09|| Kesabaran Dika ☀

Karena sahabat tidak dapat dibeli dengan uang.

☀☀☀

"Kertasnya ada di tangan gue!" ucap Mario lantang.

'Mampus gue.'

Fira bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menatap tiga laki-laki yang sedang tersenyum lebar ke arahnya. Fira cemas sekaligus takut Mario menjadi salah paham dengan tulisan tersebut. Memang itu untuk Mario, tapi itu curahan hati Fira, seharusnya tidak ada satu orangpun yang tahu.

Emily juga bangkit berdiri, ia berkacak pinggang layaknya jagoan dengan dagu di angkat seakan menantang laki-laki di hadapannya. "Sejak kapan kalian di sana?" tanya Emily berusaha mengabaikan tentang kertas.

"Sejak kalian melamun," jawab Andre seraya tersenyum.

Dika bangkit dari kursi penonton lalu melangkahkan kakinya mendekat ke arah Fira dan Emily. Perasaan kesal kepada dua wanita di hadapannya tiba-tiba saja datang. Dika tersenyum sinis.

"Mulut bisa berbohong tapi mata, enggak bisa. Gue tahu, kalian masih punya perasaan itu, tapi kalian terlalu gengsi untuk mengakuinya," Dika melirik Fira. "Terutama lo, Fir."

"Apa?" tanya Fira cepat.

Nyali Dika ciut mendengar nada ketus dari Fira, jika ia salah bicara satu kata saja mungkin ia akan dibuat menyesal ratusan kali. Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk menyadarkan Fira.

"Lo sayang Mario, 'kan?"

Dika membungkam mulutnya rapat-rapat saat mulutnya tanpa sengaja mengucapkan kalimat tersebut. Dika kembali teringat tentang Fira yang suka sekali mengacak-acak barang Dika setiap kali Dika salah bicara. Dika tidak ingin barang-barang kesayangannya harus bernasib sama seperti kecebong yang ia ambil susah payah. Saat itu kecebong kesayangan Dika, dibuang oleh Fira hanya karena Dika salah bicara.

Saat itu, Emily, Dika, Andre, Mario, dan Fira sedang berkumpul bersama di rumah Dika. Mereka mengobrol, bercanda gurau, menonton film, sampai makan malam bersama. Dan disinilah mereka sekarang, setelah menikmati makan malam, mereka hanyut dalam pembicaraan ringan.

Awalnya mereka terlihat senang dan baik-baik saja, namun saat Andre dan Mario merubah topik pembicaraan menjadi tentang sepeda mood Fira langsung terlihat berubah. Dan lebih parah lagi, saat Dika dengan frontalnya meledek seseorang yang tidak bisa mengendarai sepeda.

Fira yang memang tidak bisa mengendarai sepeda merasa tersindir karena ucapan Dika, ucapan-ucapan ketus mulai terlontar dari mulut Fira dan akhirnya perdebatan antara Dika dan Fira pun terjadi.

"Sumpah ya malu-maluin, orang udah gede kok gak bisa bawa sepe---" ucapan Dika terpotong saat menyadari lirikan Andre tepat ke arah Fira.

Fira melempar bantal sofa ke arah Dika dan mendarat tepat di wajahnya. "Gua enggak bisa mengendarai sepeda ada alasan, jadi enggak usah, deh, lu ngerendahin orang yang enggak bisa!"

"Ya, tapi gua enggak ngomongin lo, Fir, kok, lo yang sensi, sih?!" Dika membalas ucapan Fira, dan itu membuat Fira naik pitam.

"Lu ngomongin orang yang enggak bisa mengendarai sepeda! Lu sadar enggak, gue juga enggak bisa mengendarai sepeda, Dik!"

"Tapi orang yang gua maksud bukan lo."

"GUA ORANG, BUKAN?!"

Andre berusaha menahan Dika agar berhenti menjawab ucapan Fira, Andre tahu betul ini adalah hal sensitif bagi Fira.

"GUA ORANG, BUKAN?!" Fira mengulang ucapannya dengan suara lebih tinggi.

Emily takut bukan main setiap kali Fira membentak Dika. Mario mengelus-elus pelipisnya. "Tahan, Fir," ucapnya, ia juga bingung bagaimana cara menurunkan emosi Fira.

"Ya lo orang-lah,"

Bugh!

Fira memukul tangan Dika cukup keras. "Berarti lu sama aja ngomongin gue," ucapnya.

"Ampun, deh ... kalian ribut aja, sih, diam dong, kuping gua sakit dengar Fira teriak," ucap Emily seraya mengelus daun telinganya.

