9. You

Tanpa keywords.

~ ~ ~

WIUW ... WIUW ... WIUW ....

BRAK ....

Terlonjak Dika melihat apa yang terjadi di depan matanya. Mobil yang sangat dikenalnya---milik ibu Shan---menabrak pagar kantornya sendiri. Baru saja ia melangkahkan kaki ke luar untuk menemui Pengacara Huja, ia harus menundanya. Semua berkas dan peralatan perangnya dijatuhkannya begitu saja di halaman parkir.

"Ibu Shan!" jerit Dika seraya berlari menghampiri mobil atasannya yang penyok.

Tampak dari kaca depan, kepala Shan telungkup di atas setir. Merah kecokelatan sudah mewarnai separuh seragamnya. Hal mengerikan berkecamuk di benak Dika. Pintu mobil yang masih terkunci dari dalam membuatnya semakin panik.

Batu-batu kerikil yang tak jauh dari kakinya pun dihempaskannya ke kaca jendela kemudi sekuat tenaga berkali-kali. Dari sela pecahan jendela itu akhirnya Dika berhasil membuka pintu. Serpihan kaca telah menggores lengannya tanpa ia sadari. Darah perlahan mengalir dari luka goresnya.

"Ibu Shan! Bangun, Bu!" panggilnya berkali-kali seraya mengguncang-guncang tubuh atasannya itu.

Terlambat. Pemimpin kantor polisi kecamatan Watty itu sudah tidak bernyawa. Tepat pada saat Shan menabrakkan mobilnya ke pagar tempatnya mengabdikan dirinya selama tujuh tahun, ia berhasil sampai di tempat tujuan dengan nafas terakhirnya. Darah kental sudah membanjiri jok mobilnya.

Kedua kalinya, Dika harus kehilangan rekan kerja yang sangat disayanginya. Didekapnya erat tubuh gemuk tanpa tangan kiri itu. Isak tak menghentikannya untuk terus memanggil-manggil nama atasannya, berharap hidup kembali. Tak ada yang dapat menguatkan hatinya, selain berteriak sekencang-kencangnya sendirian.

~ ~ ~

Tidak ada kendaraan apa pun terparkir di depan rumah ketujuh belas di jalan Abnegation, kecuali mobil Red sendiri. Sepanjang gang tampak sangat sepi, tiada orang yang lewat maupun berada di depan rumahnya. Agak aneh, jika sesepi ini.

"Kamu nggak apa-apa, 'kan, Iv?" Red memeriksa seluruh tubuh Ivana dan menemukan beberapa luka di kakinya.

"Ih, kamu pakai kutek!" ledek Ivana heran, membuat wajah Red bersemu malu. "Sejak kapan kamu suka kutekan, Red?"

"Aish, kagak! Lanjutin aja yang tadi! Pelakunya di mana?" tanyanya seraya melongok ke dalam rumah. "Kamu udah tau siapa pelakunya, Iv?"

"Pelakunya lagi jemput tangan lainnya," sahut Ivana santai. Lantas, menarik Red masuk ke dalam rumah. "Kita tunggu di sini aja sampai Dika dan pelakunya datang!"

"Justru kita harus lindungin Dika!" tolak Red gegabah. "Gimana kalau pelakunya membunuh Dika waktu lagi sendirian di kantor?"

"Nggak bakal. Pelakunya mau Dika ke sini dulu sebelum dibunuh!" Ivana menekankan kata 'ke sini' seolah menunjukkan, bahwa Dika sudah direncanakan untuk mati di rumah tersebut, dan ia mengetahuinya.

"Kenapa? Kok kamu tahu, Iv?" Red menaikkan sebelah alisnya.

"Keluarga kita disandera di dalam, Red!" jelas Ivana yang semakin kesal dengan segala kecurigaan Red terhadapnya. "Kalau Dika nggak dibunuh di sini, mereka semua yang akan jadi korban! Aku juga nggak mungkin tega ninggalin mereka di sini."

"Mereka siapa?"

"Lihat aja di dalam! Mereka disekap di kamar atas."

Sambil menahan perih pada kedua kakinya, Ivana mengajak Red masuk. Tidak hanya lututnya yang terluka, ternyata telapak kakinya yang sudah tidak bersepatu itu penuh luka. Melihat keadaan Ivana, Red akhirnya memapah Ivana.

"Kamu sendiri nggak disekap?" selidik Red.

"Kamu pikir, kakiku ini kenapa, hah?"

