FIVETEEN - GOD PLAN
Moza telah memasang alat penyadap di lantai dua dan tiga. Ia sengaja memasangnya dari lantai paling atas karena pada saat Moza akan memasuki selasar lantai satu, secara bersamaan para satpam yang berjaga mulai berkeliling dan menuju ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Moza segera berjalan berputar kembali ke arah belakang bangunan.
Untung saja di belakang bangunan kelas tersebut terdapat pipa saluran air yang mengarah ke lantai tiga. Maka tanpa menunggu lagi, ia memanjat pipa.
Di lantai tiga dan dua, Moza memasang alat penyadap pada saluran udara di kelas dan beberapa kamera kecil di sudut-sudut yang tak terpantau cctv. Untuk toilet, ia hanya memasang penyadap suara yang ia sembunyikan di antara saluran air pembuangan wastafel. Itu lebih aman daripada di taruh di sela-sela kotak tisu yang kemungkinan besar akan di ganti dan bisa saja alat penyadapnya akan ketahuan. Ia melakukaanya dengan cepat dan berhati-hati.
Kini Moza tengah bergelantungan di pipa. Para satpam tengah menuju lantai dua.
"Athena masuk, para satpam telah berkeliling area sekolah. Posisi mereka di bangunan bagian timur. Para agen tolong waspada dan berhati-hati. Ganti."
Moza memberikan peringatan kepada rekan timnya yang lain. Walau suaranya setengah berbisik, namun ia memberikan tekanan pada setiap katanya sehingga ucapanya terdengar jelas.
"Dimengerti." balas agen lainya.
Setelah memastikan kedua satpam tersebut benar-benar di lantai dua, Moza segera bergerak turun ke lantai di bawahnya. Ia berjalan mengendap namun cepat, memasang alat penyadap yang posisinya tidak jauh berbeda dengan apa yang di lakukan di lantai dua dan tiga.
Kini Moza ada di dalam toilet. Ia memasang alat penyadap suara di antara pipa pembuangan air wastafel.
"Berlin masuk, telah menyelesaikan tugas dan sekarang bergerak menuju titik kumpul. Ganti"
Alexa menjadi orang kedua setelah Tio yang beberapa menit lalu memberikan laporan bahwa tugasnya teleh selesai.
"Copy that!" Jawab Dafa.
"Athena, aku tidak bisa memantaumu. Kamera di lantai satu dan dua mati. Tolong bergegas. Para satpam menuruni tangga lantai tiga sekarang."
Untuk kesekian kalinya, Dafa memberikan peringatan kepada Moza. Memang sial untuk dirinya. Moza tidak bisa meminta arahan kepada Dafa karena kamera di selasar lantai satu dan dua tidak menyala. Kemungkinan besar rusak, katanya.
"Ya, aku hampir selesai." balas Moza sekenannya.
Hawa yang sebenarnya dingin tak bisa Moza rasakan. Keringat mengucur deras di sekujur tubuhnya.
Peringatan Dafa barusan menambah adrenalin dalam jiwanya. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya sibuk dengan kamera yang akan ia pasang sementara matanya menatap awas ke depan, ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
Ia tak takut untuk memberikan perlawanan jika para satpam menyerang. Namun jika kelak mereka berpapasan kemudian satpam-satpam tersebut mengenali rupanya, maka hancur sudah penyamaranya.
Setelah berhasil mengendalikan gejolak dalam jiwanya, akhirnya Moza selesai juga. Ia bergegas membereskan peralatan yang tadi di gunakanya. Sekarang beban yang ia rasakan sedikit berkurang.
'Tinggal jalan mengendap, jangan menimbulkan kecurigaan dan jangan meninggalkan jejak keberadaan! Maka sukses sudah semua tugasku untuk malam ini!' Pikir batin Moza.
Moza berjalan ke arah pintu toilet. Ia mengintip keadaan di luar. Namun tiba-tiba, Moza mendengar suara langkah yang terdengar tergesa tengah menuruni anak tangga yang letaknya memang persis di samping kamar mandi yang ia tempati.
Moza panik. Tangan kanannya mendorong pintu kamar mandi dengan keras hingga menimbulkan suara gebrakan.
'Bodoh!' rutuk batin Moza kepada diri sendiri.
'Sejak kapan agen Intelijen panikan seperti ini!'
Moza marah kepada dirinya sendiri. Ia cepat-cepat bersembunyi di salah satu bilik toilet. Moza duduk bersila di atas closet, berusaha menyembunyikan kakinya agar tidak menjuntai ke bawah.
Terdengar langkah seseorang memasuki area toilet, menambah sumpah serapah Moza di dalam hati.
"Siapa di dalam?" Suara berat seorang pria memecah kesunyian malam, membuat Moza benar-benar panik sekarang.
