FOUR - THE BADASS SIX

Kesepakatan di group WhatsApp tadi membawa langkah Moza ke depan pintu apartment milik Elang.

Lorong yang seharusnya menjadi jalan ke pintu masing-masing pemilik apartment kini tak ada. Keluar dari dalam lift, Moza di sambut dinding dengan sebuah pintu hitam besar di tengahnya. Pada bagian kanan pintu terdapat pemindai retina mata. Moza yakin, hanya sang tuan rumahlah yang mendapatkan akses ke dalamnya melalui alat pemindai tersebut. Ia memilih menekan tombol yang diyakininya sebagai bel rumah.


Jujur saja, walau Moza dan Elang dua tahun terakhir beberapa kali menjadi partner kerja dan tinggal di gedung apartemen yang sama, tapi ini merupakan pertama kalinya Moza masuk ke apartemen Elang. Selain karena kesibukan kerja, bagi Moza, tak ada gunanya mampir ke rumah rekan kerja. Waktu yang tersisa lebih baik ia manfaatkan untuk istirahat atau mengunjungi keluarganya.

Tak berselang lama, pintu terbuka. Menampilkan Elang dengan muka datarnya. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan tubuhnya ke daun pintu.

"Kau telat sepuluh menit."

Sebenarnya Moza sengaja datang terlambat ke apartment Elang dengan alasan tempat tinggalnya masih satu kawasan dengan Elang dan ia berpikir akan menjadi yang paling awal tiba dari keempat agen lainya jika datang tepat waktu. Kalian tahu kan, apa yang akan terjadi jika kedua manusia itu bertatap muka?

"Apa kau bilang? Aku hanya terlambat lima menit dari waktu yang di sepakati! Bagaimana kau bisa menghitungnya menjadi sepuluh menit?!"

"Apa kau berpikir orang-orang seperti kita akan menyia-nyiakan waktunya begitu saja? Tentu mereka datang lebih awal! Kami sudah mulai membahas misi sejak sepuluh menit yang lalu! Ingat! Waktu adalah pedang, Moza!"

"Kenapa tidak menung-"

"Sudah kubilang waktu adalah pedang!" Elang memotong pembelaan Moza. "Kami tidak mau membuang-buang waktu hanya karena harus menunggu satu orang yang dengan 'sengaja' datang terlambat!"

Lihat, bertemu dengan Elang memang sulit bagi Moza. Tadi saat mereka sedang di lift boleh saja Elang tertawa hingga perutnya sakit. Tapi sekarang, Elang berbicara- ralat membentak dirinya layaknya seorang psikopat gila.

"Ya... ya... aku minta maaf karena datang terlambat."

Dan memang Moza yang harus selalu terlihat salah. Ia mengucapkan kalimat maaf dengan ekspresi datar.

Elang tersenyum senang. Ia merasa puas melihat gadis superior di depanya ini akhirnya terlihat mengalah.

"Dimaafkan. Tapi tetap harus mendapat hukuman."

Moza ingin protes atas ucapan bernada perintah dari Elang tapi tangan kananya terlebih dulu di seret masuk ke dalam flat milik laki-laki tersebut.

Moza sedikit terperangah. Furniture mewah dengan warna dominan hitam putih berjejer di ruang tamu luas milik Elang. Di samping kanan kiri terdapat masing-masing empat pintu dan satu ruangan di ujung apartment. Ia yakin, pasti salah satu pintu menuju gudang senjata milik Elang.

Tangan kananya masih di tarik Elang menuju ruangan di ujung flatnya. Pintu di buka, menampilkan ruang pertemuan berfasilitas lengkap yang langsung menghadap balkon. Kurang lebih ada lima belas kursi berjajar rapi mengelilingi meja berbentuk oval. Tiga kursi di samping kiri meja terisi para agent yang akan bertugas bersamanya nanti. Nampak bang Arthur berdiri di depan, sedang menjelaskan misi yang akan mereka jalankan menggunakan media power point.

Sepertinya kehadiran Moza sedikit menggangu konsentrasi orang-orang yang berada di sana.

"Hai Moza!"

Itu suara Alexa. Ia menjadi orang pertama yang mengeluarkan suara setelah dirinya datang.

"Hai Lexa. Maaf semua, aku datang terlambat."

"Tidak masalah. Kami baru mau memulainya."

Alexa yang duduk diantara dua orang laki-laki menjawab permintaan maaf Moza. Moza mendelik kaget. Ia menatap jengkel Elang yang berada di sampingnya.

"Apa? Aku hanya mencoba untuk menggodamu." Elang tersenyum jahil.

