[2.2] Zeus Squad: Story
Title : The Past
Genre : Fantasi
Sub Genre : Romance
------------------------------------
'Antik'
Hanya satu kata itu yang dapat masuk ke dalam pikiranku setelah memasuki toko ini. Ya di sinilah aku sekarang, di sebuah toko yang menjual berbagai macam barang antik.
"Maaf nona, kau mencari apa?" tanya seorang pemuda dari balik punggungku, sontak membuatku berbalik melihatnya.
"Ehh, maaf kak, aku sedang mencari liontin untuk kalungku, ada?" tanyaku balik.
"Tentu, ayo ikuti aku."
Aku mengikutinya hingga ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari tempatku berdiri tadi. Sepertinya ini ruangan khusus aksesoris sebab di sini ada beberapa gelang, cincin, kalung, jepitan rambut, dan beberapa aksesoris lainnya.
Setelah memasuki ruangan itu. Dia menunjukkan sebuah liontin sederhana padaku. Yah, sederhana jika dilihat sekilas, tapi jika dilihat lebih teliti lagi liontin ini memiliki ukiran yang unik dan membuatku ingin memilikinya. Liontin yang istimewa.
"Ok Kak. Aku ambil yang ini," ucapku kemudian memberikan uang seharga liontin yang kupegang itu dan membawanya pulang.
***
"Kalian baca dulu buku kalian mengenai sejarah Kerajaan Darklantcio. Sebentar saya akan memberikan kuis agar mendapat nilai tambah dari mata pelajaran yang saya ajarkan," tegas seorang guru yang mengajar di kelasku sekarang.
Sebenarnya saat ini aku sedang belajar sejarah. Entah apa menariknya sejarah, tetapi aku suka membacanya. Ada keasyikan sendiri saat mengetahui sejarah-sejarah yang ada di dunia ini. Mungkin aku berbeda dengan kebanyakan anak yang menganggap sejarah itu membosankan.
Di buku ini menjelaskan secara singkat mengenai Kerajaan Darklantcio. Bahkan saat kehancuran dan juga saat para ksatria penyelamat menyelamatkan dunia ini.
Tapi jika diperhatikan ada yang aneh dengan sosok kesatria penyelamat itu, mungkin itu perasaanku saat melihat gambar yang ada dibukuku. Aku seperti mengenal sosok kesatria itu tapi entah siapa, wajahnya tidak asing untukku.
"Baik sekarang waktunya kuis dan tutup buku kalian," ucap guruku tiba-tiba dan membuat kami semua berkeringat dingin sebab kuis yang diadakan oleh guruku yang satu itu sangat sulit. Entah apa yang dipikirkannya membuat kuis-kuis itu menjadi sulit.
***
Hembusan angin menerpa wajahku setelah lama duduk terdiam di dalam bus menuju musium ini.
Sekarang sekolahku mengajak semua murid kelas XI untuk tour keliling museum. Mengenal sejarah- sejarah yang sudah terjadi pada masa lampau. Dan yah, di sinilah aku sekarang, Museum La Galigo. Entah ke mengapa museum itu diberi nama seperti itu, aku tak ingin mengambil pusing. Itu bukan urusanku kan?
Saat asik melihat lihat beberapa lukisan, aku melihat sesuatu tak asing di mataku. Tentu saja, sekarang di hadapanku terlihat tokoh kesatria penyelamat yang menghancurkan Kerajaan Darklantcio. Dan tunggu ...
"Bukankah itu mirip dengan liontinku?" gumamku setelah melihat lukisan dari sang kesatria yang menyelamatkan dunia mengenakan liontin yang sama persis dengan apa yang aku punya.
Aku menjadi penasaran dan ingin melihat lebih dekat namun saat ingin menyentuh lukisan itu aku merasakan sebuah cahaya muncul dari dalam lukisan dan menelanku. Samar-samar aku mendengar sebuah suara. Suara yang menyuruhku untuk menyelamatkan dunia, aku juga bingung darimana suara itu berasal.
Tiba-tiba saja sebuah cahaya yang yang sangat terang terpancar melalui liontinku.
Ugh, ada apa ini!? Kenapa bisa jadi seperti ini!?
Reflek, aku pun menyipitkan mata sampai-sampai aku harus memejamkan mataku karena cahaya yang menyilaukan itu.
***
Dirasa cahaya itu sudah redup dan menghilang, perlahan aku membuka mataku.
Aku melihat sekelilingku. Hanya ada pepohonan besar yang ada di sini. Aku sendirian. Tidak ada orang sama sekali. Sepi sekali.
Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan berusaha mencerna apa yang sedang dan telah terjadi.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
"Eh!? Bukannya seharusnya aku ada di museum!?" tanyaku heran sekaligus panik karena tiba-tiba saja aku berada di tempat yang asing dan aku sendiri tidak tahu ada dimana.
Aku sama sekali tidak mengenal dimana ini.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanyaku kepada diriku sendiri.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan walupun aku tak tahu harus kemana. Siapa tahu aku menemukan orang yang bisa memberitahuku dimana aku sekarang.
Tak beberapa lama setelah aku berjalan, aku melihat sebuah desa yang tak jauh dari tempat dimana aku berada.
Aku pun berjalan ke arah desa itu.
***
Disini cukup ramai, banyak orang yang berlalu lalang di sini. Ada yang sedang berdagang, membawa kayu-kayu, anak kecil bermain, dan lain sebagainya. Ada juga yang sedang membuat pedang. Huh?
Aneh.
Aku merasakan banyak sekali orang yang menatap aneh dan heran ke arahku. Hei, tidak hanya kalian saja yang heran, aku juga di sini heran.
Andai aku berkata seperti itu, aku kira aku akan dicap 'orang aneh' oleh penduduk di sini.
Huh, aku tidak suka dengan keadaan seperti ini. Lebih baik sekarang aku cepat-cepat bertanya pada orang sekitar.
Belum sempat aku bertanya, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Maaf nona, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya nona orang baru di sini? Saya baru melihat anda. Apa anda tersesat?" tanya seorang kakek tua dengan topi lusuh yang ia kenakan.
"A-anu, maaf kek, saya ingin bertanya, sekarang saya ada dimana ya? Iya, saya memang tersesat dan tidak tahu harus kemana. Um.. Apa kakek tahu kemana saya harus pergi kalau dari sini saya ingin ke Museum La Galigo?" tanyaku sopan kepada kakek di hadapanku.
"Museum? Apa itu museum? Saya tidak tahu tempat yang anda maksud. Tetapi saya sarankan lebih baik anda pergi ke Kota Hilgen. Di sana mungkin anda bisa menemukan tempat itu. Kebetulan saya sekarang akan pergi ke sana untuk mengantar peralatan yang di pesan Kerajaan," jelas kakek sedikit heran dengan pertanyaanku itu.
