19|| Menemukan Jawaban ☀
Dibalik teka-teki terkadang masih tersimpan beribu teka-teki lainnya. Begitulah masalah.
☀☀☀
Andre dan Dika melangkah memasuki gerbang rumah Mario. Tidak terkunci. Andre dan Dika kembali melangkah sampai ke depan pintu. Namun, terkunci. Dika mengetuk pintu sebanyak dua kali. 'Tak lama kemudian Mbak Trias muncul dari pintu.
"Lho, kok Mas Andre dan Mas Dika ada di sini? Mas Mario 'kan sedang sek---" ucapnya terkejut.
Sekarang, masih menunjukkan pukul 11.00 waktu Indonesia bagian barat. Sedangkan mereka membolos, dengan alasan tidak enak badan dan sakit.
"Sakit perut, nih, jadi pulang deh," ucap Dika seraya memegangi perut.
Mbak Trias terbengong di tempat. "Tumben," gumamnya.
Andre dan Dika tersenyum. "Boleh numpang kamar mandi enggak, Mbak?" tanya Dika.
Mbak Trias mengangguk dan memberikan celah untuk mereka berdua masuk ke rumah Mario. Mbak Trias tidak punya alasan untuk menolak kedatangan Andre dan Dika.
Saat Andre dan Dika memilih untuk memasuki kamar Mario. Mbak Trias tidak dapat menegur, karena biar bagaimanapun mereka sudah terlalu lama bersama. Walaupun sebenarnya yang dilakukan Andre dan Dika itu tidak sopan.
Dika menutup pintu kamar Mario lalu duduk di tepi ranjang. Sedangkan Andre mencari sesuatu yang selama ini menjadi tanda tanya besar untuknya. Andre tahu jika Mario dan Fira mempunyai masalah serius di masa lalu dan Andre bertekad untuk memecahkan masalah itu.
"Dik, bantu cari. Jangan duduk-duduk manja di atas kasur," ucap Andre seraya melirik Dika.
Dika diam, wajahnya berkeringat. "Sakit perut beneran gue," ucapnya.
Andre menghentikan aktivitasnya lalu memutar tubuh ke arah Dika. "Lo sakit beneran?"
Dika mengangguk. "Sumpah, perut gua melilit," ucapnya.
Andre mengusap wajahnya. "Kamar mandi sana! Muka lo udah kayak orang ketahuan jadi maling. Tegang," ucap Andre lalu tangannya bergerak halus melambai di udara, menyuruh Dika keluar.
Dika keluar dari kamar Mario melangkah ke kamar mandi yang jaraknya tidak jauh dari kamar Mario. Sedangkan, Andre masih sibuk membuka setiap buku tulis yang ada di atas meja. Mencari sebuag tulisan yang sama seperti apa yang ia lihat di sebuah note.
"Nyari tulisan yang sama, udah kayak nyari jarum di atas tumpukan jerami," gumam Andre kesal.
Andre terus mencari. Saat buku-buku di atas meja belajar itu sudah semua diperiksa oleh Andre. Andre menghela napas lelah lalu melangkah ke meja kecil di ujung ruangan. Tangannya terus bergerak mencari dan matanya memperhatikan seluruhnya dengan jelas.
Andre mengabaikan suara pintu yang terbuka karena ia yakin itu Dika. "Bolos sekolah, terus ngacak-ngacak kamar orang?" ucap seseorang di ambang pintu dengan suara yang sangat tajam. Dan ternyata tebakan Andre salah.
Andre menoleh ke ambang pintu. Tangannya melemas di sisi tubuhnya. Mario, sang pemilik kamar ada di ambang pintu, mengetahui kegiatan Andre.
"Untuk apa?" tanya Mario sinis sembari melangkah mendekat ke arah Andre.
Keringat meluncur bebas di permukaan wajahnya. Bibir Andre terkatup rapat. Ia baru saja tertangkap menjadi maling. Mario berdehem cukup keras meminta Andre membuka mulutnya untuk berbicara.
