NINETEEN - DATE?

Sesuai dengan saran dari Elang untuk menerima tawaran kencan berkedok 'pengenalan kota Jogja' dari Fero, Moza tengah menunggu Fero di kost-anya sekarang.

Tapi ada harga yang harus Fero bayar karena telah membuat Moza yang notabene tidak begitu menyukai wajah polosnya tercemar alat kosmetik mahal, kini harus berdandan ala selebgram.

"Lama amat si Fero, Lex!" gerutu Moza yang tengah berbaring di atas kasur. "Perasaan bilang otw udah dari sejam yang lalu tapi kok enggak sampai-sampai?" tambahnya.

"Dandannya totalitas kali Za! Kan yang di ajak jalan, cewek cantik!" Alexa menanggapi keluhan Moza sambil masih mempertahankan gerakan push up-nya.

Kamar kost yang di tempati Moza dan Alexa sebenarnya adalah sebuah rumah mewah berlantai dua yang oleh pemiliknya sengaja di jadikan tempat kost. Total ada enam kamar yang di sewakan dengan salah satu kamarnya di tempati oleh Moza dan Alexa sekarang.

Moza memiringkan kepalanya ke lantai marmer di bawah, menatap Alexa yang kini sedang melakukan gerakan plank.

"Lagi nge-gombal ya Lex?" Ucap Moza di barengi senyum miring.

"Boleh aja kalau situ nggangepnya gitu." Masih dengan posisi sebelumnya Alexa menjawab Moza.

Moza kembali bertampang datar. Salah jika orang semacam Alexa akan bereaksi berlebihan ketika ucapan yang sebenarnya mengandung unsur rayuan mendapat tanggapan oleh sang korban gombalan.

"Kalian jangan kebanyakan ngobrol! Jam kerja ini!" Terdengar suara Elang yang bersumber dari earpiece yang Moza pasang di telinga kanannya.

"Belum mulai kali, Lang." Dafa yang membalas.

"Misi di mulai setelah Moza menerima tawaran dari Fero untuk kencan." Balas Elang dingin.

Yap! Kegiatan jalan antara Moza dan Fero nanti akan mendapat pemantuan ketat dari semua tim. Mereka akan memantau seluruh rangkaian kegiatan Moza dan Fero tanpa terkecuali dari jarak yang aman. Bahkan jika nantinya kedua orang tersebut masuk toilet, para agen Intelijen siap membuntuti. Siapa tahu, Fero menjadi jalan bagi para agen Intelijen untuk mengungkap kebenaran mengenai kasus yang sedang mereka tangani saat ini.

"Dih! Kenapa suara Elang kedengeran kesel gitu?"  Tio mencemooh Elang.

"Enggak! Biasa aja!" Elang menjawab dengan suara yang dipaksakan agar terdengar tenang.

Sebenarnya Dafa, Tio, dan Elang ini sedang berada di satu mobil yang sama. Mereka menunggu di ujung gang, jalan masuk tempat kost Moza. Arthur tidak ikut karena harus mengurusi dokumen kepindahannya yang belum selesai.

"Heleh, bilang aja cemburu Lang! Susah amat!"

Bukanya menghentikan olok-olokannya pada Elang, Tio malah berniat memperpanjang kegiatan unfaedah nya.

"Stop! Mobil Fero barusan melewati kita. Athena segera bersiap dan Berlin di mohon menuju posisi." Dafa menghentikan kegaduhan sekaligus memberi arahan bagi kedua gadis yang langsung memberikan tanggapan sigap.

Moza dan Alexa kini mulai merapikan penampilan mereka. Setelah melapisi kaos polosnya dengan kemeja flanel, Alexa segera memberikan laporan bahwa ia akan segera keluar lewat pintu belakang.

Sebelum keluar kamar, Alexa menghampiri moza yang duduk di depan meja rias, merapihkan make up. Ia menepuk pundak Moza dua kali. Pandangan kedua gadis tersebut bertemu di cermin depan.

"Hati-hati Za." Pesan Alexa kepada Moza dibarengi dengan senyum lebar khas gadis asal Bali tersebut.

