[3.3] Hermes Squad : Story Part 2
Perjalanan ke desa yang Rutt ceritakan semalam kami mulai setelah pertengkaran kecil tadi.
Tujuan kami gadis yang bernama Althea Ataraxia, dan Rutt berkata kemungkinan besar ialah pemilik senjata yang kucari.
Jujur saja, aku ingin segera menemui gadis itu. Bukan hanya untuk meminta bantuannya, tapi aku juga ingin memastikan apa benar dia gadis yang pernah kulihat dulu.
Aku memacu kuda dengan cepat, di belakang Rutt dan Leona berboncengan karena Rutt tidak punya kuda. Setelah beberapa menit berlalu, kami menghentikan kuda di salah satu rumah berukuran sedang.
Rutt mengetuk rumah itu. "Al, kau di rumah?"
"Ya. Tolong tunggu sebentar," ucap seseorang dari dalam.
Pintu dibuka dan menampilkan gadis yang terlihat sangat manis. Ia mengulas senyum manis ke arah Rutt.
"Ah, Rutt!" Sapa orang itu.
"Yo, Al. Ada yang menginginkan bantuanmu di sini." Rutt membalas sapaan orang itu dan menunjukku.
Gadis itu keluar dari rumahnya dengan senyum yang manis. Rambut dan matanya yang indah membuatku tak berkutik. Apakah ini yang dikatakan bidadari yang jatuh dari surga?
Tak salah lagi! Dia pasti gadis waktu itu. Aku berjalan kearahnya dan memegang tangannya. "Kau, 'kan!" Seruku.
"Maaf?" Dia tersenyum bingung memiringkan kepalanya sedikit.
"Hei, bukankah kau anak raja? Apakah kau tidak tahu sopan santun?" Cerocos Rutt dengan santainya. Aku tersentak, melepaskan tangan gadis ini.
"Ah. Maaf atas ketidak sopananku, nona." Aku membungkuk meminta maaf.
"Tidak apa. Ada apa ya?" Tanya gadis itu hati-hati.
"Sebelum itu, biarkan kami memperkenalkan diri kami dulu. Saya Azuera Leona, dan lelaki yang bersikap tidak sopan tadi, Pangeran Luciel Arachangel." Leona memotongku yang hendak berbicara dengan tatapannya yang tajam.
Gadis berambut biru itu tersenyum hendak memperkenalkan diri. "Ah, saya Alt-"
"Althea Ataraxia," Potongku sambil tersenyum. Aneh, aku mengingat namanya meski baru sekali mendengar dari Rutt.
Dia terdiam, mungkin di dalam hatinya dia bertanya-tanya. Ah, aku jadi berlebihan karena terlalu semangat.
"Langsung ke intinya saja, kami ingin kau membantu kami." Leona menjelaskan masih dengan tatapan matanya yaang tajam.
Leona? Ada apa dengannya? Bukankah dia terlalu terburu-buru?
"Maaf, Membantu apa? Boleh saja, aku akan membantu kalian sebisaku," Ujarnya dengan antusias.
"Kau tahu penyerangan Jormugand di kerajaan, 'kan? Aku mau kau membantu kami melawannya." Leona menjelaskan, tatapannya tak diubah sederajat pun. Althea tersentak, tatapan dan gerakannya berubah.
"Kenapa harus aku?" Tanya Althea dengan sikap yang berbeda. "Maaf, aku tidak bisa." Lanjutnya menutup pintu, untungnya masih bisa ditahan menggunakan kaki Rutt.
"Rutt, apa yang kau lakukan?" Tanya Althea yang berusaha menutup pintu. Ia terlihat berusaha menutup pintu dengan rapat.
"Al, kakiku sakit. Bisakah kau membuka pintu ini dulu?" Rutt juga mencoba membuka pintu itu.
"Kalau begitu pergilah, Rutt!" Seru Althea dari dalam.
Brak.
Bukan suara pintu yang dibanting, itu suara pintu yang ditendang oleh Leona. Ya, Leona yang melakukan itu.
"HEI KAU, GADIS SOK MANIS! BISAKAH KAU KELUAR DAN DENGARKAN PENJELASAN KAMI? KAU ITU HARAPAN TERAKHIR!" Leona berteriak membuat orang-orang yang berlalu lalang di dekat rumah Althea terdiam.
"AKU TIDAK AKAN BERTARUNG! APA PUN ALASANNYA! APA PUN TUJUANNYA! TIDAK MAU! TIDAK AKAN!" Gadis itu berseru-seru dari dalam, sepertinya ia menangis. Aku tahu karena suaranya yang mulai berubah.
Rutt terlihat sangat kesakitan karena kakinya terjepit. Ditambah tadi Leona menendang pintu itu.
"Meskipun itu akan menyelamatkan jiwa orang banyak?" Tanya Leona menunduk.
Tidak ada perlawanan, pintu tidak di tarik lagi. Rutt melepaskan kakinya sebagai penjanggal.
Althea membuka pintu dan tertunduk. "Maafkan aku, tapi aku tetap menolaknya."
"Egois." Satu kata dari Leona membuatnya berhenti bergerak. Dia tidak tergerak sedikit pun, satu kata itu menuncap hatinya.
Sesaat kemudian gadis itu berlari menginggalkan kami. Entah karena apa, kakiku bergerak mengajarnya. Leona terlihat hendak mengejarku tapi di hentikan oleh Rutt.
Sambil berlari aku mengacak rambut frustrasi. Ah ... Kenapa mereka malah bertengkar di saat seperti ini?
Aku berpikir Leona memang tidak salah. Karena aku yakin ia tidak berniat menyinggung perasaan gadis itu. Dia hanya terburu-buru membuat Althea terkejut.
Gadis itu berhenti di sebuah danau, duduk menangis di sana. Aku melangkah pelan mendekatinya. Duduk diam di dekatnya, sambil berpikir apa yang harus aku lakukan.
"Wah ... Tempat ini bagus ya?" Entah apa yang ku pikirkan hingga aku malah membahas soal danau.