Kota Hilgen? Meseum itu seharusnya bukan ada di sana.
Kerajaan? Kakek ini kenapa? Apa dia sedang sakit? Mana mungkin di zaman ini masih ada kerajaan?!
Argh, aku sama sekali tidak mengerti sekarang. Aku sangat bingung. Tidak bisa mengerti dan berpikir dengan jernih. Aku hanya bisa mengangguk menyetujui pernyataan kakek itu.
"Baiklah kalau begitu, anda masuk saja dulu ke dalam kencana di sana. Saya masih harus mengangkat beberapa peralatan lagi."
Aku pun mengikuti apa yang dikatakan kakek tersebut
***
Setelah cukup lama kami menempuh perjalanan yang bisa dibilang jauh, akhirnya kami sampai juga di Kota Hilgen. Suasananya sangat berbeda jauh dengan desa dimana kakek ini tinggal. Kotanya sangat bersih dan lebih modern dibandingkan dengan tempat tadi. Orang-orangnya juga berpakaian lebih formal dan rapi.
Kencana ini kemudian berhenti.
"Maaf nona, saya hanya bisa mengantar sampai sini karena saya yakin anda tidak akan diizinkan bila masuk ke dalam Kerajaan. Lebih baik anda bertanya dengan penduduk setempat tentang tempat yang anda maksud," jelas kakek itu.
Aku mengangguk mengerti. "Baiklah kek, terimakasih bantuannya.."
Kakek tersebut hanya tersenyum dan kemudian meninggalkanku.
Keadaan kota di sini terlihat tentram saja. Hampir seperti di desa, mereka melakukan aktifitasnya masing-masing.
Seperti de ja vu, lagi-lagi beberapa diantara mereka menghentikan aktifitasnya dan beberapa pasang mata mengarah ke arahku dengan tatapan aneh. Ugh, aku merasa gusar diperlakukan seperti ini.
Perlahan aku mulai mendengar desas desus dari beberapa orang, mereka sedang membicarakanku!
"Hoi orang asing, pakaian macam apa yang kau pakai, huh? Model yang sangat aneh! Kau pasti bukan orang sini, kan?" ledek seorang lelaki yang menghentikan permainan caturnya tak jauh dari tempatku berdiri.
Aku baru sadar kalau aku masih memakai seragam sekolah! Pantas saja mereka melihatku aneh sekali. Kalau dilihat-lihat juga mereka memakai pakaian yang sangat berbeda model dengan apa yang biasa aku pakai. Jangan-jangan..
"Aku berada di masa lalu!?" tanyaku keceplosan, dengan cepat aku menutup mulutku.
"Hei kalian! dengarkan! Ada orang aneh disini!! Dia bilang kalau dia sedang berada di masa lalu! Hahaha, konyol sekali!" ujar si provokator itu.
"Iya ya benar, datang darimana dia? Aneh sekali. Sepertinya dia berasal dari tempat antah berantah," ujar salah satu orang di sana.
"Dasar orang aneh!"
Cih!
Semua orang di sana mengataiku, meledekku, mencemoohkanku.
Apa yang harus kulakukan? Aku bahkan tidak tahu aku harus bagaimana.
Tiba-tiba saja kereta kencana berhenti tak jauh dariku. Turun seorang gadis cantik ditemani dua pengawalnya di belakang.
"Ada keributan apa ini?" tanya gadis itu kepada yang lain.
Semua orang terlihat terkejut dengan kedatangan gadis itu. Mereka kemudian sedikit membungkuk dan raut wajah mereka terlihat bersalah.
"Maafkan kami, Putri."
Putri katanya? Aku hanya bisa bungkam menunggu apa yang selanjutnya akan terjadi.
Gadis yang dikatan putri itu memandangku, kemudian berjalan mendekatiku.
"Maaf, sebelumnya aku belum memperkenalkan diri. Namaku Velince D. Andreas," jelas putri itu ramah.
"Michelle Nathania. Panggil saja Michelle," jawabku.
"Baiklah Michelle, lebih baik kau ikut denganku. Aku merasa lebih baik kita bicarakan ini di tempatku saja. Bagaimana?" tawarnya lembut.
Aku mengangguk pelan.
"Baiklah kalau begitu. Oh iya.." Putri kemudian beralih kepada orang-orang tadi.
"Aku harap kalian tidak mengulangi kejadian seperti tadi lagi. Itu bukan cerminan yang baik," jelasnya dengan nada tegas.
"Baik, Putri," ucap mereka dengan nada bersalah.
"Minta maaf juga kepada Michelle."
"Maafkan kami Nona Michelle," mereka meminta maaf kepadaku.
Aku hanya tersenyum, "Tidak apa-apa," jawabku.
***
Kini aku berada di kencana bersama Putri Velince.
"Jadi, Apa yang membawamu kesini Michelle?" tanya sang putri ramah sambil tersenyum kepadaku.
"Aku.. Err.. Tersesat, Putri. Mungkin bila aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi anda pasti tidak akan percaya," jelasku.
Lagi-lagi Putri tersenyum manis.
"Tidak apa, ceritakan saja apa yang sebenarnya terjadi. Aku percaya. Oh dan jangan panggil aku putri, panggil saja Velince. Dan jangan terlalu formal denganku," ucapnya lembut.
"Baiklah, sebenarnya.. awalnya itu aku berada di museum-- eh maksudku di suatu tempat, tiba-tiba saja saat aku melihat ada sebuah lukisan, aku mendengar suara seperti menyuruhku menyelamatkan dunia. Tiba-tiba saja muncul cahaya, dan saat aku membuka mata, aku sudah berada di hutan. Dan aku pergi ke desa kemudian bertemu dengan kakek tua. Akhirnya aku berakhir di sini. Begitu kira-kira," ceritaku panjang lebar padanya. Terserah dia mau percaya atau tidak.
Velince terlihat berpikir. "Ya, aku paham sekarang. Jadi, kau pasti ingin kembali, bukan? Dan kau tidak tahu harus bagaimana? Kau pasti kebingungan sekarang. Sambil memikirkan bagaimana caranya kau kembali, kau bisa tinggal sementara di tempatku," ucapnya lembut.
Aku mengembangkan senyumanku.
"Aku bersyukur aku bertemu denganmu Velince. Akhirnya ada yang mengerti posisiku saat ini," kataku dengan nada bergetar. Aku sangat senang.
"Bukan masalah. Aku senang bila bisa membantu orang," jelas Velince sambil tersenyum.
***
Kami sudah sampai di kediaman Velince. Pertama kali yang kulihat adalah gedung besar dengan nuansa biru muda dan banyaknya kolam, juga air di sekitarnya.
"Woah.. Besar sekali.. " gumamku saat berada di luar.
