THIRTY - IS THAT HOME?

Angin dingin malam masuk dari pintu geser kaca yang sengaja di buka, membuat gorden putih transparan yang dipasang ikut berkibar diterpanya. Udara dingin yang di bawanya tak mengusik dua orang yang sedang memancarkan aura ketegangan.

Asap rokok dari mulut Edgar mengepul keluar mengikuti arah angin. Laki-laki itu duduk di meja pantry. Gelas berisi air dingin yang di berikan Arthur telas tandas dalam hitungan detik. Teriakan yang di dominasi umpatan kasar serta sumpah serapah yang tadi ia lakukan ternyata berhasil menguras tenaganya. Arthur sempat menawiranya makan tapi Edgar menolak. Rokok dan segelas air lebih mempan mengisi energinya kali ini.

Setelah kurang lebih tiga jam terkurung di kamar mandi, Edgar mengaku ingin mengatakan sesuatu. Arthur tidak langsung mempercayainya. Baru setelah Edgar mengatakan alasan ia bisa menjadi penadah di Budi Bangsa, Arthur kembali masuk ke kamar mandi di apartemen Dafa kemudian membawanya ke dapur yang juga masih bersebelahan dengan area kamar mandi.

"Soal Alesha," Edgar mulai berbicara setelah keheningan panjang. Arthur yang duduk di sampingnya dengan badan yang menghadap ke arahnya masih menunggu lanjutan dari ucapan Edgar tapi laki-laki itu seperti sengaja menggantung kalimatnya.

"Alesha Emanuel." Arthur bersuara. Sejak Edgar ingin memberikan pengakuan, laki-laki itu hanya diam. Tak ingin banyak bicara adalah gayanya untuk mengintimidasi targetnya satu ini.

"Anak hasil hubungan ayahmu-"

"Dia bukan bokap gue! Dia bajingan yang harusnya mati dan yang paling tersiksa di neraka!" Edgar memotong ucapan Arthur. Wajahnya merah padam.

"Dengan wanita masa lalunya, yang kemudian wanita itu mati setelah di bunuh oleh orang suruhan ibumu yang cinta mati pada ayahmu itu." Arthur cuek melanjutkan ucapannya sambil memperhatikan wajah Edgar yang kini menatap tajam ke depan. Nafasnya masih naik turun menahan emosi. Melihat ekspresi Edgar yang demikian membuat Arthur yakin pemuda di depannya ini telah tahu betul fakta kelam keluarganya. "Mungkin ibumu tetap bisa bebas dari hukuman, tapi kebencian ayahmu membuatnya depresi berat. Sementara Alesha juga tak seberuntung yang kau pikirkan, dia menderita epilepsi-"

"Cukup!" Edgar menghentikan semua informasi yang di beberkarnya Arthur, tentunya didapatkan berkat Dafa yang mengeluarkan sebagian tenaganya untuk menggali identitas Edgar melalui sumber ilegal ataupun yang legal.

Arthur tersenyum ironi. Laki-laki di depannya ini memiliki permasalahan hidup yang kompleks menurutnya. Satu-satunya kelebihan yang dimilikinya adalah kawan. Edgar tipe orang yang senang bergaul dengan banyak kalangan. Mungkin dari sinilah ia menemukan harapan untuk bertahan.

"Gue udah berusaha buat benci Alesha, terutama wanita ular sialan itu. Gara-gara mereka, mama jadi kayak sekarang." Edgar berucap kini dengan pandangan kosongnya. "Tapi bertahun-tahun gua pupuk rasa benci ini, malah simpati dan perasaan bersalah yang terus berkembang. Apalagi pas liat dia kambuh. Otak gua mau tertawa melihat dia menderita, tapi hati gua yang sialnya lebih menguasai malah bikin gue jadi nolongin dia."

"Dan itu yang membuat kau tak bisa berlama-lama di rumah keluargamu sendiri. Rasa simpatimu yang tinggi."

"Itu bukan rumah. Dan apa tadi lo bilang, keluarga?" Edgar kini tertawa kecil di iringi asap rokok yang keluar dari sela-sela giginya. Laki-laki itu terlihat sudah agak tenang.