"Kenapa kau mengikutiku? Jika kau meminta aku ikut bertarung, maaf aku menolak." Althea hanya diam menundukan kepalanya.
Aku terdiam sejenak, mendengarnya terisak. "Kenapa?" tanyaku halus.
"Perang itu sangat mengerikan! Akan banyak nyawa yang melayang. A-Aku sudah bersumpah untuk menyelamatkan orang lain dengan buku sihir ini. Bagaimana caranya aku melanggar sumpah dan menjadikan buku ini sebagai senjata untuk membunuh!"
Dia berteriak mendongakkan kepalanya dan menatapku dengan air mata yang masih mengalir.
Aku tersenyum. Hatinya terlalu lembut dan naif. Rasanya aku seperti berkaca, dan melihat sosokku dalam dirinya. Tanganku bergerak begitu saja, menyeka air matanya.
"Maaf telah memaksamu untuk terlibat. Tapi, jika kita tidak mengotori tangan kita untuk membunuh, akan banyak rakyat yang tak bersalah kehilangan nyawanya."
Althea nampak menundukan kepalanya lagi. "Aku ingin menyelamatkan banyak orang, tapi aku terlalu takut untuk melukai. Aku selalu takut gagal, dan kehilangan banyak orang. Aku pengecut, tidak berguna."
"Tidak juga," potongku sambil tersenyum. "Kau sungguh hebat. Kau tahu? Dulu sepertinya aku pernah melihatmu di kota. Kau menyembuhkan orang-orang di sana dengan penuh kasih sayang. Bahkan, kau pernah mengobati seorang perampok seperti Rutt tanpa rasa takut. Menurutku kau sangat keren."
Mata Althea membulat, kelihatannya dia terkejut mendengar ucapanku. Dia segera menggeleng. "Tapi aku ini egois."
"Aku juga. Aku pangeran yang sangat egois, juga penakut." Aku terdiam sejenak, memandang Althea tajam.
"Tapi meski punya banyak kekurangan aku akan berjuang untuk melindungi rakyatku sampai mati," sambungku.
"Bagaimana jika kau gagal dan justru melukai banyak orang?"
Aku tersentak dan terdiam cukup lama. Pertanyaan Althea membuatku termenung cukup lama. Bahkan aku sendiri tak tahu jawabannya. Aku belum bersiap untuk kalah, dan tak tahu harus bagaimana jika sampai kalah.
"Aku tidak tahu."
Aku kembali terdiam, membuat Althea nampak bingung. Aku sedikit menundukkan kepalaku, lalu kembali menengakkannya menatap gadis dengan tatapan serius tanpa ragu.
"Bagiku, sekarang yang terpenting adalah berjuang untuk menyelamatkan rakyat. Soal berhasil atau tidak itu masalah takdir. Tapi, dengan bantuan kalian aku yakin kita pasti menang. Jadi kumohon, ikutlah bersamaku."
Althea masih saja menatapku, aku jadi khawatir kalau dia menolak.
Tanpa kuduga Althea tersenyum, tangannya terulur. "Berjanjilah akan membuat sebuah negeri yang damai, Pangeran. Maka aku akan dengan senang hati mengorbankan nyawaku untuk membantumu."
Aku terdiam, memandang senang tangan kecil yang terulur di depanku. Kuraih tangan itu dan tersenyum tulus.
"Terima kasih Al," ucapku membuat gadis itu bersemu.
----------------------------------------------
Meyakinkan Al memang menghabiskan waktu yang cukup lama. Maka dari itu, kami bergegas kembali ke ibu kota.
Rutt masih naik kuda bersama Leona. Sedangkan aku harus membagi kudaku untuk Althea. Tak apa, aku tidak menyesal.
Perjalanan kami lalui dengan sangat canggung. Tak ada satu pun dari kami yang berbicara, Leona kelihatannya masih kesal dengan Al.
Sedangkan Al terlihat murung dan belum bisa menyesuaikan diri. Sungguh, suasana seperti ini membuatku jadi cepat lelah.
"Hei, mau istirahat dulu?" tanya Rutt. Aku pun menghentikan kudaku dan mengangguk.
Kami beristirahat di hutan. Sebelum matahari terbenam, aku mengumpulkan ranting kering dan berusaha membuat api unggun.
"Ah aku lapar," keluh Rutt sambil memegangi perutnya.
Althea terkekeh dan menjawab, "kalau ada bahan makanan aku bisa memasak."
Rutt terlihat girang mendengar ucapan Althea. Dia langsung menarik tangan Leona.
"Ayo kita cari bahan makanan! Dengan panahmu kita bisa berburu!" seru Rutt bersemangat.
"Haruskah kau mencarinya bersamaku?" Leona mengeluh, tapi apa gunanya? Toh, ia tidak bisa melawan Rutt.
Mereka pergi meninggalkan aku dan Althea dengan suasana yang masih canggung. Rutt sialan.
"Pangeran Ciel, kurasa aku harus mencari air. Aku pergi dulu ya," ucap Al menunjuk botol yang ia pegang.
Aku membalasnya hanya dengan anggukan singkat dan membiarkannya pergi. Sebenarnya aku ingin menemaninya, tetapi bodohnya aku yang terlalu malu untuk menawarkan diri.
Aku menunggu yang lain kembali dengan meniup-niup api unggun agar membesar. Aku tidak akan membiarkan api ini mati di tengah malam.
"Ah, panas!" Pekikku sakit saat kobaran api tak sengaja mengenai jari tanganku.
Aku mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengurangi rasa sakit. Tanganku sedikit melepuh, kini aku mengakui bahwa seorang Pangeran sepertiku memang payah dalam pekerjaan semacam ini.
"Kau baik-baik saja?" Aku segera menoleh dan melihat Al yang baru saja kembali, dia nampak khawatir saat aku meringis.
"Hanya sedikit terbakar," Jawabku memaksakan senyum.
