[4.1] Ares Squad: Kisah
🍁Judul : Remember His Story
🍁Genre : Historical Fiction (Fiksi Sejarah)
🍁Subgenre : Drama, Slice of Life
🍁 Multimedia : Berkibarlah Bendera Negriku
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
12 November 1948
Yogyakarta.
Kota tujuan pertamaku dalam bertugas setelah keluar sebagai lulusan terbaik dari jurusan jurnalistik di Universitas ternama di negaraku.
Kota yang begitu menarik perhatianku. Meskipun telah dijajah oleh Belanda ratusan tahun, serta oleh Jepang selama beberapa tahun, keanggunan budaya tetap mendarah daging di sana.
"Selamat datang, Mr..."
"Lucias, panggil saja aku Lucas. "
Aku menjawab mantap sambil menjabat tangan Critcley, wakil PBB untuk pihak Indonesia dalam rangka mengawasi sekaligus membantu kelancaran perjanjian Renville yang dilakukan tempo bulan. Dia kira sudah berumur lebih dari 30 tahun, namun kecerdasan dan wibawanya masih tampak jelas di wajahnya.
"Ahh, kalo begitu Mister Lucas, bagaimana perjalanan anda dari Australia? Saya harap anda menikmatinya."
Kedatanganku ke mari sebenarnya adalah panggilan dari Mr. Critcley untuk meliput segala sesuatu tentang Indonesia, dalam rangka ikut membela negeri ini dalam forum internasional. "Ahahaha, tentu saja saya sangat menikmatinya, ternyata Indonesia itu indah seperti yang teman teman saya katakan."
Memang benar, setelah sampai di tanah Indonesia ini aku tak henti-hentinya mengagumi keindahan apam indonesia ini, tapi sayang, setelah memasuki daerah perkotaan semakin banyak pabrik dimana-mana.
"Syukurlah kalau begitu, kenapa anda tidak berbaring sebentar di kamar anda? Hotel Merdeka ini adalah salah satu hotel ternama di Jogja.
"Ahh, baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. "
Baru saja aku hendak mengangkat semua barang bawaanku, Critclet itu memanggil namaku.
"Oh iya Mister Lucas, jika anda tak keberatan mengapa anda tidak berkeliling di seputaran Jogja sebentar? Saya pikir itu adalah ide yang bagus sebelum anda memulai meliput di sini."
Entah aku harus merasa senang atau kecewa, ya kecewa karna aku sedikit kelelahan juga dan senang karna bisa berkeliling sebentar, tapi aku tetap menerima tawaran itu.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Kurasa tak buruk juga berjalan-jalan di tengah hiruk pikuk Yogyakarta di sore hari ini.
Di setiap jalanan yang barusan kulewati tampak pepohonan dan tumbuhan taman berjejer rapi. Aku hendak menuju keraton. Menyaksikan keindahan kerajaan kecil di tengan negeri yang belum mendapatkan kemerdekaannya seoenuhnya ini.
Aku masih terus berjalan hingga menepi ke jalanan sepi yang sejuk. Semakin berjalan menepi rasanya ada yang janggal dari keadaan sekitarku.
Ada yang sedang membuntutiku.
Mempercepat langkah, aku mencoba sebisa mungkin segera menuju tempat ramai. Meski begitu, seorang lelaki berjaket hitam juga ikut mempercepat langkahnya.
Ketika hendak berbelok kakiku tersandung. Malang sekali.
Tanpa membuang kesempatan, orang tadi menghampiriku, menerjang tubuhku dengan pukulan.
"Serahkan uangmu!" Orang itu mengunci lenganku, kemudian mengancam layaknya penculik.
Aku berteriak. Tapi orang itu malah menertawaiku.
"Tempat ini sepi. Tidak mungkin ada yang mendengarmu! Dasar penjajah bodoh!"
Mungkin dia mengira aku tidak mengerti perkataannya. Namun dia salah! Aku lancar berbahasa Indonesia, kalau tidak salah dia baru saja mengataiku bodoh ?!
Pribumi di sini tak pernah belajar sejarah! Tidak semua bangsa kulit putih yang datang ke sini adalah penjajah! Lagipula aku datang ke mari untuk membantu kalian!
"TOLONG!" Aku memekik lebih keras.
Perampok ini semakin mengeratkan tangannya. Dia tak membawa pisau, tapi cengkeramannya cukup kuat untuk membuatku meringis perih.
"Aku akan mengambil semuanya darimu!"
Kini orang intu mulai meraba tubuhku. Kantong celanaku dan jaket kulitku.
Dia tak mendapati apapun. Karena aku memang tidak membawa apapun.
"Dasar penjajajah Miskin-"
"Berhenti disitu!"
Seorang berpakaian prajurit pribumi datang. Dan sejetika lepas kedatangannya, ia menendang wajah si perampok hingga terlempar agak jauh.