"Gua selalu punya alasan, Dik, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu," Fira menatap jengkel Dika. "Dan mereka juga pasti ada alasan di balik ketidakbisaan mereka, jadi don't judge anything after you see, before you thinking about him," ucap Fira halus namun mampu menampar Dika yang salah dengan kata-katanya.

Dika diam, enggan menjawab ucapan Fira. Melihat Fira yang marah seperti ini membuatnya sedikit tidak enak hati. Karena biar bagaimanapun juga emosi Fira belum dapat dikendalikan. Dan Dika sadar ucapan Fira benar adanya, tidak seharusnya ia merendahkan seseorang yang tidak bisa melakukan sesuatu.

Karena sebenarnya apa yang kita lihat terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Oleh karena itu, kita seharusnya menggunakan segala indera yang kita miliki untuk melihat dan memahami sesuatu.

"Maaf, deh...."

"Enggak! Gua kesel sama lo!" ucap Fira membuang mukanya malas.

Fira bangkit dari sofa lalu berjalan menaiki anak tangga, semua menatap bingung ke arah Fira. "Lo mau ngapain?" tanya Dika.

Fira berhenti menaiki anak tangga, kepalanya menoleh ke arah empat sahabatnya. "Mar, Dre! Pegangin Dika!" seru Fira sebelum akhirnya kembali melangkah cepat menaiki anak tangga.

Andre dan Mario dengan sangat kuat menahan Dika agar tidak beranjak kemana-mana, seperti yang diminta Fira. Sedangkan Dika, ia merasa terkejut saat tangan-tangan itu sudah menahan tangannya cukup keras.

"Anjir! FIRA LO NGAPAIN WOI KE KAMAR GUA!" teriak Dika saat melihat Fira membuka pintu kamar Dika.

Dan berikutnya teriakan-teriakan Dika kembali terdengar saat Fira melangkah masuk ke kamar Dika.

"WOI FIRA JANGAN MASUK KAMAR COWOK! BANYAK BARANG AIB GUA WOI!"

"FIRA! WOI! DUH, SEGITIGA GUA BELOM MASUK LEMARI! WOI!"

Emily berusaha menahan tawa melihat wajah merah padam Dika dari tempatnya berdiri.

"DRE! LEPAS, DONG! ITU KASET BLUE FILM GUA NANTI DIAMBIL FIRA!"

"KECEBONG KESAYANGAN LO GUA BUANG, YA, DIK?" teriak Fira dari lantai dua.

Emily tidak kuasa menahan tawanya saat melihat Dika kalang kabut saat mendengar kecebong.

"WOI LEPAS WOI!" Dika terus meronta agar kedua tangannya terlepas dari Andre dan Mario.

Akhirnya Andre dan Mario melepaskan Dika, keempat remaja tersebut melangkah cepat naik ke lantai dua. Rasa penasaran mereka tiba-tiba saja meningkat setelah mendengar Fira ingin membuang kecebong.

Dengan napas terengah-engah mereka berdiri di depan pintu kamar Dika. "Anjir sempak lo ada yang gambar spongebob, Dik?" celetuk Emily saat tanpa sengaja melihat setumpuk pakaian dalam di atas kasur king size milik Dika.

Dika berlari ke arah ranjang dan langsung memasukkan dalamannya secara acak ke dalam lemari, Dika benar-benar malu.

"FIRA LO DIMANA WOI?!" teriak Dika kalang kabut begitu menyadari Fira tidak ada di dalam kamarnya.

Sedangkan, Andre dan Mario terlebih dahulu berlari ke arah balkon kamar Dika. Dan ternyata benar, Fira berada di sana dengan tangan yang memeluk satu toples kaca berukuran sedang yang berisi air dan kecebong.

Dika terkejut bukan main saat toples berisi kecebong yang baru saja ia cari seminggu lalu kini berada di tangan Fira. "Fir, jangan dibuang Fir, gua nyari itu kecebong susah payah, Fir. Gua sampe nyemplung di kolam ikan Pak Kolot, Fir." Dika memohon agar toples kaca tersebut tidak di bawa oleh Fira.

Fira mengelus-elus bagian kaca. "Apa gunanya sih mempelihara kecebong ..." Fira menatap toples tersebut, "... Enggak berguna tahu, enggak,"

Fire mengarahkan toples kaca tersebut agar keluar dari pembatas besi. Dengan gerakan 'tak tertuga toples kaca tersebut jatuh ke tanah, Fira sengaja melepaskan toples kaca dari tangannya.