"Kalian juga," balas Moza dengan senyum simpul pula.

Setelahnya, Alexa melenggang keluar, ikut menyusul ketiga laki-laki ke dalam mobil van yang sebelumnya mereka gunakan saat menyusup ke dalam SMA Budi Bangsa untuk memasang penyadap.

Beberapa saat setelah Alexa keluar kamar, deringan di ponsel Moza menyita perhatian gadis tersebut dari kegiatan termenungnya.

"Halo Fer?" ucap Moza setelah panggilan telepon laki-laki tersebut ia angkat.

"Gue udah di depan ini Za,"

"Oke, aku keluar sekarang."

Panggilan langsung Moza akhiri setelah Fero memberikan gombalan garingnya di akhir percakapan yang hanya di tanggapi dengan celotehan tak jelas oleh Moza.

Setelah memastikan penampilannya terlihat lebih menarik dari biasanya, Moza segera meraih tas selempang hitam bermereknya yang berada di atas kasur kemudian turun untuk menemui Fero yang menunggu di dalam mobil.

Hanya ada satu mobil yang ada di depan kost Moza. Sebuah sedan hitam metalik dengan sedikit modifikasi pada beberapa bagiannya.

Moza memang tidak begitu tahu tentang dunia mobil balap, tapi dari tampilan mobilnya, sepertinya Fero berkecimpung di dunia otomotif tersebut.

Untuk memastikan secara lebih pasti, Moza memilih untuk mengetuk kaca gelap pada jendela mobil di depanya ini. Beberapa detik berikutnya, seseorang dari dalam mobil tersebut menurunkan kaca jendela.

Dan benar saja, wajah Fero langsung terpampang, membuat Moza sedikit memundurkan wajahnya karena posisi wajah menjadi terlalu dekat.

"Widih, malam ini lo cantik banget tau Za!"

Fero langsung menggoda gadis didepanya. Padahal yang di gunakan Moza hanya kaos, celana jeans yang di padukan dengan sneakers putih. Rambut Moza sengaja ia gerai dengan topi abu-abu yang menambah kesan casual. Selain tas mahal, tak ada hal lain yang spesial dalam diri Moza pada penampilanya malam ini. Kalau sudah bucin, memang susah ya! Apa-apa di anggap menarik.

"Thanks Fer," ucap Moza di barengi dengan senyuman simpul.  Fero tambah tersenyum lebar melihat gadis didepanya ini.

"Masuk gih!" Fero memberikan gestur untuk mempersilahkan Moza masuk ke dalam mobilnya.

Moza mengangguk kemudian berjalan memutar untuk duduk di kursi penumpang depan. Setelah safebelt nya terpasang, Moza menanyakan kemana tujuan mereka.

"Ehm, gue ngukutin lo aja deh Za! Terserah, maunya ke mana!" jawab Fero sambil menambah laju kendaraanya karena sudah mulai memasuki jalan raya. Lima meter di belakangnya, ada Elang dan agen Intelijen lainnya yang membuntuti.

"Pancing dia Za supaya dia ngajak kamu ke tongkronganya!"

Suara Elang langsung terdengar begitu Fero menyelesaikan kalimat yang sebanarnya sangat para agen Intelijen harapkan.

"Loh kok gitu?" Moza berbasa-basi.

"Kalau gue yang mutusin takut nanti lo nya enggak suka tempatnya."

Moza berpura-pura tersipu malu mendengar ucapan Fero. Ia menyelipkan rambut ke telinga sambil senyum-senyum menjijikan.

"Kalau gitu ke tempat anak muda Jogja biasa nongkrong aja Fer! Lo tahu tempatnya? Soalnya gue juga enggak begitu suka sama tempat yang terlalu ramai,"

Ucapan Moza yang ini hanyalah bualan semata. Sebenarnya ia tidak masalah berada di tempat sepi atau paling ramai sekalipun selama orang-orang yang ada di sana tidak ikut campur ke dalam urusanya.

"Ada beberapa sih Za. Mau yang ada unsur pemandangan atau yang nuansa industrial aja?" Fero memberi tawaran.

"Yang biasa buat lo nongkrong aja Fer, gimana?"