Al meletakkan air yang dia bawa dan duduk di dekatku, tangannya meraih tanganku dengan lembut. Dia memegang tanganku pelan, bibirnya mulai bergerak merapalkan sesuatu. Tak lama tanganku diselimuti cahaya aneh, dan rasa sakitnya berangsur-angsur menghilang.
"Lain kali berhati-hatilah, Pangeran. Jangan sampai terluka bahkan sebelum berperang," ucapnya masih memegang tanganku.
Aku mengangguk, tersenyum canggung. Al masih sibuk memperhatikan tanganku, menunggu proses penyembuhannya selesai.
"Al," panggilku pelan. Al pun mulai menatapku dengan manik ungunya yang terlihat dalam.
"Pa-panggil aku Ciel saja seperti yang lain," lanjutku gugup.
"Baiklah Ciel," jawabnya. Kami pun saling menatap dan tersenyum.
"Kami sudah selesai berburu, cepatlah memasak." Entah sejak kapan, Leona datang membawa dua ekor kelinci. Di belakangnya Rutt membawa beberapa umbi-umbian.
"Baiklah. Tunggu sebentar," jawab Al sambil memperhatikan tanganku.
"Tanganmu sudah sembuh Ciel," ucapnya lalu melepas tanganku. Ia mulai memasak.
Entah ini perasaanku saja, atau Leona memang sedang terlihat kesal ya? Rutt juga terlihat bingung melihat Leona, sama sepertiku.
Setelah menunggu lama akhirnya Al selesai memasak. Kami memakan masakan Al dengan lahap, terutama si Rutt.
"Untunglah ada kau! Kita jadi bisa makan enak!" ucap Rutt bersemangat.
Al tertawa kecil, menyodorkan segelas air pada Rutt. "Kau ini, makanlah dengan pelan atau kau akan tersedak," ucapnya sambil tertawa.
Entah mengapa, ketika aku melihat Al berbicara dengan Rutt ia terlihat sangat ceria.
"Kalian sangat dekat ya?" tanyaku penasaran.
"Karena Al menyelamatkanku, kami jadi berteman. Dan karena dia lebih muda, aku menganggapnya sebagai adik," jelas Rutt bersemangat. Al pun mengangguk setuju.
"Eh ... Memangnya berapa usiamu?" tanyaku pada Al.
"15 tahun." jawab Al.
"Hee, kau masih anak-anak rupanya. Pantas saja sikapmu tadi sangat tidak dewasa dan egois. Haah, setidaknya aku setahun lebih tua darimu. Sikapku juga jauh lebih dewasa," Sambung Leona bangga.
Aku dan Rutt memasang wajah panik, ucapan Leona tadi sangat berpotensi menimbulkan pertengkaran.
"Hahaha!" Tanpa kami duga Al justru tertawa kencang.
"Syukurlah kau sudah mau bicara padaku. Maaf, tadi aku sempat membuatmu kesal. Nona Azuera," ucap Al masih tersenyum.
Leona terdiam sejenak, pipinya nampak memerah. "Lupakan saja aku juga salah, seharusnya aku tidak berteriak memaksamu. Ini adalah perang pertamamu, jadi pasti sangat berat bagimu. Maaf ya, Al."
Jeda sebentar, Leona melanjutkan ucapannya, "Ngomong-ngomong, kau juga boleh memanggilku Leona."
Al mengangguk senang mendengar ucapan Leona. "Um, Leona!"
Syukurlah mereka akhirnya bisa lebih akrab.
"Wah jadi kau yang paling muda ya Al, mmmm ..." Rutt bergumam pelan dan menatapku. Seketika senyuman jail terpasang dari sudut bibirnya.
"Kalau begitu hati-hatilah dengannya, dia jomblo 19 tahun yang suka mengincar anak yang lebih muda. Leona juga hati-hatilah padanya," ucap Rutt mengejek sambil menunjuk nunjuku.
"Hei, tidakkah kau punya kaca? Lebih muda setahun saja bangga!" seruku tak mau kalah.
"Ahahah, Al hati-hatilah pada dua orang aneh itu," ucap Leona tertawa terbahak-bahak.
"Tapi jangan khawatir, kakak ini pasti akan menjagamu!" seru Leona lagi sambil memeluk Al, membuatku iri.
Al tertawa begitu lepas. Melihatnya tertawa seperti itu membuat perasaanku senang, perlahan-lahan wajahku menghangat.
"Wajahmu seperti tomat Ciel," bisik Rutt membuatku terlonjak kaget.
"Hah? Jangan dekat-dekat, bodoh!" Seruku risih.
Malam semakin larut, kami pun mulai tidur beralaskan tikar sederhana. Beruntung kami masih punya dua buah selimut. Leona memakai selimutnya dengan Al, sedangkan aku yang sedang sial harus berbagi selimut dengan Rutt.
Al dan Leona nampaknya telah tidur karena kelelahan, aku dan Rutt memutuskan tetap bangun untuk berjaga.
"Kau menyukai Al?"
Aku terkejut dengan pertanyaan Rutt dan tidak menjawabnya.
"Jika sudah menyukai satu gadis, jangan sampai kau memberi harapan pada gadis yang lain Ciel. Itu akan melukai keduanya," ucap Rutt dengan wajah serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku menatap Rutt bingung. Kini ia menatap Leona dengan tatapan mata yang berbeda dari biasanya. Ah ... begitu rupanya.
----------------------------------------------
Tujuh hari perjalanan memang melelahkan. Tapi aku sama sekali tidak terasa lelah, karena kami berempat sudah mulai akrab.
Kami memutuskan untuk singgah sejenak di pinggiran kota Alexandria. Mengumpulkan tenaga sebelum benar-benar sampai ke istana.
Dan kami juga memutuskan menyewa penginapan yang berada di sekitarnya. Mungkin sekarang aku mulai terasa lelah karena sedari tadi aku hanya melihat Rutt yang terus-terusan menggoda Leona.
Ayolah, dilihat darimana pun sudah jelas jika Rutt menyukai Leona. Buktinya, Rutt terus tersenyum jika ia melihat Leona yang tersenyum.