~ ~ ~

Telapak tangan Dika mengusap darah yang mengotori lencana empat buah bintang kecil pada kerah seragam Shan. Begitu pula dilakukannya pada name tag bertuliskan 'Shanti Eka' dan sebuah bintang besar di dadanya. Lantas, ia memejamkan mata sejenak untuk mengheningkan cipta sebagai penghormatan terakhir. Meskipun sudah tiada, jasa-jasanya akan selalu dikenang.

Matanya mendadak terbelalak begitu ia menyadari, bahwa dada Shan tidak rata. Ada sesuatu yang mengganjal di balik kutangnya, terasa padat, elastis, dan berbentuk agak lonjong. Bila diremas, dapat kembali ke bentuk semula. Dibukanya segera kancing seragam Shan.

Sebelah sandal jepit karet terselip di balik kutangnya. Dengan hati-hati dan penuh tanda tanya, Dika menarik sandal jepit itu. Rupanya, terukir beberapa nama orang pada permukaan sandal itu, bahkan banyak. Sandal berbahan karet elastis itu ditusuk-tusukkannya dengan benda runcing kecil, sepertinya jarum suntik, membentuk nama-nama.

Apakah mereka ini tersangkanya? Atau, memang sudah jelas merekalah pelakunya? Satu di antaranya adalah orang yang memang saya curigai, batinnya.

Hingga di akhir hidupnya, Shan masih bertanggung jawab sebagai Sheriff. Dika menyesal, sempat mencurigai dan mengumpat atasannya yang sering marah-marah itu. Tanpa wewenang Shan, ia melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian kota.

~ ~ ~

Gelap menyelimuti sepanjang lorong menuju ruang tengah. Bau apak menusuk hidung dari perabotan yang lembap. Wallpaper dindingnya sudah terkelupas di sana-sini, memperlihatkan semen hitam lapuk di baliknya. Ubin keramik pada lantainya sudah pecah-pecah, membuat Ivana semakin kesakitan setiap kali menginjak sisi yang tajam.

"Aku gendong aja, sini!" tawar Red sebelum menaiki tangga.

"Nggak usah! Aku bisa kok," tolak Ivana sembari berusaha menapakkan sebelah kakinya ke anak tangga pertama.

"Halah, kelamaan!" Red langsung membopong tubuh langsing Ivana, menaiki anak tangga.

~ ~ ~

"Ubi! Kenapa Ubi tinggalin abi?" isak parau Fitrah tersamar oleh deritan kayu-kayu yang melangkahinya.

Di sebuah kamar tertutup, terkumpul enam bungkus jenazah yang telah diautopsi. Salah satunya yang baru datang, jenazah Rahma, ditangisi oleh suaminya yang baru mengetahui kematiannya. Pedih hatinya kehilangan istrinya setelah beberapa jam lalu kehilangan putrinya.

"Diam, Om! Bukan cuma Om yang kehilangan keluarga di sini!" desis seorang gadis yang jenuh menyaksikan drama keluarga itu.

~ ~ ~

"Jangan sentuh mereka, atau bomnya akan meledak!" Ivana memperingatkan ketika membuka kunci pintu kamar.

Tiga dipan reyot berjajar di dalam kamar yang dibukakan Ivana. Masing-masing di atasnya, terbaring tiga wanita dengan kaki dan tangan terikat. Kesembilannya tampak tak sadarkan diri, seperti sedang tertidur pulas. Tali yang mengikat mereka terhubung pada sebuah bom yang kemungkinan dapat meledak jika salah satunya bergerak.

"Di sini, ada kak Yadika, kakaknya Dika, sama Dita dan Dhiya, adik-adiknya Dika."

Jari telunjuk Ivana menunjuk satu per satu ke arah dipan yang paling dekat. Lantas, beralih ke dipan kedua dan ketiga.

"Di sebelah sana, ada Devira, Savira, dan Nadhara, anak-anaknya ibu Shan. Lalu, di situ, ada Dania, sepupunya Tian, ada Icot---adik Ivana yang bernama Devyana---, dan kakakmu, kak Zeelan."

Terenyuh Red memandangi mereka. Sembilan nyawa keluarga dari kelima polisi yang mengabdi untuk kecamatan Watty, kini, ada di tangannya. Jika ia tidak mengikuti skenario pelakunya, akan lebih banyak lagi korban.

~ ~ ~

"Tian ...."

Seuntai kalung berliontin berlian membentuk inisial T digenggam erat oleh Pengacara Huja. Kepolosan Tian yang selama ini membuat pria ini ingin selalu melindunginya, kini, tak berarti lagi. Satu-satunya wanita yang dapat membuat dirinya yang pendiam dan kaku ini tersenyum, hanyalah Tian. Hatinya menjerit tanpa air mata.

"Jadi, kakak Anda yang bernama Chacha Marica yang memberikan ocha ini sebelum mereka datang?" tanya Dika kepada seorang wanita tanpa lengan kanan.

