TWENTY ONE - I KNEW WERE YOU TROUBLE

Jam setengah dua dini hari udara di kota Jogja begitu dingin. Moza menyesal hanya mengenakan kaos tipis tanpa membawa jaket atau sweater. Tapi untung saja Fero berinisiatif meminjamkan salah satu jaket nya yang sengaja dia taruh di bagasi mobil bersama beberapa barang lain.

Setelah menerima ajakan Jeje untuk melihat balap mobil yang akan di ikuti Raditya, Moza bersama Fero dan segerombolan anak muda lainnya berkumpul di basemant salah satu gedung yang letaknya di tengah kota.

Acara di mulai setengah jam lagi, tapi para peserta maupun penonton sudah berkumpul di area basemant ini.

"Emangnya nggak bahaya ya, lintasanya pakai jalan protokol?"

Moza yang duduk di kap mobil milik Fero bertanya. Disampingnya ada Fero yang menyandarkan bokongnya di tepi kap mobil, sementara Jeje dan Gilbert berdiri di depan Fero dengan posisi tubuh menghadap ke samping.

"Justru itu yang di cari, Za! Sensasi adrenalin berebut jalan sama pengendara lain!" Jeje menjelaskan sistem perlombaan balapan mobil yang mereka datangi dengan menggebu. "Di sini yang di nilai nggak cuma dulu-duluan sampai garis finish doang! Tapi, ketika lo bisa nyelesaiin balapan tanpa harus menimbulkan kecelakaan dan yang pasti, bisa lolos tanpa kena tangkap polisi, itu artinya lo menang dalam perlombaan!" lanjut laki-laki tambun tersebut.

"Nah, kalau kena tangkep polisi, gimana tuh?" Moza lanjut bertanya, walau ia sudah tahu pasti jawabanya.

"Paling di tahan semalem doang, paginya udah bisa bobok cantik di ranjang! You know-lah, the power of money!"

Moza menggaguk-anggukan kepalanya.

"Prizes?"

"Absolutely, kalau nggak cewek ya uang! Kadang juga drugs."

Kini Gilbert yang membantu menjawab rasa penasaran Moza terhadap dunia balap di lingkungan Raditya dan kawan-kawan. Tapi setelah kalimat terakhir di ucapkan Gilbert, Fero dan Jeje menjadi saling berpandangan. Kemudian kedunya menatap Gilbert dengan pandangan yang seolah mengatakan 'bego! Lo kenapa harus bilang yang itu sih!'

Yang dilakukan Gilbert selanjutnya adalah menundukan kepala sedalam-dalamnya.

Menyadari situasinya bagaimana, Moza berinisiatif untuk memecahkan keadaan dengan berkata, "kenapa? Santai kali!" Moza tertawa keras tanpa di buat-buat. "Temen-temen gue dulu juga enggak jauh-jauh dari barang begituan!" perkataan Moza benar-benar kelihatan natural, bukan bualan. "Lagian anak muda jaman sekarang mana bisa sih, jauh-jauh dari yang begituan?"

Mendengarnya, ketiga laki-laki yang mengitaranya menatap tak percaya.

"Seriusan lo?" Jeje yang memberikan tanggapan pertama kali.

Moza mengangguk, meyakinkan. Senyuman masih terpatri jelas di wajah cantiknya.

"Kalau lo sendiri?"

"You got it, Athena!"

Suara Fero yang terdengar penasaran di susul dengan suara dari Dafa yang terdengar senang di telinga kanan. Ia bersama Tio dan Alexa menunggu di luar gedung, tak masuk ke dalam area basemant.

Lagipula, tanpa masuk kesana pun Dafa dan yang lainya masih bisa memantau dengan jelas, berkat cctv yang berhasil di retas Dafa tentunya.

Moza terseneyum miring, ia menatap Fero lekat. Tubuhnya ia condongkan ke arah lelaki tersebut. Wajah mereka begitu dekat karena Fero yang ikut menundukan kepalanya.

"Menurut lo?"

Lagi-lagi Fero tersenyum miring. Gadis di depanya ini penuh dengan kejutan dan tanda tanya, menantang Fero untuk terus mendekatinya.

Mereka bertatapan cukup lama sebelum Jeje menjewer telinga Fero agar menjauh dari hadapan Moza.

"Apaan sih, Je!" Fero mendengus kesal.

"Emang dasar mesum lo! Cium-cium cewek di depan banyak orang gini? Nggak tau malu pada!" Suara Jeje juga terdengar tidak kalah kesalnya.

Kelakuan kedua sahabat tersebut mengundang tawa dari kedua orang lainya, Moza dan Gilbert.