Aku selamat, tuhan!
"Jangan mengganggu orang lain jika tak ingin diganggu! Pergi sana! Kali ini kau ku maafkan!" ucap sosok tentara berwibawa itu.
Perampok yang tadi terlempar agak merintis menahan nyeri di wajah. Matanya kemudian terbelalak, seakan mengenali sosok berseragam tentara yang telah menendangnya. Ia menatap takut-takut pada sosok tinggi kekar di hadapannya.
"Jangan membuang waktu untuk mencuri. Kalau kau ingin berkelahi, bergabunglah dalam pasukan atau menunggu hingga perang usai!"
"I-iya. Maafkan saya, Mas!" perampok itu berkata takut, tidak mengiyakan tawaran si prajurit dan malah lari tunggang langgang.
Aku menatap sosok penyelamatku itu lekat dari belakang.
Sial, dia berbalik. Aku jadi agak malu ketahuan memperhatikannya.
"Anda tak apa, Mister ?" dia menoleh, menyunggingkan senyum.
"Ah... Eh... Iya tidak apa-apa." aku mendadak kikuk. "Terima kasih banyak."
"Sudah kewajiban saya menjaga keamanan di sekitar sini, Mister." Dia mengangguk. "saya tahu Mister bukan penjajah," katanya, "atau setidaknya, Mister tidak sedang melakukan penjajahan."
" Ya... Kau benar. "aku menepuk - nepuk celana yang kotor oleh debu, "aku seorang turis." lebih bijak tidak mengatakan tujuan dan identitasku yang sebenarnya kepada orang asing.
"Oh, seorang turis, selamat datang di kota Yogyakarta." Ujarnya tersenyum ramah.
"Terimakasih telah menyambutku dengan baik." ujarku menjawab perkataannya.
"Ah, apa Mas mau makan siang bersama saya? Kebetulan saya ingin pergi ke warung untuk makan siang." Baik sekali orang ini. Tadi sudah menolongku dan sekarang dia menawariku untuk makan siang bersamanya, padahal kami baru sekali bertemu.
"Apa kau ingin mentraktirku? Aku sama sekali tidak bawa uang. Pencopet tadi saja meraba saku celana dan jaketku tidak menemukan uang sepeserpun. Hahaha, aku hanya ber--" belum selesai aku berbicara dia telah memotong ucapanku, "Tidak apa-apa kok, lagipula kita akan makan siang diwarung milik adikku. Perkenalkan namaku Putra, namanya Mas?"
Sambil berjabat tangan, aku menjawab, "Lucas."
Tanpa basa-basi kami langsung menuju ke warung adiknya Putra yang ternyata berada di sekitar ranah keraton. Disepanjang perjalanan, Putra banyak bercerita. Dia terlihat sebagai tipikal anak muda yang cerdas. Semangatnya yang menggebu begitu terasa ketika menceritakan tentang negerinya yang telah merdeka, namun masih saja banyak tantangan menghadang.
Beberapa meter lagi aku sudah melihat sebuah warung yang ramai, bahkan tampak orang berkulit putih juga makan disana, "Ayo mas Lucas, masuk jangan dilihat terus, kasian perutnya udah keroncongan." ujar Putra dengan kekehan kecil. Aku hanya merespon dengan kekehan kecil juga.
Aku mulai memasuki warung adiknya Putra, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara perempuan.
"Eh, Mas Putra--lho yang di samping mas Putra siapa?"
"Putri kenalin ini mas Lucas seorang turis, Mas Lucas kenalin ini adikku Putri."
"Yaudah mas duduk wae, nanti tak ambilin nasi sama lauknya." ujar Putri lalu berpaling ke arahku, "Mas bule mau pesan apa ya?"
Aku melirik jajaran masakan rumahan yang tersaji di meja. Mataku tertuju pada wadah besar berisi campuran sayuran yang berwarna merah kecokelatan. "Sepertinya aku tertarik dengan itu, kelihatannya lezat."
Putra yang melihat arah yang kutunjukkan langsung berkata antusias, "Benar. Makanan itu bernama gudeg. Khas Jogja, mas. Enakepol pokok'e."
"Berarti mas bule ini pesan gudeg ya, tunggu sebentar." Putri mengangguk kemudian langsung berlalu ke arah belakang untuk menyiapkan makanan kami. Aku dan Putra langsung duduk di tempat yang kosong.
Selang beberapa menit, Putri datang dan membawakan kami makanan.
"Iniloh Mas Lucas, makanan khas dari daerah Yogyakarta yaitu gudeg. Silahkan dicoba." ujar Putri yang menaruh piring penuh berisi makanan.
Sambil melahap pesanan yang tersaji, kami mengobrol banyak hal.
