tidak ingin sakit hati.

Vino dengan tiba-tiba saja menghampiri Emily yang berdiri di ambang pintu. "Kakak gue mana, Em?" tanyanya kepada Emily.

Andre sempat melirik ke arah Vino dan Emily. Ia mengepalkan tangannya di samping tubuhnya, ia sedang berusaha mengontrol perasaannya. Andre memberikan senyum singkat kepada Inayah saat ia berjalan meninggalkan Andre menuju kelasnya.

Emily menggerakkan kepalanya ke belakang, ke arah Fira berada. "Tuh lagi meratapi nasib," ucapnya.

Vino terkekeh sejenak lalu melangkah melewati Emily. Andre ikut melangkah masuk ke dalam kelas tapi sebelum ia benar-benar masuk kelas, ia menyempatkan diri untuk membisikkan sebuah kalimat kepada Emily.

"Kalau gue terlalu jauh memainkan peran, tolong ingatkan gue. Lo prioritas gue, Em," ucapnya berbisik.

Emily hanya mampu mengangguk dalam diam. Emily berusaha menutupi semua perasaan tidak relanya melihat Andre dengan Inayah. Belum lagi Andre tadi membuat janji temu dengan Inayah.

Emily takut, semua orang tahu kalau perasaan akan timbul karena terbiasa. Emily takut, jika nanti perasaan suka akan timbul ketika mereka terbiasa tidak bersama.

Emily memejamkan matanya sesat, berusaha untuk menepis jauh-jauh pikiran buruk yang hadir di kepalanya.

"Pelan-pelan, Em, anggap aja ini cara kita untuk move on," gumam Fira di samping Emily.

Emily sempat terkejut karena dengan tiba-tiba Andre berubah menjadi Fira.

"Lo sadar gak, sih? Ini bukan misi penangkapan pelaku, tapi ini misi untuk terbiasa tanpa dia?" ucap Emily menatap Fira begitu serius.

Fira meraup wajah Emily dengan telapak tangannya. "Jangan banyak berasumsi!"

Fira mengulas senyum. Yang diucapkan Emily ada benarnya, misi ini mengajarkan kita untuk terbiasa tanpa kehadiran seseorang yang kita sayangi. Tarik napas ... buang.

☀☀☀

Sore hari, taman kota terlihat nampak ramai pengunjung dari berbagai kalangan. Fira, Andre, Emily, Dika, Rendi, dan Vino berada di antara sekian banyaknya orang yang sedang menikmati senja.

Fira menarik tangan Rendi untuk menjauh dari temannya yang lain. Setelah dikiranya cukup aman, Fira mulai mengajak Rendi duduk di salah satu bangku panjang taman.

"Masih inget mukanya dia?" tanya Fira to the point.

Rendi mengangguk. "Masih," jawabnya.

Fira mengangguk-anggukkan kepalannya lalu pandangannya beredar ke segala penjuru arah. Fira beruntung karena tempat duduk yang di tempati sangatlah strategis untuk melihat ke seluruh taman.

"Kita harus apa?"

"Samperin semua fotografer yang lagi melakukan pemotreran," jawab Rendi.

Fira mengangguk lalu bangkit berdiri lalu melangkah mendahului Rendi. Rendi tersenyum kecut sembari mengikuti langkah Fira. Inilah tujuan mereka ke taman kota, menemui fotografer yang memotret Mario dan Nabila beberapa tahun lalu.

Memang jangka waktu sudah sangat lama, namun Fira sangat berharap bahwa fotografer itu masih memiliki hobi dan pekerjaan yang sama, yaitu; memotret.

Fira berlari cepat menghampiri fotografer yang sedang melakukan sesi pemotreran di taman bermain anak-anak. Fira meneliti sesaat wajah sang fotografer sampai orang tersebut merasa risih diperhatikan begitu detail oleh Fira.

"Lo mau jadi model?"

Fira tersentak kaget saat orang itu menolehkan kepalanya ke arah Fira. Fira menggeleng kuat-kuat.

"Pal!!!" teriak Rendi ke seseorang yang sedang duduk di ujung danau di atas batu-batu besar.

Fira sempat menoleh ke arah Rendi terlebih dahulu sebelum akhirnya ia memilih untuk berlari menghampiri Andre, meninggalkan sang fotografer yang menatapnya bingung.

"Dasar aneh," celetuk fotografer tadi lalu mulai melanjutkan kegiatannya.

Fira terus berlari sembari menghindari tubuh-tubuh besar yang sempat menghalangi jalannya. Fira tidak ingin waktunya terbuang sia-sia, Fira ingin waktu berjalan cepat mulai sekarang.

"Paliman?" tanya Fira setelah ia sampai di tempat Rendi berdiri.

Seseorang yang sedang mengobrol dengan Rendi lantas menoleh ke arah Fira. "Panggil gue Pali," sahutnya jutek.

Fira mengangguk. "Jadi lo---"

"Gue akan bantu semampu gue," ucapnya begitu tiba-tiba seolah ia tahu maksud dan tujuan Fira menghampirinya.