Moza menggeram marah. Ia tidak terima di tipu manusia berbulu kecoak macam Elang ini.

'Bocah ini memang sedang menguji kesabaranku!'

Elang melepaskan genggaman di tangan Moza kemudian berjalan lebih dulu ke kursi di sebrang Tio yang duduk di bangku paling depan.

Dua orang yang duduk diantara Alexa adalah Tio dan Dafa.

Matthew Dewandra yang biasa di panggil Tio, ahli dalam berbagai senjata sekaligus ahli dalam bela diri seperti Alexa. Tio juga berbakat dalam hal yang berkaitan dengan bahan peledak.

Sementara Dafa Bagaskara jagonya dalam masalah IT. Ia seorang hacker handal yang di rekrut setelah berhasil membobol sistem milik BUMN dan mengambil setidaknya lima milyar uang dari sana. Beruntung, bukanya di penjara, ia malah di tawari menjadi salah satu anggota BIN namun harus mengembalikan semua uang yang berhasil di ambil.

Selain keahlian meretas yang sangat mumpuni, Dafa juga memiliki segudang bakat yang berkaitan dengan hal komunikasi. Seperti dapat  berbahasa isyarat, menguasai hampir seluruh bahasa koding, serta mampu berbicara dalam beberapa bahasa asing yang meliputi bahasa Mandarin, Arab, Rusia, Inggris, dan Perancis dimana Moza sendiri hanya mampu menguasai tiga dari keseluruhanya, yaitu bahasa Mandarin, Inggris, dan Perancis.

Moza bahkan sangat setuju dengan pendapat para agen BIN yang menyatakan bahwa, di balik penampilannya yang polos, Dafa adalah sosok yang jenius.

Moza pernah menjalankan misi bersama Tio serta Dafa, dan memang mereka sangat handal dalam bidang masing-masing.

Satu hal yang seharusnya menjadi skill dasar para agen Badan Intelijen Negara, meraka diharuskan dapat memahami bahkan berbicara beraneka ragam bahasa daerah di Indonesia ini. Minimal pada setiap pulau, tujuh bahasa daerah mereka kuasai. Mulai dari kosa katanya hingga logat khasnya.

"Segera mulai presentasimu, bang Arthur." Elang memulai.

"Biarkan Moza duduk dulu."

Moza mengangguk kepada Arthur yang sedang berdiri di depan. Ia kemudian memilih duduk di samping Dafa, menghindar dari Elang.

Setelah semuanya nampak fokus memperhatikanya, Arthur memulai presentasinya.

"Oke, karena Moza sudah datang, kita mulai bedah misi ini." Arthur melirik Moza yang tersenyum kaku.

Arthur mengotak-atik tombol di laptopnya yang telah tersambung dengan proyektor, menampilkan sebuah tulisan pada layar besar yang menempel di dinding,

'OPERASI NARKOBA : SERIGALA MERAH'

Moza menerka-nerka maksud dari kalimat Serigala Merah. Ia merasa tidak menemukannya dalam tumpukan kertas di dalam map yang di serahkan Mrs. Grey kepadanya tadi pagi.

"Misi kita kali ini membongkar sekaligus menangkap siapa saja yang terlibat dalam kasus peredaran Narkoba di SMA Budi Bangsa. Kita di beri waktu tiga bulan untuk menyelesaika misi dengan dua orang sebagai target utama. Kita berenam yang terpilih untuk menangani kasus 'seksi' ini."

Arthur berhenti berbicara. Ia mengedarkan pandangannya kepada semua orang yang sedang menatapnya serius.

"Kalian pasti bertanya-tanya kenapa kasus Narkoba yang melibatkan bocah SMA dan bisa di tangani polisi diserahkan kepada kita, Badan Intelijen Negara?"

"Targetnya yang bukan orang biasa." Dafa yang berada di samping Moza menjawab gesit.

"Yap! Tepat sasaran. Kau pasti telah mencuri start-kan Dafa?"

Dafa terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuknya, merasa tertangkap basah aksi cerdasnya terendus Arthur.

Arthur menekan sebuah tombol pada benda yang menyerupai pulpen digenggaman tangan kanannya, kemudian tulisan di layar berubah menjadi dua buah foto remaja. Seorang laki laki yang tengah mengenakan jas hitam di sebuah acara resmi.

Di samping gambar sang laki-laki terdapat foto gadis yang tengah tertawa di sebuah kedai kopi terkenal. Umur keduanya berkisar tujuh belas sampai sembilan belas tahun. Perkiraan Moza, foto tersebut di ambil secara sembunyi-sembunyi. Di masing-masing bagian bawah foto tertulis nama, Raditya Notosudibyo dan Nadia Sastrodiharjo.