Sejauh ini, kesanku pada pemuda pribumi yang bernama Putra adalah dia merupakan satu diantara orang-orang yang berpikiran maju. Dia begitu tertarik pada kehidupan di luar negerinya. Tentang sekolah-sekolah dengan perpustakaan besar, kanal-kanal yang menjadi lalu lintas kota, tentang salju, musim gugur, dan banyak hal. Namun sayang, obrolan kami harus terhenti karena waktu telah petang.
Bahkan anak itu bersikukuh mengantarku hingga sampai di depan hotel merdeka.
"Kami pribumi terlalu terbiasa bergerak pada malam hari, Mas. Kalau ada orang yang salah kira seperti tadi, itu berbahaya." katanya santun.
Sejak saat itu, aku sering mampir ke warung keluarga Putra.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
6 Desember 1948
"Bagaimana Mr. Lucas? Kau menikmati kota ini bukan?" Mr. Critcley berkata ketika kami dan orang-orang Australia lain tengah makan malam.
Aku mengangguk. "Kota ini begitu luar biasa. Saya mengobrol banyak hal dengan seorang pemuda keraton tadi siang. Dan... Oh ya, makanan khas kota ini juga sangat lezat. Kalau tidak salah namanya gudeg."
"Ya benar. Gudeg sangat enak." Timpal salah seorang wartawan lain, "juga sangat murah."
Obrolan ringan di meja makan perlahan berubah membicarakan hal yang lebih serius.
"Ada indikasi bahwa Belanda akan kembali melanggar perjanjian Renville, seperti yang mereka lakukan pada perundingan Linggarjati dan mengabaikan KTN." Mr. Critcley menjelaskan.
"Saya sudah mendengar mereka mulai memberlakukan garis demarkasi Van Mook." ucap Josh, wartawan lain.
"Kalau bisa, Josh, pergilah ke tempat batas-batas garis itu. Apabila garis itu memang melanggar perjanjian Renville, itu dapat menjadi kesempatan bagi Indonesia mendapat suara dalam sidang PBB."
"Saya akan segera ke sana besok."
"Baiklah, kalau begitu, kau, Lucas." Mr. Critcley berpaling ke arahku. "Kau carilah info mengenai kabar yang beredar di masyarakat serta tanggapan mereka Kalau-kalau Belanda kembali melakukan serangan. Cari tahu apakah Indonesia sudah siap bila kemungkinan terburuk itu terjadi. Sementara itu aku akan berusaha membicarakan ini bersama Letnan Kolonel Soeharto dan Sultan."
"Laksanakan." aku mengangguk mantap. Aku memang lama kelamaan muak pada bangsa penjajah itu. Sudah tiga abad... Dan mereka tidak pernah merasa cukup. Apakah kewibawaan bangsa itu masih tersisa D kalau cara memperoleh kejayaannya dengan memeras bangsa lain? Di sisi lain, aku juga penasaran dengan reaksi pemuda itu tentang ini.
Ya, aku akan menjadikan Putra sebagai narasumberku kali ini.
"Ada suatu kabar yang mengejutkan." kata Mr. Critcley setelah kembali dari mengangkat telepon. "Presiden Soekarno telah ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka."
Astaga.
"Dengan kata lain... Apakah Indonesia sudah tidak memiliki pemerintahan?" tanyaku lumayan panik.
Critcley tersenyum, "Tidak. Pemimpin negeri ini tidaklah bodoh. Ada pemerintahan darurat yang berhasil dibentuk secara rahasia. Dengan itu, Indonesia masihlah negara yang berdaulat."
Ruangan sedikit riuh oleh ucapan lega.
"Kita harus berjuang lebih keras."
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
3 Januari 1949
Seperti dugaanku, perjanjian Renville kembali tidak diindahkan oleh mereka. Belanda memulai penyerangan lewat lapangan terbang Maguwo pada 18 Desember 1948 dengan pernyataan bahwa mereka tidak lagi terikat dengan. Perjanjian Renville dan diikuti Agresi Militer keduanya yang mereka sebut dengan "Operasi Gagak" pada 19 Desember 1948. Critcley menyuruh kami, para wartawan agar kembali ke Jakarta demi menghindari pertempuran yang berbahaya. Baru setelah keadaan mulai stabil, kami kembali ke Yogyakarta untuk melanjutkan tugas.
Seperti biasa, aku mampir ke warung Putri. Namun tak ditemukan Putra di sana.
"Sudah lama ndak mampir, mas."
"Iya. Kemarin sempat ke Jakarta karena ada urusan."
Putri berkata, kalau Putra tengah pergi ke perkumpulan tentara.
"Oh, kakakmu juga seorang pejuang?" tanyaku antusias. Kukira dia hanya seorang abdi dalem keraton yang tertarik dengan dunia luar.
