6. Initial I

Keywords : bebas, senyum, rahasia

~ ~ ~

Dika menandai nama beberapa orang yang kemungkinan diincar oleh pelaku, semua rumah bernomor 7, 17, dan 27. Dari 11 rumah tersisa, terdapat 7 rumah yang memiliki anak bungsu perempuan dari dua bersaudara, termasuk Devyana, adik Ivana. Terlepas dari inisial namanya, briptu cerdas itu mulai menghitung usia mereka dari tanggal lahirnya.

"Iv, umur adikmu ...." Ucapan Dika mengambang sembari menghitung di kertas.

"Sebenarnya," potong Red serius, "yang bikin gua heran tuh, Dika, lu dari mana bisa tahu kalo Veirent tewas?"

Dika mendongak dengan wajah memucat. Red menatapnya curiga.

"Waktu itu, saya sedang berpatroli di Komplek Divergent. Ada seorang perempuan yang tiba-tiba memanggil saya," jelas Dika.

"Sejak kapan lu suka patroli di komplek-komplek, Dik? Kayak hansip aja," serang Red.

"Lapor, Sheriff Shan." Suara Detektif Fenti kembali terdengar dari HT, memotong perdebatan Red dengan Dika.

"Yup, silakan laporannya, Detektif Fenti!" sahut ibu Shan.

"Pria yang bersama Bharada Tian adalah seorang pengacara, namanya Huja. Ini bukan pertama kalinya, Bharada Tian pergi bersama Pengacara Huja. Tampaknya, mereka sudah lama pacaran, sekitar dua tahun. Rumahnya juga di Komplek Divergent, Jalan Dauntless nomor 27. Sudah beberapa kali, Tian terlihat menginap di rumahnya."

Keempat polisi di ruangan itu membeku dengan pikiran masing-masing.

"Oke. Terima kasih, Detektif Fenti. Pantau terus, ya!"

"Dekat rumahku? Kok aku nggak kenal ya?" Ivana berkomentar lebih dulu setelah beberapa detik semua terdiam. "Nggak pernah lihat juga Tian masuk sana."

"Ya elah, Iv. Lu ngapain aja sih kalo di rumah?" ledek Red yang membuat muka Ivana memerah. "Kalo nggak tidur sama makan, palingan cuma luluran, maskeran, kutekan, nggak pernah gaul sama ibu-ibu komplek!"

"Aishh ... tau aja kamu, tapi Huja juga bukan ibu-ibu kali, Red!" Ivana mementung kepala Red dengan ujung bolpoin di tangannya.

"Auw ...." Red berlagak kesakitan seraya tersenyum meledek karena tidak sakit.

"Eh, tapi ... kayaknya aku tahu deh. Ada cowok yang selalu nutupin mukanya pake sun-glasses sama masker, kayaknya itu yang namanya Huja."

"Masker timun kayak lu, Iv?" Red malah bercanda.

"Nggak, aku serius, Red. Nomor 27, 'kan? Dua rumah dari ujung, sebelahnya yang paling ujung nomor 29 itu rumah kosong, katanya angker gitu deh. Nggak ada yang betah tinggal lama-lama di seberangnya, nomor 30 sama nomor 28 itu--"

"Ivana, jangan OOT deh!" potong ibu Shan kesal seraya menggebrak meja. "Kita lagi bahas pembunuhan, bukan hantu-hantuan! Beda genre, Iv!"

"Okay, Bu Shan! Jadi intinya, Tian dalam bahaya kalo deket-deket pengacara misterius itu. Ayo, kita harus cari Tian secepatnya!" Ivana langsung berdiri sendirian.

"Tunggu dulu, Iv!" Dika yang sejak tadi diam saja, akhirnya terdengar lagi. "Kayaknya Tian nggak berada di pihak kita deh. Saya kira, dia baru kenal sama Huja bulan lalu, ternyata sudah dua tahun, berarti sebelum dia masuk sini. Bisa jadi, selama ini Tian mengatur rencana untuk membocorkan rahasia kepolisian ke pacarnya itu. Lalu, jangan-jangan--"

"Sudah, sudah! Nggak usah ngegosip! Sudah pagi nih." Ibu Shan menghentikan pembicaraan anak-anak buahnya setelah melihat jam menunjukkan pukul 6 pagi. "Sana, periksa ke Komplek Divergent yang udah ditandain Dika ini! Urusan Tian biar Detektif Fenti yang tanganin."