"Pada awalnya kasus ini hanyalah peredaran narkoba dalam jumlah kecil yang melibatkan pelajar. Kasus narkoba kelas bawah. Namun seiring berjalanya penyelidikan polisi, kasus ini menjadi penangkapan besar dengan Raditya Notosudibyo dan Nadia Sastrodiharjo sebagai tarsangka utamanya. Saat polisi akan memulai penyelidikan terhadap dua orang tersangka, secara misteruis bukti-bukti yang mengarah kepada Raditya dan Nadia hilang tanpa jejak.
Polisi tidak bisa menangkap Raditya serta Nadia juga tidak mungkin memulai penyelidikan dari awal lagi, terlalu memakan waktu.
Oleh sebab itu, kasus ini dilimpahkan kepada kita yang memiliki wewenang lebih besar dan cakupan lebih luas."

Melihat Tio mengangkat tanganya, Arthur menghentikan sejenak penjelasan darinya.

"Ya Tio?"

"Memangnya siapa si Radit dan Nadia ini? Kenapa begitu sulit hanya untuk menjebloskan dua orang remaja ke dalam penjara?"

"Raditya Notosudibyo dan Nadia Sastrodiharjo, mereka masih memiliki hubungan darah. Keduanya termasuk kerabat keraton."

Moza ingat sekarang. Kedua orang itu sering menjadi topik pembahasan akun gosip yang muncul di kolom pencarian akun sosial media miliknya. Keduanya sangat populer di kalangan remaja karena status keluarga, dan pastinya, paras masing-masing diri mereka yang hampir mendekti sempurna.

"Orang tua Radit memiliki pertambangan batu bara terbesar di Kalimantan dan Sumatera.  Sementara Nadia, ibunya telah meninggal tiga tahun lalu karena kanker tenggorokan. Dan ayahnya, Wakapolda DIY saat ini."

Kalimat terakhir dari Arthur membuat semua orang yang memperhatikanya menarik kesimpulan yang sama.

"Apa mungkin, ayah Nadia yang menyingkirkan semua bukti yang mengarah pada putri dan keponakanya?" Moza yang pertama kali menyuarakan pikiran orang-orang yang ada di sana.

"Bisa jadi. Untuk itu kita ditugaskan dalam misi ini. Jika polisi yang melakukan penyelidikan, kemungkinan besar Wakapolda akan menghancurkan kembali bukti-bukti yang ada. Polisi juga tidak mungkin menangkap Wakapolda hanya dengan tuduhan tanpa adanya bukti-bukti yang jelas." Balas Arthur.

"Lalu mengapa misi ini di beri nama 'Operasi Serigala Merah'?"

Tio bertanya sambil memberikan isyarat tanda kutip saat mengucap tiga kata terakhirnya.

"Serigala Merah adalah jaringan Narkoba terkenal di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Hampir seluruh peredaran Narkoba di Jawa dikendalikan oleh Bandar Narkoba satu ini." Pertanyaan Tio mendapat jawaban dari Elang.

"Dalam perkembangan kasusnya, banyak petugas Kepolisian maupun instansi serupa yang mati ataupun hilang karena menangani kasus ini. Dan kasus yang menimpa Radit maupun Nadia, diduga berkaitan dengan Serigala Merah." lanjut Elang.

"Ternyata kau tau banyak tentang Serigala Merah ini, Elang."

Elang tersenyum sinis mendengar ucapan Tio, "orangtuaku mati dalam penyelidikan kasus ini."

Tio bergumam meminta maaf setelahnya.

Di balik sifat tengil Elang, tersimpan masa lalu kelam yang coba ia pendam. Yap! Elang dan Arthur memanglah kakak beradik. Orang tuanya merupakan agen terbaik yang pernah dimiliki BIN. Dari cerita yang beredar, kedua orang tua mereka meninggal saat menjalankan misi berbahaya. Kini Moza dan yang lain telah mengetahui misi berbahaya apa yang merenggut nyawa ayah dan ibu Elang maupun Arthur.

"Oke, apa masih ada yang kurang jelas?" Arthur mengeluarkan suara, memecah suasana canggung yang tadi sempat tercipta.

"Bagaiman dengan strategi yang akan kita gunakan untuk mendekati para calon tersangka?" Alexa berujar yang kembali mendapat jawaban dari Arthur.

"Seperti yang telah di katakan oleh Mrs. Grey, kita akan menyamar di SMA Budi Bangsa. Untuk pembagian peran akan di jelaskan Elang secara lebih detail."






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top