Putri mengangguk. "Mas Putra itu rajin sekali mas, gigih. Dia benci sekali dengan bangsa Belanda, terutama setelah agresi lalu. Makanya dia begitu semangat begitu Sultan mengumumkan perlawanan."
"Wow, perlawanan?" sudah kuduga bangsa ini takkan tinggal diam.
"Kalau tidak salah mas Putra bilang begitu kemarin."
"Kira kira Putra pulang kapan ya? Saya mau berbicara dengannya sebentar."
"Mungkin nanti sore mas, kalau mau bisa Berjalan-jalan di sekitar sini dulu."
Aku mengangguk, ide yang bagus.
"Kalau begitu saya pamit dulu ya, kapan-kapan saya kesini lagi."
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
27 Februari 1949
Hari ini dingin, tapi tetap tidak sedingin musim bersalju di negeriku. Indonesia memiliki iklim tropis yang benar-benar cocok bagi kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Negeri yang kaya. Pantas banyak yang ingin merebutnya.
"Australia juga memfasilitasi pergerakan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah negara yang berdaulat..."
Seorang profesor delegasi Australia berbincang panjang lebar dengan salah satu menteri kabinet. Aku ditugaskan untuk meliput momen berharga ini.
"Kita tidak lebih dari menawarkan pasokan obat-obatan, menyediakan pangan karena adanya kekurangan pasokan beras di Jawa saat itu, juga adanya permintaan menyelesaikan masalah dan upaya perdamaian..."
Profesar itu benar. Kita tidak bisa membantu Indonesia di segala aspek. Mereka hebat karena persatuan dari dalam tubuh bangsa sendiri, bukan luar.
Aku yakin negeri ini kelak akan menjadi negara yang besar yang mandiri. Pasti. Suatu hari nanti.
"Perubahan yang besar, tidak hanya dalam hal pemerintahan, tetapi warganya sendiri dalam menjalankan negaranya, dihargai secara diplomatis sebagai bagian dari PBB,
"...seperti anak kecil yang terus berkembang dan lari mengurus dirinya sendiri, mungkin itulah analogi saya memaknai kemerdekaan," tutup Sang Profesor dengan wajah berseri.
Aku menghampiri para petinggi yang telah lebih dulu dikerumuni para wartawan. Tubuhku terhimpit orang yang berrbut mendekati tokoh penting kedua negara.
"Ah! Tuan Lucas!"
Panggilan seseorang membuatku menoleh ke belakang.
"Tuan Critley!"
Dia orang yang pertama kali menyambutku sewaktu sampai dari Australia.
"Mengapa kau sulit-sulit seperti itu? Kemarilah. Kau bisa mewawancarai mereka nanti saja."
Akhirnya aku lepas dari sesaknya badan para pencari berita. Sesuai ajakannya, aku menghampiri Tuan Critley.
"Mau minum teh?" ajaknya tanpa ragu.
"Tentu," jawabku singkat.
Kami pun berjalan melewati lorong gedung yang cukup terawat ini hingga akhirnya sampai di ruangan khusus bagi para petinggi negeri.
"Kudengar teh hijau dari Jepang baik untuk kesehatan. Mau coba?" ujar Tuan Critley setelah menyamankan diri di sofa beludru. Usai berkata begitu ia meminta pelayan yang menghampirinya untuk membawakan dua cangkir teh hijau.
Kemudian kami diam cukup lama. Masing-masing dari kami sibuk pada pikiran sendiri.
Tak butuh waktu lama, akhirnya teh hijau pesanan Tuan Critley telah tiba. Syukurlah. Setidaknya ini dapat memotong keheningan yang menyeramkan tadi.
"Kau harus terus meliput," ujarnya tiba-tiba. Aku hampir tersedak saat menyeruput teh hijau yang masih panas ini.
"Ada banyak kisah perjuangan menarik di negeri ini. Darah, airmata, pekik perih, serta kumandang semangat yang terus bergema di setiap penjuru, telah menjadi hampir bagian keseharian mereka.
"354,5 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sudah banyak bangsa asing yang menjajah tanah ini. Meski begitu, betapa hebatnya mereka mempercayai kita sebagai teman yang akan membantu.
"Karena itu, kau harus terus mengabadikan setiap perjuangan dalam tulisanmu, agar kisah kehebatan negeri ini terus terkenang di bumi."
Agar semua orang terus mengenangnya. Karena tulisan adalah warisan yang abadi, agar kisah kisah yang terjadi dapat terus hidup.
Aku mengerti.
Ini bukan sekedar tentang pekerjaan atau hubungan pertemanan dua bangsa.
Lebih dari itu.
Mengingatkan kepada generasi kelak, bahwa di bumi ini ada bangsa yang memiliki ikatan persatuan dan kesatuan yang luar biasa, walau perbedaan diantara mereka sangat jelas adanya, bangsa besar yang tak pernah ragu untuk melawan dan mempercayai.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
28 Februari 1949
"Memang apa arti kemerdekaan bagimu?"