Wanita bernama Icha Marica itu mengangguk dengan sisa tenaganya. Pucat wajahnya bercampur keringat dingin karena semakin kehabisan darah. Seorang dokter wanita sedang mengganti perbannya yang sudah dibanjiri cairan merah kecokelatan.

Ibunya terus meraung kencang di tepi ranjangnya. Tidak menyangka, anak sulungnya akan tega berbuat itu pada adiknya sendiri. Ia pun menyesali dirinya sempat pergi ke pasar di saat kejadian itu.

"Tenanglah, Ibu Umi! Putri Anda masih dapat diselamatkan oleh Dokter Flara." Dika menepuk-nepuk punggung wanita paruh baya itu.

"Namanya Icha, bukan Putri!" bantah ibu Umi dengan terisak.

"Iya, maksud saya Icha, Bu." Dika menurut. "Ibu Umi bisa tolong bantu saya menangkap Chacha?"

"Tidak bisa, sudah kabur sama lakinya!" bantah ibu Umi sekali lagi.

Dika hanya dapat menghembuskan nafasnya menahan sabar. Seluruh sudut rumah diperiksanya kembali. Sesekali, diliriknya Huja yang masih berdiri kaku menghadap ke luar jendela sejak ia memberi tahu tentang kepergian Tian. Rasa khawatir bercampur iba merasuki hatinya.

Satu hal yang membuat Icha masih dapat bertahan hidup, adalah tingginya kandungan antioksidan dalam teh hijau Jepang atau ocha, menyebabkan racun Belladonna tidak dapat bereaksi sempurna pada tubuhnya. Sepertinya, Chacha tidak mengetahui hal ini, sehingga ia salah mencampurkan racunnya. Icha mengaku tidak merasakan perih pada ketiaknya yang dipotong, tetapi saat itu ia masih sadar dan dapat melihat jelas pelakunya memotong tangannya.

Betapa terkejutnya Umi melihat anaknya telah bercucuran darah tanpa lengan di ruang tamu. Ia langsung menghubungi Pengacara Huja yang sudah lama dikenalnya untuk menuntut para pelakunya. Untungnya, Dokter Flara yang segera dipanggil oleh Pengacara Huja masih dapat menyelamatkan nyawa Icha.

"Saya akan menuntut kasus ini hingga semua yang terlibat dituntaskan!" Dendam Huja berkobar-kobar. Untuk menggantikan nyawa Tian, batinnya.

~ ~ ~

Setelah Red membuktikan kebenaran, bahwa para sandera adalah benar-benar keluarga mereka, Ivana mengunci pintunya lagi. Kemudian, ia menggendongnya lagi turun ke lantai dasar, mendudukkannya di sofa ruang tamu. Menurut Ivana, itu tempat paling strategis untuk memantau ke luar jendela.

Pikiran Red masih dipenuhi tanda tanya, melihat gerak-gerik Ivana. Namun, keberadaan Devyana membuktikan, bahwa Ivana tidak mungkin mempertaruhkan nyawa adiknya sendiri.

"Sorry, aku gagal jagain adik kamu, Iv." Red teringat pada janjinya untuk menjaga Devyana. Sekali lagi, ia tidak menepati janjinya pada Ivana.

"Bukan salah kamu, Red. Pekerjaanmu 'kan lebih penting." Ivana memahami tugas Red sebagai polisi bagi masyarakat juga sangat penting.

"Nggak. Keluarga lebih penting dari pekerjaan." Red bijak. "Apa nggak ada cara lain untuk selametin mereka sebelum pelakunya datang?"

"Kamu nggak lihat bomnya, hah? Lima dari mereka berinisial D yang bisa saja diambil tangannya, menggantikan Dika!" Ivana mengingatkan nama Dita, Dhiya, Devira, Dania, dan Devyana.

"Kamu udah tau inisial yang dicari?" Seingat Red, ia belum memberi tahu Ivana mengenai petunjuk dari Tian, bahwa inisial yang diincar bukanlah Veirent ataupun Verencia, melainkan ....

"DIVERGENT?" jawab Ivana tepat.

"Tau dari mana?" selidik Red.

"Itu."

Tulisan 'DIVERGENT' ditunjuknya di balik daun pintu, hanya terlihat dari dalam jika pintunya ditutup. Setiap hurufnya telah diberi tanda silang dengan darah asli, kecuali huruf 'D'. Tampaknya ditulis dengan kutek merah, sangat mirip dengan petunjuk dari Tian.

"Kamu juga udah tau siapa korban terakhir?" Red penasaran dengan inisial I yang telah tersilang tanpa diketahuinya.