Pintu bergeser, Mario mengernyit. "Dari mana?" ucapnya tanpa menoleh ke belakang.
Dika menegang di ambang pintu. Ia tidak menyangka Mario pulang secepat ini. Mulut Dika terbuka sempurna. Lalu matanya melebar saat melihat Andre jongkok di lantai dengan tangan lemas dan menunduk.
"WANJIR! ANDRE KE MAKAN OMONGAN SENDIRI!" ucap Dika heboh. Dika berlari ke arah Amdre dan Mario lalu membungkukkan tubuhnya sedikit ke arah Andre. Dika menepuk-nepuk bahu Andre.
"Ketahuan jadi maling, ya?" ucap Dika.
Andre mendengus. "Diam lo!" ketusnya.
Mario menatap dua sahabatnya bergantian. "Untuk apa?" tanyanya ulang.
Andre dan Dika berdiri dengan kaki bergetar. Mendengar kata-kata tajam dan menusuk itu rasanya seperti tertembak. Andre menunduk. Dika menyenggol lengan Andre berulang kali memberikan kode agar Andre menjawab pertanyaan Mario. Namun, Andre tetap diam.
"KELUAR!" bentak Mario kepada kedua sahabatnya dengan tangan menunjuk ke arah pintu.
Dika langsung buru-buru mengambil tasnya di karpet dan lari keluar kamar Mario dengan langkah cepat sedangkan Andre diam menatap Mario.
"KELUAR!!!" bentak Mario lebih keras lagi di depan Andre.
Andre tersenyum sinis. "You still haunted by the memories, right?" ucap Andre lalu terkekeh.
"Silent, please!" ucap Mario frustasi.
Mario mengusap wajah dengan tangan kanan, lalu terkekeh. "Lo bersikap seakan-akan paham dengan semua masalah gua," ucap Mario tajam.
Andre menggedikkan bahu. "Maybe, i know about your problem. Just one, about a book, maroon and blue," ucap Andre dengan alis terangkat sebelah.
Mario terkejut mendengarnya dan Andre sudah menyimpulkan bahwa tebakannya benar. "Keluar, Dre!" ucap Mario tajam dan tatapan emosi begitu kentara.
Andre mengangguk. "Later, tell me everything about this book," ucap Andre lalu mengambil tasnya dan melenggang pergi melewati pintu.
Mario terdiam berusaha mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir Andre. Mario duduk di tepi ranjang. Tangannya bergetar, hidungnya memerah, buku-buku tangannya memutih dan matanya berkaca-kaca. Mario menunduk menatap lantai putih nan polos di bawahnya.
Sakit rasanya mengingat seberapa dekat mereka dulu.
Sakit rasanya setiap kali melihat dia melemparkan pandangannya setiap kali kita menoleh ke arahnya.
Bolehkah Mario menangis?
Salahkah jika laki-laki meneteskan air matanya hanya untuk seorang wanita?
Tidak. Laki-laki juga memiliki perasaan. Ada saat dimana laki-laki terlihat lebih menyedihkan daripada wanita. Mario menghembuskan napas perlahan. Memejamkan matanya sejenak lalu otaknya memutar ulang kejadian satu setengah tahun lalu.
Saat itu Mario sedang duduk sendiri di bangku taman ditemani ratusan bintang yang terpantul di air. Mario duduk termenung menghadap danau buatan di dekat perumahan Flaminggo.
Angin malam menerpa wajahnya begitu lembut memberikan kesejukkan yang begitu menenangkan hati. Gemerisik daun terdengar bersamaan suara langkah yang mendekat.
Dia menepati janji.
Fira datang menemui Mario.
"Ada apa?" tanya Fira di balik punggung Mario.
Mario menoleh ke belakang tepat dimana Fira berdiri. Lalu matanya melihat ke belakang Fira. Ternyata Fira datang tidak sendiri, ia bersama Rendi.
Fira mengangkat bahunya saat mengetahui arah pandang Mario. "Gue ke sini sama dia," ucapnya.
Mario mengangguk lalu tersenyum singkat. Bukan senyum senang tapi senyum getir. Hatinya seperti tercabik-cabik ratusan pedang.