"Nopo nggak mas? Saya sendiri juga bingung, " Putra nyengir, "Enggak dong, bercanda mas. Yang pasti, kemerdekaan kami akan direbut kalau kami berhenti berjuang."
Logat Jawanya masih kental sekali meski bahasa Indonesianya cukup lancar.
"Jadi kau rela mati sebagai prajurit?"
"Ketika kami memutuskan untuk menjadi prajurit, kematian adalah konsekuensi paling besar, dan sangat mungkin terjadi terhadap kami. Meskipun itu, setiap prajurit hebat pasti memendam impian yang sama : yaitu mati dengan kehormatan dan menjadi saksi bahwa kamilah yang menjadi pasak-pasak berdirinya negeri ini. Aku juga ingin pesanku tentang kemerdekaan ini tersampaikan. Pesan yang secara nonverbal kami selipkan dalam perjuangan."
Alisku bertaut, "Pesan?"
"Mas akan tahu setelah melihat prajurit meregang nyawanya dalam perjuangan."
"Kau tidak berniat benar-benar mati, kan?" aku mencoba mencairkan suasana yang mendadak tegang, "aku masih ingin makan setengah harga di warung ini. Ahahah."
Oke, bercandaku tidak lucu. Keluarga Putra benar-benar baik karena memberikanku harga yang lebih murah dari pelanggan lain, tapi aku malah terkesan memanfaatkannya. Meski upahku cukup besar, tetap saja aku masih punya keluarga yang harus dinafkahi di negeriku.
"Ealah Mas.. Mas..." Putra terkekeh menyahuti lawakanku yang sama sekali tidak lucu. "Ndak papa to mas, mas Lucas ini temen saya kok. Sante wae mas, besok beberapa tahun lagi misalnya kalau mas udah balik ke luar negeri, terus mampir di warung ini, tinggal bilang wae kalau mas ini kenalan saya, bisa jadi dikasi gratis loh mas, hehehe."
Aku ikut terkekeh, lalu kembali menyeruput teh manis hangat yang tersuguh di hadapan.
"Besok ada komando penyerangan besar dari Sultan dan Pak Soeharto. Kali berniat menyerang balik mereka. Mohon doanya, Mas Lucas."
Seperti biasa, dia selalu mengatakan padaku setiap kali akan terjadi penyerangan. Sama sekali tak ada ketakutan dalam hatinya ketika mengatakan itu padaku. Putra mempercayaiku seutuhnya.
"Semoga berhasil seperti biasa." Aku berkata sambil tersenyum.
"Omong-omong, Mas Lucas sudah lama sekali di sini. Kerja nopo, toh?"
Pertanyaannya berhasil membuatku gelagapan. Kalau Putra tahu aku jurnalis, apa dia masih akan percaya padaku? Bisa saja aku menyebarluaskan rencana geriliyanya pada khlayak.
"A-anu..."
Wajah Putra kentara tampak menanti jawaban. Bagaimana ini?!
Putra telah jujur padaku. Lebih baik aku juga jujur padanya.
"Aku seorang-"
"Mas Putra! Istirahate sampun, to? Mboten balik?"
Suara Putri menginterupsiku. Putra yang terkejut langsing menepuk jidatnya.
"Ealah! Kang Mas lali! Kulo balik rumiyin, nggih, Mas Lucas! Haduh, ngko aku dihukum komandan piye iki? Yo wis, Mas balik kerja meneh." Putra cepat-cepat menyeruput habis tehnya.
"Berangkat sekedap nggih, Putri, Mas Lucas!" katanya sambil mencomot sebuah tempe goreng dari piring.
Dia menepuk punggungku, kemudian berlalu meninggalkan aku dan Putri yang menggeleng-geleng tak percaya pada sifat pelupanya.
Terima kasih, Putri. Kau penyelamatku!
Omong-omong aku sudah tiga bulan di sini. Dan tiga bulan ini pula, aku sudah menjelajahi banyak sisi dari kota ini. Termasuk reaksi rakyat dari berbagai kalangan bila saja Belanda akan merebut kembali Indonesia. Banyak diantara mereka--terutama kaum muda--begitu berapi-api untuk berbalik menyerang dan bertahan. Sementara itu, dari kalangan wanita dan orang tua, banyak yang merasa was was. Korban di masa lalu sudah tak terhitung jumlahnya, mereka tidak ingin merasa sakit yang sama lagi.
"Putri, Aku pulang dulu!"
"Eh! Mas Lucas pulang, yo? Ati-ati, Mas!"
