TWENTY TWO - BLANK SPACE

Seminggu pasca balap mobil yang di ikuti Raditya dan kejadian Nadia hampir di culik oleh tiga orang pria yang tak dikenal, hari-hari Moza bersama kelima rekan kerjanya berjalan seperti biasa.

Nadia yang di malam itu ketakutan karena hampir di bawa oleh orang tak dikenal, paginya, ia berangkat sekolah seperti tak ada tragedi mencengkam yang menimpa dirinya.

Gadis itu masih beraktifitas seperti apa yang ia lakukan di hari-hari biasa. Berangkat sekolah, tidur di kelas, bolos jam pelajaran, merokok di roof top bangunan sekolah, dan kegiatan khas anak sekolahan nakal lainya.

Beberapa hari kemarin, para agen Intelijen menghabiskan waktunya untuk menguntit para targetnya secara lebih berani. Dan hasilnya, Tio mendapat kesempatan bertransaksi narkoba dengan salah satu bandar berkat pendekatanya kepada anak-anak ekskul futsal.

Jam tujuh malam nanti, ia sudah berjanji untuk bertemu dengan salah satu pengedar narkoba langganan kawan-kawan barunya. Tempat belum dapat di konfirmasi, akan di kabari secara mendadak nanti. Kira-kira begitu isi pesan dari sang pengedar.

Tapi walaupun belum dapat konfirmasi mengenai tempat untuk transaksi, Dafa sudah terlanjur mencari tahu lokasi terkini mengenai si bandar satu ini.

Dan di sinilah mereka berenam sekarang, di dalam mobil van, memantau sebuah rumah yang letaknya di bagian pojok paling belakang perumahan sederhana.

Tio berencana membeli satu gram sabu dari mereka. Bukan jumlah yang besar, membuat para agen BIN yakin, yang akan mendatangi Tio merupakan pengedar kelas bawah. Markas yang mereka temuipun hanyalah rumah kumuh dengan beberapa pria bertampang preman berjejer di depan teras.

"Alexa, cobalah kau mendekati rumah itu, pasang penyadap dan kamera kecil jika memungkinkan."

Arthur yang duduk di jok penumpang depan menghadapkan tubuhnya ke belakang, memberi perintah kepada Alexa yang langsung mengangguk patuh.

Gadis tersebut kemudian membenarkan letak topi baseball hitamnya kemudian keluar dari dalam van.

Alexa berjalan perlahan mendekati bangunan perumahan. Setiap deret ada tujuh rumah yang berjejer ke samping. Sisi paling belakang perumahan ini memang terlihat terbengkalai, tak terpakai lagi. Cat di dinding tembok menguning dan terkelupas. Gentingpun sudah terlihat berlubang. Hanya satu bangunan yang terlihat masih layak dan bangunan itu yang menjadi tujuan Alexa sekarang.

Bagian belakang perumahan berupa perkebunan. Tanaman liar dan berbagai macam pohon terlihat memadati area ini.

Alexa masih terus melangkahkan kakinya. Sesekali kepalanya menengok kesan kemari, mencari tanda-tanda manusia disekitar sini.

Sinar matahari pagi sesekali berhasil menerobos padatnya dedaunan, menerpa tubuh Alexa yang tertutup jaket dan celana beige panjang.

Walau dari tadi Alexa tak menjumpai satu orang pun di sini, jalanya tetap waspada dan berhati-hati. Ia menyelinap dari pohon satu, ke satunya lagi. Mencoba bersembunyi.

Jika ingin melakukan pembunuhan, ini adalah tempat paling tepat. Jauh dari aktifitas penduduk setempat, pikir Alexa.

Lima meter di depanya, bangunan rumah yang di jadikan markas oleh para pengedar telah tampak. Alexa semakin waspada.

Ia berjalan mendekati jendela di samping kanan bangunan. Kepalanya ia tolehkan ke samping kanan dan kiri. Matanya menelusuri secara teliti bagian dalam rumah. Ruangan di depanya ini adalah ruang tamu luas. Beberapa pria berbadan kekar sedang duduk berhadapan. Meja di depanya di isi botol dengan cairan bening di dalamnya, yang Alexa yakini bukanlah air mineral biasa.

Di sudut kanan, ada sebuah ruangan kecil, kemungkinan besar adalah toilet. Selain itu tak ada ruangan lainnya.

Mengetahui situasi di dalam, dengan sigap, tangan Alexa megais bungkus rokok di bawahnya. Ia memasukan sebuah penyadap suara yang kemudian ia letakan di ambang jendela, dekat pintu masuk kanan depan. Sebelumnya, bungkus rokok tadi sudah sedikit Alexa remukkan agar terlihat sudah tak berisi.

