7. Clues
Keywords : putus, baru, harapan
~ ~ ~
"Selamat jalan, Bharada Tian!"
Duka mendalam, Dika menggenggam erat sebelah tangan Tian yang masih tersisa. Bulir-bulir air mata mengalir di pipinya. Meskipun sering bertengkar dengan Tian, telah banyak kenangan kerjasama mereka yang hanya tinggal kenangan. Memarahi Tian yang terlalu lugu dan pemalas, hingga berebut jatah makan siang, semua bergulir di benak Dika.
Kepalan tangan Tian sudah kaku, tetapi ia merasa ada sesuatu yang terselip di dalamnya. Lamunannya buyar, ia yakin, bahwa Tian menyembunyikan sesuatu di tangannya. Ditariknya perlahan-lahan sesuatu itu dari celah tangan kaku Tian. Selembar foto polaroid yang terlipat-lipat, rupanya.
"Red," panggil Dika dengan suara serak.
Brigadir tampan itu masih sibuk sendiri dangan pemikirannya sembari memeriksa jejak-jejak pada mobil Tian dan rumah Pengacara Huja. Beberapa lembar kertas telah dicoret-coretnya selama memeriksa. Panggilan Dika tidak diacuhkannya, membuat Dika berhenti agar tidak mengganggu konsentrasinya.
"Fix, bukan Huja." Kesimpulan Red terhadap analisanya membuktikan, bahwa Pengacara Huja tidak terlibat.
"Ya, nggak mungkin Pengacara Huja membunuh pacarnya sendiri, tah?" timpal Dika sembari merebut catatan analisa Red yang sangat panjang, lantas mencermatinya.
"Ayo, Dik, kita harus tangkap Veirent sebelum dia membunuh inisial I!" ajak Red yakin.
"Bukan Veirent juga, Red," tahan Dika.
"Sudah jelas 'kan, korbannya berinisial V, E, double R, E, N, dan T?" Red memberi penekanan pada huruf 'T' seraya menatap mayat Tian nanar.
Selembar foto polaroid peninggalan Tian itu pun dihadapkan Dika ke depan mata Red sangat dekat. Tanpa kata-kata, ia membiarkan Red menebaknya sendiri.
"DIVERGENT?" Red membaca tulisan yang tertangkap pada foto mayat Nanis.
Pada foto yang menunjukkan keadaan lokasi mayat Nanis ditemukan, terdapat seperangkat komputer yang tidak menyala di meja belajarnya. Jika diperhatikan baik-baik, bayangan tulisan 'DIVERGENT' memantul pada layar komputer yang gelap. Entah dari mana tulisan itu berasal, tampaknya ditulis dengan cairan kental berwarna merah, seperti darah segar.
"Sial!" umpat Red putus asa. "Nama pelakunya bukan dari inisial nama korban. Nggak ada nama atau ciri-ciri apa pun yang ditinggalin pelaku, cerdik banget! Ke mana lagi kita harus nyari petunjuk?"
"... dan masih ada inisial D, I, dan G yang harus kita selamatkan," tambah Dika.
"Lu juga inisial D, Dika, hati-hati!" Red mengingatkan seraya menepuk ubun-ubun Dika lembut. Ia pun teringat pada adik Ivana, Devyana juga!
"Rumah saya 'kan bukan di Komplek Divergent." Dika tidak takut, lantas menepis tangan Red cuek.
"Tian juga. Dia cuma nginep di rumah Huja. Dia juga anak tunggal, nggak punya saudara perempuan kayak yang udah kita pikirin sebelumnya. Semua petunjuk 'blank'!"
"Okay." Dika akhirnya menurut. "Kalau memang bukan Pengacara Huja pelakunya, kita bisa meminta bantuannya. Dia nggak akan tinggal diam karena Tian juga jadi korban."
"Jangan! Itu ngerusak reputasi gua sebagai Brigadir!" cegah Red.