Velince kemudian tertawa kecil. "Ini tidak seberapa dibandingkan dengan Kerajaan Darklantcio," jelasnya.
"Kerajaan Darklantcio??"
Velince menaikkan alisnya. "Ada apa? Kau tahu Kerajaan Darktlico?"
"Eh? U-um.. Tidak, mungkin hanya imajinasiku saja.." jawabku bohong.
"Ah begitu ya.. Ah, ini kamarmu. Aku harap kau bisa nyaman di sini. Kalau ada perlu apa-apa kau bisa memanggilku di ruang itu atau juga kau bisa langsung menyuruh pelayan di sini," ucap Velince sambil menunjuk ruang yang dimaksud.
Aku pun masuk ke kamar yang mulai sekarang akan kutempati.
"Terimakasih, Velince. Ini sangat nyaman dan terlalu besar untuk ukuranku," jelasku.
"Tak apa. Sudah kubilang kan, jangan sungkan denganku," ucapnya sambil tersenyum.
"Baiklah." Aku mengangguk.
***
Besoknya aku terbangun di sebuah kamar yang nyaman dan besar.
"Ugh.. Hoamm.." Aku mencoba mengingat kejadian kemarin.
Oh benar, aku terjebak di masa lalu! Bagaimana aku bisa lupa!?
Tiba tiba saja seseorang mengetuk pintu.
"Michelle, apa kau sudah bangun? Aku mau mengajakmu menemui sahabatku," suara seseorang yang tak asing di telingaku.
"Ah iya, aku sudah bangun, Velince!"
Aku bergegas membuka pintu kamar dan terlihat Velince sudah memakai pakaian yang rapi dan juga ia terlihat sangat cantik memakainya.
"Ah syukurlah kau sudah bangun. Oh iya, ini pakaian untukmu. Aku rasa kau lebih baik memakai ini daripada pakaianmu yang sekarang. Aku hanya takut kau akan dicemooh oleh penduduk sekitar lagi," jelasnya dengan raut wajah khawatir.
Aku mengangguk.
"Baiklah, aku akan bergegas tunggu sebentar."
***
"Jadi.. Kita mau pergi ke mana, Velince?"
Velince melirikku, kemudian tersenyum, "Ke tempat biasa, tempat aku dan sahabatku sering berkumpul. Seharusnya sekarang adalah jam Ferdinant senggang, aku harap dia ada di sana."
Tak beberapa lama kami sampai ke tempat tujuan. Tidak ada yang spesial dengan tempat itu. Hanya di taman yang cukup jauh dengan keramaian.
Aku melihat sosoknya, lelaki berambut hijau dan juga bermata hijau indah yang sedang bersandar di pohon.
"Ferdinant!" sapa Velince.
Ohh.. Dia yang Velince maksud. Aku hanya mengikuti Velince sampai di sini. Takut-takut menggangu mereka, aku memutuskan untuk diam di tempat, menunggu.
"Oh Velince. Bukankah seharusnya kau mengurus rasmu sekarang? Bukankah kau harus mengajarkan mereka?" tanya Ferdinant datar.
"Ah soal itu, Aku sudah meminta penjaga agar memberitahu yang lain soal perubahan jadwal latihan. Dan aku kesini juga sengaja ingin memberitahukanmu sesuatu," jelas Velince.
Ferdinant hanya menaikkan alisnya.
Velince memberi isyarat kalau ia menyuruhku menghampirinya.
"Ini, aku bertemu dengannya kemarin, namanya Michelle" jelas Velince.
"Senang bisa bertemu denganmu," ucapku sambil tersenyum.
"Ferdinant Drake. Panggil saja Ferdinant."
Aku mengangguk. Velince kemudian menceritakan semua kejadian yang aku alami kemarin kepada Ferdinant.
"Hm.. Jadi, kau berasal dari masa depan, huh?" Ferdinant terlihat berpikir.
"Aku tidak yakin pasti. Tapi sepertinya iya."
"Ada sesuatu yang bisa menjadi petunjuk?"
Kali ini aku berpikir, berusaha mengingat ingat. "Ah benar! Mungkin ini bisa menjadi petunjuk kenapa aku bisa ke sini. Liontin ini, sama dengan yang dipakai seseorang di lukisan yang aku lihat," Aku menunjukkan liontinku kepada Ferdinant dan Velince.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi ranting patah dari belakang sana.
Reflek kami menoleh, tetapi tak ada siapapun.
"Mungkin hanya ranting patah biasa," ujar Ferdinant cuek.
Sedangkan Velince masih memicingkan matanya. Seperti mencurigai ada seseorang yang mendengar percakapan kita.
***
"Bagaimana kalau kali ini aku mengajakmu melihat Kerjaan Darklantcio? Banyak sesuatu yang menarik yang belum kau lihat," ucap Velince saat kami sudah berbicara dengan Ferdinant tadi.
"Ya! Tentu saja!" ucapku antusias.
Velince tersenyum lembut.
"Baiklah, tujuan pertama kita adalah tempat dimana keempat ras berlatih mengembangkan kemampuannya masing-masing."
***
"Kami sudah sampai. Ternyata di sini ada tempat khusus berlatih seperti ini ya.." gumamku yang terdengar oleh Velince.
"Ya.. Kami membuat ini agar mengembangkan kemampuan setiap individu sesuai ras yang dimiliki dan juga untuk mengantisipasi adanya serangan musuh dari luar atau kerajaan lain yang ingin menghancurkan Kerajaan Darklantcio."
"Apa saja ras yang ada di sini?" tanyaku penasaran.
"Kami memiliki empat ras. Diantaranya air yang dipimpin oleh Putri Mitsuki, tanah yang dipimpin oleh Pangeran Ferdinant yang tadi heh, angin yang dipimpin olehku sendiri, dan juga api yang dipimpin oleh Pangeran Petra, setiap ras juga memiliki namanya sendiri, tapi biasanya orang hanya menyebut dengan nama elemennya saja," jelas Velince.
"J-jadi yang tadi itu pangeran!? Dan kau seorang pemimpin ras angin!? A-ah aku bertindak sangat tidak sopan, maafkan aku," ucapku sambil menutup wajah dengan kedua tanganku.
Velince tertawa.
"Ah tak apa, Oh iya, seperti yang kau lihat, ada yang menggunakan kekuatannya langsung dan ada juga yang menggunakan media untuk mengeluarkan kekuatannya. Bisa kukatakan lebih mudah mengeluarkan kekuatan dengan benda seperti pedang daripada instan tidak memakai apa-apa," jelas Velince.
Memang benar, aku melihat mereka takjub. Tidak ada yang seperti ini di zamanku hidup. Mereka mengeluarkan kekuatannya lewat tubuhnya? Ah ini menakjubkan. Andai aku juga bisa melakukannya.