"Rumah itu adalah tempat ternyaman untuk bersandar, beristirahat. Mengurangi segala penat yang di dapat dari luar. Tapi faktanya, gue malah ngerasa kalau di sana masalah gue malah tambah berat."

Arthur mendengarkan serius ucapan atau bisa di bilang curhatan Edgar barusan. Ia berpikir, apa ini juga yang di rasakan adiknya ketika dia pulang ke rumah orang tua mereka? Apa ini yang membuat Elang memilih tinggal sendiri? Apakah adiknya itu  berusaha menjauh dari memori tentang keluarganya? Tentang ayah dan ibu mereka?

"Malam itu, gue ketemu Alice." Arthur menyimak, Edgar terlihat sangat serius. "Cewek satu-satunya yang dari awal pertemuan cuma curhat masalah hidup, gak ada rasa napsu-napsuan. Setiap ketemu, kita benar-benar cuma pengen ngobrol aja. Ngomongin hidup, masalah keluarga kita yang sama. Dia sama gue gak ada tukeran nomer hp atau sekedar tau medsos masing-masing. Kita ketemu di block party yang di adakan di gedung yang sama dengan tempat anak-anak balapan. Gue ataupun Alice selalu datang setiap ada ceremony dari salah satu peserta balapan yang menang." Arthur memicingkan matanya mendengar ucapan Edgar.

"Kenapa? Merasa nggak asing dengan tempat yang gue sebut barusan?"

Edgar berkata sambil tersenyum miring kepada Arthur. Rupanya dia menyadari perubahan mimik wajah Arthur. Jika di kaitkan dengan penjelasan timnya sebulan lalu, Arthur menduga gedung yang di maksud Edgar adalah tempat yang sama saat Fero membawa Moza melihat Raditya bertanding balap mobil. Tapi ia tak mengira bahwa di gedung itu juga terdapat sebuah club yang tidak sembarang orang bisa masuk jika tidak dari pihak club mengenal cukup baik orang yang masuk ke dalam club di gedung milik keluarga Radit tersebut.

"Dua kali pertemuan dia nggak kelihatan. Itu berlanjut hingga satu bulan kemudian. Ada kabar dia tewas, di tembak. Jadi korban masalah internal di organisasi. Lo pasti tau organisasi apa yang gue maksud." Edgar diam di sini. Rokoknya telah habis. Ia menyalakan sebatang lagi. Menghirup dalam-dalam racikan tembakau tersebut kemudian mengeluarkan asapnya dengan kasar.

"Gue nggak terima. Cukup nggak percaya. Satu-satunya orang yang tau rasa sakit gue juga mati."

Arthur mendengar nada keputus asaan dari kalimat Edgar barusan. Ia mulai menemui dasar permasalahan Edgar.

"Gue yang waktu itu di dominasi kekecewaan nekat masuk ke organisasi. Awalnya rasa balas dendam yang menuntut gue ke sana, tapi pada akhirnya di sana gue ngerasa banyak orang yang senasib sama gue."

Arthur masih belum berniat berkomentar. Walaupun Edgar sudah kelihatan putus asa, ia masih belum mau percaya sepenuhnya terhadap ucapan yang keluar dari mulut target barunya ini.

"Selama di sana, memang mereka pada awalnya kelihatan nggak welcome sama orang baru. Tapi setelah gue perhatiin, di sana, tiap ada masalah semua berkumpul untuk bisa ketemu jalan keluar. Masalah sepele di anggep angin lalu, kecuali itu masalah yang mengancam organisasi. Niat awal ingin cari tau kebenaran dari kematian Alice, di sana gue malah merasa di rumah. Bukan perhatian yang ternyata gue mau, tapi rasa di terima apapun keadaan lo, itu yang lebih berarti buat gue."

"Itu tidak menjawab sama sekali mengapa kau mau menjadi penadah di SMA Budi Bangsa, Edgar." Arthur yang masih tak paham kemana arah dari percakapan Edgar berkomentar.

Edgar tertawa sinis. Laki-laki itu kini ikut membalikkan badannya ke arah Arthur. Pandangan  tajamnya masih Arthur pelajari makna di baliknya.

"Emang susah ngomong soal hidup sama orang yang dari lahir tinggal di keluarga yang baik-baik."