"Aku udah lihat tangan Tian di dalam." Ivana justru membahas Tian, membuktikan bahwa ia belum mengetahuinya juga.

"Terus, kamu nggak sedih?" pancing Red.

"Emang aku harus nangisin Tian seharian gitu?" sahutnya jutek. "Di saat kayak gini, yang penting kita harus berusaha biar nggak nyusul Tian! Kamu masih nggak percaya sama aku, Red?"

"Iya iya, percaya kok. Ish, salah lagi, 'kan, aku? Cowok emang selalu salah, ya?" Red menjitak pelan dahinya sendiri." Aku cuma keinget, kamu nangis seharian waktu aku mau masuk Akpol."

Mata Ivana mulai berkaca-kaca menatap Red. Terlintas banyak kenangan masa remaja mereka, termasuk upayanya untuk mengejar cintanya kembali. Sangat disayangkan, jika ia harus kehilangan lagi karena sakit hatinya selama ini.

"Terus, aku ninggalin cita-citaku untuk jadi desainer, demi ngikutin kamu jadi polisi, biar aku bisa selalu bareng kamu, Red."

"Ivana ..., I'm deeply sorry. Aku nggak tau kalau kamu masuk Akpol. Rumah kamu kosong. Semua tetangga nggak ada yang tau, keluarga kamu pindah ke mana. Aku nggak tau lagi harus nyari kamu ke mana. Aku kira, kamu sengaja ninggalin aku, Sayang ...."

"Tapi setelah lulus, aku cari tempat kamu bekerja. Berkali-kali, aku gagal tes, karena aku emang nggak bakat jadi polisi. Kamulah motivasiku! Tapi, kamu--"

Tangis Ivana pun pecah. Red merengkuh tubuh Ivana, membenamkam wajahnya yang berlinang air mata ke bahunya yang lebar. Sembari memeluk erat dengan sebelah tangan, ia merogoh sakunya, mengambil boneka anjing dan benda lainnya.

Hatinya semakin merasa bersalah. Andai sejak pertama berjumpa kembali, ia langsung memperlakukan Ivana sebagai kekasihnya, mungkin tak butuh waktu lama untuk menyadarinya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saat pertama kali menginjakkan kaki di kantornya, Ivana memergoki Red sedang mengecup bibir Dika.

"Anjing ini masih jagain kamu, 'kan?" Red menunjukkan boneka itu seraya melepaskan dekapannya.

Ivana pun melirik, menemukan boneka kesayangannya di tangan Red. Mata sembapnya langsung berbinar.

"Revan! Kamu nemuin Revan?" Nama yang diberikannya untuk boneka itu merupakan gabungan dari nama Red dan Ivana, yaitu Revan. Ia memeluk Revan erat.

"Mulai sekarang, kita nggak akan terpisah lagi, Sayang. Aku janji ...," ucap Red serius, "dan buktikan ...."

Terhanyut hati Ivana oleh janji manis Red. Setelah empat belas tahun terpisah, bibir mereka akhirnya dapat bersatu. Tak ada lagi yang dapat memisahkan cinta mereka, termasuk kematian. Tangan kanan Red menggandeng erat tangan kiri Ivana, sementara lidahnya terus melumat habis lipstik merahnya.

CEKLEK.

Pagutan Ivana mendadak terhenti ketika menyadari sesuatu melingkar di pergelangan kirinya. Borgol menyatukan lengannya dengan lengan Red. Wajahnya memucat. Dasar licik! umpatnya.

"I-ini ... apa-apaan sih, Red?"

"Ini buktinya, bukan cuma janji yang bakal aku ingkari lagi."

"Maksudnya?"

"Dengan borgol ini, aku buktikan, kita nggak akan terpisah lagi. Sampai mati pun, kita akan mati bersama."

"T-tapi, nggak usah pakai borgol segala, bisa kali? Nanti kalau pelakunya datang gimana? Kita bakal susah buat ngelawan, buat nyelametin diri juga. Lepasin dong, Red!"

"Nggak akan. Kamu nggak perlu ngelawan. Nggak akan aku biarkan kamu nyelametin diri juga. Nggak ada lagi pelaku yang bakal datang, karena pelakunya, sekarang ini, udah ada di genggaman kamu." Red menyeringai.

"Red ..., k-kamu ...?"

~ Bersambung ~

Maaf, masih bersambung juga. Tadinya mau digabungin sampe tamat, tapi ini udah 2.100 kata lebih. Abis ini beneran tamat deh. Udah pas setahun ini ga tamat-tamat. Tanggal 7 Maret 2018, happy second anniversary, Divergent Writers!

DON'T FORGET
TO VOTE & COMMENT
AFTER READ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top