"Oh bukankah itu Petra? Petra!"
Orang yang dipanggil Petra pun menoleh dan menghampiri kami.
"Hei Velince. Dan siapakah nona manis yang ada di sampingmu?~" ucap pemuda itu dengan nada jahil.
"A-ah, namaku Michelle Nathania. Panggil saja Michelle," ucapku berusaha sesopan mungkin. Bukankah ia yang mempimpin ras api yang tadi dikatakan Velince?
"Hee~ Michelle ya. Salam kenal. Namaku Petra Enderson, pemimpin ras api," jelasnya sambil tersenyum. "Jangan terlalu formal denganku," tambahnya.
"Baiklah.." ucapku sambil ikut tersenyum.
"Kau sedang berlatih, Petra?" tanya Velince.
"Ya, tentu saja. Aku harus terus berlatih agar aku bisa melindungi semua orang di sini," jelasnya sambil memasukkan pedang ke dalam sarung yang ada di samping pinggangnya.
"Begitu ya. Aku hanya sedang mengantar Michelle melihat-lihat
"Velince, tadi aku melihat sepertinya ada yang kesulitan di sana. Dia dari rasmu. Bisa kau menolongnya?" tabya Petra.
"Tentu saja. Um, Michelle kau tunggu di sini, aku akan kembali," suruhnya kemudian meninggalkanku dan Petra.
Dirasa Velince sudah jauh, wajah Petra yang awalnya ramah, kini menjadi serius. "Jadi kau yang dikatakan datang dari masa depan?" tanyanya.
"U-uhm.. Iya, aku tiba-tiba saja berada di sini. Darimana kau tahu?" tanyaku tak mengerti.
"Ternyata benar ya? Aku dan Mitsuki tak sengaja mendengar pembicaraan kalian bertiga pada saat di taman tadi dan aku tidak menyangka kalau kalian akan ke tempat ini."
"Jadi, kau menginjak ranting tadi?"
"Lupakan soal itu. Ada hal yang lebih penting, kau harus mendengarkan perkataanku. Jagalah liontin itu baik-baik, kau harus menjaganya! Termasuk dari orang-orang di sekitarmu. Mungkin itu akan menjadi alat agar kau bisa pulang ke tempatmu berasal. Kau bisa menurutiku?" suruhnya.
Aku mengangguk. "Baik, aku akan menjaganya. Terima kasih," jawabku.
Wajah Petra seketika melembut, ia mengusap puncak kepalaku, "gadis pintar~" ucapnya sambil tersenyum.
***
Setelah melihat-lihat Kerajaan Darklantcio, aku dan Velince memutuskan untuk pulang.
"Huh tidak terasa sudah hampir malam dan kita sama sekali belum menemukan petunjuk atau cara apapun untuk membawamu pulang ke tempat asalmu," ucap Velince sambil menghela napas kecewa.
"Maafkan aku, Michelle.." tambahnya.
Aku menggeleng pelan.
"Uhm, tidak apa-apa. Masih ada hari esok. Aku harap besok kita bisa menemukan sesuatu," kataku.
"Ya, kau benar. Besok kita akan lebih berusaha," jelas Velince sambil tersenyum.
***
Aku sampai di kediaman Velince. Lagi-lagi aku melihat gedung besar dengan nuansa biru muda. Sepertinya aku tidak bosan-bosan untuk berkata “wow” atau sejenisnya. Bagaimana tidak? Di tempat asalku, kediaman mewah seperti ini biasanya dimiliki oleh juragan-juragan yang kikir dan serakah. Mendekat saja tidak boleh apalagi masuk ke dalamnya. Tapi di sini, aku bebas menjelajahi kediaman ini. Tidak ada yang melarang, walaupun ini milik seorang putri. Velince memang baik dan aku bersyukur bisa bertemu dengannya.
Malam semakin meredup. Aku melihat keluar jendela, memandangi bintang-bintang yang berbaris membentuk formasi yang tertata rapi. Selang beberapa menit, Velince menghampiriku. Dia menyuruhku untuk tidur karena besok petualangan yang lebih berat akan dimulai. Tingkahnya seperti ibuku saja. Ah, aku jadi merindukan rumah gara-gara itu. Tapi tidak apa, aku pasti bisa pulang.
Esoknya, aku terbangun ketika mendengar suara ribut di luar. Agak samar sih, tapi itu membuatku penasaran. Aku menoleh ke arah pintu , berharap Velince ada di sana. Namun, hari ini tidak seperti kemarin. Velince tidak ada di sana. Aku memutuskan untuk keluar kamar, dan berkeliling sendiri. Sebenarnya yang kulakukan kurang sopan karena mondar-mandir di kediaman orang tanpa ijin. Tapi mau bagaimana lagi, aku bosan dan ingin segera menemui Velince.
Pertama, aku pergi menuju tempat dimana Velince dan sahabat-sahabatnya berkumpul. Begitu sampai, aku tidak melihat siapapun. Tiba-tiba seseorang muncul dari atas pohon. Dia bergelantungan dengan posisi badan terbalik. Wajahnya sangat dekat denganku sehingga aku langsung menamparnya karena kaget.
“Hei nona! Kau tahu siapa yang kau tampar ini!” seru seseorang itu.
Aku mengenal suara itu dan sepersekian detik berikutnya aku menyadari jika orang yang kutampar tadi adalah Petra. Maksudku Pangeran Petra untuk lebih lengkapnya.
“Ah… maaf aku tidak tahu. Sungguh, aku minta maaf ya. Jangan adukan aku ke siapa pun, aku tidak mau dipenjara karena menampar seorang pangeran.”
Petra tersenyum kemudian terkekeh pelan. Apa yang lucu?
“Kamu ini lucu juga. Tenang, kamu tidak akan aku penjara karena aku ini pangeran tampan yang baik hati,” ujarnya sembari berdiri di atas tanah. “Siapa sih yang mau memenjara perempuan secantik kamu.”
Petra mencondongkan wajahnya ke arahku. Aku menarik napas karena saking dekatnya aku bisa merasakan napasnya yang hangat.
“Wah-wah, sepertinya seru ya berdua-duan di pagi hari,” ujar sebuah suara.
Kami berdua menoleh dan mendapati seorang gadis imut memandangi kami. Dilihat dari penampilannya, sepertinya dia lebih muda dariku. Apa aku salah?
“Siapa anak kecil ini?” tanyaku.
“Jangan panggil aku anak kecil nona muda, panggil saja aku—”
“Bocil,” sela Petra.
“Apa katamu?! Awas kalau bilang sekali lagi.”
“Panggil saja dia Bocil.”
Gadis tadi menyemburkan air ke arah Petra. Sepertinya dia dari ras air.
“Keterlaluan.”