"Siapa juga yang mau ciuman? Itu tadi cuma saling berpandangan doang kayak di film drakor yang sering lo tonton, noh! Nggak ada cium-cium!" Fero berucap galak.

"Eh, gue mana ada ya, liat drakor! Tontonan gua Netflix, boy!" Jeje menentang ucapan dari Fero.

"Tapi tetep, yang di liat series dari Korea?"

"Ya... Kadang," Jeje berucap malu-malu sambil menggaruk tengkuknya yang Moza rasa tidak sedang gatal.

"Sama aja, bego!" Fero berucap gemas pada Jeje. Moza tertawa renyah bersama Gilbert.

"Udah ah, kalian bikin gua jadi tambah edan!" Gilbert mencoba melerai pertengkaran Jeje dan Fero.

"Kalian nggak ikut tanding? Mobil-mobil kalian lumayan kayaknya, buat ikut begituan," Moza kembali berucap setelah kesunyian yang cukup panjang. Matanya ia arahkan ke mobil-mobil yang di bawa oleh ketiga lelaki tersebut. Jeje tertawa mendengar ucapan Moza, membuatnya mengernyitkan dahi bertanya-tanya.

"Kenapa?"

"Nih ya, gue jelasin satu-satu!" Jeje berkata dengan ekspresi masih menahan tawa. Moza menggangguk bingung menanggapinya.

"Fero trauma gara-gara dia sempet kecelakaan pas ikut balapan. Alhasil dia di kurung sama emaknya berminggu-minggu, nggak boleh keluar kemana-mana!" Moza tertawa membayangkan orang sesangar Fero harus mendekam di dalam rumah karena paksaan dari ibunya.

"Itu juga karena masa pemulihan kali!" Fero berucap tak terima.

Tanpa mengindahkan wajah sebal Fero, Jeje melanjutkan ucapanya. "Kalau si curut itu tuh!" Jeje menunjuk Gilbert yang memasang tampang was-was. "Dia jago balapan tapi kalau pas di air doang!"

Gilbert memang seorang atlet jetski. Ia pernah memenangi beberapa kejuaraan, baik yang sekala nasional maupun internasional. Gilbert bahkan masuk ke dalam sepuluh besar atlet jetski terbaik dunia. Tapi sekali lagi, di balik prestasinya yang gemilang, Gilbert tetap terperangkap ke dalam kubangan obat-obatan terlarang.

"Maksudnya?" Moza pura-pura tak paham. Ia sebenarnya benci menjadi orang yang sok polos seakan tak tahu apa-apa seperti ini, tapi ya mau bagaimana lagi, misinya menuntutnya untuk menjadi Moza yang penuh tipu muslihat semacam ini. Mau tak mau Moza harus jalani.

"Dia atlet jetski." jelas Jeje akhirnya.

Moza mengangguk-angguk sambil menatap Gilbert kagum. Ia kemudian memukul lengan Gilbert yang kini ikut menyandarkan bokongnya ke kap mobil Fero di sisi kiri. "Wih! Hebat lo Gil!"

Gilbert tersenyum bangga. "Thank you Moza!"

"Kalau lo, kenapa nggak ikutan Je?"

"Dia cupu Za! Dah, nggak ada lanjutanya!"

Jeje mendengus kesal. Segala kalimat panjang lebar yang sudah ia persiapkan untuk menjelaskan alasanya tak ikut balapan menguap begitu saja setelah Fero mendahuluinya berbicara di saat ia baru membuka mulutnya, membuat Moza lagi-lagi tertawa melihat tingkah konyol ketiga target operasinya.

Tapi tawa Moza hanya berlangsung selama lima detik karena di detik berikutnya, laporan dari Elang membuat tegang semua agen yang terlibat dalam misi ini.

"Moscow masuk, tengah mengikuti target yang terlihat di seret oleh seseorang. Akan memberikan bantuan jika benar-benar sebuah ancaman!"

Ucapan Elang mendapat tanggapan dari Dafa.

"London masuk, kronologis. Dari awal." Dafa meminta keterangan secara lebih jelas, Elang yang sedang berjalan mengikuti Nadia dan tiga orang pria menjelaskan singkat.

"12. 47, Moscow berpindah posisi pemantauan ke sebrang ruangan target wanita. Keadaan masih aman. 1. 19, tiga orang pria datang, masuk ke dalam ruangan tempat target wanita. Lima menit berikutnya mereka keluar. Dua orang pria mencekal lengan target, satu orang membuka jalan."

Elang menyelesaikan kalimatnya. Ia masih mengikuti ke empat orang di depanya yang kini berjalan ke arah belakang gedung club malam tersebut, membuat rasa curiga Elang kembali membuncah.