Aku izin keluar sebentar untuk melihat bintang. Entahlah, hanya saja jika aku melihat bintang perasaanku menjadi lebih senang.
Aku melangkah pelan, merasakan angin malam yang menusuk kulit. Malam ini sangat sunyi.
"Al?" Aku dikejutkan oleh orang yang telah mendahuluiku dan berdiri di teras penginapan ini.
Dia menoleh kearahku, tersenyum dengan manisnya. Membuat napasku terasa berat. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Melihat bintang, kau sendiri?"
Aku tersenyum canggung. "Itu niatku."
Al kembali tersenyum. "Mereka bersinar di tengah kegelapan. Bukankah cahayanya terlihat seperti setitik harapan?"
Aku menatap langit cerah dengan jutaan bintang. "Um, kau benar." Aku terdiam cukup lama, sesekali kulirik Al.
Entah apa yang kurasakan saat ini. Dadaku terasa sesak, seolah ada sesuatu yang memaksa untuk dikeluarkan. Namun tiap ingin mengatakannya, napasku tercekat. Perasaan aneh ini terasa menyenangkan, sekaligus menyakitkan.
Aku menyukai Al. Tapi di saat bersamaan, aku tak ingin jatuh hati pada siapapun. Karena hidupku, hanyalah demi menyelamatkan rakyatku.
Tanpa sadar tanganku bergerak mencoba menyentuh wajah Al yang tengah mendongak melihat bintang.
"Ada apa Ciel?" Aku tersentak saat Al tiba-tiba menoleh. Tak sengaja pipi Al menyentuh ujung jariku. Membuat kami sama-sama terlonjak kaget.
Aku terdiam sesaat, batinku mengolok-ngolokku dan mencoba memikirkan apa yang Al pikirkan.
"Ehem, maaf mengganggu."
Aku dan Al langsung menoleh dan mendapati Leona yang berdiri di depan pintu menatap tajam kami. Karena tatapan Leona kami langsung gugup dan salah tingkah.
"Ah tak apa Leona, tidak mengganggu kok. K-kalau begitu Ciel, Leona, aku tidur duluan ya." Al tertawa gugup dan beranjak masuk ke dalam.
Leona pun mulai berjalan mendekat kearahku.
"Ciel, kau menyukainya?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan Leona yang mirip pertanyaan Rutt tempo hari. Dan hanya diam karena tidak tahu harus bagaimana menanggapinya, aku masih ragu.
Leona terlihat menunduk menyembunyikan wajahnya. "Aku ..." dia terdiam mengambil napas panjang.
"Tak peduli siapapun yang kau sukai. Aku tetap saja, menyukaimu!" lanjutnya sambil mendongakkan wajahnya. Membuatku terkejut bukan main.
Wajah Leona terlihat sangat merah, matanya berkaca-kaca. Pasti sangat sulit baginya mengungkapkan perasaan seperti ini.
"Terima kasih Leona," ucapku setulus hati. "Tapi aku tidak bisa menerima perasaanmu. Karena aku pun masih ragu dengan perasaanku. Lagipula, pasti ada laki-laki lain yang lebih pantas untukmu," lanjutku sambil melirik kearah pintu.
Aku tahu sedari tadi Rutt terdiam di balik pintu mengkhawatirkan Leona.
"Um." Leona menggangguk. Menghapus air matanya yang sedari tadi keluar dengan kasar, dia mencoba untuk tersenyum.
Kelihatannya usahanya gagal, aku sangat melukainya. Leona pun berlari masuk ke dalam.
Tanpa kuduga, Rutt memegang tangan Leona dan menarik gadis itu dalam pelukannya. "Ya ampun, jangan tunjukan air matamu kepada orang yang baru saja menolakmu bodoh," ucap Rutt sambil melirikku.
Dia menyembunyikan Leona yang tengah terisak pelan dalam pelukannya. Aku tersenyum tipis ke arah Rutt, kaulah yang lebih pantas untuknya Rutt.
------------------------------------------
Akhirnya, setelah melewati malam yang panjang. Kami melanjutkan perjalanan dan tiba di pusat kota Alexandria.
Tanpa kuduga, aku bertemu dengan Victor. Syukurlah dia masih hidup.
"Victor!" Seruku.
"Pangeran, syukurlah anda selamat."
Aku tersenyum, masih sama seperti dulu Victor selalu saja khawatir padaku. "Bagaimana keadaan rakyat dan kedua orang tuaku, Victor?" tanyaku ingin tahu.
Tiba-tiba saja Victor membungkuk dihadapanku, membuat perasaanku tak enak.
"Ampuni saya Pangeran, saya gagal melindungi Raja dan Ratu. Makhluk itu terlalu berbahaya untuk dilawan, Pangeran!"
Mataku membulat, napasku tercekat. Keringat dingin mengucur membasahi keningku. Ini, bohong kan?
Air mataku mulai mengalir, dadaku terasa sesak. Benar-benar sakit hingga aku tak tau harus bagaimana lagi, untuk apa aku berpetualang selama ini?Tujuanku sudah hilang. Salah satu yang ingin kulindungi sudah tak ada lagi, untuk apa lagi aku bertarung?
Demi apa aku akan berperang, mempertaruhkan nyawa rekan-rekanku? Untuk kemenangan atau malah kehancuran? Untuk apa aku berdiri di sini? Seharusnya aku ikut mati saja hari itu!
"Ciel!"
Aku tersentak saat Rutt meneriakan namaku. Seperti orang linglung, aku menarik tangannya. "Ayo kita pergi, kalian harus tetap selamat," ucapku dengan pikiran kosong.
"Hoi! Kau gila ya?!" Rutt menarik kerah bajuku dan mengguncang tubuhku pelan.
Tubuhku ambruk begitu saja ke tanah.
"Ciel ada apa denganmu?!" Teriak Leona. "Jika kau seperti ini, perjuangan kita tak akan ada artinya lagi!"