"Please deh, Red!" Dika menepuk dahinya sendiri. "Bisa-bisanya kamu gengsi dalam keadaan kayak gini? Ini menyangkut Tian, rekan kerja kita, sekaligus pacarnya Pengacara Huja. Nggak ada salahnya kita ajak kerjasama, 'kan?"
"Bukan gitu, Dik. Ini gua masih mencurigai seseorang. Lebih baik, jangan percaya sama siapa pun, termasuk orang-orang terdekat kita!" Mata Red berkilat tajam menatap langit yang mulai terik.
Misalnya, ngasih alamat yang salah, tapi benar ada korban di dua tempat yang berbeda itu? Kejanggalan itu kembali terlintas dalam pikiran Dika, membuatnya bergidik ngeri.
~ ~ ~
"Dokter Rima, ini korban pembunuhan di Komplek Divergent yang baru ditemukan oleh kepolisian Watty untuk diautopsi," lapor seorang perawat perempuan muda.
Perawat yang berpakaian serba putih itu menyerahkan dokumen pengajuan tindakan autopsi kepada seorang dokter wanita. Sheriff Shan yang sedang duduk di hadapan Dokter itu pun ikut menoleh. Sementara di belakang perawat itu, dua orang petugas pria mendorong mayat korban ke dalam ruang autopsi.
"Ada lagi?" Dokter ahli forensik yang bernama Rima itu berdecak seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lingkaran hitam pada bawah matanya menunjukkan, betapa lelahnya ia tidak dapat istirahat semalaman. "Mayat ibu hamil itu saja belum saya kerjakan."
"Semangat, Dokter Rima!" Perawat itu menepuk bahu Dokter Rima dengan tangan yang masih bernoda darah kering kecokelatan. Senyum ceria terlukis di wajah manisnya yang masih bersemangat. Tampaknya, ia sudah terbiasa menghadapi mayat, sehingga tidak ada lagi perasaan takut maupun turut berduka.
"Ahh ... baiklah. Terima kasih, Suster Nisa," sahutnya dengan ekspresi wajah datar.
Sebelum beranjak, perawat yang bernama Nisa itu mengajak seorang sopir mobil jenazah yang datang bersamanya untuk ikut masuk ke ruang autopsi, "Ayo, Akbar!"
Shan terus memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang lewat, salah satunya sopir bernama Akbar itu. Dengan langkah kaku dan terus menunduk, ia mengikuti perawat Nisa masuk ke ruang autopsi. Apakah sopir mobil jenazah turut membantu proses autopsi?
Sementara, Dokter Rima masih tidak mengubah raut wajah 'zombie'-nya ketika membaca dokumen dan menandatanganinya. Shan penasaran dengan korban berikutnya untuk menemukan petujuk lainnya.
"Boleh saya lihat dokumennya, Dokter Rima?" izin Shan sopan.
"Umm ... lebih baik Anda tidak melihatnya sekarang ini, Ibu Sheriff." Dokter Rima menempelkan dokumen itu ke dadanya agar tak terbaca. Tidak tega ia memberi tahu, bahwa korbannya adalah seorang aparat kepolisian tempat Sheriff Shan bertugas.
"Tapi, saya cuma pengen tahu namanya, Dok," bujuk Shan dengan memasang wajah memelas. "Inisialnya saja deh, Dok ...."
"Inisial T."
"Siapa?" jerit Shan panik.
"T-I-D-A-K," eja Dokter Rima tanpa mengubah raut wajahnya.
"Pelit!" sembur Shan kesal.
Dengan kasar, Shan berusaha merebutnya hingga terjadi tarik-menarik. Tak sengaja, sikut Shan menyenggol botol antiseptik di meja. Cairan isi botol itu pun menumpahi separuh tangannya. Dokumen itu pun akhirnya berhasil terlepas dari tangan Dokter Rima yang terkejut melihatnya.
Nama 'Tian Berlian' langsung terbaca jelas oleh Shan. Jantungnya terhempas kencang. Tangannya bergetar lemas, hingga dokumen itu terjatuh. Pandangannya mulai buram.