Arthur merasa tersinggung. Kalau ingin membicarakan soal etika, kedua orangtuanya mendidik ia dan Elang dengan baik. Tapi soal waktu, bisa di bilang ia kehilangan waktunya bersama ayah dan ibunya yang masih aktif menjalankan tugas intelijen meskipun kedua putranya tersebut sangat ingin bertatap muka dengan orang tuanya setiap detik.

"Serigala Merah buat gue rumah. Uang memang bisa membuat kita mendapatkan apa saja yang kita mau, tapi hampir seluruh anggota, rasa saling menerima dan kepercayaan yang di dapat adalah segalanya. Ini soal moral. Kami keluarga. Serigala Merah menawarkan apa yang sebenarnya sangat berharga."

Arthur paham sekarang. Memang untuk sebagian orang, uang bukanlah segalanya. Di zaman serba instan ini banyak hal mudah di dapat. Akses di permudah. Tapi untuk orang-orang semacam Edgar dengan masa lalu yang cukup kelam, hal itu tidaklah berarti apa-apa. Ya, ini masalah moral. Arthur mengakuinya. Dan Serigala Merah berhasil memberikan hal yang jarang di tawarkan. Ironisnya, mereka banyak berhasil memanipulasi pikiran orang-orang yang kekurangan pengakuan semacam Edgar.

"Lo tau, uang jajan dari si bajingan yang di transfer tiap minggu itu jumlahnya lebih besar berkali-kali lipat dari jatah yang gue dapet tiap transaksi berhasil, tapi sekalipun gue gak pernah ambil uang dari dia. Gua gak mau ada urusan lagi sama orang yang udah bikin Mama jadi kayak gini. Dia pembunuh. Dia akar dari semua kesialan yang udah bikin gue kayak sekarang. Kalau mau di masalahin, sebenarnya dia yang pantes terima semua hukuman. Biar mati sekalian."

"Aku paham kebencianmu, rasa sakitmu. Tapi sekali lagi, tindakanmu yang menjadi penadah tidak pernah bisa di benarkan. Kau tetap bersalah. Kawan-kawan mu menjadi korban. Bahkan banyak yang menjadi pecandu. Kau tetap bersalah atas dasar itu."

Edgar lagi-lagi tertawa, tawa yang hambar. Ia kembali membalikan tubuhnya ke depan. "Serigala Merah tidak pernah memaksa untuk harus menggunakan barangnya. Mereka yang datang dan meminta pada kami."

"Kau bicara seperti itu seolah-olah Serigala Merah tak pernah membunuh orang hanya karena kepentingan pribadi segelintir orang, Edgar." Arthur menyandarkan tangan kirinya ke meja pantry. Telapak tangannya ia gunakan untuk menopang dagu dengan pandangan serta senyum meremehkan yang di tujukan pada pemuda di depannya ini.

"Gue nggak peduli."

"Kau berbicara soal moral tapi tak peduli orang mati karena overdosis ataupun mati terbunuh karena berusaha memperbaiki moral generasi bangsa? Ada banyak lagi kasus kejahatan yang dilakukan Serigala Merah tapi kau malah menutup mata dengan alasan di sana kau bisa diterima? Kau itu di manfaatkan!" Arthur mulai terpancing emosinya. "Edgar, pada akhirnya kau tak lebih dari bocah naif pengecut yang kecewa kepada hidup. Kau tak tau arti moral yang seharusnya."

"Gue tau." Edgar menjawab sambil menundukkan kepalanya. Ujung jari kanannya yang mengapit rokok ia gunakan untuk mengusap embun di gelas yang sudah kosong.

Arthur memicingkan matanya. Keterangan yang di berikan Edgar berubah-ubah. Ia belum bisa memastikan dengan jelas apa maksud dari curhatan Edgar barusan. Sedari tadi penjelasan bocah di depannya ini terdengar bahwa Serigala Merah tak seburuk yang di kira, ini membuat Arthur berpikir bahwa sebenarnya Edgar masih ingin membela kelompok tersebut. Edgar belum tahu saja fakta yang sebenarnya di lapangan. Dia telah termakan tawaran menggiurkan dari bandar ini.

"Jangan bermain-"

"Alice sebenarnya mati karena overdosis-"

"Berhenti membual!" Arthur yang kesal kalimatnya berusaha di potong membentak.