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
1 Maret 1949
Pukul 06. 00, saat sirine penanda jam malam berakhir dinyalakan, pasukan Indonesia menyerang pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Kolonel van Langen. Pasukan Belanda tersebut adalah brigade T yang sebagian anggotanya terdiri dari tentara KNIL yang sudah tidak begitu mempercayai Belanda. Oleh sebab itu, saat pasukan Indonesia menyerang gudang amunisi, tentara KNIL yang berjaga tidak dengan serius mencegah mereka dan membiarkan gudang amunisi milik Belanda tersebut jatuh ke tangan Indonesia. Letkol Soeharto sebagai komandan tertinggi serangan ini, masuk ke dalam kota melalui arah barat. Dalam waktu satu jam, Letkol Soeharto sudah memasuki jalan utama Yogyakarta, yakni Malioboro, dan secara langsung pula memimpin pasukan-pasukan di bagian barat. Meski serangan di sektor utara tidak selancar rencana, namun mereka berhasil menghadang bantuan untuk Belanda dari arah Maguwo.
Pada puku 12.00 siang, dari arah utara datang bantuan bagi Belanda. Bantuan tersebut datang dari Magelang dan Gombang berupa dua Batalyon KNIL yakni Anjing NICA dan Gajah Merah di bawah komando Brigade Kolonole van Zanten. Secara perlahan, dalam waktu satu jam, tentara Indonesia mundur dan meninggalkan Yogyakarta. Sementara itu, di Playen, Gunung Kidul, dengan menggunakan radio AURI PC 2, Budihardjo telah mengirim morse kepada pemerintah di Bukit Tinggi mengenai serangan besar tersebut. Dilanjutkanlah siaran tersbut ke Birma, India, dan berakhir di New York, markas besar PBB.
Serangan berakhir dengan jatuhnya korban dari pihak Belanda yaitu 6,orang tewas dan 14 orang luka-luka, sementara dari pihak Indonesia tercatat 300 prajurit gugur, 53 polisi gugur, dan jumlah rakyat yang ikut gugur tidak bisa dihitung secara pasti.
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
3 Maret 1949
Kami dilarang keluar dari hotel kemarin karena keadaan terlalu genting. Barulah pada hari ini, aku dapat keluar dengan tetap membawa identitasku sebagai wartawan.
Seperti biasa, warung gudeg milik Putri yang menjadi tujuanku. Sambil berjalan, kuperhatikan jalanan dan suasana kota yang lumayan perak poranda. Kemarin terjadi peristiwa besar di Kota ini, berutung hotel tempatku menginap sudah memperbolehkan para tamunya keluar.
Kejadian penyerangan kemarin akan menjadi berita teraktual hari ini jika aku berhasil meliput hasilnya dan menyerahkannya ke Koran Negeri. Tetapi, untuk saat ini ada satu tempat yang harus kukunjungi lebih dulu.
Bangku paling pinggir menjadi tempatku biasa duduk di warung adik temanku.
"Putri!" Aku memanggil gadis pribumi yang sedang asyik berkutat di di dapur itu, mengisyaratkan kedatanganku lewat panggilan barusan.
Tak butuh waktu lama putri segera menghampiri.
"Gudeg seperti biasa," ujarku sambil mencomot sepotong tahu isi yang tak jauh dari jangakauanku.
Putri hanya mengangguk, lantas kembali ke tempatnya.
Hanya perasaanku saja atau gadis itu memang terlihat sangat lesu hari ini. Tidak seperti Putri yang sehari-hari ceria. Apa dia sakit?
"Masmu tidak mampir hari ini, Put?" Basa-basi sedikit kuharap dapat membuatnya lebih baik.
Eh? Dia tidak menjawab?
"Putri. Masmu masih kerja?"
Putri kembali diam. Aku tidak yakin Putri tidak mendengar ucapanku yang cukup kencang tadi.
Kuperhatikan punggung Putri dari sini. Bahunya bergetar. Ada apa dengannya.
Rasa penasaran merasuki pikiranku. Kupaksakan kakiku mendekati gadis itu. Beruntung jam segini warung sedang sepi. Tak ada yang akan berpikiran macam-macam padaku. Aku tidak sempat berpikir mengapa tak ada orang selain aku di warung ini.
"Putr-"
Menangis. Putri menangis!
Firasatku buruk. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
"Ada apa denganmu, Putri?"
Pertanyaanku dijawab dengan desakan air mata yang semakin deras di pipinya.
"Tenanglah...." Kuharap jariku yang menyeka air matanya dapat meredakan tangisnya.
Putri meraih kumpulan kertas abu-abu di sampingnya, lalu memberikannya padaku.
Koran terbaru. Beritanya tentang kejadian kemarin. Ya ampun aku kecolongan start.
Tunggu. Itu tidak penting. Sekarang yang terpenting adalah beritanya.
300 prajurit mati, puluhan warga tewas, ... ...
...
....
Tidak. Mungkin.
Jangan ... Bilang ....
"I-ini...."
"Mas Putra gugur dalam perang."