Prak!

"KECEBONG GUEEEEE!!!!!!"

"FIR SUMPAH NYARI KECEBONG SUSAH!"

"MARIO RAMADHAN TANGGUNG JAWAB ENGGAK, LO! GANTI SEMUA KECEBONG GUA!"

"ASTAGA FIRA GUA BELOM SELESAI NGITUNG JUMLAHNYA!!!!!"

Semua hanya dapat menutup telinga rapat-rapat setiap kali Dika berteriak histeris, Dika memandang marah kepada Fira lalu melangkah gusar ke dalam kamar. Dia langsung tidur telungkup di kasurnya, dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut tebal. Diak terus meracau tidak jelas dan sesekali terdengar seperti sesegukan karena menangis.

"MAMA FIRA JAHAT, MA! KECEBONG UNYU DIKA DIBUANG MA!"

"MAMAAAAAAAA ...."

"Dik, alay banget, sih, lo! Kecebong aja ditangisin!" umpat Andre kesal, awalnya ia tertawa melihat Dika begitu histeris saat toples kaca tersebut jatuh ke tanah dari lantai dua. Tapi kekesalannya muncul saat Dika meraung-raung tidak jelas di balik selimutnya.

"GUA NYARI KECEBONG UNYU ITU DI KOLAM IKAN! GUA NGOBAK MASUK KE KOLAM IKAN!"

Mario terkekeh. "Namanya siapa?"

"BANYAK, MAR! Hiks ..." Dika menarik cairan kental yang mulai keluar dari hidungnya. "... GUA LUPA NAMANYAAAAA!" teriak Dika lebih kencang.

"Hahahaha..."

Tawa sahabatnya pecah saat mendengar Dika benar-benar menangis, bahkan mereka lebih bahagia lagi saat membayangkan wajah memelas dicampur syok tadi.

"DIKAAAAAA!!!" teriak Emily tepat di telinga Dika.

Dika meringis. "Sakit, njir," kaget Dika sembari mengusap-usap telinganya.

"Bengong sih, lo!"

"Gue mikirin nasib kecebong gua," ucap Dika.

Andre tertawa sampai terpingkal-pingkal saat mendengar kecebong. "Kecebong yang waktu itu dibuang Fira ke tanah? Yang toples kacanya pecah?"

Emily mengangguk. "Hahaha ... ngakak njir inget itu, muka Dika melas banget coy!"

Dika menjitak kepala sahabatnya satu persatu, namun tidak dengan Mario dan Fira. "Jahat!"

"Dre," panggil Fira.

Andre yang masih tertawa lantas terdiam dan menoleh ke arah Fira. "Iya, Fir?"

"Ambil tempat pensil Hello Kitty, Dika!" perintah Fira dan langsung di balas pelototan dari Dika.

"MAU NGAPAIN LO?!" sinis Dika.

Andre harus menahan tawanya, saat menyadari Fira ingin melampiaskan kekesalannya, ia berlari sangat cepat keluar dari lapangan indoor. Dika yang ingin mengejar Andre harus ditahan oleh tangan kokoh milik Mario di kerah belakang bajunya.

"Mau kemana lo?"

"MAR LEPASIN, MAR! SUMPAH, YA, ITU TEMPAT PENSIL ITU ISINYA BERHARGA BANGET, MAR!" Dika kembali memohon kepada Mario dan meronta agar dilepaskan.

Mario semakin kuat mencengkram kerah bagian belakang seragam Dika. "Enggak!"

Dika pasrah, dia memilih duduk di lapangan indoor, ia sudah tidak dapat membantah ucapan Mario dan Fira. Sekarang yang harus ia lakukan adalah menuturkan doa supaya tempat pensilnya aman.

☀☀☀

"Hai, ini buat kamu," Fira tersenyum ramah seraya memberikan tiga pensil dengan motif Hello Kitty kepada anak kecil usia 5 tahun.

Dika sang pemilik pensil hanya dapat melongo 'tak percaya jika Fira benar-benar ingin membagikan pensil yang sudah ia kumpulkan dengan berbagai cara dan dengan uang yang tidak sedikit. Dika mengumpulkan pensil Hello Kitty tersebut dari dia masih duduk di bangku SMP.

Setiap kali Dika liburan ke luar kota ataupun ke luar negeri, dengan sangat semangat Dika berburu pensil Hello Kitty. Jelas pensil tersebut berbeda dengan pensil yang dijual di depan SD. Pensil tersebut memiliki harga yang cukup mahal, karena gambarnya berupa ukiran.