"Oke!" Fero langsung menyetujui usulan Moza.

"Great job Athena!" Elang memberikan sedikit pujian akan kinerja Moza.

Moza yang mendengar suara Elang hanya tersenyum miring.

Para agen Intelijen menuntun Moza dan Fero ke tempat Fero dan kawanya biasa menghabiskan waktu luang dengan harapan ada Nadia dan Raditya di sana. Jika Moza sudah masuk ke dalam lingkaran pertemanan target mereka, akan lebih mudah bagi para agen yang bertugas untuk menyelesaikan misi.

Waktu tempuh yang lumayan lama menuju tempat tongkrongan Fero dan kawan-kawan tidak begitu terasa karena selama di perjalanan Fero selalu berhasil membangun percakapan antara dirinya dengan Moza. Tidak jarang pula ucapan Fero mengunggkap jati dirinya atau kawan-kawannya sehingga informasi yang di dapat oleh para agen Intelijen bertambah.

Beberapa informasi yang sudah Moza dapatkan seperti hobi laki-laki tersebut bersama beberapa kawanya termasuk sang target utama, Raditya dan Nadia yang suka mengikuti balapan liar, party, clubbing, dan kesenangan sesaat khas remaja puber lainya telah Fero ceritakan.

Tapi tentang sisi lain dari dirinnya yang senang mengonsumsi barang haram bersama kawan-kawan belum Fero beberkan walau Moza sudah sering mencoba ingin mengungkitnya menjadi topik pembicaraan.

"Selain Moza dan Fero, tak ada lagi target yang terlihat. Tetap jalankan misi dan berhati-hati."

Saat Moza dan Fero baru saja keluar dari mobil, terdengar suara Elang memberikan laporan. Kemungkinan besar, saat Fero tadi sempat menyebut nama tempat yang akan dia dan Moza kunjungi, tim lebih dulu jalan untuk mengecek keadaan cafe tersebut.

Cafe berlantai dua dengan dinding di cat berwarna putih gading tampak memantulkan cahaya lampu di atasnya. Nuansa industrial begitu kentara dari beberapa furniture yang di gunakan.  Tulisan LAJU terlihat di beberapa bagian cafe.

Jam menunjukan pukul setengah sepuluh malam ketika Moza telah mendudukan bokongnya di salah satu bangku cafe yang letaknya di sudut, mengahadap taman buatan kecil di samping bangunan.

Menu utama di tempat ini adalah kopi. Fero memesan macchiato sementara Moza sendiri memilih caramel frappuccino.

"Tempatnya keren Fer, enggak begitu ramai juga."

"Makanya, anak-anak seneng nongkrong di sini. Pemiliknya juga masih temen deket kita." Aku Fero pada Moza.

"Seru dong kalau gitu,"

Ucapan keduanya sempat terjeda karena kopi pesanan mereka telah selesai di buat sehingga mengharuskan Fero untuk berjalan mengambilnya terlebih dahulu.

"Athena, kami ada di sebrang jalan, berjarak dua ruko dari tempatmu bersama target sekarang. Tidak akan ada yang ikut masuk ke dalam cafe karena situasi di anggap cukup aman." Suara Dafa lagi yang terdengar.

"Copy that!"

Moza berkata lirih. Gerakan bibirnya juga begitu halus, menghindari gestur yang dapat membuat Fero yang kini tengah berjalan dengan kedua tangan menggengam cup minuman, menaruh curiga kepadanya.

Setelah Fero kembali duduk, obrolan pun berlanjut. Yang kali ini mereka bahas kebanyakan tentang kegemaran mereka yang kebetulan sama, mengoleksi sneakers. Disini tak banyak informasi yang di dapat Moza.

Pukul sepuluh lebih tiga puluh tujuh menit, ponsel Fero bergetar, menandakan adanya panggilan yang masuk, memaksa obrolan serunya harus kembali terjeda.

"Bentar ya Za, gue ngangkat telfon dulu,"

Moza hanya mengangguk sambil tersenyum kemudian menyesap frapucinno ice miliknya yang kini hanya tersisa seperempatnya.