“Habisnya kamu berani kurang ajar dengan Putri Mitsuki Shinji dari ras air. Wahai pangeran muda, sesungguhnya menghina seseorang ialah perbuatan keji dan melanggar hukum.”
“Hukum preketek” Petra menjulurkan lidahnya nakal.
Tiba-tiba hening seketika. Aku menunduk dan berpikir jika tadi aku berbuat tidak sopan. Bisa-bisanya aku berkata “anak kecil” di hadapan seorang putri yang ternyata pemimpin dari ras air.
“Oh ya! Bukanya berlatih malah berduaan dengan perempuan lain," Putri Mitsuki mendekati kami.
“Maaf putri, sebenarnya aku tidak ada maksud untuk berduaan dengannya, aku disini untuk mencari seseoang," jawabku membela diri.
“Begitu.”
“Aku juga minta maaf karena tidak bersikap kurang sopan kepada Putri Mitsuki.”
“Tak usah minta maaf dan jangan panggil aku putri. Panggil aku Mitsuki.”
“Mitsuki Bocil,” ujar Petra mulai jail.
“Diam kamu!”
Mitsuki bersiap untuk menyemburkan air lagi. Namun, ia urungkan karena melihat kode dari Petra
“Eh kalau kamu nyembur tidak aku belikan permen lagi.”
Mitsuki terlihat berpikir sejenak. Kemudian dia berseru, “Arrghh!.. baiklah.. baiklah.. Tapi setelah ini belikan aku permen kapas yang super enak. Harus!”
Petra mengecek dompetnya. Aku yakin dia tidak membawa uang untuk membeli pemen kapas yang super enak itu.
“Kamu nyari siapa?” tanya Mitsuki padaku.
“Putri Velince.”
“Ohh dia sedang berlatih, ayo ikut aku” Mitsuki mengalihkan pandangannya, "kamu juga, hari ini jadwalmu latihan”
“Masa?”
“Bodo”
“Oi oi, kenapa kamu nggak ngingetin?Dasar loli!”
Mitsuki menggembungkan pipinya kemudian menarik tanganku seraya berkata,“Au ah."
Samar-samar, aku bisa melihat Mitsuki sedang melihatku. Setelah aku perhatikan lagi, dia tidak benar-benar melihatku. Dia melihat liontin yang ada di leherku. Entah mengapa, Mistuki melihat liontinku seperti itu adalah barang berharga dan jangan sampai ada orang yang merebutnya.
Aku tiba di kerajaan Darklantcio, tepatnya tempat yang sama saat pertama kali aku melihat berbagai macam ras sedang berlatih. Di pojok sana, aku bisa melihat Velince sedang melatih rasnya. Di sana juga ada Ferdinant yang tengah melakukan hal yang sama. Aku menghampiri mereka. saat aku hendak menyapa Velince, dia langsung menengok ke arahku. Dia tersenyum sembari mengelus tengkuknya.
“Maaf aku tidak memberitahumu,” ujarnya.
“Tidak apa kok. Ngomong-ngomong boleh kan aku melihat kalian?” tanyaku sembari mencari tempat untuk duduk.
“Boleh.”
Suara campur aduk antara sepasang pedang yang saling beradu mengisi telingaku. Aku sangat tertarik melihat mereka berlatih. Terutama pada.. ehem.. Petra. Apa aku mulai jatuh cinta padanya? Mana mungkin?!
“Kalian berlatih keras seperti ini untuk mempertahankan sesuatu. Aku salut dengan kalian,” pujiku.
“Tidak juga sih. Sebenarnya ada tujuan lain,” jawab Ferdinant di sela latihan.
"Kami disini juga untuk membuktikan siapa yang terkuat. Em.. maksudku yang pantas untuk menjadi pemimpin selanjutnya," lanjutnya.
“Apa yang kau maksud pantas?”
“Aku tidak bisa menjawab. Tanyakan saja pada Petra,” jawabnya ragu kemudian melanjutkan aktifitasnya.
“Hey Petra!”
“Kamu mau bertanya tentang arti kata pantas dalam omongannya tadi.” Petra menghampiriku diselingi senyum sarkatisnya.
“Maksudnya itu untuk menjadi raja atau ratu yang pantas untuk mengganti raja kerajaan Darklantcio yang sekarang. Jujur, raja yang sekarang itu benar-benar payah. Dia kejam dan licik, rasanya aku ingin membunuhnya sekarang,” bisiknya sangat pelan di telingaku.
“Jadi kalian—”
“Ya, kami bersaing tetapi dengan cara yang sehat,” ujar Mitsuki tiba-tiba dari belakang tubuh Petra.
“Yah..kecuali..” Mitsuki menatap Velince dengan tatapan kesal. Aku memiliki firasat buruk tentang itu.
“Kecuali apa?” tanyaku ragu.
“Lupakan saja. Aku yakin dia akan bermain kotor. Oh ya, aku pergi dulu, dah!”
Aku mengerjapkan mata begitu Mitsuki hilang dari pandanganku. Kata-kata yang tadi dia ucapkan, maksudku yang mereka ucapkan sungguh membuatku bingung. Rasanya seperti ada sebuah kepingan puzzle yang harus diselesaikan. Tetapi, aku tidak tahu apa yang harus diselesikan. Mungkin soal masalahku. Ya, masalah kenapa aku disini dan bagaimana caraku pulang.
“Kamu tidak usah berpikir yang tidak-tidak. Kami ini tetap bersaudara kok walaupun berbeda ras,” ujar Petra yang terkesan menghiburku. Entah itu benar atau tidak.
Hari sudah sore dan aku masih belum menemukan petunjuk. Yang kulakukan hari ini hanyalah melihat dan tidak berbuat banyak. Aku tidak tahu mengapa tetapi sesuatu seakan menahanku. Di balik tanaman mawar pagar yang besar itu, aku bisa melihat bayang-bayang seseorang. Bayangan itu mendekat dan menampakan seseorang.
“Mitsuki!” seruku sekadar menyapa.
Mitsuki tersentak kemudian mengarahkan telunjuknya ke bibir. Tepatnya menyuruhku diam. Aku mengedutkan alis kemudian Putri Mitsuki langsung kabur begitu saja. Samar-samar di tangannya terlihat gulungan kertas. Aku terheran-heran dan selang beberapa saat aku berpikir jika kejadian tadi hanya keisengan Putri Mitsuki. Sebab, Putri Mitsuki suka bermain, seperti anak-anak.
