SIXTEEN - WELCOME TO THE JUNGLE

Hari pertama Moza menjadi murid baru.

Beberapa tahun yang lalu, di saat papa mamanya secara serempak mengantarkannya ke sekolah setelah liburan panjang yang menyenangkan, gembira dan suka cita mendominasi perasaanya.

Namun berbeda dengan hari ini, hari pertama sekolahnya kali ini di warnai rasa takut gagal menjalankan misi dan mati di tangan musuh. Kedua ketakutanya itu terus menghantui dan menjadi bayang-bayang yang akan mengingatkan Moza agar berhati-hati dalam mengambil langkah dan keputusan.

Bel tanda masuk kelas telah berbunyi beberapa menit yang lalu, namun Moza belum masuk ke dalam kelasnya karena harus mengurusi sisa berkas kepindahanya di ruang tata usaha tadi.

Setelah sempat berpura-pura menanyakan letak kelasnya yang sebenarnya sudah ia hafal di luar kepala, kini Moza melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya.

Semenjak pertama kali Moza menginjakan kakinya di SMA Budi Bangsa, ia belum melihat tanda-tanda keberadaan Elang. Mungkin manusia labil itu sudah berada di ruang kelas, tengah menggoda para gadis barunya. Tapi masa bodohlah! Toh Moza sudah bertekad untuk tidak peduli lagi dengan manusia gila tersebut.

Untuk Alexa dan Tio, Moza tadi bertemu keduanya saat mereka di giring menuju lapangan upacara untuk menjalani MOS.

Moza tertawa melihat keduanya menggunakan atribut khas murid baru yang menurutnya konyol ketika di gunakan oleh dua manusia legend tersebut.

Tio dan Alexa yang biasanya menenteng senjata, tadi pagi mereka berdua di hadapkan dengan kakak pembina OSIS yang sok otoriter dan penuh perintah. Namun demi misi, mereka rela mengorbankan segalanya, termasuk harga dirinya.

Moza sampai di ruang kelasnya. Ia mengetuk pintu, kemudian seorang bapak-bapak yang berdiri di depan kelas, yang terlihat sedang menjelaskan, menghampiri Moza dan menanyakan kepentingannya.

Setelah mengetahui bahwa gadis di depanya merupakan salah satu murid baru, bapak-bapak tadi yang kemudian diketahui Moza melalui name tag-nya bernama Bambang, mempersilahkan Moza masuk ke dalam ruang kelas.

Moza mengedarkan pandangan matanya. Mengamati kawan sekelasnya yang hampir seper empatnya merupakan target yang harus ia mata-matai. Tapi satu hal timbul dalam kepala Moza. Kenapa Elang belum tercium batang hidungnya?

"Baik anak-anak, seperti yang sudah bapak bilang tadi, kalian akan mendapatkan teman baru di kelas ini. Ayo, perkenalkan dirimu."

Pak Bambang mempersilahkan Moza memperkenalakan identitasnya. Moza menghela nafas panjang sebelum perkenalannya.

"Halo, saya Moza, dari Jakarta. Senang sekelas dengan kalian."

Moza menyelesaikan perkenalan formalnya dengan senyum tipis sekaligus singkat, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama.

Demi menghargai Pak Bambang yang ada di depan, Moza sengaja belum menggunakan bahasa 'lo-gue' dalam masa perkenalannya. Mungkin bila sudah mulai berinteraksi dengan para target, akan ia keluarkan kemampuan 'kidz zaman now-nya'

Selain itu, Moza juga sengaja menunjukan mimik datar pada wajahnya demi mempertahankan image 'wild girl' seperti yang di bilang Dafa saat pembagian peran dalam misi.

"Aduh imutnya! Semoga kita segera pacaran yaaa, Moza!" ucap seorang cowok yang diyakini Moza bernama Fero, salah satu dari seper empat yang Moza sebutkan tadi.

"Idih! Najis lo Fer!"

"Emang dasar genit!"

Suara bersahutan khas remaja puber itu berasal dari siswi kelas 12 Bahasa 1.

Ya, kedua target utama mereka masuk kelas bahasa. Tapi berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang mengibaratkan jurusan bahasa sebagai kelas buangan, di sini jurusan bahasa malah menjadi kelas unggulan. Beberapa prestasi nasional dan internasional kebanyakan di sumbangkan oleh siswa-siswi dari jurusan bahasa.

"Kanapa emang? Sirik aja deh kalian!" Fero membalas sewot.

"Eh eh, jangan jadi liar kalian. Ingat salah satu semboyan kita? Hormati orang baru!" Peringatan Pak Bambang di sambut sorak sorai dari para muridnya. Entah ada sejarah apa di balik semboyan mereka sehingga membuat teman sekelas Moza ini bereaksi seperti itu.

Pandangan Moza kini terpaku pada Raditya. Laki-laki itu ternyata dari tadi memperhatikan dirinya. Moza tersenyum simpul yang kemudian di balas anggukan kecil oleh sang target.

Mata Moza beralih kepada seorang gadis yang duduk di bangku belakang Raditya. Sedari tadi sang gadis atau lebih spesifiknya Nadia, terlihat menelangkupkan kepalanya ke atas meja, tidak mengindahkan kegaduhan di dalam kelasnya semenjak kedatangan sang murid baru.

"Oke Moza," Pak Bambang yang tadi sempat berdebat panjang terhadap para muridnya, yang entah memperbicangkan apa, membawa Moza kembali ke dalam realita, "silahkan-"

Gubrak!

Belum sempat Pak Bambang menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Elang datang dengan nafas ngos-ngosan dan seragam yang kusut berantakan, membuat semua penghuni kelas menengok ke arah sang pembuat onar.