Begini rasanya melihat seseorang yang kita sayangi lebih memilih orang lain.
Begini rasanya terluka karena kita tidak mampu berada di hatinya.
"Gue paham, kok," ucap Mario berusaha menahan suaranya yang mulai bergetar.
Fira mengangguk lalu memutari bangku taman, Fira duduk di samping Mario. Mario melirik ke sebuah kotak yang berada di pangkuan Fira.
Fira tersenyum tipis bahkan tidak menyerupai senyuman. Fira juga merasakan hal yang sama seperti Mario. Hatinya sakit dan ia juga terluka. Namun, ia tidak sanggup melukai hatinya secara terus-menerus.
Fira menatap lurus ke arah danau. "Semakin gua jujur sama lu, gua semakin sakit, Yo," ucap Fira datar.
Mario mengangguk. Bukan dirinya saja 'kan yang terluka?
Fira bahkan lebih terluka darinya.
"Sesulit itu memberikan gue kesempatan?" ucap Mario tanpa menoleh ke arah Fira.
Akan lebih baik seperti ini; tidak saling memandang.
Untuk apa memandang jika nyatanya kita sama-sama terluka.
"Sulit, Yo. Lu tahu, gua berusaha menepis pikiran buruk gua tentang lo. Tapi, saat gua baca kata-kata lo, yang ada gua malah berpikir lo itu pura-pura," ucapnya.
Mario mengangguk. "Segitu jahatnya, ya, gue? Sampai untuk membuat lo percaya aja susah," jawab Mario.
"Yo ... enggak ada anak yang rela orang tuanya dituduh, Yo," ucap Fira tersenyum getir.
Mario menghela napas. "Ya, dan enggak enak juga dianggap pembohong selama bertahun-tahun," ucap Mario.
Fira menoleh ke arah Mario. Tangan Fira terulur memberikan kotak berwarna putih dengan bintik-bintik merah di sekelilingnya. "Gua berhenti sampai di sini, gua mundur," ucap Fira.
Mario menerima kotak tersebut lalu tertawa hambar setelah ia melihat isi kotak tersebut. "Kesempatan kedua berhenti sampai sini? Bahkan lu enggak tahu sakit yang gua rasain? Lo berbuat seakan lo kasih harapan ke gue tapi ternyata, lo jatuhin gue gitu aja," Mario menyudahi kalimatnya lalu terkekeh menertawakan dirinya sendiri.
Bibir Fira bergetar. "Yo, tolong jauhi gua, anggap lo enggak kenal gua," ucapnya.
Mario menoleh ke belakang ke arah Rendi yang berdiri bersandar di motor yang terparkir di seberang jalan. Lalu Mario kembali memutar kepalanya ke arah Fira.
"Dan membiarkan lo dekat dengan Rendi?" ucap Mario dengan nada bergetar.
Fira diam. Ia menoleh ke arah Mario. Setetes air mata turun dari kelopak matanya. Mario terkejut melihat air mata itu keluar.
"Jangan nangis, Fir, lo bebas menentukan pilihan," ucap Mario.
Fira mengangguk lalu tersenyum dipaksakan. "Tetap bahagia, ya, Yo, gua juga akan berusaha bahagia tanpa lu," ucap Fira lalu berdiri.
Tangan kirinya mengusap air mata yang membasahi pipi. "Good Bye, Put," ucapnya lalu berlari meninggalkan Mario dengan kesendiriannya lagi.
Bukan ini keinginan Mario mengajak Fira bertemu. Bukan untuk kalimat perpisahan dan menyerah Fira. Ia ingin menjelaskan semua kesalahpahaman yang ada kepada Fira. Tapi sekarang, Fira sudah melesat dari taman di temani oleh Rendi.
Mario tersenyum getir mengingat kejadian saat Fira memberikan sebuah kotak dengan isi buku dari kumpulan note. Tanpa sadar, pipi Mario basah. Ia menangis. Andre dan Dika yang sejak tadi memandangi Mario dari ambang pintu langsung berhambur kepelukan Mario.