"Pal," panggil Rendi.

Pali menoleh ke arah Rendi, menghentikan sejenak aktivitasnya yang sibuk dengan kamera yang berada di tangannya. "Lo berdua cocok," gumamnya sembari menunjukkan sebuah potret di dalam kameranya ke hadapan Rendi.

Rendi langsung memperhatikan secara seksama potret tersebut. Foto yang diambil saat Fira menariknya ke kursi panjang tadi.

"Lo dari tadi tahu ada gue di---" lagi-lagi ucapan Fira dipotong secara sengaja oleh Pali.

"Gue nunggu kalian nyari gue, di sini, setiap hari. Dan akhirnya, penantian gue membuahkan hasil. Ayo kita tuntut Pak Martin!" ucapnya sembari mengangkat bokongnya dari batu besar.

Saat detik itu juga Fira merasa jantungnya merosot ke ujung kakinya. Bagaimana ia harus menyikapi semua ini? Fira merasa waktunya terbuang sia-sia karena tidak menyadari seberapa bersalahnya seorang Martin di mata banyak orang.

☀☀☀

Mario berlari menerjang gerimis malam ini, Mario benar-benar sudah terlambat. Jika saja motor Mario tidak bocor di tengah jalam, jika saja ponsel Mario tidak kehabisan baterai, mungkin sekarang Mario sudah sampai di ZaGi Boutiq.

Mario tidak menyerah pada keadaan. Mario merasa bahwa dirinya harus menepati janjinya untuk bertemu seseorang malam ini. Dan Mario anti membatalkan janji.

Mario berlari dengan peluh mulai membasahi tubuhnya. Tapi, bukan Mario namanya jika ia menyerah sebelum keinginannya tercapai. Mario malam ini berlari berusaha mengabaikan rasa lelah dan ini semua demi perdamaian.

Di tempat lainnya, di ZaGi Boutiq. Vino, Andre, Rendi, Dika, Pali, dan Fira menempati private room di butik Endang, tentu saja semua ini atas izin Endang. Fira duduk memisahkan diri dari sofa yang di penuhi oleh empat laki-laki.

Fira benar-benar tidak menyangka sebelumnya bahwa di usianya yang terbilang masih sangat muda harus menangani kasus berat seperti ini. Bahkan ia sangat awam dengan hukum di negara Indonesia. Fira benar-benar tidak tahu apakah yang dilakukannya salah atau benar?

Tapi, Fira meyakini satu hal. Teman-teman dan orang di sekelilingnya akan terus berusaha menciptakan perdamaian dan keadilan.

Tarik napas ... buang.

Vino berdehem cukup keras guna mencairkan suasana tegang yang mengelilingi mereka.

"Mario kenapa belum sampai juga?" tanya Pali.

Fira bergerak gelisah di tempat duduknya. Tangannya sudah sangat gatal ingin menghubungi Mario. Tapi, ia tahu itu melanggar aturan.

"Mungkin kena macet," jawab Fira singkat.

Fira 'tak kalah lelahnya dengan temannya yang lain. Sudah satu jam mereka duduk terdiam menunggu sang punya janji untuk datang. Namun, apa boleh buat, sepertinya pemilik janji melupakannya.

Fira menarik napas dalam lalu membuangnya secara perlahan. "Vin, telpon Mario!"

Vino terkekeh. "Bahkan dari tadi gue udah telpon dia," jawab Vino.

Krek.

Fira menoleh cepat begitu pintu ruangan terbuka. Di sana muncullah Mario dengan baju yang sudah basah dan wajah yang dipenuhi keringat. Dapat dilihat bahwa Mario terengah-engah dan sedang mengatur napasnya.

"Sorry gue tel---" Mario menatap tajam ke arah Fira. "Lo kenapa cewek sendiri di sini?!" ucap Mario hampir mirip seperti orang marah-marah.

Semua langsung menegakkan tubuh mereka karena mendengar suara Mario yang keras di tambah lagi karena pecahan gelas di luar. Mario menegakkan tubuhnya yang tadi sempat membungkuk. Mario berlari ke luar ruangan dan memanggil seseorang untuk ikut bergabung.

"Mbak Malina harus ikut," ucapnya tegas.

Fira menggeleng. "Lo gila?! Kalau dia--"

Mario menatap tajam ke arah Fira. Ia tidak suka dibantah. "Enggak baik perempuan sendirian di antara banyaknya cowok, Fir!" tegasnya.

Mario menatap Andre. "Emily mana?"

"Dia pulang duluan mau---"

"Kenapa lo biarin Fira sendirian di sini?!" tanya Mario ke arah Vino.

"Di sini ramai, Mar," jawab Vino ragu.

Mario menggeleng sembari mengusap wajahnya yang basah. "Mereka emang temen lo, Fir, tapi tetap lo harus lebih jaga diri, jangan mau menjadi satu-satunya perempuan di antara banyaknya laki-laki. Setan ada dimana-mana, lo harus paham itu!" Mario menatap Fira yang sedang menatapnya dengan wajah polosnya.