Fero menghilang di balik pintu kaca yang terletak di kanan bangunan. Moza sempat melirik nama si penelfon, Jeje. Jika tidak salah orang, Benjamin Soenaryo yang oleh kawanya sering di sapa Jeje, merupakan salah satu murid di SMA Budi Bangsa, kelas 12 IPS 1.

Dia adalah putra dari pasangan politikus terkenal di negeri ini. Hampir semua anggota keluarganya berkecimpung di setiap sudut tatanan pemerintahan. Walaupun dunia pemerintahan hampir semuanya orang tua Jeje ketahui, tapi sayangnya, hobi putranya yang sering mengonsumsi barang haram tidak sempat mereka selidiki.

"Daf, coba sadap panggilan telepon Fero, terus hubungkan ke earpiece kita," suara Tio terdengar. Lima belas detik berikutnya Dafa mengucap kata 'done!' di barengi suara bernada emosi dari Fero yang masuk ke telinga kanan Moza.

"Tapi gue masih sama Moza, Je!"

"Ajak aja sekalian ke sini!"

"Ini kencan pertama gue, bego! Masak iya langsung gua ajak masuk club! Gila lo!"

Tawa menggelegar Elang langsung terdengar, membuat Moza mendengus sebal.

"Pokoknya gue nggak mau tahu ya, kalau sampai lima belas menit lo belum sampai sini, Bugatti lo gua jual!"

Sambungan di putus sepihak oleh Jeje.

"Benerkan, ini kencan Moza sama Fero?" Elang kembali melanjutkan tawanya setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Moza tak begitu mengindahkan tawa Elang karena Fero kemudian masuk menghampirinya dengan senyum yang terlihat di paksakan.

"Za, sori banget ni," Fero yang kini telah duduk di sebrang Moza berkata dengan raut menyesal. "Gue ada urusan mendadak, kalau lo gue anter pulang sekarang gimana?"

"Kau harua ikut Fero masuk ke dalam club itu, Za! Ini kesempatan kita!"

Suara Tio mengisi telinga kanan Moza. Membuat gadis tersebut kini harus memutar otak agar ia bisa ikut ke dalam club bersama Fero, tapi tidak dengan gestur yang terlihat memaksa.

Moza menjauhkan cup minumanya. Ia kemudian melipat tangannya ke atas meja, menatap Fero dengan pandangan mautnya, menunjukan pesonanya. Gadis tersebut mencoba untuk memerangkap Fero ke dalam tatapan dalam penuh sarat menggoda dengan pandangan mata. Bukankah ini peran wanita di dalam dunia Intelijen? Memikat target dengan kodrat yang dimiliki para kaum hawa?

"Lo kayaknya buru-buru gitu Fer, emang mau kemana?"

Fero benar-benar jatuh ke dalam pesona gadis di depanya. Hingga sebuah kata yang mungkin tak ingin di ucap, kini terlontar dari mulut laki-laki tersebut.

"Club."

"Gue boleh ikut?"

Fero mulai tersedar dari lamunannya, ia kemudian mengedarkan pandangan matanya, menghindari Moza. Setelah berhasil menetralkan detak jantungnya, Fero berkata santai, "yakin lo?"

Moza tertawa renyah. Gadis tersebut kemudian meraih cup kopinya, menyesap sebentar, kemudian berujar lembut namun penuh akan arti.

"Emang lo kira, gue sebersih apa?"

Fero tersenyum miring mendengarnya. Dia sekarang sedikit mendapat gambaran mengenai gadis yang duduk di depanya ini.

Ingat ya, di depan Fero sekarang adalah Moza yang sedang dalam menjalankan misi. Ia akan melakukan segalanya demi sebuah pengakuan yang di anggap tak berarti untuk orang awam, tapi ternyata sebuah kemajuan besar bagi orang semacamnya.

"Oke! Kita berangkat sekarang, sebelum mobil warisan dari bokap gue, Jeje jual!"






P.s: sori updatenya telat. Btw, yang di mulmed itu kostum Moza pas lagi nge-date sama Fero yaa. Abaikan muka mbak Kendall  xD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top