"Jangan jadi lemah hanya karena kehilangan beberapa orang, bodoh! Kau harus tetap bertahan demi menyelamatkan yang masih tersisa!" Seru Rutt tak mau kalah.
"Ciel." Al berkata pelan dan mendekatiku. Dia duduk di depanku, tangannya terangkat ke atas.
Plak.
Al melayangkan tamparannya ke pipiku. Dia terisak setelahnya.
"Kau sudah berjanji padaku untuk membuat negeri yang damai, 'kan? Maka tepatilah janji itu! Aku tahu ini berat, tapi kami ada di sini untukmu! Ayo kita selamatkan rakyat tak bersalah itu!"
Air mata meluncur dengan bebas dari kedua mataku. Sial, rasanya sangat sakit dan sesak. Aku menangis, meluapkan seluruh perasaanku. Dan mencoba terbiasa dengan rasa sakitnya. Apapun keadaannya, aku harus tetap berjuang sampai akhir!
Aku mengambil napas panjang, dan menghembuskannya pelan. Mereka semua benar, tak ada gunanya aku terus meratap menyesali kepergian kedua orang tuaku. Rakyatku yang masih tersisa, kini mereka tengah berjuang mati-matian untuk bertahan hidup.
Sebagai Pangeran Arcadia, aku harus menyelamatkan mereka terlebih dahulu. Itulah satu-satunya cara untuk menebus rasa bersalahku karena sudah kabur sendirian. Menyelamatkan yang masih tersisa, itulah tujuan hidupku sekarang.
Aku melirik ke arah Victor yang sedari tadi menatapku cemas. "Victor, tolong jelaskan padaku segala hal yang kau ketahui tentang Jormugand. Itu akan sangat membantu."
Victor mengguk singkat menjawab pertanyaanku. Aku berdiri mengahadap ke arah Victor, dan ketiga kesatria yang telah menjadi temanku. Ku angkat pedangku ke depan dada.
"Maaf atas ke-egoisanku, tapi bolehkah aku meminta kalian berempat mempertaruhkan nyawa untuk membantuku?" Tanyaku dengan tatapan serius.
Kulihat seulas senyum di bibir mereka berempat. "Dengan senang hati, yang mulia Pangeran Luciel Archangel!" ucap mereka serempak.
Kami pun pergi ke kediaman Victor yang letaknya tak jauh dari istana. Di sana kami akan membahas strategi untuk mengalahkan Jormugand, sekaligus mengawasi pergerakan mereka.
Setelah dua puluh menit, kami sampai di kediaman Victor. Ia menjamu kami di balkon rumahnya.
Dari balkon yang cukup tinggi, kami bisa melihat istana dengan cukup jelas. Segerombol Jormugand terlihat menguasai istana. Tempat yang dulunya indah, sekarang tak lebih dari sebuah kandang binatang buas.
"Jumlah mereka semakin banyak, bahkan jika salah satunya mati esok harinya jumlah mereka justru bertambah. Itu sebabnya para prajurit tak bisa melakukan apa-apa," jelas Victor dengan nada putus asa.
Aku masih terdiam, kesal dengan para monster itu. Lamunanku dikejutkan oleh tepukan pelan di pundakku, aku langsung menoleh dan mendapati Al yang tengah tersenyum manis. Entah mengapa, kurasa senyumnya menyuruhku untuk tetap maju.
"Apakah mahluk itu tidak memiliki kelemahan sama sekali, tuan Victor?" Tanya Al dengan nada tenang.
Victor terlihat berpikir, dia mulai berdiri dan mendekat ke arahku. "Kalian lihat di sana? Di antara gerombolan itu, ada seekor Jormugand yang ukurannya paling besar. Ada rumor yang mengatakan jika kita bisa membunuhnya, semua monster itu akan lenyap."
Leona pun ikut mendekat, mengamati ke arah istana. "Jadi kita hanya perlu membunuh yang paling besar itukan!" Ucap Leona dengan semangat seperti biasanya.
"Itu tidak akan mudah karena Jormugand yang lain akan menghalangi kita."
Kami langsung terdiam setelah mendengar ucapan Victor. Ini akan sangat sulit.
"Hei, hei. Kenapa kalian lesu sebelum bertempur?"
Rutt yang sedari tadi hanya menikmati teh dengan tenang akhirnya berdiri dan ikut bicara.
"Kita hanya perlu sebuah rencana untuk membunuh yang lebih kuat dari kita," ucapnya dengan senyum licik yang khas.
Kami mulai menatap Rutt serius, menunggu dia menyampaikan rencananya.
"Pak tua, apa masih ada prajurit yang sanggup untuk bertarung?"
Victor terlihat kesal dengan sikap Rutt yang kurang ajar. Tapi, dia berusaha tetap tenang dan mengangguk singkat.
"Kita butuh banyak orang untuk membuka jalan, jadi pak tua pimpinlah para prajurit untuk mengurusnya. Saat ada kesempatan, aku dan Ciel akan mendekati monster yang paling besar karena kemampuan bertarung jarak dekat kami yang paling unggul.
"Leona, kau berjaga-jagalah di belakang kami. Gunakan panahmu itu untuk mempermudah kami. Dan Al, kau berada di paling belakang. Cari tempat yang paling aman, rapallah mantra untuk menyembuhkan jika kami terluka. Lindungi kami dengan sihirmu."
Kami berempat menggangguk setuju dengan rencana Rutt, setelah mendengar rencana tersebut. Kuakui, untuk masalah seperti ini Rutt memang ahlinya.
"Tapi kita butuh banyak prajurit, sedangkan prajurit yang tersisa tidaklah banyak," ucap Victor dengan nada khawatir.
"Ah, kita bisa menggunakan prajurit pribadi keluarga Azuera. Aku akan mengirim pesan pada ayahku agar mereka membantu."
Kami semua tersenyum lega, kelihatannya rencana ini akan berhasil. Kami memutuskan untuk menyerang Jormugand itu nanti malam. Karena saat matahari tenggelam, penglihatan Jormugand akan sedikit terganggu.
