THIRTY ONE - THE BASEMANT
Beberapa saat sebelum Edgar mengakui beberapa hal tentang keterlibatannya dengan Serigala Merah, Moza bersama Tio telah berhasil memasuki area basemant gedung tempat ia dulu bersama Fero dan beberapa anak Budi Bangsa lainya menyaksikan balapan mobil yang di ikuti Raditya.
Agen berkode Athena dan Tokyo ini berangkat lebih awal dengan alasan ingin memeriksa keadaan serta keamanan di sekitar lokasi.
Setelah menunggu setengah jam, mobil van hitam dengan plat nomer persis seperti apa yang ia dapatkan dari pesan misterius yang dikirimkan kepada Moza ternyata benar-benar datang. Sebenarnya selisih tiga menit dari waktu yang di janjikan. Tapi bukan itu yang menganggu pikiran Moza sekarang, melainkan setelah mesin mobil dimatikan, tak seorangpun ada yang keluar dari mobil tadi. Ia maupun Tio tak keberatan untuk turun sekedar melihat keadaan di dalam van hitam, tapi Dafa melarang. Dafa mengintruksikan untuk menunggu.
"Dua puluh menit berlalu. Jika dalam tiga menit tak ada yang bergerak dari dalam van, Tokyo akan turun melihat keadaan di dalam van. Ganti."
Tak ada tanggapan. Moza mulai merasakan ketegangan. Ia tahu tindakan gegabah dan terburu-buru biasanya memiliki tingkat kegagalan yang lebih besar. Tapi diam tak bergerak padahal mangsa ada di depan mata bukanlah gaya manusia semacam Tio. Dia yang lebih sering di tugaskan dalam tim sergap memiliki insting yang kuat untuk langsung tangkap pelaku di depan.
Namun harus di akui, insting Tio kini tidak bisa sepenuhnya di percaya. Ketika bersama tim sergapnya, ia menangkap seseorang berdasarkan perintah dari atasan, lepas dari kenyataan bahwa orang yang di tangkap benar-benar tersangka atau malah menjadi pelaku karena unsur kepentingan semata. Setidaknya ia menangkap karena perintah atasan.
Tapi kini bisa di katakan tim Tio yang sekarang tengah melakukan penyelidikan sendirian. Jika ada kesalahan, mereka langsung yang akan mendapat kecaman. Inilah alasan Dafa, Arthur, Moza, dan anggota tim lainnya sangat berhati-hati dalam menghadapi situasi serta menyusun strategi. Mereka harus bergerak secara tepat dan cepat, juga cermat. Kesalahan sekecil apapun memiliki resiko kehilangan nyawa mereka sendiri. Kecerdasan mereka sangat di mainkan sekarang.
Mata Moza menatap tajam ke arah jendela mobil yang terbuka sedikit. Sebuah tangan yang tengah mengapit rokok terlihat menjetikan jarinya, mencoba membuang abu yang masih menempel di ujung rokok yang membara. Terlihat kepulan asap tipis yang berasal dari dalam mobil van hitam yang sedari tadi di awasi kedua agen dari dalam mobil yang terparkir berjarak dua blok dengan mobil targetnya.
Tiga menit berlalu. Melihat suasana yang agak lenggang, Tio melepaskan safety belt nya. Pintu sebelah kanan di buka. Sebelum Tio berhasil menapakkan kakinya di area basemant, Moza mencekal lengan Tio. Sorot gadis itu tajam memperingatkan.
"Kau pasti juga berpikir jika ini bisa jadi sebuah jebakan, bukan?"
Ucapan dari Moza barusan tak langsung mendapat balasan. Moza tidak lagi ingin bertindak gegabah seperti pengejarannya tadi siang yang menyebabkan satu target lolos dari pengawasan.
"Moscow dan Berlin mendapatkan bukti. Setidaknya salah satu dari kita juga harus kembali dengan sedikit informasi."
Apakah Tio berpikir untuk mengorbankan diri?
"Tokyo akan mendekati target. Meminta bantuan kepada London untuk menghambat kamera pengawas. Ganti."
