26|| Kekesalan Mario ☀
"Menunda waktu adalah penyesalan yang 'tak berujung."
-Zhafira Renata-
☀☀☀
Fira menatap punggung Mario dengan mata berkaca-kaca. Dulu, ia akan berdiri di belakang Fira, menjaga Fira dari jauh, memperhatikan Fira dari jauh. Tapi sekarang, Mario berada di depan Fira dengan tubuh membelakangi Fira.
Apakah ini rasanya memperhatikan seseorang dalam diam? Apakah ini rasanya hanya mampu menatap tapi tak mampu bertindak?
Sesak. Fira berusaha tersenyum, walau hatinya sangat sakit melihat tubuh Mario yang kian menjauh. Dan yang lebih menyakitkan adalah, Nabila berada di samping Mario.
Fira berbalik badan dan langsung dikejutkan oleh Dika yang berdiri dengan gaya cool dan tersenyum lebar.
"Kenapa enggak jadi pulang?" tanya Dika.
Fira menggeleng. "Tunggu mereka pulang," lirih Fira.
Dika mengangkat alisnya sebelah. "Emily mana?"
Fira menengadahkan kepala menatap gedung sekolah yang menjulang tinggi. "Lantai tiga, ruang OSIS," gumam Fira.
"Hm, Fir?"
Fira menoleh ke arah kiri, ke sumber suara. Mario dengan tubuh tegapnya berdiri di samping Fira, masih dengan keringat yang membasahi wajahnya. Fira sempat terpesona seperkian detik tapi ia sadar, Mario bersama gadis itu.
Nabila. Dia berdiri beberapa meter di belakang Mario, tersenyum mengejek ke arah Fira.
"Iya?"
Mario menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal. "Hm, gu--gue mau minta jaket gue," ucapnya gugup.
Fira terbelalak kaget, untuk pertama kalinya Mario meminta barangnya yang berada di tangan Fira. Bahkan jas hujan dan jaket Mario yang Mario pinjami beberapa minggu lalu saja masih di rumah Fira.
"'Kan kotor, Mar," sahut Fira.
"Enggak masalah," jawab Mario.
Dika hanya diam memperhatikan percakapan kedua temannya ini. Bahkan Mario sepertinya tidak sadar jika disana ada Dika. Dika tersenyum kecut.
"Fir, mana jaket gue?" ucap Mario lagi saat Fira diam tidak menjawab.
Kenapa Mario menjadi tidak sabaran seperti Dika?
"Biar gue cuci dulu, Mar," kekeuh Fira tidak ingin mengembalikan jaket Mario.
Mario mengusap wajahnya kasar. "Fir, sedikit lagi hujan, gue enggak mau Nabila sakit karena kehujanan, lagipula jas hujan gue yang satunya masih ada di lu," ucap Mario frustasi.
Deg! Izinkan Fira menghirup udara lebih banyak lagi. Fira merasa dunianya berputar dan pasokan udara di sekitarnya menipis. Hatinya berdenyut nyeri mendengar rentetan kalimat yang menunjukkan bahwa Mario mengkhawatirkan Nabila.
"Fir?" Mario menyadarkan Fira dari lamunannya dan rasa sesaknya sesaat.
"Mau nganterin Nabila?"
Bodoh, Fira menggali lubang untuk dirinya sendiri dengan pertanyaan itu.
Mario mengangguk seolah itu bukanlah hal yang menyakiti Fira. "Iya, kasihan dia enggak ada yang jemput. Nunggu angkot 'kan lama, nanti dia kehujanan di jalan," ucap Mario.
'Gue juga naik angkot, Mar,'
Fira tersenyum tipis. Tangan Fira bergerak membuka resleting tasnya dan mengeluarkan jaket Mario dari dalam sana.
"Makasih ya,"
Mario mengangguk dan tersenyum, senyum yang sangat manis dan membuat Fira merasa takut akan kehilangan senyum itu.
"Sama-sama,"
Kemudian Mario melangkah meninggalkan Fira, dan Dika. Mario benar-benar tidak menyadari kehadiran Dika, entah apa yang ada di pikiran Mario sampai ia tidak fokus.
"MAR!" teriak Fira mampu menghentikan langkah Mario.
Tubuh Mario berbalik.
"Hati-hati," ucap Fira tanpa suara, tapi Mario mengerti gerak mulut Fira.
Mario mengangguk lalu kembali melanjutkan langkahnya. Hati Fira berdenyut saat Mario berdiri di hadapan Nabila dan menyampirkan jaketnya di tubuh Nabila.