"Maaf pak, saya baru datang!" Ucap Elang di ambang pintu dengan nafas yang tersenggal.

Pak Bambang tersenyum mengerikan. Ia berjalan menghampiri Elang.

"Hebat juga kamu, baru mau mulai belajar, sudah berani datang terlambat?"

Pak Bambang melipat kedua tangannya, menatap Elang dan Raditya bergantian.

"Radit, sepertinya kau akan mendapat kawan 'ndugal' baru." ucap pak Bambang dengan senyum melecehkan.

Raditya dan Elang saling berpandangan. Tidak ada raut ketegangan yang di rasakan Moza. Mungkin Pak Bambang benar, mereka berdua nantinya bisa menjadi kawan. Karena itu yang di harapkan dari para agen, mendapat kepercayaan untuk mengungkap kebenaran.

"Siapa namamu?" Tanya Pak Bambang kepada Elang.

"Elang pak." Jawab laki-laki tersebut sekenannya.

Pak Bambang menganguk-angguk sambil menatap kedua murid barunya secara bergantian.

"Hai Elang! Semoga kita segera jadian ya!" Kini Leonita yang mempunyai tampang kebule-bulean menyapa Elang dengan senyum memuakan.

Jika Fero yang harus Moza mata-matai, maka Leonita dan kedua kawannya, Sarah dan Aleta masuk dalam daftar yang harus diwaspadai. Mereka bertiga masuk ke dalam lingkaran pertemanan Raditya namun masih dalam level yang kecil untuk di curigai.

"Apaan lo!" Nada suara Fero membentak,  "itu tadi kata-kata gua buat bebeb Moza sayang." Kini senyuman sambil lirikan malu-malu di arahkan Fero kepada Moza yang masih berdiri di depan.

Semua orang dalam kelas mengeluarkan ekspresi jijik mereka kepada Fero. Bahkan ada yang pura-pura muntah mendengar penuturan Fero.

"Najis! Kenapa setelah liburan kadar ke-alayan lo tambah parah aja sih Fer?!" Tanya Sarah tanpa menghilangkan nada berupa hinaan.

"Stop it guys!" Pak Bambang menghentikan keributan anak didiknya. "Jangan membuat kawan baru kalian merasa hina karena harus satu kelas dengan para orang gila!"

Mendengar ucapan Pak Bambang, para murid mengeluarkan sumpah serapah mereka dengan berbagai bahasa. Mulai dari bahasa Jawa kuno hingga bahasa Afrika modern dapat Moza dan Elang dengarkan.

Moza dan Elang saling lirik. Mereka berdua tidak menyangka para target yang di naungi organisasi Narkoba berbahya dan masuk ke dalam kelas unggulan, memiliki tindak tanduk yang menurut Moza, sangat minus sekali.

"BERHENTI!!!" Pak Bambang kembali memberikan peringatan. Para murid kemudian mulai menghentikan pertengkaran.

"Kalian berdua," Pak Bambang menunjuk Moza dan Elang bergantian, "silahkan duduk di bangku belakang."

Moza dan Elang mengangguk. Mereka berjalan bergantian menuju bangku yang di tunjuk Pak Bambang barusan.

Posisi bangku Elang dan Moza depan belakang, memudahkan mereka untuk mengkoordinir keadaan jika ada gerak-gerik mencurigakan dan mustahil untuk menggunakan alat komunikasi yang sampai saat ini, masih mereka gunakan.

Setelah keadaan kembali kondusif untuk melakukan kegiatan, Pak Bambang melanjutkan aktifitasnya.

"Baik, kita teruskan kegiatan kita untuk membahas susunan kepengurusan kelas. Moza dan Elang silahkan mengikuti. Nanti kalau ada usul atau tambahan, sampaikan saja."

Pak Bambang hendak membalikan tubuhnya, namun sudut matanya menangkap salah satu anak didiknya yang dari tadi tidak memperhatikan.

Pria paruh baya tersebut berjalan menuju bangku sang murid, yang tidak lain adalah Nadia. Ia menepuk bahu Nadia namun tidak mendapat tanggapan.

Siswa-siswi lainnya cengengesan melihat salah satu kawanya akan mendapat hukuman.

Pak Bambang geram karena merasa disepelekan. Pria itu kemudian menggoyangkan tubuh Nadia di barengi dengan nada sentakan.

"Nadia! Bangun!"

Nadia reflek menegapkan duduknya.

"Cuci mukamu sekarang!" Tambah Pak Bambang masih mempertahankan nada kesal melihat anak didiknya hampir tak ada yang berperilaku benar.

Nadia bangkit dari bangkunya, berjalan keluar dari dalam kelas dengan muka datarnya, menuju entah kemana.

Hingga jam sekolah habis pun sang gadis tidak kembali kedalam kelas. Membuat kedua agen yang di tempatkan di kelas yang sama dengannya menaruh kecurigaan besar kepada sang target wanita.




















Ps: Info dikit

Double up ini dalam rangka memperbaiki mood baca kalian (mungkin), karena saya sadar, beberapa bab kemarin chapternya pendek-pendek dan banyak kalimat nggak jelas nya hehe

Selain itu juga karena masih dalam suasana #10YearsOf1D, saya dedikasikan dahhh chapter ini buat para directioner macem saya (yeahhh, I'm directioner btw)

Terhuru hara betzzz saya lurddd, akhirnya mereka mulai menunjukan eksistensinya kembali ;) #BUCINTHOR

Sekiannn jangan lupa di voment ;)

Selamat bermalam minggu😕😸😕

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top