"Athena bersama Tokyo-"
"Tidak!" Belum sempat Moza menyelesaikan kalimatnya, Tio memotong tegas. "Kau tetap di dalam mobil! Menjadi pengawas! Bukankah kau bilang ini bisa jadi sebuah jebakan?"
Tio membalikkan kalimat Moza, membuat gadis itu menjadi terdiam lesu.
"Waktumu dua menit untuk mendekati target."
Arahan dari Dafa membuat Tio bergegas keluar dari sedan yang ia tumpangi bersama Moza. Ia kemudian berjalan tenang menghampiri van hitam. Suasana basemant yang sepi mempermudah pergerakan Tio mendekati targetnya. Ia menuju pintu penumpang depan. Sesampainya, tangan kirinya meraih handle pintu mobil. Namun saat ia mencoba menariknya, pintu tak berhasil terbuka.
"Buka pintu!" Tio berucap sambil menggedor kaca mobil.
Seseorang di dalam mobil terlihat kaget melihat kedatangan Tio yang tiba-tiba. Ia reflek memojokkan dirinya ke arah kanan, menempel dengan pintu pengemudi. Matanya melirik sebuah foto yang ia taruh di atas dashboard mobil, berdekatan dengan kotak rokok dan mainan anjing yang tak lelah menggoyangkan kepalanya.
"Buka pintu!" Geram Tio kembali.
"Kau bukan orangnya!"
Tio masih bisa mendengar teriakkan seseorang dari dalam mobil itu lirih. Dari berat suaranya jelas laki-laki.
Di tengah ketegangan, seseorang di dalam mobil van itu merasakan benda dingin yang menempel di atas ubun-ubunya. Perlahan ia mencoba melirik ke arah belakang. Siluet perempuan yang menutupi sebagian kepalanya dengan hoodie hitam miliknya terlihat menyeringai.
Tangan sang wanita yang menyelinap di kaca mobil yang sedikit ia buka tengah menekan sebuah pistol lengkap dengan peredam ke kepalanya. Bunyi 'klik' dari senjata api membuatnya semakin ketakutan.
"Buka pintu atau kepalamu ku buat berlubang." Nada suara Moza terdengar tenang.
Pria itu menurut. Ia bergerak perlahan membuka kunci otomatis.
Begitu kunci terbuka, Tio bergegas masuk ke pintu penumpang depan sementara Moza persis duduk di belakang target mereka. Moncong senjata masih Moza todongkan di perut bagian kiri pria paruh baya tersebut. Jaket hitam dengan logo jasa pengiriman barang bisa Moza lihat melalui kaca spion kecil yang menggantung di depan.
"Nama!"
Nada suara tegas dari Tio membuat raut wajah keruh sang pria semakin mengkerut. Keringat dingin terlihat mulai mengucur membasahi dahi pria itu. Tangannya sedikit terangkat dengan telapak tangan menghadap ke arah Tio, gestur yang mengisyaratkan tak akan melawan.
Lima belas detik berlalu tapi tak ada jawaban. Moza melirik ke arah Tio yang mulai kehilangan kesabaran.
"Kami hanya ingin bertanya, tapi jika kau berbohong, senjata yang menempel di perutmu ini yang akan bertindak selanjutnya." Walaupun matanya terlihat mengintimidasi, tapi nada suara Tio kini sedikit tenang.
Pria itu mengangguk kaku sebagai jawaban.
"Kami butuh identitas milikmu."
"Jelaskan dulu kenapa aku tiba-tiba di todong seperti ini! Aku merasa tidak sedang melanggar hukum, tapi kalian seenaknya menodong senjata ke arahku!" Mendengar suara Tio yang melunak, pria itu mulai memberanikan diri untuk bertingkah galak.
Tio melirik Moza. Seakan paham dengan sorot mata yang di pancarkan, Moza mulai berbicara alasan mereka menyergap pria ini.