Victor pun pergi untuk mengumpulkan prajurit. Rutt dan Leona juga mulai membahas langkah-langkah yang akan kami lakukan nanti. Tapi, entah kenapa aku tetap saja merasa takut. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika kami gagal.
"Ciel." Al memanggiku pelan. "Apapun yang terjadi aku tidak akan membiarkan kalian kalah. Meski aku harus menggunakan sihir terlarang sekalipun," ucapnya kemudian.
"Sihir terlarang?" Tanyaku pelan. Leona dan Rutt yang tengah dikesibukkan, menoleh ke arah kami.
"Dengan sihir itu, aku bisa membuat kemampuan senjata kalian menjadi berlipat ganda."
Aku dan Leona tersenyum senang mendengar itu. Tapi tidak dengan Rutt.
"Dan sebagai gantinya kau akan lenyap, benarkan?" ucap Rutt serius.
Aku dan Leona tersentak kaget. Benarkah? Jika yang mengatakan itu Rutt, mungkin saja itu benar. Karena Rutt tahu banyak hal.
"Jangan coba-coba untuk menggunakannya Al, Berjanjilah!" seru kami bertiga bersamaan, membuat Al tersentak dan tersenyum kecil.
"Baiklah, aku berjanji."
----------------------------------------------
Tepat pukul delapan malam, Victor telah selesai mengumpulkan para prajurit. Bala bantuan dari keluarga Azuera juga telah tiba, dipimpin oleh sang Mantan jendral yang kekuatannya tak diragukan lagi.
Kami semua telah memegang senjata dan mengenakan armor, siap untuk bertarung. Dengan berbaris rapi, kami berangkat ke istana.
Setibanya di istana, kami langsung menuju posisi masing-masing. Di selatan ada Al yang berdiri tenang di bawah pohon, jaraknya sekitar lima belas meter dari lokasi utama Jormugand.
Di sebelah utara, dengan jarak sepuluh meter dari Jormugand, Leona ditemani beberapa pasukan pemanah telah siap membantu kami.
Aku bersama Victor dan para prajurit, sudah siap menyerang dari arah timur. Sedangkan di barat, kami percayakan pada Rutt serta ayah Leona yang memimpin pasukan.
Aku mengambil napas panjang, bersiap memberi aba-aba. "SERANG!!"
Seruanku menggema hingga kejauhan. Para prajurit serentak berlari maju menyerang para Jormugand yang terlihat kebingungan. Suara gesekan pedang yang menyayat hati mulai terdengar dari berbagai sisi.
Suara erangan para Jormugand yang mengamuk sangat mengerikan, tapi tak membuat kami merasa gentar sedikit pun. Prajurit mulai berjatuhan bersimbah darah, menciptakan pemandangan yang memilukan.
Aku dan Rutt tak menyia-nyiakan usaha mereka. Kami memacu kuda kami sekencang mungkin, melewati gerombolan Jormugand. Rasa puas kami rasakan ketika telah mencapai Jormugand yang paling besar.
"Rutt, mari kita lakukan."
"Baiklah, Ciel."
"Aku mengandalkanmu," ucap kami bersamaan.
Kami berlari, mengepung Jormugand raksasa itu dari dua sisi. Jormugand itu cukup tanggap dan mengibaskan ekornya, mencoba menyingkirkan kami. Aku dan Rutt yang tak sempat menghindar, terpental hingga beberapa meter.
Luka yang kami dapati segera tertutup dengan suatu mantra, terima kasih Al. Aku dan Rutt mencoba bangkit, sialnya Jormugand itu mencoba menyerang kami.
Terlihat ratusan anak panah melesat dari utara. Dan beberapa di antaranya muncul dengan cahaya magis. Aku berani bertaruh, si singa betina itu pasti menampakkan taringnya.
Kurasa itu roh dengan elemen petir. Anak panahnya mengenai Jormugand, mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan meledak.
Jormugand itu melemah, aku dan Rutt segera bangkit dan kembali menyerang. Kami melompat, mencoba mengincar kepala Jormugand namun gagal.
Jormugand itu bersiap untuk menyemburkan bisanya ke arah kami. Untungnya, kami berhasil lolos karena Al merapalkan sihir pelindungnya di waktu yang sangat tepat.
Rutt memutar tombaknya menghasilkan percikan api yang cukup besar. Aku menebaskan pedangku dan menghasilkan angin kencang yang membuat Jormugand itu kebingungan.
Dengan bersamaan, aku dan Rutt kembali melompat. Kami berhasil menusuk tubuh Jormugand.
Jormugand itu tak berkutik, hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Apa kami sudah menang?
"Rutt, kita berhasil!" Seruku bahagia.
Rutt pun menggangguk, tersenyum ke arahku. Namun kesenangan kami tak bertahan lama, Jormugand itu kembali bergerak. Di lain sisi, beberapa Jormugand berhasil lolos dari kepungan prajurit dan menuju ke arah kami.
"Gawat," pekik Rutt. "Ciel, hentikan para Jormugand yang mendekat. Aku akan menangani induk Jormugand itu dengan cepat."
Aku menggangguk paham, dan langsung berlari ke arah Jormugand yang mendekat. Kutebaskan pedangku, menciptakan badai kecil yang membuat mereka terpental.
Aku menghindari serangan tiga Jormugand sekaligus, melompat dari atas kepala satu Jormugand, ke Jormugand yang lain. Mencoba menggores mereka dengan pedang anginku.
Leona tak tinggal diam, dia terus menembakkan panah-panahnya. Namun, kelihatannya energi Leona sudah terkuras cukup banyak. Ledakan panahnya tak sekuat yang tadi.
Rutt berteriak sangat keras. Refleks, aku menoleh ke arahnya. Apa lagi ini? Haruskah aku diberi pemandangan yang menyakitkan?
Badan Rutt dililit induk Jormugand itu. Sial! Sial! Sial! Apa maksudnya!
"Rutt!" teriakku. Jika terus seperti ini, Rutt bisa mati.