Suaranya masih terdengar sesenggukan, meskipun beberapa kata itu berhasil membelalakkan mataku.
Tubuhku membatu tanpa mampu berkata apapun. Lututku melemas, bila tak berpegang pada dinding, badanku pasti sudah jatuh di lantai kayu. Bagai sambaran petir yang menghujam jantung, ada rasa sakit yang menyeruak kala kabar terburuk itu memasuki telingaku.
"Mas prajurit hebat," Putri menarik napas sejenak meredakan desakan tangisnya, dan usaha itu tak berhasil. Yang ada, isaknya semakin menjadi. "Dia gugur demi negara. Demi merdeka. Demi aku."
Rasanya, ingin kurengkuh gadis muda itu dalam dekapanku. Tak apa kan?
"Mas Putra masih muda...."
Dan pandai, dan bercita-cita tinggi, penuh mimpi dan harapan. Aku yakin dia akan menjadi orang besar suatu saat nanti.
Tapi suatu saat nanti itu tidak pernah ada....
"Y-ya... Kau benar..." Aku hanya tidak tahu harus menjawab apa. Pikiranku dipenuhi kilasan memori dengan Putra, pribumi pertama yang berbuat baik kepadaku. Kata-katanya yang santun, sikapnya yang berwibawa, wajahnya yang ceria, siapa sangka dia baru berumur sembilan belas tahun?
Gawat, mataku memanas. Aku tidak boleh menangis di hadapan Putri.
"Sekarang..., " kataku serak, "apa Putra sudah di kebumikan?"
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
1 Maret 1950, Melbourne, Australia.
Cahaya matahari pagi menerobos kaca jendela, jatuh di atas kertas buram koran yang tengah ku baca di ruang tamu.
"Lucas, ini kopimu." seorang gadis berambut pirang, meletakkan kopi di meja samping tempat dudukku.
"Terima kasih, Anne." Aku mengangguk, lalu menyeruput cairan itu perlahan.
"Masih membaca koran lama itu?" Anne, adikku, bergerak mendekat. Ditatapnya kertas besar di tanganku lekat, "Ini kan koran setahun lalu, beritanya sudah ketinggalan jauh sekali."
"Bukan soal itu, Anne," aku menutup koran, merubah posisi duduk, "Aku membaca koran ini, karena aku ingin memperingati sesuatu."
"Apa itu?"
Aku tersenyum, menatap lalu lalang jalanan Melbourne yang ramai dari balik jendela kaca. Kilasan memori di masa lalu berputar begitu jelas.
"Mas Lucas itu orangnya kritis sekali sepertinya." Putra berkata tatkala menemaniku berjalan di daerah pasar dan orang kecil.
"Kenapa kau menyimpulkan seperti itu?"
"Dari tadi saya perhatikan Mas Lucas menulis apasaja yang menarik, eh benar kan? Jangan-jangan mas Lucas ini penulis buku ya?"
Aku menggaruk rambut yang tidak gatal, "Ya--bukan sih, tapi semacam itu--"
"Mas Lucas penulis?!" Putra langsung berhenti di depanku, matanya hitam khas Asia-nya berbinar penuh semangat.
"Pekerjaanku menulis, tapi--"
"Wuoh, berarti aku duwe konco penulis bule!"
Alisku bertaut mendengar ucapannya, "Maaf, tadi kamu bilang apa saja?"
Putra terkekeh, "Ternyata mas Lucas penulis, saya kagum sama orang yang pintar menulis. Ooh, berarti mas Lucas ke Indonesia bukan cuma jadi turis? Tapi sekalian membuat buku?"
Aku tidak yakin dia mengatakan kalimat sepanjang itu menggunakan bahasa Jawa tadi. Tapi pemikiran Putra tentang aku yang seorang penulis...
"Mengapa kau kagum dengan penulis?" tanyaku, "mengapa kau tidak mencoba membuat buku saja?"
"Wah, wong cilik seperti saya masa jadi penulis, mas, hehe." katanya tertawa. "Saya ikut berjuang dengan menjadi tentara saja bangganya luar biasa. Apalagi jadi penulis mas. Penulis itu orang yang pintar. Merangkai kata demi mencapai semua orang memahami maksud kita 'kan sulit mas, harus membaca banyak buku. Sejujurnya, saya ingin jadi penulis, mas."
"Tinggal jadi penulis saja, kan, Put?"
"Maunya, hehe. Membayangkan tulisan saya tentang bangsa ini mencapai kemerdekaan, menjadi saksi abadi perjuangan." Putra menatap langit, membayangkan impiannya satu persatu mulai tercapai.
"Berarti mas ini menulis tentang kota Jogja?"
"Semacam itulah."
"Kalau begitu," Putra tersenyum, "Terimakasih sudah mengabadikan kota Jogja, dan Indonesia, mas Lucas."