"FIRA! JANGAN YANG ITU! ADUH-ADUH! GUA BELI JAUH-JAUH KE HONGKONG BELI GITUAN! MALAH DIBAGI SECARA CUMA-CUMA!!!" Dika di depan pos satpam hanya dapat meraung-raung setiap kali Fira memberikan satu, dua atau tiga pensil kepada anak kecil yang lewat depan sekolahnya.

Fira memberhentikan satu kerumunan siswi berpakaian putih biru. "Dek! Mau pensil dari Australia, gak? Asli lho, Dek,"

Fira menawarkan pensil seakan-akan ia adalah seorang pramuniaga yang sedang menjajakan barang jualannya. Dika di depan pos satpam hanya menatap sendu tempat pensil berbentuk lingkaran bermotif Hello Kitty yang sekarang berada di tangan Fira. Dika dengan brutalnya menggoyang-goyangkan gerbang sekolah.

"DEK! JANGAN MAU, DEK! ITU PALSU DEK! JANGAN MAU, BARANG PALSU ITU!"

"Serius dari Australia, Kak? Bukan yang dijual di Abang-Abang jualan depan SD 'kan, Kak?" tanya salah satu siswi berambut panjang seolah-olah mengabaikan Dika.

"Serius, Dek," Fira menunjukkan pensil yang bertuliskan Made in Australia kepada mereka. "Asli, 'kan?"

"DEK, JANGAN MAU DEK! DI DALAM PENSIL ITU ADA SIANIDA-NYA! NANTI KALAU DIRAUT, LO MATI DEK!" teriak Dika semakin tidak jelas, menarik perhatian murid SMA Taraka.

Kini, gerbang sekolah ramai dengan murid SMA Taraka yang menyaksikan aksi Fira membagikan pensil kesayangan Dika. Mario yang memang berada di luar gerbang hanya bersandar di tembok, tangannya memutar-mutar kunci yang sangat banyak jumlahnya. Kunci milik Pak Satpam.

"Berapa, Kak?" tanya teman satunya.

"Khusus untuk kalian sepuluh ribu aja, kok," jawab Fira.

Mata siswi SMP itu melebar. "KAK, ITU ASLI LHO, KOK, DIJUAL SEPULUH RIBU?!"

"Enggak apa-apa, temen saya mau bagi-bagi pensil. Tapi supaya saya dapat untung juga jadi saya jual aja sepuluh ribu ..." Fira melirik sembari tersenyum sinis ke arah Dika yang berdiri memagangi besi yang menjulang tinggi. "... Jadi mau enggak, nih?"

"MAU KAK MAU, ITU LUCU BANGET!"

"MAU KAK, YA AMPUN ... INI UKIRANNYA BAGUS BANGET, KAK!"

"ASTAGA! LUCU-LUCU BANGET!"

Fira tersenyum puas melihat reaksi mereka. Siapa yang tidak suka barang limited edition dari berbagai negara, dengan varian yang berbeda-beda. Jika Fira menyukai Hello Kitty, sudah dipastikan pensil tersebut berpindah kepemilikkan sejak lama.

Tapi, Fira tidak suka Hello Kitty, dia lebih suka tokoh kartun Mickey Mouse, Doraemon, dan Rilakkuma.

"Beli berapa?"

"Aku dua, Kak!"

"Aku tiga!"

"Kak, aku lima, ya!"

Fira mencari-cari pensil dengan ukiran yang sama dan warna yang sama, ia tidak peduli pensil tersebut berasal dari mana. Yang penting sama, biar tidak iri.

"Nih...." Fira memberika delapan pensil kepada tiga remaja SMP di hadapannya.

"WOI! GUA BELI RATUSAN RIBU WOI! JANGAN DIJUAL CEBAN!


"FIX FIRA MUSUH GUA!"

Dika terus saja berteriak sembari menggoyangkan pagar besi. Mario yang berada di depan Dika di sisi yang berbeda hanya dapat menyumpal telinganya dengan earphone. Dia berusaha mengalihkan pendengarannya dari suara Dika yang ter-amat sangat berisik.

Banyak siswa-siswi SMA Taraka yang mengabadikan momen ini. Bukan Dika yang menjadi sorotan utamanya. Melainkan, Fira yang tersenyum senang dan begitu ramah, serta Mario yang dengan santai memperhatikan Fira.

"Makasih, ya, Kak," ucap siswi SMP tadi secara serempak lalu berjalan meninggalkan Fira.