Aku harus membantunya, tapi aku sudah terkepung. Di sisi lain Rutt terus mencoba melepaskan diri dengan menusuk-nusuk tubuh Jormugand menggunakan tombaknya.
Jormugand yang berhasil lolos dari kepungan para prajurit mulai bertambah. Mereka tengah berjalan menuju kemari. Kami makin terpojok.
Apa yang harus kulakukan! Apa aku akan kehilangan banyak orang lagi? Bukannya melindungi mereka, aku justru menambah jumlah korban nyawa! Apa ini akhir hidup kami? Pada akhirnya perjuangan kami, tak menghasilkan apapun.
Di tengah rasa putus asaku, aku dikejutkan oleh pemandangan yang luar biasa dari arah selatan.
Cahaya biru terang memancar dari bawah hingga ke atas langit. Menciptakan bentuk segitiga dengan pola rumit. Ini ... Mungkinkah ini sihir Al? Tapi sihir apa?
Makin lama cahaya itu makin terang. Cahaya itu pun terpecah menjadi tiga, melesat begitu saja ke arahku, Rutt, dan Leona.
Tubuh serta senjataku mulai mengeluarkan cahaya. Rasanya seperti ada energi besar yang merasukiku. Rasa sakit, juga rasa lelah akibat pertarungan tadi tiba-tiba menghilang.
Sepertinya bukan hanya aku yang merasakannya. Aku yakin Rutt dan Leona sama sepertiku. Tapi, sihir ini ... Mungkinkah!
"Al!" Aku, Leona, dan Rutt yang masih terbelit berseru serempak. Kami menatap ke arah Al was-was.
"Hentikan, Al!" aku berseru sekencang mungkin, agar dia bisa mendengarku. "Kau bisa ma-"
"Aku baik-baik saja!" seru Al memotong ucapanku. "Kalian tetaplah bertarung sampai akhir. Buktikan padaku kalau kalian kuat! Aku yakin, kalian pasti berhasil!"
Mata Al terpejam, bibirnya terus bergerak merapal mantra. Halaman demi halaman buku sihirnya terbuka dengan cepat, mengeluarkan cahaya yang makin terang.
Aku menggenggam pedangku erat, dan menggigit ujung bibirku. Kebimbangan mulai merasukiku. Aku ingin menghentikan Al, tapi sudah tak ada pilihan lain.
Seekor Jormugand mencoba menyerangku, namun panah Leona berhasil menghentikannya.
Sihir Al memberi efek yang cukup besar, hanya dengan tiga panah Leona dapat membunuh seekor Jormugand.
"Ciel tetaplah bertarung! Atau kita akan kalah!" Seru Leona dari kejauhan.
"Jangan remehkan aku Jormugand sialan!" Di sisi lain Rutt berhasil lolos dari belitan induk Jormugand.
Rutt segera berlari cepat ke arahku.
Plak!
Sekali lagi, tamparan dilayangkan ke pipiku. Rutt melakukan hal yang sama dengan Al. "Sudah kubilang kan? Jangan melemah hanya karena perasaanmu, Ciel bodoh! Kau hanya akan menyia-nyiakan pengorbanan Al, bodoh!"
Mataku membulat mendengar ucapan Rutt. Dia benar, aku harus menang. Jormugand itu harus mati! Aku pun mulai berdiri, mengangkat pedangku. Kutatap Jormugand itu, dan mulai berjalan mendekatinya.
"Siapa sangka cinta bisa mengubah seseorang. Tatapan membunuhmu itu membuatku takut Ciel," gumam Rutt yang berjalan menyusulku.
Aku menebaskan pedangku horizontal, badai yang cukup besar muncul dan menyingkirkan Jormugand dari jalanku. Kini aku dan Rutt sudah sangat dekat dengan induk Jormugand.
"Ayo!" Seru Rutt.
Aku melompat tinggi, tubuhku terasa sangat ringan karena sihir Al. Kutusuk kedua mata Jormugand itu, dan mendarat ke tanah dengan selamat. Jormugand itu bergerak membabi buta.
Dari arah belakang, Rutt memutar tombaknya menghasilkan api besar dan menusuk tubuh Jormugand. Tubuh Jormugand itu terbakar, dengan cepat dari arah depan aku menebaskan pedangku menghasilkan angin panas yang memperbesar api dari tombak Rutt.
Aku terus menggores tubuh induk Jormugand itu, membuatnya lemas kehabisan darah. Puas meggores, aku langsung menusuknya tepat di bagian kepala.
Dari kejauhan Leona memberi aba-aba. Aku dan Rutt menjauh, meninggalkan senjata kami yang masih menancap di tubuh Jormugand. Sepuluh anak panah dengan roh api melesat dari kejauhan, mengunci pergerakan induk Jormugand.
Suara ledakkan induk Jormugand memekakan telinga. Tubuhnya tercecer ke berbagai arah. Senjataku dan Rutt terlempar begitu saja, tapi kami tak langsung mengambilnya.
Selang beberapa detik setelah induknya mati, Jormugand lainnya kehilangan kendali. Prajurit lainnya masih bersiap siaga jika ada hal yang di luar dugaan.
Tanpa perlawan apapun, Jormugand itu hilang seketika entah ke mana. Sorakan bahagia terdengar dari berbagai sisi.
Kami menang!
Di saat yang sama, aku merasakan energi yang dari tadi memenuhi tubuhku mulai hilang bagai air yang menguap. Cahaya biru di langit mulai memudar, perasaanku sungguh tak enak. Aku, Rutt dan Leona segera berlari kearah Al.
Tubuh Al ambruk begitu saja. "Al!" Pekikku segera menangkap tubuhnya.
Wajah Al terlihat amat pucat, badannya dingin. Aku segera merengkuhnya ke dalam pelukanku. Matanya yang terpejam mulai membuka sedikit, dia menatap kami bertiga yang terlihat cemas. Al pun tersenyum.
"Kalian sangat hebat ... Aku bangga pada kalian," ujar Al pelan.