Besoknya aku mendengar kabar bahwa Mitsuki ditemukan tewas di kamarnya. Aku sangat terkejut mengingat kemarin sore aku masih bertemu dengannya. Semua orang juga bersikap sama, apalagi sebab kematiannya yang sedikit aneh. Kata pelayan yang menemukannya, di sebelah kasurnya ada serbuk yang diduga racun. Ada yang bilang jika Putri Mitsuki bunuh diri, namun aku tidak sependapat. Sebab, aku tahu jika seorang putri tidak akan melakukan hal seperrti itu. Apalagi putri Mitsuki adalah putri yang berwibawa. Mana mau dia melakukan hal itu?
“Aku sangat sedih,” ujar Velince saat kutemui di kamarnya.
“Ya, aku juga. Padahal kemarin sore aku masih melihatnya,” timpalku.
Velince memandangku kemudian pergi dari kamar.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Menenangkan diri,” jawabnya sembari berlalu.
Setelah dia pergi, aku memutuskan untuk tetap di kamarnya. Aku memandang sekitar dengan tatapan kosong. Wajar jika sikapku agak aneh karena aku masih sedih. Pandanganku berputar lalu terhenti pada satu arah. Aku menatap jendela yang dibaliknya memperlihatkan seorang pemuda yang tengah berdiri. Aku menyipitkan mata dan sadar jika pemuda itu adalah Ferdinant. Dia menatap ke arahku. Benar-benar ke arahku hingga membuatku tersentak. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampirinya karena penasaran.
“Hai," sapaku padanya.
Ferdinant tidak menjawab. Dia hanya menyunggingkan bibir kemudian menatapku dengan tatapan kosong.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku.
Dia tidak menjawab juga. Aku hanya mendengar suara napasnya yang terkesan berat. Beberapa menit kemudian, dia membuka mulut.
“Aku hanya mengawasi. Kau tahu ini hari apa?” tanyanya dingin dan terkesan tiba-tiba.
“Tidak tahu. Memangnya apa?”
“Hari ini adalah hari dimana kami, perwakilan dari ras masing-masing akan berada di dalam istana kerajaan Darklantcio untuk mengikuti suatu acara bodoh,” jawabnya terdengar serak.
“Lihat saja, kebenaran akan terungkap,” lanjutnya kemudian pergi dari hadapanku.
Aku mengerjapkan mata tanda bingung. Apa yang dikatakannya barusan tidak ada yag masuk ke otakku sama sekali. Aku memutuskan untuk kembali ke kediaman Velince.
***
“Darimana saja kau?” tanya Velince dengan nada yang sedikit kesal.
“Aku barusan menemui Ferdinant. Kenapa?” tanyaku balik.
Velince menunjukkan ekspresi terkejut. Dia menatapku lekat-lekat lalu langsung mengalihkan begitu saja. Aku mengikuti arah pandangnya yang terkesan berpinah-pindah. Kemudian, dia mengambil sesuatu di sampingnya.
“Oh ya, pakai baju ini. Soalnya nanti ada acara di istana.” Velince menyerahkan sebuah gaun padaku.
“Nanti kamu baris di barisan ras angin saja, ok?”
“Kenapa aku harus ikut?” tanyaku namun Velinve berlalu begitu saja.
***
Ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di istana kerajaan Darklantcio. Istana ini besar dan warna kuning emas mendominasi tembok. Sebuah karpet merah panjang membentang mulai dari kursi raja hingga keluar istana. Aku berdiri di barisan paling belakang, bersama ras angin lainnya. Di sampingku ada rasa api, tanah, dan air berbaris secara urut. Beberapa saat kemudian, seorang raja muncul kemudian menempati kursinya. Aku memandangi wajah raja itu. Terlihat kejam dan licik, persis yang dikatakan Petra. Aku yakin dia adalah tipe raja yang jahat yang meperlakukan rakyatnya semena-mena. Setelah itu, munculah tiga orang bangsawan sebagai kandidat pemimpin berikutnya. Di sana ada Petra, Velince, dan Ferdinant. Seharusnya Mitsuki juga berada di sana, berada di barisan para kandidat. Tapi sayang sekali dia sudah tiada.
“Baiklah semua, perkenalkan saya Ed, wakil dari kerajaan. Di sini saya bertugas untuk mengarahkan jalannya prosesi hari ini,” ujar seseorang bertubuh besar.
“Sebelum acara ini dimulai, apakah ada yang ingin mengundurkan diri?” tanyanya kemudian.
Tiba-tiba sebuah tangan merebut perhatian semua orang yang ada di istana. Tangan itu berasal dari salah satu kandidat, yaitu Ferdinant.
“Anda yakin ingin mengundurkan diri?” tanya Ed.
“Saya bukan ingin mengundurkan diri. Tetapi saya ingin mengundurkan seseorang,” jawab Ferdinant lancang.
“Saya ingin mengundurkan Putri Velince,” lanjutnya.
Semua orang terkejut termasuk aku karena mendengar perkataan Ferdinant.
“Apa yang kau maksud Pangeran Ferdinant? Saya tidak pernah melakukan kesalahan sehingga kau harus mengundurkanku sebagai kandidat,” ujar Velince membela diri.
“Benarkah? Seingatku kamu pernah melakukan kesalahan besar. Contohnya membunuh Putri Mitsuki,” Ferdinant membalikan badannya, menatap semua orang yang ada di sini.
“Aku memang tidak mempunyai bukti yang bisa dibawa. Namun, aku menjadi saksi pembunuhan sadis yang dilakukan Putri Velince.”
“Beraninya sekali kamu memfitnahku seperti ini!” seru Velince tidak terima.
“Bukan hanya aku saksinya, tetapi aku yakin gadis di belakang sana juga melihatnya,” Ferdinant menunjuk ke arahku.
Velince besama semua orang yang ada di sini menatap ke arahku. Sebenarnya aku tidak melihat pembunuhan yang dilakukan Velince. Aku hanya melihat Mitsuki yang berkeliaran di sekitar kediaman Velince. Sepertinya Velince menjadi kesal kepadaku. Aku bisa melihatnya dari tatapan yang baru saja dia kirimkan padaku. Penuh dendam dan kebencian.
“Kau.. berani—”
“Kenapa putri? Kau takut semua identitasmu terbongkar? Kau takut jika rencanamu dengan Raja Ciacif tidak bisa terwujud? Maksudku rencana licikmu bersama Raja Ciacif," Ferdinant memotong perkataan Velince. Dia menatap Raja Ciacif dengan tatapan yang sinis.
“Kenapa hal ini bisa terjadi?” tanya Petra sembari memegang pundak Ferdinant.
“Mudah saja, sebenarnya Putri Velince itu….”
SRET…
Tiba-tiba kejadian yang tak terduga terjadi. Kami semua berteriak histeris karena kejadian itu diluar batas kemanusiaan. Kepala Ferdinant terpenggal di depan kami semua. Darah membanjiri lantai dan menodai sebuah pedang.
“Velince! Apa kau sudah gila?!” bentak Petra.