"Kami mendapat informasi bahwa ada transaksi di basemant gedung ini,"
Saat Moza memulai penjelasannya, Tio mulai melancarkan pengeledahannya. Matanya menyoroti ke area dalam mobil. Aneh. Walaupun mobil jasa pengiriman barang, ia tak mendapati barang yang akan di kirim satupun. Area belakang van terlihat lenggang. Matanya kemudian beralih ke depan. Tangannya membuka laci dashboard mobil depan. Ia menemukan sebuah dompet.
"Hei! Kau tak bisa mengambil barang milik orang lain seenaknya seperti ini!" Pria itu tiba-tiba menyerobot dompet yang baru saja ingin di raih Tio.
"Jika merasa tidak melanggar hukum, kenapa kau terlihat takut seperti ini?"
"Aku tidak takut, sialan!"
"Gerak gerik yang kau tunjukkan mengatakan sebaliknya."
Hening. Pria itu terdiam mendengar ucapan menusuk dari Tio barusan.
Tio menghela nafasnya. Tangan kanannya meraih kantung belakang saku celananya. Dikeluarkannya kartu identitas Kepolisian dengan nama Bara Pramudya. Jika di telusuri, Bara Pramudya memanglah anggota kepolisian aktif sampai sekarang. Bedanya selain pas foto yang telah di ganti dengan wajah Tio serta nomer anggota yang baru saja dimasukkan ke dalam data base milik Polri oleh Dafa, Bara yang asli bertugas di bagian barang bukti. Interaksinya sangat terbatas dengan orang dari luar Kepolisian.
Identitas palsu bukanlah hal yang asing bagi Moza. Ia pernah memiliki selusin kartu identitas palsu dalam sebuah misi. Mulai dari pegawai hotel, petugas mini market, barista di salah satu kedai kopi berlambang putri duyung berekor ganda, hingga menjadi murit di salah satu pondok pesantren pernah ia jajaki. Dan menjadi anggota Satresnarkoba seperti sekarang bersama Tio adalah hal yang paling sering dia perankan.
"Kami dari kepolisian, mendapat informasi mengenai transaksi narkoba di basemant gedung ini. Plat dan jenis mobil sama dengan yang kau gunakan sekarang." Tio berucap sambil membuka kilat kartu identitas palsu buatan Dafa di misi ini.
Menjadi anggota Kepolisian adalah penyamaran yang paling sempurna jika Moza sedang menjalankan tugas yang berkaitan dengan kriminalitas seperti sekarang. Mengaku kalau mereka anggota Badan Intilejen Negara tidak pernah terlintas di kepala Moza ataupun rekanya. Seolah kalimat itu di program hapus permanen dari otak mereka.
"Orang gila mana yang memberikan informasi berkaitan dengan narkoba segamblang itu, ha?" Si pria kembali bertingkah galak.
"Sebagai anggota yang baik, di dukung informasi valid, kami ingin melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Jika anda sendiri tidak mau mengaku, dengan beberapa bukti yang ada, anda bisa kami bawa ke kantor untuk pemeriksaan lebih lanjut untuk kepentingan laporan. Tapi kalau memang tidak di dapati bukti kuat dan memang anda bersih, anda bisa pulang ke rumah dan melanjutkan pekerjaan anda dengan semestinya." Moza berusaha menata kalimatnya dengan harapan tidak memancing keributan di tengah kondisi yang memanas ini.
"Silahkan!" Si pria menjawab garang.
Tio dan Moza saling tatap. Sebegitu yakinya pria ini bahwa ia tidak membawa barang bukti membuat Moza tiba-tiba memikirkan kemungkinan lainnya.
Jika memang sekarang pria ini bersih, dan si pria yang dari tadi terlihat tengah menunggu sempat berteriak kepada Tio bahwa Tio bukan orangnya, maka kemungkinannya, si prialah yang tengah menunggu barang di antar ke dalam van yang di kendarainya. Hal ini membuat si pria bersih untuk detik ini.