"Apa bukan orang suruhan dari target lainya?" target lainnya yang di maksud Dafa di sini adalah Raditya.

Para agen sempat menunggu lama Elang memberikan jawaban. Di sana, Elang juga sempat kebingunan. Nadia dalam keadaan mabuk, tidak sadar, sangat wajar jika dia akan meronta jika di seret oleh dua orang pria. Apalagi orang kepercayaan yang Radit maksud tidak spesifik.

"Belum bisa di konfirmasi. Moscow masih mengikuti, akan terus memberikan laporan perkembangan situasi."

"Need a back up?" Tio memberikan tawaran bantuanya.

"Seharusnya tiga orang pria bukan masalah. Wanita mabuknya nanti yang akan merepotkan." nada suara Elang terdengar santai, membuat tiga rekan timnya terkekeh pelan di sana.

Elang terus mengikuti ke empat orang didepanya. Sesekali berhenti untuk bersembunyi. Kakinya kini menapak di area parkir khusus karyawan. Belasan motor berjajar rapi. Suasana tempat ini sepi, tak terlihat orang sama sekali.

Mata tajam Elang terus menatap punggung mungil Nadia. Racauan Nadia yang tadinya berupa gumaman kini mulai berubah menjadi nada sentakan.

"Lepasan gue!" Nadia menggertak keras. Tanganya terus dia gerakan secara kasar, mencoba melepas cengkraman dari dua orang pria yang masih setia memegangi kedua lengannya.

Melihat Nadia yang terus berontak tak membuat pria-pria tersebut berhenti berjalan. Bahkan Nadia terlihat di seret agar gadis tersebut kembali bergerak dari tempatnya berdiri.

"Lo pada budek apa gimana sih! Lepasin gue, bangsat!" teriak Nadia sekali lagi.

Laki-laki yang memimpin jalan membalikan badanya ke balakang. Wajahnya merah padam. Ia terlihat marah setelah mendengar kata-kata kasar dari mulut Nadia barusan. Pria tersebut kemudian berjalan menghampiri Nadia.

Melihat pria kekar di depanya terlihat kesal tak membuat Nadia merasa terancam. Ia malah menatap balik mata pria di depanya dengan pandangan menantang.

Elang yang bersembunyi di antara motor yang terparkir masih memantau tenang.

"Jaga ucapanmu, jalang!" teriak pria tersebut tepat di depan wajah Nadia.
Mendengarnya, Nadia tertawa kencang. Ia kemudian membuang ludahnya tepat di ujung sepatu hitam mengkilap yang di pakai oleh pria tersebut.

"Lo cuma pesuruh bokap gue. Jadi jangan sok-"

Belum sempat Nadia menyelesaikan kalimatnya, sebuah tamparan keras mendarat di pipi kirinya, saking kencangnya kepala Nadia menjadi menoleh ke sisi kanan. Pria tersebut kemudian tersenyum miring sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Pandangan meremehkan ia tujukan pada gadis di depanya.

Elang yang menyaksikan kejadian barusan mulai merasa tegang. Ada yang salah dari ketiga pria tersebut. Jika mereka memang pengawal, baik dari pihak ayah Nadia ataupun Raditya, seharusnya mereka tidak berani untuk menyakiti gadis tersebut. Tugas mereka melindungi, bukan menyakiti.

Dengan posisinya yang tak berubah, Nadia berucap lirih, "siapa kalian?"

Laki-laki yang tadi menampar Nadia kini tersenyum menang. Ia mendongak sebelum tanganya mencengkram wajah Nadia agar kembali menatap matanya.

"Bukanya kau bilang kami adalah pesuruh ayahmu?" ucapanya dengan nada remeh.

Nadia menggelengkan kepalanya. Tangannya kini kembali bergerak brutal. Kakinya ikut menendang-nendang, berusaha lepas dari cengkraman. Tapi apa daya, tenaganya tak cukup untuk melawan ketiga pria besar di depanya.

"Lepasin gue! Please!" teriaknya sekali lagi, masih di barengi usaha untuk bisa kabur.

Pria didepanya tertawa keras. Ia melepaskan cengkraman di wajah Nadia kasar. "Sekarang kau memohon? Jangan harap kau bisa lepas dari cengkraman kami, jalang!"

"Tolong!" tanpa memperdulikan ucapan pria tadi Nadia terus berontak. Yang di pikirkan olehnya saat ini hanyalah bagaimana caranya ia bisa kabur.

"Kau harus membayar perbuatan ayahmu!" setelah mengucapkan kalimat tersebut ia membalikan tubuhnya. "Seret dia ke dalam mobil!" perintah pria tersebut kepada dua orang rekanya.