"Siap meluncur, Bu!" Ivana paling dulu beranjak lagi.

"Eits, inisial I nggak usah ikutan!" cegah Red sebelum Ivana keluar.

"Tapi, adikku gimana?"

"Biar gua aja yang ke rumah lu, Iv." Red menenangkan.

~ ~ ~

Jalan Candor nomor 27 lagi-lagi dihebohkan dengan kasus berdarah. Rahma, istri Fitrah yang sedang mengandung tujuh bulan itu ditemukan sudah tidak bernyawa di depan rumahnya, masih dalam keadaan duduk di kursi roda sembari memangku jenazah Rara. Seperti nasib putrinya, ibu Rahma juga kehilangan tangan kanannya. Janin dalam kandungannya pun tidak terselamatkan.

Tidak ada saksi mata, kecuali para warga di jalan Candor yang berkerumun untuk sekedar menonton. Bahkan, ada seorang anak muda yang mengabadikannya dengan ponsel dan langsung memublikasikannya melalui media sosial dengan caption, "1 like = 1 pray." Dengan cepat, berita tentang pembunuhan misterius itu menyebar di media sosial, menggemparkan banyak rakyat Indonesia.

Briptu Dika memeriksa jenazah ibu Rahma dengan teliti, mencatat dan memotretnya. Lalu mengirimkan pesan singkat kepada tim dokter forensik untuk diautopsi, seperti para korban sebelumnya. Teringat kembali ia pada kode inisial korban yang ditebaknya sebagai nama pembunuhnya, sama sekali tidak sesuai dengan perkiraannya.

Dua orang berinisial R yang merupakan ibu dan anak ditemukan tewas dengan posisi dan cara yang sama persis, dalam waktu kurang dari tiga jam. Empat titik luka sejajar diduga oleh benda tajam berujung runcing seperti garpu berukuran besar, tampak menggaruk bahu kiri ibu dan anak itu bagai cakaran binatang buas sejenis serigala.

~ ~ ~

"Kantor polisi Kecamatan Watty, saya Dokter Rima, ahli forensik yang menangani kasus pembunuhan berantai di Komplek Divergent." Terdengar suara seorang wanita dari sambungan telepon.

"Ya, saya Sheriff Shan, kepala kantor polisi Kecamatan Watty. Silakan berikan laporannya, Dokter Rima!" sahut ibu Shan.

"Kelima jenazah korban yang semalam dikirimkan sudah kami autopsi, dan laporan selengkapnya akan segera saya kirimkan melalui e-mail. Namun, ada masalah yang lebih penting yang harus saya sampaikan secara langsung, Ibu Sheriff."

"Eh, tunggu, Dok!" potong ibu Shan terperanjat. "Korbannya ada lima? Bukannya cuma empat?"

"Lapor, Sheriff Shan." Suara Detektif Fenti kembali terdengar dari HT ketika ibu Shan sedang serius mendengarkan Dokter Rima dari telepon kantornya. Tidak ada jawaban dari ibu Shan, Detektif Fenti terus memanggil-manggil, "Sheriff Shan! Sheriff Shan! Ada yang gawat, Sheriff!"

~ ~ ~

"Adik lu aman, Iv."

Ivana menghembuskan nafas lega begitu mendengar kabar dari Red lewat HT.

"Pagi-pagi gini udah luluran sambil karaoke-an aja tuh si Icot," cerita Red. "Nggak beda jauh, ya, kelakuannya sama lu?"

Ivana terkikik, "Makasih ya, Red."

Ia pun akhirnya dapat berbaring dengan tenang di salah satu matras di barak kepolisian, tempatnya bekerja. Tidak diizinkan ikut berpatroli artinya bebas tugas, baginya. Setelah lembur semalaman, Ivana merasa butuh istirahat sejenak. Kemeja seragamnya telah dilepaskan dan digantung di dekatnya, hanya terlihat tali kutang melilit pundak di balik selimutnya.

"Tapi, Iv ...," nada suara Red berubah tegang, lalu terdiam.

"Kenapa, Red?" Ivana tidak jadi memejamkan matanya.

"Kayaknya gua lihat mobilnya Tian di ujung gang rumah lu deh. Kata lu tadi, di situ rumah Huja kan? Coba bentar, gua samperin--"

"Eh, Red, hati-hati!" Ivana langsung terduduk panik hingga selimutnya tersingkap. "Jangan samperin Tian sendirian! Kamu ajak Dika deh! Apa perlu aku sama ibu Shan ikut ke sana?"