Tanpa terasa butiran air mata mulai meluncur dari kedua mataku. Leona dan Rutt yang tangguh pun hanya bisa diam, mengepalkan tangan menahan air matanya.
"Ciel, terima kasih karena telah membawaku pada petualangan sehebat ini, aku senang bisa bertemu kalian ... Semuanya, terima kasih karena telah merubahku, merubah gadis pemurung sepertiku hingga dapat merasakan apa itu kebahagiaan, persahabatan, harapan dan kasih sayang." Al terdiam sejenak, beberapa kali dia terbatuk kesulitan mengatur napasnya.
"Terima kasih karena telah mengubah hari-hari ku yang berwarna abu-abu hingga penuh dengan berbagai macam warna, kalian mengajarkanku untuk tersenyum, tertawa, dan sebenarnya aku tidak mau meninggalkan kalian ..." Lanjut Al dengan susah payah. Membuat hati kami serasa teriris.
Tangan Al terangkat, menghapus air mataku yang terus mengalir. Aku memegang tangannya yang lemas dan menatapnya sendu.
"Kenapa menangis? Ciel yang kusukai tidak seperti ini," ucap Al tersenyum, membuatku sedikit terkejut.
Tubuh Al mulai menghilang, dan semakin dingin. Panik, aku pun makin mengeratkan genggaman tanganku.
"Ciel, aku ingin mengatakan sesuatu padamu...
"Aku menyukaimu ciel, terima kasih karena kau telah mengisi ruang kosong yang ada di hatiku, mengubah luka-luka yang selama ini kurasakan menjadi sebuah kebahagiaan...
"Kau telah memberikan penyesalan terbesar selama hidupku karena membuatku merasakan apa itu cinta, dan karena itu aku tidak ingin berpisah denganmu...
"Maaf karena membuat cinta yang seharusnya bahagia menjadi sebuah luka untukmu, Ciel.
"Aku yakin kau akan menjadi raja yang hebat, pimpinlah Arcadia untuk semuanya...
Selamat tinggal ciel...
Aku sangat mencintaimu..."
Beberapa detik kemudian, tubuh Al lenyap begitu saja. Bagai debu yang pudar tertiup angin.
"Althea!!" kami bertiga berteriak bersamaan, diiringi tangisan yang membuat hati pilu.
Air mata kami tumpah, meluapkan segala emosi yang sedari tadi kami tahan.
"Dasar Althea bodoh! Kau tidak perlu bertindak sampai sejauh ini!" Leona berseru, sambil menutup wajahnya yang dibasahi air mata. Ini pertama kalinya aku melihat dia menagis keras seperti anak kecil.
Rutt menundukan kepalanya, samar-samar aku bisa mendengar dia terisak. "Beristirahatlah dalam damai Al," ucapnya lirih.
Meski Rutt pemuda yang berandal, kehilangan seseorang yang sudah ia anggap sebagai adik tentu saja melukai hatinya.
"Terima kasih Althea. Aku juga menyukaimu," lirihku dengan air mata yang masih enggan berhenti mengalir.
Hari ini, kami mendapat kemenangan yang amat kami dambakan. Namun, sebagai gantinya kami harus kehilangan orang-orang yang kami cintai. Harga yang kami tebus untuk kemenangan ini tidaklah kecil.
Matahari mulai memunculkan dirinya dari arah timur. Cahaya yang mulai menghangatkan hati kami yang sempat membeku karena pertempuran.
Aku tersentak saat kedua bahuku ditepuk, yang tidak salah lagi Leona dan Ruttlah pelakunya. Aku tahu, mereka mencobaku memberi kekuatan bertahan. Aku tersenyum tulus.
"Terima kasih semuanya. Akan kukembalikan Arcadia kita menjadi negeri yang indah dan damai. Sama seperti yang Al inginkan."
--------------------------------------
Sudah setahun sejak insiden itu. Sedikit demi sedikit, Arcadia sudah pulih. Aku menggantikan ayahku, memimpin kerajaan di negeri ini.
Leona kuangkat sebagai jendral tertinggi, menggantikan ayahnya yang pensiun. Ia dan pasukannya ditugaskan membantu masyarakat memperbaiki wilayah mereka. Singa betina itu menjadi pelidung yang disayangi rakyat.
Sedangkan Rutt, aku memintanya mengurusi perbatasan. Aku tahu, dia tak akan suka berdiam lama-lama di satu tempat, karena itu aku memberinya tugas untuk sering melakukan perjalanan.
Aku bahagia, tapi tak bisa kupungkiri jika aku merasa sedikit kesepian. Aku terus mengingat hari itu. Saat aku mendengar perasaan Al padaku untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Aku menyesal tak bisa menyelamatkannya dan mengatakan perasaanku.
Aku melangkahkan kakiku di sore hari ini. Aku memang terbiasa berjalan santai di taman istana yang terbuka untuk umum. Aku selalu berpikir, bertemu rakyat yang harus kulindungi pasti akan menghilangkan kesepianku.
Di sini, aku melihat bunga yang indah bermekaran. Beberapa anak tengah asik bermain, berlari-lari kecil. Aku tersenyum melihatnya.
Lelah berjalan, aku berniat kembali ke istana. Namun, langkahku dihentikan dengan suara tawa yang tak asing.
Aku menoleh, mencari asal suara itu dengan hati gelisah. Hingga akhirnya, mataku menatap sosoknya. Seorang gadis berambut biru langit yang indah, tengah bermain bersama anak-anak.
Kakiku melangkah dengan sendirinya, dadaku terasa sesak. Bibirku bergetar, mencoba mengucapkan satu nama.
"Al? Althea?" ucapku dengan suara bergetar menahan emosi aneh yang hampir meluap.
Gadis berambut biru itu menoleh, rambut panjangnya dengan indah bergerak tertiup angin sore. Dia menatapku lekat dengan iris yang serupa bunga lavender.
"Raja Luciel?"
END.
🌺🌺🌺
Songfic: Ost Fate Grand Order; Shikisai (Mashu death ver).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top