Fira memutar tubuhnya ke belakang, mata Fira terbelalak saat menyadari lebih dari dua puluh orang berada di balik gerbang, dengan ponsel mereka masing-masing.

"MASUK!" bentak Fira kepada mereka yang menonton kejadian hari ini.

"Yah, Fir, kok disuruh masuk, sih? Enggak seru dong,"

"MASUK!"

Malas mendengar bentakan Fira, mereka akhirnya memilih untuj mematikan ponsel dan memasukkan kembali ponsel mereka ke saku. Sorakan terdengar begitu keras saat mereka melangkah masuk ke area koridor.

Mata Fira mengarah ke Dika dan Mario yang berdiri bersampingan namun berbeda sisi. Mario di luar gerbang sedangkan Dika di dalam gerbang. Fira tersenyum menatap Dika yang kini tengah memelas kepadanya.

"Udah, ya, Fir, pensil gua tinggal empat puluh tiga tuh," suara Dika  merendah.

"Iya," Fira melangkah maju menghampiri Dika, dan berdiri tepat di depan Mario yang sedang menatapnya.

"Nih," Fira memberikan tempat pensil berbentuk lingkaran tadi kepada Dika melalui sela-sela pagar besi.

Dika menerimanya dengan senyum. "Udah puas, jual barang gua? Dapet berapa lo?"

Fira merogoh saku bajunya dan mengeluarkan uang di dalamnya. "Lima puluh ... Tujuh puluh ... Seratus ..." Fira terus menghitung uang dari saku bajunya.

"Dua ratus, Dik!"

"Allahu!" Dika refleks menyebut saat Fira menyebutkan uang yang di dapat.

"GUA BELI DUA PULUH TUJUH PENSIL ITU SAMPAI PULUHAN JUTA. DAN LO JUAL DENGAN DUA RATUS RIBU?! GILA LO FIR!"

Mario terkekeh saat Fira menampilkan senyumnya. "Eh?" Fira terkejut mendengar kekehan Mario.

'Kok, ganteng?'

"Dua puluh kali sepuluh, dua ratus. Terus tadi yang tiga gratis. Yang empat gua ambil ..." Fira merogoh saku rok nya dan mengeluarkan empat pensil berwarna biru. "... buat koleksi di rumah."

Dika mengangguk pasrah. "Yaudah, enggak apa-apa, yang penting lo bahagia, Fir," ucapnya sangat pasrah.

Berat hati Dika merelakan dua puluh tujuh pensil yang sudah ia kumpulkan susah payah harus hilang begitu saja. Namun, apa boleh buat? Dika senang melihat Fira tersenyum dan banyak bicara seperti tadi.

Dika rela uang yang ia pakai untuk membeli pensil itu harus lenyap secara cuma-cuma, baginya sahabat lebih penting daripada uang. Dika bisa mencari uang lagi dan mengumpulkan lagi untuk membeli pensil lagi. Tapi, Dika tidak akan bisa mencari sahabat seperti Fira lagi.

Mario, Andre, Fira dan Emily sudah terlalu berharga bagi Dika. Mereka yang selama ini ada untuk Dika. Mereka yang selama ini menemani Dika dikala Dika jatuh maupun berusaha bangkit bahkan sampai Dika dapat berdiri tegap.

"Tetap kayak gini, ya, Fir. Ramah, bersahabat dan penuh senyum," gumam Mario pelan.

Dika tersenyum lalu mengangguk, "Kebahagiaan sahabat gua enggak bisa dibeli pakai uang, jadi lakukan apa yang lu mau, Fir. Selama itu membuat lu tersenyum, gua juga turut senang, kok,"

Fira tersenyum. "Dika terbaik memang,"

"Pacaran aja sama Dika," ketus Mario.

Fira terkekeh. "Kalau bisa juga gua udah pacaran sama Dika dari dulu, tapi sayang enggak bisa. Perasaan enggak bisa dipaksa so---" Fira terdiam saat menyadari dirinya mulai banyak bicara di depan Mario.

Tangan Mario terulur mengelus pelan kepala Fira. "Makasih," ucap Mario pelan lalu tersenyum canggung.

Fira tertegun diperlakukan begitu manis dengan Mario. Seingat Fira, beberapa hari lalu mereka masih saling menghindar.

Kenapa sekarang seperti kembali dekat?

☀☀☀

Thanks for reading💙

Gimana menurut kalian? Ini adalah part yang paling membingungkan menurutku. Hehe😂

Thank you so much for 1k followers❤❤


24 Oktober 2017
22 Januari 2018
-Fan-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top