"Dafa!" geram Moza dengan suara pelan tertahan.
Mendengar suara Moza, Elang berlari kencang. Ia tidak peduli lagi dengan kemunculannya di cctv sekolah karena Elang yakin, Dafa akan mengatasinya.
"Moscow bergerak membantu Athena!" putus Elang tanpa menunggu perintah.
Sang satpam sekolah berjalan perlahan memasuki dalam kamar mandi. Ia membuka pintu bilik satu persatu dengan perlahan. Mendramatisir keadaan.
Ada lima bilik kamar mandi di sini dan Moza sendiri bersembunyi di bilik ke empat. Suara langkah kaki semakin mendekati tempatnya bersembunyi.
Moza memejamkan matanya erat. Entah kenapa, malah di tangan seorang satpam ia menjadi bodoh sekarang. Padahal dalam misi-misi sebelumnya ia selalu bisa di andalkan.
Klontang!
Bukan. Kali ini bukan Moza yang menimbulkan suara.
Suara besi nyaring tersebut terus-terusan terdengar dari arah tangga tempat kemunculan sang satpam tadi.
Pak satpam menolehkam kepalanya ke belakang, mencoba melihat datangnya sumber suara tapi tak nampak dalam pandangannya. Ia monelahkan kepalanya ke depan kembali.
Satpam yang sebenarnya juga masih penasaran dengan sesuatu di dalam toilet tersebut dengan cepat membuka semua pintu bilik toilet. Kosong.
Setelah tidak menemukan apapun, sang satpam bergegas keluar dari dalam kamar mandi menuju sumber suara baru di luaran sana.
Moza yang bersembunyi di bawah wastafel kini bisa bernafas lega. Ia sangat berterimakasih terhadap sesuatu di luaran sana yang berhasil menimbulkan suara lain sehingga perhatian satpam sekolahan tadi tidak terlalu fokus terhadap kehadiranya.
"Ayo Za, kita harus segera keluar dari sini!"
Elang muncul secara tiba-tiba di ambang pintu masuk toilet. Ia kelihatan panik, nafasnya putus-putus dan keringat bercucuran dari wajahnya.
'Jangan-jangan..., ' batin Moza menerka atas sesuatu yang terjadi sebelumnya.
"Cepetan lari, goblok!"
Moza mengurungkan niatan untuk berterimakasih kepada sesuatu yang berhasil menyelamatkan dirinya dari tertangkap basah oleh satpam sekolah, karena ia yakin, sesuatu tersebut berkaitan dengan kemunculan sosok menyebalkan di depanya.
Tidak memberi kesempatan Elang untuk memaki dirinya lebih jauh, Moza segera keluar dari kolong tempat ia bersembunyi kemudian berlari sekencang yang ia bisa.
Adrenalin terus memacu Moza untuk keluar dari kawasan SMA Budi Bangsa. Sampai di dalam mobil Van, Moza sadar satu hal.
"Elang, mana Za?" Tanya Alexa dengan sorot mata bertanya-tanya. Sebenarnya semua orang yang berada satu mobil dengannya menatap heran pada Moza.
"Ehm-"
"Emang dasar Moza sialan! Di tolongin malah ninggal!"
Elang membuka pintu mobil dengan kasar. Ia kemudian duduk dengan muka kesal dan nafas yang tetap ngos-ngosan. Pandangannya mengarah keluar jendela, mengacuhkan Moza yang menatap menyesal terhadapnya.
Moza bodoh! Bagian penting dalam misi penyelamatanya malah ia lupakan. Moza sebenarnya sengaja berlari lebih dulu untuk menjaga jarak dengan Elang, menghindar dari perdebatan. Namun karena rasa panik yang memenuhi seluruh pikiranya, tempo lari kencangnya menjadi tak terkendali dan membuatnya tak sadar diri akan orang yang telah berjasa menyelamatkanya.
"Sori Lang, lariku kekencengan tadi. Lupa kalau kau masih di belakang."
Moza mencoba meminta maaf pada Elang, padahal tadi ia bahkan bertekad tidak mau berterimakasih atas jasanya mengalihkan perhatian satpam sekolah. Sepertinya Moza akan kedatangan tamu, mood-nya tidak menentu.
Elang tak menjawab. Wajah dingin nan kejam ia keluarkan. Moza merasa bersalah. Hingga akhirnya van yang mereka gunakan sampai di apartment Dafa kembalipun Elang masih mengacuhkan Moza.
Sebenarnya ada untungnya juga Elang jadi pendiam seperti ini. Para agen tidak perlu membuang-buang tenaga untuk berdebat dengannya.
Tapi suasana jadi sepi, tak seru lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top