Isyarat Dafa untuk menunggu adalah karena ia telah memikirkan kemungkinan ini. Persepsi Moza ternyata keliru. Dia salah langkah lagi. Ada kemungkinan beberapa menit lalu orang yang benar-benar membawa narkoba sebenarnya sudah berada di sekitar sini. Mungkin juga orang itu sudah memeriksa van ini, melihat dia dan Tio tengah mengintrogasi pria yang masih ia todong.
"Bara, kau bawa orang ini ke kantor, periksa dia. Jika memang barangnya detik ini tidak dia bawa, maka dia yang tengah menunggu barangnya di antar kepadanya. Kita membuang waktu. Orang yang benar-benar membawa narkoba kemungkinannya sudah melihat dia kita tahan!"
Moza bergegas keluar dari dalam mobil. Melihat todongan yang di arahkan kepadanya sudah tak ada, si pria ingin ikut Moza keluar, mencoba kabur. Beruntung Tio berhasil menarik orang itu masuk lagi ke dalam mobil. Tangan si pria Tio borgol dengan stir mobil, mengantisipasi bila laki-laki itu mencoba untuk lari lagi.
Beberapa detik kemudian, setelah entah apa yang Tio lakukan kepada si pria, mobil van melaju keluar dari area basemant.
Moza yang masih menutupi kepalanya dengan hoodie hitamnya masih berjongkok di sela deretan mobil. Ia segera menghubungi Dafa.
"London, apa terlihat seseorang di area basemant ketika Athena bersama Tokyo masuk ke dalam van?"
Dafa yang sedang berada di apartemen dengan jelinya bergantian menatap ketiga layar monitor. Dua di antaranya menampilkan rekaman kamera pengawas di area parkiran. Sementara satu layar monitor tengah melacak wajah dari si pria yang membawa mobil van tadi. Identitas laki-laki itu sebentar lagi di dapatkan.
"Nihil. Tak seorangpun selain kalian berdua yang terlihat berada di area basemant di lima menit terakhir ini."
"Kamera di tempat lain, lobby atau lift mungkin?" Moza masih berusaha mencari seseorang yang mungkin saja sang bandar asli.
"Selain area basemant, tak terdapat kamera pengawas lagi. Entah sistemku yang tidak bisa menembus atau memang kenyataannya seperti yang kukatakan tadi."
"Ini gila bukan? Gedung sebesar ini hanya di berikan kamera pengawas di satu area saja? Banyak keganjilan yang tersusun rapi sehingga keganjilan itu seperti tak ada sama sekali."
"Kenyataannya begitu."
Jawaban dari Dafa tidak memberikan informasi apapun tentang kecurigaan Moza terhadap pradugunya. Moza berusaha mencerna kembali informasi yang ia dapat. Kepalanya yang terasa berat serta nyeri akibat pukulan seseorang ketika pengejaran di gang tadi siang juga menambah pecah fokusnya. Ia mulai merasa kesulitan berpikir sekarang. Kedua tangan Moza menekan kepalanya. Telinganya mulai berdenging. Matanya terpejam erat. Hampir ia kehilangan kesadaran, sayup-sayup ia mendengar seseorang memanggilnya.
"Athena!"
"Ya?"
"Syukurlah!" Terdengar helaan lega Dafa di sebrang sana. "Kau dimana? Menghilang dari kamera pengawas dan di panggil berkali-kali tidak menjawab?"
"Aku disini!" Moza menjawab sambil berdiri dari tempat persembunyiannya. Ia melambaikan tangan persis ke arah kamera, mencoba bertingkah baik-baik saja kepada Dafa walau pening di kepala belum hilang juga.
"Kembali. Kau mulai tidak fokus. Tidak baik jika di sana berlama-lama. Kau sendirian di sana." Dafa memilih opsi ini karena jangkauan Moza yang terlalu jauh dari apartment maupun anggota yang lain.
"No! Kau juga berspekulasi tentang pengendara van yang sebenarnya menunggu barang di antar kepadanyakan? Bisa jadi orang itu belum menemui pria tadi! Kita masih memiliki opsi ini sebagai alasan untuk menetap di basemant ini bukan?" Masih ada satu harapan lagi bagi Moza untuk menetap. Ia akan bersikeras untuk pembuktian bahwa ia juga memiliki andil di timnya sekarang.
