4. The Lizard
Hal pertama yang dilihat adalah wajah buram, terlihat semakin jelas. Ternyata teman dekatnya dari tempat ia bekerja. "Oryza ...," ucapnya, lirih. Casa mencoba duduk dari posisi berbaring.
Wanita gempal membantunya. "Akhirnya kau sadar. Kupikir kau akan terbangun besok pagi."
"Ini di mana?" Casa menatap bingung ke sekeliling. Ada foto Oryza sewaktu kecil hingga sekarang. Seolah melihat revolusi angka satu menjadi angka delapan. Casa memegang kepalanya yang berdenyut sakit.
"Ini kamarku. Tadi siang kau pingsan, ingat? Untung saja ada orang baik hati yang sukarela menggendongmu sampai sini." Oryza mengambil gelas berisi air putih, lalu ia sodorkan ke Casa. "Oh, ya. Bos memberimu cuti dua hari."
Casa bernapas lega. Dia meraih gelas dan meneguk isinya sampai tandas. Mengabaikan pertanyaan Oryza, ia berkata, "Aku ingin berhenti kerja."
"Kenapa begitu?"
Casa menunduk, ia tidak mengerti bayangan hitam apa yang menarik tubuhnya. Apakah hantu? Mustahil, memangnya tahun berapa sekarang? Sadarlah! Ini tahun di mana teknologi serba canggih.
Oryza menaruh atensi terhadap jari manis Casa. "Hei, omong-omong ke mana cincinmu?"
Tersentak, cincin perak tak lagi melingkar di jari manis Casa. Alisnya bertaut sambil menggeleng ke arah temannya, menandakan bahwa ia sendiri tidak tahu.
"Mungkin terjatuh di suatu tempat atau kau lupa menaruhnya di mana."
"Aku tak ingat pernah melepasnya."
"Kau harus mencari dan menemukannya, Casa. Barang pemberian pacar adalah barang berarti yang seharusnya dijaga baik-baik."
"Tidak! Kai melarangku mencarinya jika cincin itu menghilang. Biarkan saja, aku malah merasa cincin itu pembawa sial."
"Astaga ...! Cincin cinta adalah keberuntungan, kau tahu? Sekarang coba diingat-ingat, kapan terakhir kali kau melihatnya?"
"Aku melihat masih memakainya saat mencuci tangan tadi siang."
Oryza menjentikkan jari. "Ayo mencari ke perpustakaan, malam ini."
"Malam ini? Apa kau sehat! Tempat itu pasti berhantu saat malam hari!" teriak Casa, mendadak jantungnya memompa lebih cepat dan bola mata bergerak gelisah.
"Tidak ada hantu, kau ini penakut sekali!"
Tatapannya membeku pada sebuah cermin seukuran tubuh yang menggantung di belakang pintu. Casa melayangkan tatapan tajam, ia mengetatkan cengkeraman jari-jari pada gelas, sebelum melemparnya ke arah pintu.
Pranggg!
Oryza melotot. "Kau! Kau harus memberiku uang demi membayar kerusakan ini!"
Pemikiran untuk resign melebur entah ke mana. "Aku belum gajian."
"Oh, habislah!" Oryza menepuk jidat, mengingat semua perabotan di sini disediakan oleh pemilik rumah. Anak rambutnya pun mengalirkan keringat. Sanggulan Oryza tidak serapi tadi, wanita itu pasti berjaga sampai lupa merapikan diri.
Casa meringis sambil diam-diam meremas perut. Dia mulai mengira-ngira kapan terakhir kali datang bulan. Ah, mungkin siklusnya sudah kembali ke tahap awal. Casa memalingkan wajah, menghindari tatapan menyipit penuh selidik. "A-aku lapar."
Oryza mendengus. "Ini kos-kosan termurah; tidak ada makan gratis, tidak ada ruangan merdeka untukku, kecuali di kamar tidur dan kamar kecil." Dagunya mengarah ke papan plastik di bagian sudut. Ada lubang seukuran bola kasti yang seharuskan terpasang knop.
Siapa pun bisa mengintip kalau lampu di situ menyala. Tempat itu hanya terang jikalau seseorang menutup pintunya. Lampu tidur mendapat kesempatan, meski remang dan hanya membentuk sorotan tiga puluh derajat. Casa bisa melihat keran air dari sini. Benda tersebut menyerupai keran air di kamar mandi perpustakaan. Casa mengerjapkan mata, seketika bentuk keran berubah pula.
"Alexa?" gumamnya tanpa sadar.
Oryza yang tengah mencocokkan kunci almari-bisa dikatakan kotak rahasia-dibuat bertanya, "Siapa dia? Teman baru? Kapan-kapan kenalkan padaku."
Tersadar. Sindrom datang bulan pasti membuat ingatannya lebih sensitif. "Emm, bukan siapa-siapa. Hanya salah satu tokoh di sebuah cerita."
Klik.
"Lupakan! Banyak teman membunuhmu," kata Oryza semringah begitu dua bilah kayu berhasil terbuka. Casa hampir lupa hati teman inilah paling sensitif. "Untung saja aku punya banyak stok! Akan kubuatkan untukmu." Dia menggosok tangan tak sabar sebelum mengambil dua bungkus mi instan, membuat Casa memutar mata. Sebenarnya ia tak habis pikir, bagaimana Oryza mendapati semua daging itu melekati tulang-tulangnya?
Matanya bertemu lagi dengan keran tersebut. Semakin gelap saja! Sontak kedua ginjal memberontak antara ingin melepas beban dan atau kedinginan. "Lampu toilet masih sehat, kan?" desisnya.
"Ehh, tunggu sebentar!" Oryza berlari meninggalkan mi seduh, setidaknya butuh dua sampai tiga menit agar mi mengembang dengan sempurna. Ia menutup papan plastik sangat kasar, membuat Casa tersentak.
Handuk kecil sengaja disumpalkan ke lubang supaya Casa tidak melihat. Di balik pintu, Oryza sedang berusaha meraih tali yang menggantungkan cermin persegi ke sebuah paku besar. Tentu saja dia khawatir kejadian ketika Casa baru terbangun akan terulang.
Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Inilah yang dia lakukan; melepas cermin yang dibeli dengan uang sendiri, kemudian menyandarkannya pada samping bak mandi.
Oryza mendongak dalam bungkuknya. Bohlam kecil meredup,padahal cahayanya paling terang dibanding lampu tidur. Lampu pun padam dalam satu kedipan.
"Tadi terlalu keras," sesalnya dalam hati sambil memukul kening. Lain hari, dia harus meminta orang untuk menyambung kabel.
"Rasanya seperti keguguran!" Casa meredam lengkingan kata terakhir menggunakan bantal. Meski aslinya, dia belum pernah merasakan keguguran dan jangan pernah! Ia mengembuskan napas gusar setelah menit-menit lalu bernyanyi asal.
Bantal ia lempar sehingga menimpa serpihan tajam. Setajam telinga di tengah keheningan, bunyi cicak memecah malam. Seekor reptil berkemampuan autotomi mengejar sang pujaan, tembok dirayapi penuh ambisi. Betina jual mahal dan ingin bermain kucing-kucingan. Ia menyelinap ke ventilasi. Alis Casa mencuram, mengalihkan atensi-menyadari cahaya dari pintu yang seharusnya menembus ke sini, tiba-tiba mati.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top