Tubuh Fira diputar ke arah berlawanan oleh Dika.
"Jangan dilihat kalau menyakitkan," gumam Dika.
☀☀☀
Mario berjalan mondar-mandir di depan rumah Dika. Sudah satu jam lamanya ia menunggu dan menghubungi Dika. Tapi tidak kunjung mendapat balasan dan Dika 'tak kunjung membukakan pintu untuk Mario.
Mario tahu ini salahnya, bahkan sangat tahu. Ia menarik napas dalam lalu membuangnya, mencoba mengetuk pintu coklat itu lagi. Masih sama, tidak ada jawaban dari dalam. Seolah-olah rumah tersebut tidak berpenghuni.
Andre hanya mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai coklat. Andre berusaha diam, tidak ingin mencari tahu apa yang Mario rasakan karena sebenarnya ia sudah tahu, bahkan sangat tahu.
"Hubungi lagi," titah Andre.
Mario mengangguk lalu men-dial nomor Dika, berharap kali ini mendapatkan jawaban.
Hari semakin larut, namun Mario tidak berhasil menghubungi Dika. Bahkan, wanitanya juga belum kembali ke rumah. Ralat, apakah Fira pantas disebut wanitanya? Tentu tidak.
"Mati ponselnya," Mario mengerutkan kening menatap layar ponselnya.
"Hubungi Emily,"
Mario mengangguk lalu men-dial nomor Emily. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu jawaban dari Emily.
"Halo,"
"Hallo. Em, udah ada kabar?" tanya Mario 'tak mampu menutupi kepanikannya.
"Belum, ini ayah sama papa lagi nyari,"
"Oke, thanks."
Mario mematikan sambungan teleponnya lalu menggelengkan kepalanya ke arah Andre. Andre bangkit dari kursinya lalu menepuk bahu Mario dua kali.
"Gue cabut dulu, sorry enggak bisa nemenin lo lama-lama. Ibu gue udah sms," ucap Andre berbohong.
Mario mengangguk.
Andre melangkah pergi meninggalkan pekarangan rumah Dika yang nampak sepi. Andre tersenyum kecut lalu bergenti dan menoleh ke belakang.
"Ini salah!" gumamnya seolah memperingati dirinya sendiri.
Andre memutar tubuhnya lalu berlari kembali memasuki pekarangan rumah Dika.
Andre menghampiri Mario dengan napas terengah-engah.
"Ikut gue!" perintahnya.
Mario tersentak kaget saat Andre sudah ada di sebelahnya.
"Cepet! Mau ketemu Fira 'kan?" ucap Andre.
Mata Mario terbuka lebar begitu Andre menyebut nama Fira. Tanpa pikir panjang, Mario berlari mendekat ke arah motornya yang terparkir di seberang jalan.
Andre menyusul Mario dan keduanya mulai membelah kesunyian malam dengan deru motornya yang beradu cepat.
☀☀☀
Sudah hampir tiga jam Fira dan Dika duduk di bangku taman. Dari matahari masih bersinar hingga berganti cahaya bulan. Fira ingin menenangkan hatinya.
Fira tidak ingin orang tua dan Emily khawatir oleh karena itu ia meminta izin terlebih dahulu sebelum ponselnya ia matikan. Beruntung kedua orang tua Fira mengizinkan Fira untuk pulang sedikit larut malam.
Fira menatap hamparan rumput dan juga air yang terbendung luas di hadapannya. Tempat yang sama seperti terakhir kali ia berpisah dengan Mario untuk kedua kalinya.
Dika memutar-mutar ponselnya di sela-sela jarinya. Dika sangat ingin menyalakan ponsel namun Fira memintanya untuk tetap mematikan ponsel. Dika yakin, Mario mengkhawatirkan Fira.
Belum lagi, Fira dan Dika tadi kehujanan. Bahkan pakaian mereka sudah sedikit mengering. Ini sangat buruk untuk kesehatan mereka.
Dika menoleh ke belakang saat mendengar deru motor yang sangat memekakkan telinga. Dika terkejut saat melihat Andre dan Mario dari motor mereka masing-masing.
"Dia datang, Fir,"
Fira tetap menatap lurus ke hamparan bintang-bintang yang terpantul di atas air.
"I know,"
Dika bergerak gelisah begitu Mario menatap marah ke arahnya. Dika yakin, Mario sangat marah dan panik. Andre berjalan santai di belakang Mario.
Mario menghampiri Dika dan langsung menarik kerah Dika sampai Dika berdiri. Tanpa menunggu lagi, Mario langsung mendaratkan satu bogeman mentah-mentah ke pipi kiri Dika.