Mario begitu menyayangi dirinya. Teriak batin Fira.

Mario menghampiri Fira dan berjongkok di samping kursi Fira. "Gue gak mau kalau calon istri gue menjadi objek fokus para laki-laki," bisiknya yang mampu membuat semburat merah di pipi Fira.

Fira mendorong bahu Mario keras sampai Mario jatuh terduduk di lantai. "Gila dasar!"

"Mbak, tolong ambilkan kaos, ya, untuk Mario," ucap Fira kepada Malina.

Malina menganggukkan kepalanya lalu melangkah keluar ruangan mengikuti perintah anak pemilik butik.

"Mandi dulu sana!" ucap Fira kepada Mario.

Dika terkekeh begitu menyadari bahwa sejak kedatangan Mario tidak ada yang bersuara kecuali di tanya oleh Mario. Aura Mario memang begitu mengintimidasi.

"Lo kenapa telat terus keringetan gitu? Abis lari lo?" tanya Dika.

Mario mengangguk. "Motor gue mogok,"

"HP lo mana?"

"Mati,"

"Mas, ini kaosnya," ucap Malina kepada Mario sembari menyodorkan kaos berwarma hitam dengan gambar segitiga di bagian depan kaosnya.

"Makasih," ucap Mario tanpa senyum.

Mario membuka kaosnya di situ juga. Fira dan Malina langsung mengalihkan pandangannya. Mario dengan cepat mengganti kaos nya denga kaos yang baru.

"Udah,"

Fira dan Malina sempat menahan napas kini bisa bernapas lega. Fira menatap tajam ke arah Mario. "Lain kali kalau ganti baju jangan di depan perempuan!" ucap Fira penuh kesal.

"Bolehnya depan lo aja, ya?" goda Mario.

"Gak! Gak boleh depan siapapun!"

"Ah masa? Lo takut 'kan gue buka baju depan Nabila?"

"Kok jadi Nabila, sih?"

"Woi! Udah-udah! Ayo kita bahas misi pertama kita dengan fotografer yang selalu menunggu kita," lerai Andre.

Mario bahkan tidak menyadari bahwa ada orang asing di antara mereka. Pali, jika Mario tidak salah ingat. Mario meneliti wajah orang tersebut, dan ternyata benar, dia adalah Pali.

"Kenapa dia ada di sini?" tanya Mario bengong.

Dika dengan sangat kesal melemparkan sebutir pilus ke wajah Mario. "Kan lo katanya mau ketemu sama fotografernya, dodol!" Dika sangat gemas dengan Mario.

Mario mengangguk layaknya anak kecil yang sedang dimarahi ibunya. "Lo cepat 'kan?"

"Cepat?" tanya Pali bingung.

"Iya, Pali 'kan artinya cepat,"

"Maksudnya?"

"Bahasa Korea, Pali sama dengan cepat,"

"Ohh,"

"Mar, lo kepentok apaan?" tanya Vino curiga.

"Enggak," sahut Mario.

"Kok bawel?" tanya Dika kali ini.

Mario memandang kesal ke arah teman-temannya. "Biar kelihatan kalau gue haus, makanya gue ngomong mulu sampai ada yang bilang 'gak haus apa ngomong mulu' terus ngasih gue minum, deh!" jawab Mario sebal.

"Ohhh ... lo haus?"

"Iya,"

"Kenapa gak bilang?"

"Itu tadi udah bilang," jawab Mario mulai menampilkan wajah kesal lagi.

"Mau minum?"

"Iya, Fir, iya. Gue haus mau minum, ya ampun," jawab Mario memelas.

"Segalon?" tawar Fira.

"Seember kalo perlu, Fir," balas Mario.

Fira mengangguk. "Oke! Mbak Malina tolong ambil air kamar mandi se ember ya ke sini!"

Malina terkekeh melihat tingkah laku remaja di hadapannya. Menurutnya, Mario dan Fira itu sangat unik. Mereka bisa terlihat sangat akrab dan bisa terlihat seperti musuh dalam waktu bersamaan.

"Ya, gila kali, seember beneran!" ucap Mario sembari bangkit berdiri. "Gue ambil sendiri aja," ucapnya lalu memutar tubuhnya ke arah dispenser yang kebetulan berada di balik tubuhnya.

Andre dan Dika hanya mampu menggelengkan kepalanya. "Haus perhatian dia mah, Fir!" celetuk Dika.

"Iya! Air di dekatnya aja sok-sok maunya diambilin,"

Berikutnya hanya gelak tawa yang terdengar. Mario hanya diam sembari meneguk air mineralnya. Setidaknya itu bisa membuat perhatian teman-temannya teralihkan dan tidak membahas motornya mogok di mana. Mario tidak ingin semuanya khawatir dengan Mario karena ia berlari sejauh kurang lebih 3 kilometer.

☀☀☀

Panjang? Memang😂

Aku senang lihat komen kalian, jangan lelah ya untuk memberikan vote beserta komen hehe^^

22 Desember 2017
17 Februari 2018
-Fan-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top