TWENTY EIGHT - RESTLESS

Ada banyak makian yang ingin Arthur lontarkan, tapi coba ia tahan dengan alasan tidak ingin terlihat konyol di antara rekan timnya. Jika boleh jujur, ia sangat lelah. Lelah karena harus selalu siap baku hantam dengan para targetnya, lelah setiap saat selalu waspada dan terus berpikir demi berjalanya misi, dan lelah karena harus terlihat tenang, terlihat semua akan baik-baik saja di depan rekan kerjanya. Banyak beban yang selalu ia pendam dan rasakan sendirian. Hidup di tengah ancaman membuatnya selalu bertanya-tanya, apakah kedamaian itu sebenarnya ada di dunia yang sedang ia pijak ini?

Akhir-akhir ini, Arthur mulai memikirkan kembali perkataan Elang beberapa tahun silam. Malam itu ketika mereka sama-sama berkunjung ke makam kedua orangtuanya, dirinya hanya menunggu di dalam mobil. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tapi yang jelas adiknya itu telah berupaya menyeretnya keluar dari dalam mobil tapi ia tak bergerak sedikitpun. Elang memaki tapi seakan telinganya tuli. Ia hanya berkata 'abang doa dari sini, lagi capek.'

Elang mendecih sambil melipat tangannya di depan dada. Dengan nada garangnya, adiknya yang kurang ajar tersebut mencercanya habis-habisan selama bermenit-menit lamanya, tapi dari ceramah di tengah kuburan yang dilakukan adik lelakinya, ada tiga kalimat yang berhasil mencubit secuil hatinya serta melekat dalam hati dan kepalannya sampai sekarang, dan mungkin akan ia terus ingat sampai kematian menghampirinya.

"Bang Arthur capek karena semuanya berusaha diselesaikan sendiri, itu masalahnya!"

"Pikiran abang terlalu logis, sampai bikin hati abang terkikis!"

"Abang terlalu sibuk sama pikiran abang, sampai nggak peka kalau ada yang peduli sama bang Arthur..."

Yah, begitulah faktanya seorang Arthur beberapa tahun belakangan.  Arthur yang beringas tapi cerdas, Arthur yang selalu merasa tidak puas jika kata 'misi selesai' belum terucap langsung dari mulut sang atasan. Dulu Ia juga tidak segan untuk menyiksa targetnya demi terungkapnya sebuah informasi. Ia benar-benar rela melakukan segalanya tanpa pandang bulu. Oh, jangan lupakan salah satu prinsipnya yang selalu mengangap rekan kerja hanyalah sebuah beban dan penggangu.

Sedikit berbeda, akhir-akhir ini Arthur lebih sering menjalankan misi bersama tim daripada misi yang di jalankan sendiri seperti beberapa tahun lalu. Bersama tim- dengan kepribadian mereka yang beragam pastinya, membuatnya mempertahankan sepercik nurani di hatinya. Ia belajar untuk hangat. Dan di hadapan targetnya saat ini, akan ia uji seberapa besar kekuatan nurani yang selama ini telah ia asah dan pelihara.

"Edgar Dewangsa!"

Arthur muncul dari balik pintu kamar mandi. Edgar yang mendengar suara seseorang yang sepertinya tidak asing membalikkan tubuhnya. Ia tercengang. Perlahan ia berjalan menghampiri Arthur.

"Lo..." Edgar menunjuk wajah Arthur. "Lo guru olahraga yang baru itu kan?"

Arthur diam. Ia berdiri santai. Tangannya ia lipat di depan dada, gestur yang berusaha ia tunjukkan untuk menunjukkan bahwa Edgar ada dalam genggamannya.

"Jadi sebenarnya selama ini lo Intel? Udah lama lo ngincer gue?" Edgar tertawa keras, Arthur masih diam membiarkan.

"Nih ya gue kasih tau," Edgar menepuk-nepuk pundak Arthur, "gue tau lo polisi rendahan yang berjuang untuk naik pangkat buat bisa dapet gaji lumayan, tapi daripada lo susah payah dan berjuang mati-matian kayak gini, yang nantinya atasan lo bakal nutup ini kasus padahal sebenarnya belum selesai, mendingan lo gabung ke kita aja. Percuma man, Serigala Merah bukan tandingan lo!"

"Jadi benar, kau anggota Serigala Merah?"

"It's done. Edgar Dewangsa membuka sendiri rahasianya." Dafa bergumam. Rekan kerjanya ikut memanggut-manggut antusias.

Kini raut wajah Edgar berubah menjadi pucat pasi. Ia terlihat ling-lung. Kakinya perlahan mundur kebelakang. Langkah Arthur mantap maju ke depan.