Emosi Arthur sudah di ubun-ubun. Jika Edgar masih saja berbicara tentang omong kosong, Arthur tak segan untuk mengurung Edgar ke gudang apartemen yang penuh debu. Dan tentunya itu akan menyiksa paru-paru targetnya tersebut.

"Tiga hari yang lalu, melalui Radit gue di kasih liat bukti bahwa sebenarnya Alice juga reserse yang sedang menyelidiki Serigala Merah. Dia katahuan. Dan oleh anggota, dia di suntik segala jenis narkoba sampai overdosis. Dia mati dalam keadaan overdosis! Lo bisa bayangin itu?"

Arthur terdiam. Alice yang di yakini bukankah nama asli itu dan tempat Edgar untuk berbagi ternyata juga salah seorang abdi negara yang mencoba untuk mengusut tuntas bandar narkoba terbesar di Jawa saat ini.

"Ambisi gue sekarang adalah mencari pembunuh Alice! Gue nggak peduli kalaupun itu buat gue harus mati!"

"Bagaimana kalau jadi penghianat?" Arthur bertanya santai.

"Lo dengar gue tadi ngomong apa? Ambisi gue cuma mau cari bajingan yang udah buat orang satu-satunya tahu rasa sakit gue mati menderita!"

Edgar berputus asa. Apa bocah di depannya ini tidak berpikir jika sebenarnya yang di lakukan Alice bisa jadi sebuah sandiwara semata?

"Jakarta,"

Dafa muncul di ambang pintu dapur. Arthur bersama Edgar mengalihkan pandangan mereka ke laki-laki dengan pakaian serba hitam, sehitam lingkaran di bawah matanya. Ekspresi lelahnya coba Dafa tutupi dengan pandangan berbinar penuh harap. Ia memberi kode kepada Arthur untuk mengikutinya ke ruang tengah. Ada laptop yang di taruh Dafa di sana sebelum menemui Arthur di dapur.

Layar laptop yang seharusnya mengawasi Tio dan Moza yang tengah melakukan penyelidikan di basemant gedung, letak persis dari pesan berisi koordinat yang di kirimkan ke Moza itu kini hanya menampilkan Tio yang tengah celingak-celinguk dengan pandangan mata yang was-was.

"Athena di bawa masuk ke dalam area gedung oleh Fero. Kita kehilangan visualnya. Entah sistemku yang tidak bisa menembus keamanannya, atau di sana, selain basemant memang tidak terpasang kamera cctv."

"Alat komunikasinya masih aman?" Arthur bertanya sambil ikut mengotak atik laptop Dafa.

"Satu menit yang lalu dia meminta izin untuk mematikannya, tapi tidak ku izinkan karena aku tidak berhasil menyadap kamera."

Arthur mengangguk-anggukkan kepalanya heran, "tapi bukankah di gedung sebesar itu mustahil tidak memiliki kamera cctv?"

"Alternatifnya, jika tenaga keamanan sudah ketat, cctv hanyalah opsional. Tapi untuk gedung dengan dua belas lantai seperti gedung milik Radit ini, kemungkinannya tiga pleton tenaga keamanan dengan tiga pergantian shift barulah masuk akal. Tapi itu sangat merepotkan."

"Masuk akal karena selain basemant dan club, di gedung itu juga terdapat area bertarung yang juga merupakan sarang para preman dan berandal kecil peliharaan Serigala Merah."

Di tengah Dafa maupun Arthur yang masih kebingungan alasan mengapa Dafa tak berhasil mendapatkan akses ke cctv, Edgar yang sedari tadi menguping tiba-tiba berkata dengan tenang. Kedua agen tersebut sempat berpandangan sebelum memalingkan kepala ke arah buruan mereka.

"Kalau kau membual lagi, aku tak segan untuk menyiksamu sampai kau memohon untuk mati saja!" Suara Arthur lantang penuh tekanan. "Ikut aku!" Lanjut Arthur.









I'M BACK ALL!!!

Jujurly, vote maupun komentar dari kalian benar-benar bikin mood nulis jalan terus! Thanks for that!

Dan karena masih suasana hari raya, sekalian mau ngucapin maaf lahir batin semua! Tetap jaga prokes and stay hydrated!

Sekian dulu, komentar dan vote-nya saya persilahkan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top