"Ini beresiko-"
"Kau mengawasiku." Moza memotong. Ia akan menjadi keras kepala sekarang. Sudah masuk kolam, Moza berniat basah kuyup sekalian. Peduli setan dengan omelan bang Arthur atau ceramah menjengkelkan dari mulut pedas Elang nantinya. Moza yakin, pasti ada sesuatu di gedung ini.
"Beri aku waktu satu jam, jika memang tidak terjadi apa-apa aku akan kembali."
Helaan nafas Dafa terdengar lagi. Moza paham apa yang sedang dipikirkan oleh rekannya ini.
"Percaya padaku Daf, aku hanya akan mengawasi dari dalam mobil. Jika memang kecurigaanku benar, aku akan memanggil tim dan melaporkan semua kepadamu. Aku tidak akan bertindak gegabah lagi."
"Satu jam Moza?"
"Ya, satu jam." Moza membalas yakin.
Sebelum komunikasi antara Moza dan Dafa benar-benar terhenti, laki-laki itu berpesan untuk lima menit sekali memberikan laporan situasi kepada Dafa meskipun tidak terjadi apa-apa. Dafa bilang hanya akan sesekali mengawasi langsung Moza karena ada Tio serta Alexa juga Elang yang membutuhkan arahan darinya. Moza asal mengiyakan dengan tujuan ingin mengahkiri cepat omelan panjang Dafa.
Di dalam mobil Moza kembali termenung di kursi pengemudi. Ia menurunkan sandaran kursi dengan tujuan merilekskan punggungnya. Penat yang ia rasa sudah mulai terasa. Ia tidak pernah menyangka kegiatan orasi calon ketua OSIS hari ini malah berubah menjadi pengejaran panjang bagi dirinya maupun timnya.
Kegiatan-kegiatan sekolah yang memberikan akses free class kepada muridnya memang seringkali dimanfaatkan menjadi ajang bolos bagi segelintir murid. Berbeda dengan Edgar yang memanfaatkan free class untuk bertransaksi narkoba kepada beberapa kawannya. Bukan main memang kenakalan remaja jaman sekarang, pikir Moza.
Di saat Moza tengah meregangkan tubuhnya, tanpa sengaja ia melihat sebuah gumpalan kertas tidak jauh dari mobil van tadi terparkir.
"Athena masuk, mencurigai benda di sekitar bekas van target terparkir. Meminta izin untuk mendekat dan mengidentifikasi. Ganti."
Hening. Tak ada balasan dari Dafa.
"Athena masuk!"
Dafa tak kunjung merespon. Moza mengetuk-ketuk alat komunikasi di telinganya yang hampir dua puluh empat jam tak pernah lepas dari tempatnya. Jika Dafa tak kunjung merespon, Moza berencana menelpon ke ponsel milik Dafa.
"At-"
"Ya Athena. Apa kau tak bisa mengidentifikasi dari dalam mobil?"
Dafa berbicara cepat. Moza berspekulasi laki-laki itu tengah kerepotan sekarang.
"Jarak pandang terlalu jauh. Butuh mendekat untuk memastikan apakah itu merupakan bukti yang coba dihilangkan atau bukan."
Dafa di sebrang tengah mencari-cari benda apa yang di maksud oleh Moza. layarnya kembali penuh dengan kamera pengawas di area basemant. Dafa memperbesar gambar. Ia hanya melihat gumpalan kertas. Posisinya di pojok trotoar kecil. Agak jauh dari tempat parkir awal dari mobil van target yang diketahuinya bernama Eko Aryoto, seorang mantan residivis dan kini bekerja sebagai kurir di salah satu jasa pengiriman barang. Benar kata Moza, banyak keganjilan di sini.
Dafa membuka rekaman ketika Moza keluar dari dalam van beberapa menit lalu. Ia memutar ulang file rekaman yang di perlambat. Kecurigaanya tepat, saat Eko berusaha kabur, ia sebenarnya juga melempar sesuatu ke arah depan, persis ke arah gumpalan yang juga di curigai Moza. Matanya kurang teliti di detik itu.