Fira menoleh ke arah mereka, hatinya berdenyut melihat gurat khawatir di wajah Mario. Fira membuang mukanya kembali menatap danau buatan di hadapannya.
"LO MULAI MAIN-MAIN YA, SEKARANG, DIK!!!"
Dika tersenyum.
"Cih. Bukannya lo yang main-main, hum?" balas Dika.
Hilang sudah rasa kasihan Dika kepada Mario.
Tangan Mario mulai terangkat, bersiap untuk memberikan bogeman kepada Dika tapi Fira lebih dulu mencegahnya.
"Udah nganterin Nabila? Tadi kehujanan enggak?" tanya Fira dengan wajah serius menatap danau.
Mario menoleh memperhatikan Fira dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bodoh, jika dia tidak mengetahui Fira habis kehujanan.
Mario melepaskan cengkeramannya di kerah Dika lalu menggeser tubuh Dika, agar ia memiliki akses untuk mendekat ke arah Fira.
Dika menghapus noda merah di bibirnya dengan lengan jaketnya. Andre berdiri di samping kursi taman dan menyodorkan sapu tangan kepada Dika.
"Bersihin yang bener," gumam Andre.
Dika meraih sapu tangan tersebut lalu beringsut duduk di tempatnya semula. Fira menatap datar tubuh tinggi Mario yang menghalangi penglihatannya.
"Lo kenapa enggaj langsung pulang, badan lo basah kuyup pasti, 'kan? Kenapa ke sini dulu? Keluarga lo di rumah khawatir, tapi lo malah asik-asikkan di sini berdua sama Di--"
"Hati lo mati, ya?" sarkas Fira.
Mario mengernyit bingung mendengar pertanyaan Fira dan memilih nengabaikannya "Keluarga lo nyariin lo. Lihat sekarang jam berapa?! Jam delapan malam Fira! Lo harusnya sudah sampai rumah sebelum maghrib. Tapi apa? Lo malah berduaan di--"
"Pergi lo!" potong Fira dengan nada sangat-sangat datar.
"FIR!! LO DENGER GUE, ENGGAK?! KELUARGA LO NYARIIN LO!"
Fira berdecih sebal. "Enggak! Udah sana pergi, jangan sok tau!"
Mario menahan emosinya agar tidak kelepasan dengan Fira saat ini. Melihat Fira dan Dika duduk berdua di bawah terangnya bulan, di taman yang sepi sangat membuat hatinya memanas.
"BASKET BUBAR SETENGAH LIMA FIRA! SEHARUSNYA LO LANGSUNG PULANG SAAT TAHU AKAN TURUN HUJAN! BUKAN MALAH MAIN HUJAN SAMA DIKA DAN BERAKHIR DUDUK DI TAMAN YANG SEPI KAYAK GINI!" bentak Mario tak kuasa mereda amarahnya.
Fira terkekeh pelan.
"Gue terlanjur kehujanan pas nunggu angkot," jawab Fira.
"LO BISA NEDUH FIRA! DI PERTIGAAN SANA ADA HALTE! BUKANNYA MALAH HUJAN-HUJANAN!"
Dika mulai muak mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulut Mario.
"Kenapa enggak lo aja yang anterin dia pulang?" ucap Dika.
Mario menoleh ke arah Dika, tatapannya nyalang layaknya seorang raja yang sedang marah. Mario mendadak membisu dan menundukkan kepalanya.
"Tadi lo nganterin Nabila, lo minta jaket lo yang ada di Fira buat lo kasih ke Nabila, lo enggak mau Nabila kehujanan, tapi lo biarin Fira kehujanan. Lo sadar enggak, sih? Kalau enggak ada gue tadi, gue udah yakin Fira bakal terus berdiri di depan gerbang sekolah walaupun hujan semakin deras!" Dika mulai membeberkan yang sebenarnya.
Mario menatap Dika lama berusaha mencari kebohongan di kalimat terakhirnya. Tapi nihil.
"Mereka udah izin, Mar," sahut Andre.
"Lo bohongi gua, Dre?"
Andre mengangguk. "Iya, jadi, kenapa lo khawatir?"
Mario menendang kaki bangku taman, lalu melangkah cepat meninggalkan mereka tanpa mengucapkan sepatah kata.
Dan saat itu Fira sadar.
Penyesalan itu ada. Fira menyesal terlalu lama menunda waktu.
☀☀☀
Jadi, gimana menurut kalian? Menunggu lagi? Atau mengakhiri?
27 November 2017
10 Februari 2018
-Fan-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top