"Kenapa berhenti? Ayo, gunakan mulut besarmu itu untuk mengungkap lebih banyak lagi informasi tentang Serigala Merah."

Edgar menyadari sesuatu dari ucapan Arthur barusan, walau sebenarnya ia juga tidak yakin dengan tebakannya. Kini di matanya ada sepercik keangkuhan yang beberapa saat lalu meredup. Bibirnya ikut terangkat, membentuk seringai licik. Kepalanya ia dongakan. Punggungnya yang telah menabrak tembok kini tak terlihat tegang lagi. Mentalnya kembali ia kuatkan untuk balik menatap tajam mata Arthur.

"Lo butuh informasi. "

"Skor satu sama. Edgar juga mengetahui kelemahan kita." Elang tiba-tiba bersuara setelah kembali entah darimana.

Arthur memalingkan wajahnya sambil membuang nafas keras. Bibirnya ikut tersenyum, namun tak ada rona kesal di wajahnya. Kini ia melepaskan kungkungan dan mulai memundurkan badannya kebelakang.

Melihat raut wajah pria di depannya Edgar tambah percaya diri untuk mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.

"Lo butuh informasi dan gue nggak akan pernah ngasih apapun ke elo kecuali umpatan!" Edgar berkata mantap.

"Meskipun di paksa serta ancam dengan segala cara?"

Edgar tertawa keras mendengar perkataan Arthur barusan, "You don't have anything! So stop your bullshit!"

Arthur kembali menyeringai, seringai yang sebenarnya membuat bulu kuduk Edgar bahkan kelima agen yang menyaksikan di luar ikut meremang.

"Sebenarnya Edgar, di dalam dunia yang telah saya geluti bertahun-tahun ini, statusmu saat ini adalah netral. Kau bisa saja bungkam terhadap pihak musuhmu, dan berkata jujur kepada pihakmu- yah... kalau kau nantinya berhasil keluar dari sini dalam keadaan masih bernyawa," Arthur menekankan kata 'masih bernyawa' kepada lelaki didepannya ini yang masih mencoba mempertahankan senyum kaku di bibirnya,

"kau bisa saja tak mengatakan apapun kepada pihak lawan, tapi apakah pihakmu akan percaya begitu saja? Tentu tidak. Apalagi Serigala Merah, kau yang lebih tahu segalanya tentang mereka daripada saya bukan?"

Edgar diam. Mata sayunya tak setajam beberapa detik lalu. Emosinya benar-benar cepat berubah.

"Pikiran baik-baik. Kau bisa jauh lebih baik daripada keadaanmu yang sekarang."

Arthur berusaha menepuk pundak Edgar tapi langsung di tahan. Sorot mata tajam dari pemuda di depannya dihujamkan kepadanya tapi sejujurnya itu tak berarti apa-apa bagi seorang Arthur.

"Lo nggak tahu apa-apa."

Arthur tersenyum. Kakinya mulai mundur kebelakang, "pertimbangan dengan cermat, Alesha masih butuh dukungan kakak lelakinya."

Pesan terakhir dari Arthur sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi sontak membuat Edgar membulatkan mata tak percaya.

"Gue nggak peduli! Dan lo nggak tahu apa-apa!-"

Entah makian apalagi yang dilontarkan. Kalimatnya teredam karena pintu kamar mandi yang kembali di kunci.

Kembali ke ruang tamu, semua pandangan terarah kepadanya. Arthur mengembuskan nafas lelahnya lantas menjatuhkan badannya ke sofa, bersebelahan dengan Dafa di sana.

"Untuk kesekian kalinya kita tidak mendapatkan-"

"Belum." Ucapan Dafa segera di ralat Elang yang hanya di tanggapi malas-malasan oleh Dafa.

Beberapa detik berikutnya tak ada percakapan. Umpatan Edgar yang beberapa waktu lalu menjadi backsound mengalahkan Eminem yang biasanya Dafa putar keras-keras kini ikut hening. Dari layar monitor terlihat laki-laki tersebut duduk menunduk di atas kloset. Mereka benar-benar tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Moza sendiri tengah memikirkan semua percakapan antara Edgar bersama Arthur di dalam kamar mandi tadi.

"Intonasinya pernyataan. Dia berpengalaman." Tanpa sadar Moza menyuarakan pikirannya. Semua orang tiba-tiba menatapnya bingung, "Edgar, saat dia menyebut kata informasi." Kelima kawanya manggut-manggut mencoba memahami.

"Mungkin tidak, sedari awal kita sebenarnya berperang?"

Semua rekan timnya kembali bertanya-tanya mendengar teori konyol dari mulut Moza. "Eh, lupakan," Moza tersenyum kikuk.

Ting!