"Setahun lalu, aku memiliki teman yang hebat."
Anne mengerling, "Setahun lalu, kau bertugas di Indonesia. Temanmu pribumi?"
Aku mengangguk, "Ya, dia pribumi yang keren, aku tidak berbohong. Kalau dia masih hidup, dia seusia denganmu."
"Kalau dia masih hidup?" Bagai tersadar akan sesuatu, Anne menutup kedua mulutnya dengan tangan, "Jangan bilang--"
Aku mengangguk. "Ya. Tepat hari ini. Dalam serangan balasan terhadap Belanda keparat itu."
"Lucas, maaf, aku tidak tahu."
"Tak apa." Aku menyesap kopi hingga tak bersisa dalam cangkir lantas bangkit berdiri dan membuka pintu. "Aku ingin berjalan-jalan."
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
Hari itu, Putri menemaniku ke pemakaman--orang lokal penyebutnya kuburan. Kami berhenti di depan nisan batu yang berada di antara jajaran makam serupa--makam para pejuang bangsa. Aku duduk berlutut, mengusap batu dengan ukiran nama Putra perlahan.
"Putra, kau bilang kau tidak akan mati. Katanya kau berniat memberiku makan gratis di warung Putri?"
Aku menghela napas.
"Tapi, aku bersyukur kau telah mendapat kehormatan tertinggi para prajurit. Menjadi pasak-pasak berdirinya negeri ini, menjadi pahlawan bagi negeri ini, bagi keluargamu, bagi Putri."
Putri kembali terisak. Mataku juga mulai memanas. "Walau negeri ini bukanlah tanah airku, aku berjanji, kematianmu, dan semua prajurit takkan sia-sia. Kami, aku, akan berusaha sebisanya ikut memperjuangkan tanah ini. Dan juga," aku menelan ludah. "Aku akan menuliskan kisahmu."
🇮🇩🇮🇩🇮🇩
"Mr. Lucas!" seseorang memanggilku.
Aku yang tengah berjalan di trotoar jalan, menoleh. Menyipitkan mata melihat seorang pria berlari sambil melambaikan tangan ke arahku.
"Ini aku, Josh, rekan wartawan di Yogyakarta dulu!"
Josh... Ah benar! Sejak Konferensi Meja Bundar di adakan, kami para warta dipulangkan ke tanah air.
"Josh! Lama tak berjumpa!" Aku menjabat tangannya erat, tertawa. "Kudengar kau yang ditugaskan meliput Konferensi akhir itu di Den Haag, apakah benar?"
Josh mengangguk, tertawa, "Artikelmu mengenai perlawanan Indonesia terhadap serangan gagak Belanda sangat keren, sobat, begitu emosional. Kau tahu bahkan sekretaris jenderal United Nation lama sekali menatap artikelmu yang diajukan oleh Mr. Critcley."
"Benarkah?" setelah mengunjungi Putra untuk terakhir kalinya, otakku berpacu dengan cepat menulis sebuah artikel panjang tentang perjuangan. Mr. Critcley yang membacanya untuk pertama kali langsung meminta ijin padaku untuk menjadikan artikel itu salah satu berkas yang akan diikut sertakan dalam konferensi internasional. Yang aku baru tahu, Sekretaris Jenderal membaca artikel emosional itu dengan saksama.
"Ya. Aku tidak berbohong. Dan juga, novel yang kau tulis tentang bocah pribumi yang bermimpi bersekolah di dunia luar... Sungguh awalnya aku tak menyangka itu adalah kau!"
Aku tertawa, "Ah kau bisa saja. Jangan berlebihan."
Sesuai janji, aku menulis sebuah novel berlatar negeri seberang lautan yang bernama Indonesia. Dan novel itu, aku sendiri kadang tidak percaya, berhasil diterbitkan dalam banyak bahasa, termasuk beredar di Indonesia sendiri.
Sambil bercerita mengenang pengalaman saat bertugas dalam peperangan dua bangsa setahun silam, dalam hati, bayangan pemuda pribumi yang berwajah ceria itu terngiang dalam benakku.
Hei Putra,
Apakah kau bahagia di sana? Apakah kau telah mencapai impian tertinggi seorang prajurit?
Aku... Hanya ingin mengucapkan terima kasih kepadamu.
Berkat kau... Diriku yang sekarang dapat menjadi seorang yang mengabadikan sebuah kisah dalam sejarah. Kisah yang akan selalu terkenang, tak akan habis tergirus alur waktu. Karena, sesuai perkataanmu, menjadi seorang penulis adalah saksi abadi perjuangan.
Dan buku pertama yang aku tulis, akan menjadi saksi abadi perjuanganmu, untuk negeri.
It's not about winning the battle, but it Is all about the message.
-Serangan Umum 1 Maret 1949-
-Remember His Story -
---------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top