"Nggak usah, Inisial I! Ya udah, gua panggil Dika dulu."

~ ~ ~

"Tian!" panggil Dika ketika menghampiri mobil patroli Tian yang terparkir tepat di depan rumah nomor 27, rumah Pengacara Huja tepatnya.

Red mengikuti dari belakang sembari terus memerhatikan ke sekitarnya, mencari sesuatu yang mencurigakan. Matanya langsung tertuju pada rumah Huja. Pagarnya tergembok rapat dengan kawat-kawat berduri tajam yang mengamankannya. Lampu garasi dan teras depannya tidak menyala. Sulit untuk melihat ke dalam, karena kaca jendela yang tidak dapat dilihat ke dalam dari luar.

"Tian?" Dika melongok ke dalam mobil melalui kaca jendela tepat di samping kemudi.

Mesin mobilnya masih menyala hingga badan mobil itu terasa panas. Masih duduk di bangku pengemudi dengan seat belt, tetapi kepalanya bersandar miring ke kanan. Matanya terpejam, seperti sedang tertidur pulas. Meskipun Tian memang hobi tidur, Dika mencurigai sesuatu.

Berkali-kali ia mengetuk kaca, Tian tidak bergeming. Sekuat tenaga, Dika berusaha membuka pintu kemudi, tetapi terkunci. Ia melongok lebih dekat lagi ke dalam. Kedua tangannya dirapatkan ke kaca untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk berlawanan di sekitar pandangannya.

Wajah Tian tampak lebih pucat dari biasanya. Air liurnya tidak menetes---seperti yang biasa Tian lakukan jika tertidur di kantor. Lehernya tampak agak kebiruan karena urat nadi di lehernya terlihat lebih menonjol ke permukaan kulit. Yang lebih mengejutkan, seragam Tian dibanjiri cairan merah. Tangan kirinya mengepal di atas perutnya, sedangkan tangan kanannya ... hilang.

"Astaga! Tian!" jerit Dika panik. "Red, dobrak pintunya!"

Langsung berpaling dari rumah Huja, Red mencoba membuka pintu di belakang kemudi. Sangat mudah, tidak terkunci rupanya. Pintu belakang yang hanya dapat dibuka dari luar---pengaturan kunci otomatis pada setiap mobil kepolisian untuk mencegah pelaku kejahatan melarikan diri dalam perjalanan---sepertinya sudah dibobol. Tidak ada tanda dirusak dengan paksa oleh senjata atau kekerasan, tampaknya pengaturannya yang diubah oleh seseorang yang mengerti caranya---orang dalam.

Dika langsung memeriksa keadaan Tian yang sudah tidak bernyawa. Sementara, Red memeriksa tanda-tanda yang ditinggalkan pelaku pada mobil.

Sebuah kalung berlian berbentuk inisial huruf T melilit cantik pada leher Tian. Diduga pelaku membunuh Tian dengan cara mencekiknya dengan kalung itu dari bangku belakang kemudi. Masih terdapat kotak kalung cantik di samping bangku kemudi, diduga pemberian dari Pengacara Huja.

Seberkas laporan ditemukan Red di kolong bangku belakang. Tertulis biodata korban yang telah ditangani oleh Tian sebelumnya bernama Nanis, usia 27 tahun, dengan alamat Jalan Dauntless nomor 7. Kakak korban bernama Nanas yang melaporkan melalui telepon ke kantor polisi, setelah menyadari bahwa adiknya keracunan jus buah nanas yang diberikan oleh temannya. Tangan kirinya pun hilang.

"Bah! Ibu Shan ngasih alamat yang salah ke gua tadi," lapor Red kepada Dika yang masih memeriksa tubuh Tian. "Katanya 'Jalan Amity nomor 7', bukan 'Dauntless'."

Secarik kertas memo ditunjukkannya pada Dika, benar tertulis : 'Jalan Dauntless nomor 7'.

"Ini benar tulisan tangan ibu Shan. Saya yakin banget ciri khas kemiringannya, dan nggak gampang ditiru karena dia kidal." Dika mengerutkan dahinya.

"Tapi tadi gua ke Jalan Amity nomor 7 juga benar ada yang tewas di sana, Esti."

Keduanya saling berpandangan dengan gemetar.

~ Bersambung ~

DON'T FORGET
TO VOTE & COMMENT
AFTER READ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top