Si bungsu di kantornya yang masih lugu dan selalu dianakbawangkan selama ini telah menjadi korban. Kepalanya pusing mengenangnya. Samar-samar, ia seperti melihat roh Tian keluar dari ruang autopsi, menghampirinya dengan senyum polosnya.
"Maaf, Ibu Shan, saya ketiduran." Ucapan yang sering didengarnya dari mulut Tian itu terdengar jelas olehnya. Berlinang air mata Shan karena menyadari, bahwa tidurnya kali ini, Tian tak akan bangun lagi.
"Tuh, 'kan ..., saya bilang, 'jangan dilihat' ya, jangan ...!" Ocehan Dokter Rima terdengar sayup-sayup sebelum Shan terkulai tak sadarkan diri.
~ ~ ~
"Anjir!" Red menendang pintu barak kantornya, tempat terakhir ia melihat Ivana yang hendak beristirahat. "Ivana juga hilang!"
"Ibu Shan nggak bisa dihubungi, ini HT-nya nggak dibawa, HP-nya juga dimatikan." Gemetar, Dika terus mencoba menghubungi atasannya dengan segala alat komunikasi. "Saya tanya Detektif Fenti aja, ya?"
"Dika! Gua bilang tadi apa? 'Jangan percaya siapa pun!' Benar, 'kan? Sekarang mereka hilang, Fitrah juga kabur!" Emosi Red berkobar-kobar, dihantamkannya sebuah kursi besi ke jeruji tempat para tersangka ditahan sementara sebelum diadili.
"Tapi, Red, bisa nggak kamu diam sebentar? Jangan ngerusak apa pun di sini! Bikin saya tambah panik aja," keluh Dika yang belum menyerah dengan teleponnya.
"Lu kira gua nggak panik, hah?" Red menggebrak meja di hadapan Dika hingga berguncang. Ia membenturkan dahinya ke dahi Dika seraya melotot garang. "Yeah, gua cowok! Tapi, gua juga bisa takut sama kecoa! Dan sekarang ini, ini hal yang paling gua takutin!"
Berbalik, Red kembali mencari jejak kepergian kedua rekan kerjanya ke setiap sudut kantor dan halamannya. Namun, tidak ada satu pun bukti mencurigakan ditemukannya. Semakin kacau pikirannya membayangkan hal-hal buruk yang terjadi pada mereka. Kepalanya seperti akan meledak.
Satu hal yang paling memicu ketakutan Red, adalah mobil patroli Ivana masih terparkir manis di depan kantor. Mobil itu tidak pernah ditinggalkan Ivana ke mana pun ia pergi, bahkan setiap kali ia mengajaknya pergi bersama. Bolak-balik, ia memeriksa mobil Ivana, lantas masuk ke dalamnya.
Diam-diam, Dika menghubungi Detektif Fenti ketika Red sedang berada di dalam mobil Ivana. Jika selama ini Shan mempercayainya, ia pun dapat mempercayainya.
Harapan untuk dapat menangkap pelakunya telah pupus. Dika hanya berdoa, agar rekan-rekannya tetap dalam keadaan baik-baik saja, terutama Red yang disukainya sejak pertama kali bertemu tiga tahun lalu. Awalnya, pertemanan mereka berdua sangat indah, sebelum Ivana muncul setahun kemudian.
~ ~ ~
"Menurut hasil autopsi para korban dan penelitian tim kami di laboratorium, dapat kami simpulkan, bahwa kelima korban telah meminum racun belladonna yang dapat menyebabkan mereka memiliki kekebalan terhadap rasa sakit, halusinasi, hingga kehilangan kesadaran."
Teringat langsung di benak Shan akan penjelasan Dokter Rima begitu ia sadarkan diri. Kepalanya pusing. Pandangannya masih agak kabur karena sorotan cahaya lampu yang terlalu terang tepat di atas kepalanya.