Nadia terus berontak, mencoba melepaskan diri, tapi sia-sia saja, cengkraman dari dua pria di samping kanan kirinya malah semakin mengerat. Kini badanya di seret menuju sebuah mobil Range Rover hitam di depan sana.

"Tolong!" teriak Nadia sekali lagi, berharap ada seseorang yang melintasi area sepi ini. "Lepasin gue, bajingan!"

"Moscow akan memberikan bantuan kepada target!"

Belum sempat mendapat jawaban dari rekan timnya, Elang sudah keluar dari tempat persembunyuinya. Ia berjalan mengendap mendekati Nadia dan ketiga pria di depanya.

Tepat setelah ia berada di belakang Nadia, siku Elang menghantam leher pria yang mencengkram lengan kanan Nadia dengan keras, membuat badanya mundur ke belakang dengan kedua tangan yang memegangi lehernya.

Pria sebelah kiri menengok ke belakang, Elang langsung mencengkram pundak pria tersebut kemudian menghantam ulu hati pria tersebut bertubi menggunakan siku kaki.

Gerakan Elang gesit dan cepat. Ia tak memberi kesempatan kepada lawanya untuk membalas pukulan telak darinya.

Melihat dirinya terlepas dari cengkraman, Nadia segera berjalan menjauhi keempat pria yang ada di sana. Walau jalanya sempoyongan, ia berusaha berlari, menjauhi situasi berbahaya di belakang sana.

Pria yang tadi menampar Nadia berusaha mengejar, tapi Elang menghalangi. Ia menghadang jalan, memberi waktu pada Nadia agar menjauhi lokasi tempat ia nyaris di bawa pergi oleh orang asing.

"Tak perlu jadi jagoan! Kau tak tahu apa yang sedang kau lakukan!" sentak pria tersebut kepada Elang.

"Yang kulakukan? Aku jelas sedang menyelamatkan seorang gadis yang akan kalian culik, bukan?" balas Elang dengan nada meremehkan.

Pria tadi tertawa remeh. Senyuman culas ia tampilkan. "Banyak omong!" sentaknya. "Kau ada di pihak mana?" lanjutnya.

Elang mengernyit bingung. Sedetik kemudian kekhawatiran melanda dirinya. Ia takut pria di depanya ini mengetahui identitasnya sebagai seorang agen Intelijen. Tapi apakah secepat ini identitasnya akan terbongkar?

"Apa maksudmu?" Elang bertanya heran.
Pria itu kembali tertawa, tawa keras yang di buat-buat, membuat Elang mendengus kesal.

Pria tersebut kemudian berjalan mendekati Elang. Tanganya menepuk-nepuk bahu Elang berkali-kali. Kepalanya menoleh kebelakang, menatap kedua rekanya yang membungkukan badan sambil meringis kesakitan. "Bocah polos rupanya!" ucap sang pria kepada dua orang kawanya, yang tentu saja tak mendapat tanggapan karena mereka sendiri sedang sibuk dengan rasa sakit yang menjalar.

Elang mengernyit bingung sekaligus heran. Matanya melirik tangan kiri pria rersebut yang masih menempel di pundak kananya. Pandangannya melebar setelah matanya menangkap tato kepala serigala dengan tinta merah di punggung tangan pria tersebut. Wajahnya berpaling, menatap tangan kiri dua orang pria lainya.

Ia tercengang, dua pria di depan sana juga memiliki tato yang sama. Letaknya pun sama persis.

"Aku salut akan keahlian bela dirimu." pria di depanya kembali menatapnya. "Tapi lain kali, cobalah untuk melihat situasi dan kondisi. Siapa tahu, yang sedang kau anggap salah itu sebenarnya awal dari sebuah kebenaran." Pesanya.

Ia kemudian menepuk pundak Elang lagi kemudian berjalan ke arah mobil yang terparkir di dekat gerbang.

"Kalian berdua cepat kemari. Kita cari gadis itu lagi! Dia pasti masih di sekitar sini!"

Tegasnya, memerintah dua orang pria lainnya. Mereka mengangguk patuh kemudian ikut masuk ke dalam mobil hitam di depan sana, meninggalkan Elang yang sedang kebingungan dan bertanya-tanya, "dia barusan ngomongin apa ya?"



















P.s : info Trailer

Sup guys!

Saya iseng buat trailer cerita Speak The Truth, bisa di cek di part cast & trailer. Hasilnya emang nggak bagus-bagus amatt, tapi masih bisa lahh yaww, di kasih liat ke kleannn ehehee #oposih

Thank you, silahkan di voment xD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top