“Bukan aku. Tapi dia yang gila,” jawab Velince tanpa dosa.
“Asal kalian tahu, Ferdinant telah mencuri surat pribadi Raja Ciacif. Kemudian dia memberikannya pada Mitsuki, apa aku salah jika harus membunuhnya?” lanjutnya dengan seringai gila.
“Dasar wanita gila! Kubunuh kau!” Petra menarik pedangnya dan bersiap untuk menebas tubuh Velince.
Velince menatap ke arah Raja Ciacif, seolah memohon pembelaan. Raja Ciacif tersenyum sinis. Ia beranjak dari tahtanya, kemudian menarik pedangnya.
“Hentikan Pangeran Petra!” perintahnya pada Petra.
“Apa maumu!” Petra menatap Raja Ciacif dengan amarah yang masih meletup-letup.
“Jangan marah dulu pangeran, aku ingin memberitahukan sesuatu padamu dan kalian yang ada disini,” ujar Raca Ciacif santai.
“Aku akan membatalkan acara untuk hari ini,” Raja Ciacif menyeringai.
”Nah, sebagai gantinya, hari ini kunyatakan perang. Perang antara pihak baik dan pihak jahat. Bagaimana?” kemudian Raja Ciacif tertawa lebar penuh kelicikan.
***
Semua yang Mendengar perkataan Raja Ciacif pun kaget, pernyataan itu terlalu tiba-tiba. Pangeran Petra yang juga mendengar itu hanya tersenyum sinis ke arah raja Ciacif.
Petra lalu menarik pedangnya dan mengarahkannya ke arah Raja Ciacif.
"Baiklah jika itu maumu, Raja Ciacif"
Tak berapa lama kemudian perang terjadi. Keadaan menjadi kacau suara pedang yang beradu dan teriakan-teriakan menyerang pun berbunyi.
Petra menyerang Raja Ciacif dengan pedangnya tetapi Raja Ciacif dapat menghindari tebasan pedang Petra dengan dengan melompat ke belakang.
"Apa hanya segitu kekuatanmu Pangeran Petra," kata Raja Ciacif dengan nada meremehkan. Sungguh menyebalkan.
Tanpa membalas perkataan Raja Ciacif, Petra mengeluarkan kekuatannya, pedangnya seketika mengeluarkan api. Sungguh menakjubkan. Aku terpana melihatnya.
"Apa kau takut Raja Ciacif, mengapa kau hanya berdiri mematung di sana?"
Petra lalu menyerang Raja Ciacif dengan kekuatannya, tetapi itu hanya sia-sia saja. Raja Ciacif berhasil menahan pedang Petra dengan pedangnya.
"Kekuatanmu boleh juga," ucap Raja Ciacif menangkis pedang petra yang membuatnya tejatuh. Raja Ciacif melihatku yang berada di belakang petra.
"Oh, kau gadis yang di bilang ferdinant itu kan" Ucap Raja Ciacif menyeringai licik.
"Jangan ganggu dia raja sialan!" seru Petra bangkit lalu menyerang raja ciacif lagi.
Raja ciacif menangkis serangan Petra yang membuat pedangnya terlempar ke belakang. Momen itu tak di sia-siakan oleh Raja Ciacif, ia menusuk perut Petra dengan pedangnya.
"Ukh," ringis Petra memegang perutnya, aku yang melihat hal itu langsung berlari ke arah Petra.
"Petra apa kau baik-baik saja?" Tanyaku dengan wajah khawatir.
"Mi-Michelle aku baik-baik saja, tapi lebih baik kau menjauh dari sini, jika kau terus disini kau akan da-"
"Tidak petra, kau sedang terluka parah saat ini aku tidak mungkin meninggalkmu. Dan lagi mungkin saja ini adalah alasan mengapa aku dikirim kesini," kataku memotong perkataan Petra.
"Hmm... pertunjukan yang bagus, apa bincang-bincangnya sudah selesai?"
"Petra, kau harus duduk disini biar aku yang membunuh Raja Ciacif"
Aku langsung berdiri dan langsung mengambil sebuah pisau kecil yang kuambil diam-diam dari dapur istana pada balik gaun yang ia pakai.
"Ho~ kau berani juga ya, gadis manis."
Aku menyerang Raja Ciacif menggunakan pisau yang terbilang cukup kecil itu. Walau dengan tangan yang bergetar hebat Aku memberanikan dirinya untuk melawan Raja Ciacif dengan kemampuanku.
Tidak ada satupun serangan dariku yang mengenai Raja Ciacif, tetapi entah kenapa aku kini terluka parah di bagian lengan kanan yang memegang pisau akibat serangan Raja Ciacif.
Aku lelah. Aku mendengar Petra lalu memanggilku, namun aku tidak menggubrisnya.
"Semangat yang bagus nona manis, tapi sepertinya kita harus segera menyelesaikan ini," ujar Raja Ciacif. Lagi-lagi dengan seringaiannya yang menyebalkan itu.
Raja Ciacif langsung menyerangku dengan cepat, pisau yang kupegang terlepas tak jauh dari tempatku berdiri. Aku dicekik oleh Raja Ciacif. Leherku terasa sangat sakit karena cekikannya. Mungkinkah aku akan mati di sini? Tidak! Aku tidak akan mati.
"Michelle!" Teriak Petra yang kudengar samar-samar.
Perlahan-lahan kesadaranku menghilang. Penglihatanku mulai buram. Mungkinkah aku akan mati?
Tiba-tiba saja kalungku mengeluarkan cahaya. Hal itu sontak membuat Raja Ciacif melepaskan cekikan mautnya dan membuatku lolos darinya.
"Kalung itu, bagaimana bisa kau mendapatkannya!" Seru Raja Ciacif.
Aku terbatuk-batuk. Sebuah suara muncul bersamaan dengan cahaya itu, "Michelle, hanya kau yang bisa menghentikan Raja Ciacif. Serang jantungnya karena itu adalah kelemahannya, aku akan membantumu," titah suara itu sesaat sebelum cahayanya menghilang.
Masih dengan nafas tersenggal, aku mengambil pisaunya yang terjatuh dan berdiri. Aku melirik petra sebentar dan menarik nafas panjang. Meyakinkan diri sejenak
Tekadku sudah bulat. Aku menyerang Raja Ciacif, Aku berlari ke arahnya. Tiba-tiba cahaya yang sama dikeluarkan oleh pisau yang kupegang. Karena cahaya itu, Raja Ciacif membatu. Tidak bisa bergerak. Kesempatan yang bagus untuk menyerangnya. Aku tidak akan menyia-nyiakannya. Aku langsung menusuk jantungnya dan...
"BERHASIL!" seruku sambil tersenyum.