"Gua enggak tahu apa yang barusan lo pikirin, tapi gua mohon jangan pernah rapuh lagi, Mar," ucap Andre dengan suara yang bergetar.
Dika mengeratkan pelukannya di bahu Mario. "Mario gua kuat, enggak cengeng melempem kayak gini," ucapnya.
Mario tersenyum lalu membalas pelukan kedua sahabatnya. Ia berterima kasih karena mereka masih di sini dan menemani kesedihannya. Lagi.
Andre menegakkan tubuhnya kembali. "Laki-laki berhak menangis. Menangislah, Mar, biar hati lu tenang," ucap Andre.
Dika mengangguk dan ikut melepaskan diri dari Mario. "Laki-laki sejati hanya menangisi dua wanita, Mama dan pujaan hati," sambung Dika.
Mario mengangguk. Air matanya sudah tidak lagi membekas di pipi. "Saatnya kalian mengetahuinya," ucap Mario lalu bangkit berdiri berjalan mendekat ke sebuah bingkai foto yang berada di atas meja belajar Mario.
Foto Mario dan Fira saat masih SMP.
Mario membuka frame foto tersebut, lalu mengeluarkan secarik kertas dari balik foto itu. "Tulisan terakhir Fira di buku itu," ucap Mario sembari memberikan note berwarna biru muda.
Andre menerimanya dan membacanya. "Terima kasih atas waktumu selama ini, aku tidak pernah menyangka dapat mengenalmu, laki-laki terbaik dan juga terburuk. I love you, Putra,"
Dika melongo tak percaya. "Terbaik dan terburuk?" ucap Dika.
Mario mengangguk.
"Dia masih ngira lo yang memperkosa si Nabila?" tanya Andre sedikit tak percaya.
Mario mengangguk. "Memperkosa Nabila dan juga memfitnah Fira, lalu menuduh Om Lintang, dan akhirnya Fira memilih pergi," ucapnya.
Andre dan Dika menggeleng. "Lo udah jelasin ke dia?" Dika kepo.
Mario menggeleng. "Dia enggak pernah mau dengerin penjelasan gua," ucapnya.
Dika menepuk bahu Andre. "Buku," ucapnya mengingatkan.
Andre mengangguk. "Abaikan dulu yang satu itu, gua mau tanya tentang buku yang terbuat dari kumpulan kertas note berwarna merah maroon dan biru muda. Itu siapa yang buat dan untuk apa itu dibuat?" ucap Andre.
Mario tercengang ternyata kedua sahabatnya mengetahui buku itu. "Dengerin baik-baik," setelahnya Mario mulai menceritakan hal yang sebenarnya.
"Waktu itu, Fira dateng ke rumah gua dia kasih gua note warna merah maroon dan biru muda. Gua di suruh milih mau yang mana? Dan akhirnya gua pilih warna merah maroon. Setelah itu, dia ngajak gua duduk di teras rumah gua dan dia narik gua buat bantuin dia membuat satu buku dari kumpulan kertas note itu," ucap Mario.
"Mar, bantuin bolongin kertas-kertasnya, gak usah banyak-banyak. Tiga puluh biru, tiga puluh maroon aja," ucap Fira saat itu.
Mario mengangguk. "Oke,"
Fira mengulas senyum memperhatikan wajah serius Mario yang sibuk dengan pembolong kertas di tangannya.
"Jangan kecewain gue lagi, ya, Mar," ucap Fira.
Mario terdiam. "Maksudnya?"
"Gue kasih lo kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya. Buat gue percaya dengan segala curahan hati lo tentang gua," ucap Fira.
"Lo dikasih kesempatan kedua?" ucap Dika memotong Mario.
Mario mengangguk. "Gua dan Fira menuliskan apa yang kita rasa setiap harinya di atas kertas yang kita pilih,"
"Berapa tahun yang lalu?" sarkas Andre.
"Satu setengah tahun yang lalu, atau lebih, entahlah," jawab Mario.
"Kalian nulis gantian?"