Tidak ada yang menyadari, bahwa Shan telah siuman, ruangan sempit itu tidak dijaga oleh siapa pun. Masih terbaring tanpa dapat melakukan banyak gerakan, Shan berusaha mengingat dan menganalisis.
"Pelakunya memotong lengan korban hidup-hidup saat korban terbius oleh racun tersebut, lalu langsung melarikan diri. Ia membiarkan korban tewas perlahan-lahan karena kehabisan darah dan gangguan pernafasan. Sehingga, kematian terdeteksi belum lama terjadi dan menyulitkan pemeriksaan CCTV."
Belladonna yang berarti 'wanita cantik' karena bunganya yang sangat indah, seperti lonceng berwarna ungu. Zaman dahulu, wanita menggunakannya sebagai kosmetik untuk mempembesar pupil mata agar terlihat lebih cantik. Namun, setiap tetesnya mempunyai efek samping mengaburkan penglihatan dan kepekaan berlebih terhadap cahaya, hingga kebutaan.
Dalam kedokteran, belladona juga sempat dijadikan bahan dasar obat bius untuk operasi, karena dapat membuat manusia tidak sadarkan diri, meredakan nyeri, dan menenangkan otot-otot. Namun, dapat menyebabkan pasien berhalusinasi seperti orang gila, efek delirium---keadaan kurang sadarkan diri seperti linglung---berkepanjangan, sakit kepala, gangguan pernafasan, denyut jantung meningkat, ruam pada kulit, kekeringan pada mulut hingga sulit berbicara, kejang-kejang, kehilangan keseimbangan, bahkan kematian.
Kandungan zat beracun paling tinggi terdapat pada buahnya yang tampak menyegarkan, seperti berry ungu. Semua bagian dari tanaman ini sebenarnya beracun, mengandung Tropane alkaloid yang dapat mempengaruhi sistem saraf pusat pada otak dan sumsum tulang belakang. Tanaman hias ini sangat menipu, cantik tetapi mematikan.
Kepala Shan semakin nyeri karena berusaha mengingat ciri-ciri dari racun belladonna yang pernah dipelajarinya mengenai jenis-jenis racun. Dengan lemas, ia memijat keningnya dengan tangan kanannya. Perban melingkar di pergelangan tangannya hingga siku, baru saja ia sadari. Tak ingat, kapan ia mendapatkan luka itu, dan entah mengapa, tidak terasa sakit.
"Pemotongan lengannya sangat rapi, tepat pada sendi peluru menembus ketiak, seperti yang biasa kami lakukan dengan pisau bedah autopsi." jelas Dokter Rima seraya memperlihatkan beberapa lembar foto. Terbayang ketiak para korban yang terpotong rapi pada foto-foto itu, bagaikan boneka mannequin.
Kemungkinan, pelakunya adalah seorang ahli medis atau farmasi yang sangat mengerti efek samping dari penggunaan obat bius dari bahan dasar belladonna, duga Shan sembari masih terbaring lemas. Atau bisa jadi, orang dalam tim autopsi itu sendiri yang pandai menggunakan pisau.
"Bagaimana dengan Rara yang mengalami luka gores di punggung?" tanya Shan saat itu.
"Luka pada bagian tubuh lainnya sepertinya dilakukan hanya untuk mempercepat aliran darah keluar, agar korban lebih cepat kehilangan nyawa sebelum ada saksi menemukannya. Tentunya, dilakukan setelah pemotongan tangan selesai."
Shan tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Nafasnya seperti tercekik. Jika benar pelakunya berada di rumah sakit tersebut, nyawanya terancam. Ia menoleh ke kiri untuk memeriksa keutuhan lengannya sendiri.
~ Bersambung ~
Maaf, karena chapter 7-nya panjang banget, jadinya aku bagi jadi 2 part ya. Tunggu kelanjutannya minggu depan!
Tamat soon!
DON'T FORGET
TO VOTE & COMMENT
AFTER READ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top