"Ka-u ba-gai-mana bi-sa" ucap Rajs Ciacif sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Setelah Raja Ciacif dikalahkan, pasukan kerajaan Darklantcio pun berhasil di kalahkan, perang berakhir dan dimenangkan oleh kaum baik. Aku sangat bahagia dengan hal itu.
Pangeran Petra dan sebagian prajurit yang terluka para kini di rawat oleh tenaga medis yang ada. Begitu juga denganku.
Tanpa diketahui siapapun, selama berperang Velince bersembunyi di ruang bawah tanah Kerajaan Darklantcio. Banyak orang yang mengiranya sudah mati.
"Sial, Mengapa Raja Ciacif cepat sekali di bunuh, sekarang aku harus bagaimana?" Ucap Velince kebingungan kepada dirinya sendiri sambil berjalan menyusuri lorong bawah tanah.
***
Satu minggu setelah perang usai, Petra telah sembuh dari tusukan pedang Raja Ciacif di perutnya. Selama itu pula aku merawat dan menjaga Petra dengan penuh kasih sayang. Mungkin ini dikarenakan cinta?
Untuk mengucapkan terima kasih, Petra mengajakku untuk berkeliling kota dan ingin memperlihatkan pemandangan yang menurutnya indah di kota itu.
Kereta kencana yang membawaku dan Petra pun berhenti di sebuah padang ilalang. Aku melihat hamparan ilalang dan merasa sangat takjub, sebab di tempatku tinggal sudah jarang menemui hamparan ilalang yang indah seperti itu.
"Wow, ini indah sekali Petra" kataku kagum lalu berlari di antara ilalang-ilalang yang menjulang tinggi seperti anak-anak.
"Apa kau menyukainya?" tanya Petra sambil duduk di bagian rumput yang tidak tinggi.
"Tentu saja aku menyukainya, di tempatku jarang sekali ada yang seperti ini. Rasanya tidak ingin pulang tapi aku juga merindukan rumah," jawabku sambil menatap sendu rumput ilalang yang ada di depanku.
Kemudian aku duduk tepat di samping Petra.
"Michelle, terima kasih karena sudah mau merawatku hingga aku sembuh," kata Pangeran Petra tiba-tiba yang membuatku sedikit terkejut.
"Tidak petra, aku yang harusnya berterima kasih karena kau sudah mau membiarkan aku tinggal di kerajaanmu."
"Michelle, ada sesuatu yang ingin kukatakan"
"Ya, apa?" tanyaku masih memandangi pemandangan di depannya, tanpa sadar tanganku digenggam oleh Petra yang membuatku menatap Petra. Hal ini membuat wajahku merah merona seperti udang rebus.
"Aku menyukaimu," katanya yang membuatku kaget setengah mati.
"E-eh?"
"Jadi, apa kau mau menjadi kekasihku?"
Dengan senyum lebar aku mengangguk sambil mengalihkan pandangannya. Aku malu sekali. Seumur hidup inilah pengalaman pertamaku melihat seseorang menyatakan cinta kepadaku.
"Apa itu artinya iya?" tanya Petra kepadaku memastikan.
"Te-tentu saja," jawabku gugup dengan wajah yang merah.
***
Aku turun dari kereta kencana dengan Petra yang menggenggam tanganku. Aku dan Petra mengembangkan senyuman secerah mentari, tetapi itu tak berlangsung lama.
Seseorang dengan jubah berwarna merah datang mendekat ke arah kami, wajahnya tidak terlihat karena tudung jubanya yang menutupi wajahnya.
Sebuah tangan keluar dari jubah itu hendak seperti meminta sesuatu. Aku berpikir ia mungkin membutuhkan bantuan. Aku mendekat ke arah orang bertudung itu hendak membantunya.
Tangan itu dengan cepat menarik kalung yang di pakai olehku dan mendorongku kebelakang. Dengan sigap, Petra menangkap tubuhku.
Angin berhembus. Tudung yang dipakai orang itu terbuka menampakkan wajah seorang wanita yang kami kenal. Rambut kuning dan mata kuning yang berkilauan indah. Tidak bisa diragukan lagi kalau itu dia.
"Velince, ternyata kau masih hidup!" seru Petra tepat di telingaku yang membuat telingaku sakit.
"Velince, kenapa kau berbuat seperti ini. Tolong kembalikan kalungku!" mohonku padanya.
Velince tertawa licik, "Apa kalian pikir kalian sudah menang, hah," lanjutnya.
Petra menarik pedangnya dan menusuk Velince, tetapi itu adalah tindakan yang sangat gegabah. Kalung yang di pegang velince terjatuh dan tanpa sengaja di injak oleh velince sendiri. Kalungku hancur berkeping-keping.
Velince mengucapkan sesuatu dan tersenyum miring kepadaku sebelum akhirnya meninggal. Aku tidak tahu apa yang ia ucapkan padaku. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Mendengar hal itu Petra lalu berbalik ke arahku. Sebuah cahaya tiba-tiba muncul dari serpihan kalung dan juga tubuhku.
"Michelle!" Teriak Petra.
Cahayanya begitu terang sehingga aku harus menutup mataku. Apa yang akan terjadi jika aku membuka mataku saat ini? Apa aku kembali? Lalu bagaimana dengan Petra jika aku kembali?
Aku merasa cahaya itu telah benar-benar menghilang, aku bisa mendengar suara langkah kaki di belakangku dan beberapa orang yang sedang berbicara tanpa membuka mataku.
"Michelle!" panggil suara di belakangku.
Apa benar aku sudah kembali? Tidak aku tidak mau kembali! Aku masih ingin di sana bersama dengan Petra!
"Michelle, ada apa denganmu aku mencarimu kemana-mana. Tesnya sudah mau mulai!"
Dia menepuk pundakku dan sedikit mengguncangku yang membuatku kaget dan memaksaku untuk membuka mataku. Hal pertama yang kulihat adalah lukisan didepanku. Lukisan ksatria yang kukenali, ya dia adalah Petra Enderson.
Tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipiku, aku menangis.
"Hey... Michelle kenapa kau menangis ?"
Aku tidak menggubrisnya, air mataku tidak mau berhenti semakin aku melihat lukisan itu semakin aku mengingat Petra.
***
Sudah lama semenjak kejadian itu terjadi. Sekarang aku sudah tidak terlalu memikirkan tentang pengalamanku pergi ke masa lalu. Tapi tentang Petra? Tentu saja aku masih memikirkannya. Dia adalah cinta pertamaku.
Aku pulang dari sekolah dengan berjalan kaki. Ya mungkin aku berjalan di sini, tapi pikiranku entah kemana. Sampai aku melihat seseorang dengan rambut merah sedang duduk di hamparan ilalang yang tak biasanya tumbuh di situ. Tunggu, aku seperti mengenalinya.
"Petra?!"
~ END ~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top