Nada pesan dari ponselnya berhasil membuatnya kabur dari obrolan aneh yang di buatnya. Ia memilih membuka pesan tersebut, tak peduli jika nantinya hanyalah dari pihak operator atau malah pesan tak penting berisi penawaran peminjaman dana. Tujuannya hanyalah menghindar dari tatapan penuh tuntutan penjelasan dari kelima rekanya.

Tapi dugaan Moza keliru. Sederet angka yang salah satunya berisi koordinat berhasil menegakkan duduknya. Matanya menyipit mencoba mencerna sekaligus mengingat semua bentuk penipuan berbentuk spam chat, apakah salah satunya menggunakan koordinat tempat seperti ini.

"Kenapa? Fero ngajak nge-date lagi?" Melihat wajah Moza seserius itu menatap layar ponsel membuat Elang bertanya ketus, tentunya hal itu berhasil menerbitkan senyum culas bagi Dafa dan Tio. Tapi keduanya hanya saling tatap sambil senyum-senyum tak jelas, enggan memancing ketegangan di suasana serius semacam ini.

"Apa ada bentuk penipuan berbentuk spam chat yang isi pesannya menyatakan waktu, koordinat, plat mobil, dan berat barang?" Tiba-tiba Moza bersuara.

"Maksudnya?"

Buru-buru Moza membalik layar handphonenya, memperlihatkan sebuah pesan dari nomer yang tidak di kenal yang baru di terimanya.

Dafa menyerobot ponsel Moza. Bola matanya berkali-kali bergantian menatap antara laptop dan ponsel Moza yang ada di atas meja. Jari-jarinya mengetik dengan tergesa di keyboard laptop saktinya. Semua orang ikut tegang menyaksikan hasil dari entah apa yang sedang di lakukan oleh Dafa. Lima menit yang terasa seperti berjam-jam akhirnya berlalu. Tombol enter yang di tekan keras-keras menjadi akhir ketikan panjang Dafa.

"I got it! Koordinat itu merujuk ke gedung tempat balapan liar yang pernah didatangi oleh Moza dan Fero, sementara plat mobil ini terdaftar atas nama salah satu jasa pengiriman barang. Fakta baru, gedung ini dimiliki oleh keluarga Raditya."

"Pukul 20. 13 WIB, basemant gedung, mobil jasa pengiriman barang, 5 gram. Jika di pikir-pikir informasi ini bisa valid." Alexa menyusun kalimat dari deretan angka di ponsel Moza.

"Tapi ini terlihat begitu jelas. Apa-" Tio terlihat kebingungan menyusun kalimat berikutnya, "sebut saja 'si informan' satu ini terlahir begitu dermawan?" Lanjutnya dengan menekan kata si informan.

Beberapa terlihat menyetujui perkataan Tio barusan. Sebagai seorang agen intelijen, tidak mudah percaya dan bertindak berdasarkan fakta dan perintah adalah prioritas utama. Tapi terkadang bergerak berdasarkan insting yang sudah terasah tak jarang menjadi faktor penentu keberhasilan misi.

Kini mereka mulai dilema, akan menindaklanjuti pesan barusan atau membiarkannya dan menganggap itu hanyalah pesan dari orang iseng belaka.

"Dimana keberadaan sinyal terakhir dari si pengirim pesan?"

Elang memilih pilihan pertama dengan mencoba melecak keberadaan ponsel si pengirim pesan. Mungkin jika beruntung, melalui pesan ini ia akan menemukan titik terang yang kemungkinannya hanyalah harapan kosong semata.

Dafa kembali berkutat dengan laptopnya. Setelah kembali menunggu, gambar map dengan titik merah sebagai target telah berhasil di dapatkannya. Sebelum berucap, ia tersenyum masam, "mungkin ini realita dari mencari jarum di tumpukan jerami, koordinat tadi hanya menunjukkan tempat, tidak dengan lokasi persisnya. Plaza Point Mall."

Celaka! Plaza Point Mall adalah pusat perbelanjaan terbesar di Yogyakarta! Apalagi Dafa hanya bisa membantu menemukan koordinat tempat, tidak dengan lorong, sudut, atau bahkan lantai.

"Aku akan pergi ke sana." Elang berucap tenang.















Eeyoww,

Chapter kali ini merupakan bab yang menurut saya sangat menguras otak, saya yang tidak terbiasa menulis deskripsi penuh dengan diksi dan makna mencoba untuk nge-bullshit wkwk #ancurparah

Maap juga yakk, karena ada satu dan lain hal minggu kemarin belum bisa update. Tapi di chapter ini kebayarlahyaww, 1. 600-an word! #sombongdikitchapternyaagakpanjang

Voment yukk buat penyemangat proses kepenulisan next chapter!

See ya all xD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top