"Athena, kau di izinkan untuk memeriksa barang."
Dafa berucap sambil memeriksa keadaan sekitar. Ia melihat sebuah mobil berjenis SUV yang baru memasuki area basemant. Ia meminta Moza untuk menunggu. Setelah di rasa penumpang mobil yang ternyata seorang wanita berpakaian formal keluar dari mobil, baru Dafa membiarkan gadis itu bergerak mendekati gumpalan kertas.
Kehadiran wanita berpakaian formal memunculkan pertanyaan baru di kepala Moza. Ia bertanya-tanya mengapa ada wanita berpakaian formal di gedung yang kelihatannya sudah kosong di jam setengah sebelas malam?
Mungkin urusan deadline dan kantor. Moza mencoba berpikir positif.
Mengesampingkan si wanita, Moza mulai fokus untuk berjalan ke arah gumpalan kertas. Suasana basemant kembali lengang. Matanya melirik ke kiri dan kanan sambil menyelinap di antara beberapa mobil yang terparkir. Begitu sampai di tempat, Moza segera mengais gumpalan kertas itu. Ia berdiri menghadap pilar. Dibukanya perlahan gumpalan kertas itu. Sebuah foto.
Kusutnya kertas tak membuat senyum khas laki-laki di dalam foto itu berkurang. Moza mengenalinya.
"At-"
"Moza?"
Moza yang baru saja ingin memberikan laporan kepada Dafa tiba-tiba pundaknya di tepuk dari arah belakang. Ia meringis, memejamkan matanya. Sial! Jerit batin Moza. Ia mengenali suara laki-laki itu.
Dengan gerakan cepat Moza berbalik. Tangan kanannya kembali meremas foto yang ada di genggaman kemudian memasukkan cepat ke dalam kantong celana kargonya.
"Hai Fero!" Dengan ringisan kudanya Moza menyapa laki-laki yang tadi siang sempat di interogasi oleh Dafa.
"Lo, ngapain di sini?" Fero bertanya dengan wajah terheran-heran.
Nah tepat! "Gue suntuk Fer, niatnya kesini mau liat balap mobil kayak yang waktu itu lo ajak gue, eh taunya belum mulai! Yaudah gue pulang aja. Balik dulu ya, bye-bye!" Dengan itu Moza berjalan dengan tempo yang susah payah ia juga supaya terlihat tidak tergesa-gesa meskipun yang sebenarnya ia rasakan ingin berlari sekalian.
"Tunggu Moza!"
Moza membeku. Cengiranya kini terlihat masam. Firasat buruk yang kini ia rasakan. Punggungnya memanas seiring dengan langkah Fero yang mendekatinya.
"Lo suntuk? Pulang nggak bakal ilangin suntuk lo deh Za! Mending ikut gue, kita seru-seruan bareng yang lain. Dijamin suntuk lo ilang sampe subuh!"
"Nggak Fer, gue-"
Moza berusaha mengelak tapi Fero dengan santainya mengaet lengan Moza. Ia di bawa masuk ke dalam lift. Selama di dalam perjalanan entah menuju sudut mana dalam gedung ini, laki-laki itu tak henti-hentinya berbicara banyak hal tentang keseruan yang di tawarkan.
Keheranan Moza berubah menjadi penasaran. Sebenarnya keseruan macam apa yang ditawarkan di dalam gedung berlantai dua belas yang dari luar terlihat seperti gedung perkantoran pada biasanya ini? Ada rahasia apalagi yang belum ia ataupun timnya sadari tentang operasi Serigala Merah ini?
Holaa sedulurrr
Sepertinya ini chapter terpanjang yang pernah saya tulis :v Penulis yang benar menulis karyanya sepanjang ini kali yakkk.
Ini melelehkan jujur! Kalian harus memberikan apresiasi untuk setiap kata yang di tulis.
But i'm happy ;)
see you soon!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top