Mario mengangguk.
"Nanti Rendi akan anterin buku ini ke salah satu di antara kita secara bergantian," ucap Fira.
Mario menatap Fira serius. "Kenapa harus Rendi?"
Fira tersenyum hangat. Senyuman yang sempat hilang. "Rendi bilang, gua harus kasih kesempatan kedua ke lu, mungkin memang bukan lu yang salah, dan gua mau tahu semua curahan hati lu lewat tulisan ini. Curahan hati setelah gua memilih untuk memilih pergi untuk pertama kali," jelas Fira.
"Rendi lo bilang? Wah anjir banget, gua kira dia udah gak ikut campur hubungan kalian kayak dul---" Dika berhenti berbicara saat melihat tatapan tajam Mario.
"Lanjut-lanjut," sahut Dika cepat.
"Dia bilang, saat itu ia hanya menganggap Rendi sebagai kakak, dan sahabat dari Vino," ucap Mario.
"Dia pernah bilang dia suka sama lo?" tanya Mario memastikan.
Fira mengangguk. "Pernah,"
"Anjir, Rendi terkutuk kau Rendi," teriak Dika heboh.
Mario menutup mulut Dika dengan tangannya. "Rendi hanya ingin mengambil perhatiannya saat mereka dekat," ucap Mario.
Andre mengangguk. "Jelas-jelas Fira nolak Rendi 'kan?" Tebaknya.
Mario mengangguk. "Saat itu, dia hanya berusaha melupakan gua dan Rendi bilang dia mau membantu Fira untuk melupakan gua. Tapi ternyata semakin Fira melangkah maju ia akan tetap berpaling ke belakang. Dia tetap sayang gua, tapi ..." ucap Mario menunduk.
Andre dan Dika menunggu kelanjutan Mario. Raut wajah Mario berubah menjadi sendu dan begitu sedih. Andre mulai menebak, harapan tak seindah kenyataan.
"Tapi ... itu semua bohong," sambung Mario dengan suara pelan.
Bahu mereka merosot seketika. Mario terduduk di lantai, matanya kembali memerah.
"Fira ingin membalas dendam, atas luka yang pernah gua torehkan ... semua tulisan itu palsu," ucap Mario dengan suara bergetar.
Andre merunduk, menepuk pelan bahu Mario. "Dia bilang sendiri?" tanyanya hati-hati.
Andre berharap Mario akan menggeleng. Tapi ternyata Andre melihat Mario mengangguk.
"Dia jujur di malam yang sama saat dia ngasih gue buku itu," gumam Mario.
Andre dan Dika lantas mematung di posisi mereka. Jadi, Mario menerima dua luka sekaligus dalam satu malam. Pertama, Fira memilih pergi. Dan kedua, Fira mengakui kebohongan.
"ALLAHU AKBAR!" teriak Dika histeris.
Andre dan Mario menoleh. Mata Mario mulai sembab karena menahan tangis.
Dika menepuk keningnya sangat kencang. "GUA BELOM KASIH MAKAN LOLI!" ucapnya.
Andre mengernyit bingung. "Loli?" gumamnya.
Dika mengangguk cepat. "ANAK AYAM GUA!" Dika menyambar tasnya di dekat ranjang lalu memakainya. "GUA CABUT DULUAN YA!"
Dika berlari cepat keluar dari kamar Mario. Mengabaikan tatapan tak percaya Andre dan Mario.
"Ter-lucknut." [Laknat]
Mario mengulas senyum tipis. "Dia bohong. Susul Dika! Dia mau ke rumah Devan," gumamnya.
Andre mengangguk lalu memakai tasnya. "Menangislah biar tenang," ucapnya lantas pergi.
Mario tertawa.
Ia kembali kesepian dan terluka.
☀☀☀
Tolong berikan tanggapan ya untuk bagian ini:)
Sekedar info aja, aku lagi gak bisa update sering-sering karena sesuatu kesibukkan yang menyita waktu banget, tapi aku usahain update^^)
5 November 2017
9 Februari 2018
-Fan-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top