"Berlin masuk, penyadap suara sudah terpasang." Alexa berbisik.

"Copy that!"

Dafa yang ada di sebrang kemudian mulai mengatifkan audio yang di dapatkan.

Alexa kembali berjalan ke belakang bangunan. Ia mencari tempat setrategis untuk mengambil gambar visual. Tujuanya kini adalah kaca fentilasi udara di atas jendela. Ia melompat tinggi, memasang gummy cam-sebuah kamera kecil yang dibalut perekat bening mirip plastisin ke kaca jendela.

"Gambar visual sudah bisa kalian saksikan!"

Setelah Alexa mengucapkan kalimat tersebut, sebuah mobil sedan yang sangat di kenali oleh para agen Intelijen melintas di depan mereka.

"Berlin! Tahan posisimu sekarang! Target utama baru saja melewati kita! Cari tempat persembunyian aman, arahan akan di berikan kemudian!"

Arthur langsung memberi komando kepada Alexa. Alexa membalas perintah yang di berikan Arthur sembari berlari ke bangunan di samping markas yang meraka datangi.

Mereka semua memperhatikan mobil yang biasanya di gunakan ke sekolah oleh salah satu target utama mereka, Raditya dengan seksama.

Dan setelah sang pemilik mobil keluar, Tio, Moza, dan ke empat rekan tim lainya mengernyitkan dahinya bertanya-tanya.

"Mau apa Radit ke tempat ini?" Tio berkata heran.

"Mungkin dia ada urusan dengan preman di depan?" nada suara Elang tidak begitu yakin.

Moza masih terdiam. Matanya menatap awas ke depan. Di dalam hati ia bertanya-tanya urusan Raditya dengan perkumpulan preman yang ternyata juga merangkap sebagai pengedar narkoba di depan sana.

"Daf, tambah volume dan perluas jangkauan radar penyadap yang di pasang Alexa tadi." ucapan Arthur di barengi dengan dia yang mengeluarkan kamera DSLR untuk memotret Radit yang keluar dari mobil dengan tas ransel di punggung, mengambil gambar untuk dijadikan bukti di kemudian hari.

Salah satu pria di depan teras berdiri menghampiri Radit. Radit langsung menyerahkan tas ransel di punggung.

"Stock terakhir."

Setelah mengatakan dua kata tersebut Radit masuk ke dalam mobilnya kembali. Tapi ketika mesin mobil telah di hidupkan, seorang pria yang kira-kira berusia pertengahan tiga puluhan dengan tampang yang masih cukup lumayan terlihat mengetuk kaca jendela mobil Radit.

Radit menurunkan kaca jendela mobilnya. Pria tadi berucap kalimat yang juga cukup membuat para agen bertanya-tanya.

"Hati-hati, mereka mulai mengusik lagi!"

Radit tak membalas ucapan pria tadi. Ia hanya tersenyum sinis kemudian menutup kaca jendelanya kembali.

Radit menjalankan mobilnya, melintasi van yang di tumpangi para agen BIN lainya.

"Apa perlu kita mengikuti dia?" Elang memberikan usulan tapi di tolak oleh Arthur.

"Tak usah, kita tetap ke rencana awal. Dafa masih bisa memantau gerak-gerik Raditya dari jauh."

Para agen mengangguk patuh.

"Kalau rumah itu kita grebek sekarang, gimana?" Elang kembali bertanya.

"Kumpulin aja dulu Lang, bukti-buktinya. Tas juga belum tentu isinya ganja," Tio bermonolog.

"Iya juga yak, siapa tahu Radit ngasih buku pelajaran tata krama ke preman-preman itu?" Elang terbahak setelah mengatakanya. Tawanya baru berhenti setelah Dafa mengetok kepala Elang lumayan keras.

"Sakit kali, Daf!"

"Bercanda mulu lagian," Dafa menjawab sambil menyandarkan tubuhnya santai.

"Moza dan Elang nanti turun di area transaksi Tio."

Elang yang masih mengelus-elus kepalanya menengok ke arah Arthur. "Aku sama Alexa aja nanti bang, Moza entar kabur, lagi, ketemu preman kampung. Diakan bakatnya deketin cowok ganteng idaman!"

Moza yang sedaritadi diam kini mulai merasa kesal.

"Apaan sih, Lang! Nggak nyambung!" Moza menyangkal.

"Dia cemburu liat kau kemarin jalan sama Fero, itu, Za!" Dafa lagi-lagi mencari gara-gara dengan Elang tapi Arthur segera menghentikan sebelum terjadi berdebatan panjang.

"Kita pindah lokasi pengintaian, Berlin segera kembali ke dalam van!"






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top