EIGHTEEN - THE DOCUMENTS
Masih di apartment Dafa, namun suasana serius kini yang mendominasi. Para agen berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk melingkar. Satu berkas tebal di atas meja mulai di jamah oleh para agen Intelijen.
Elang meraih map hitam tersebut, membukanya kemudian mengambil satu bendel kertas paling atas dari kumpulan file, agen lainnya mengambil bendelan kertas di bawahnya.
Masing-masing dari keenam agen tersebut kini membawa satu bendel berkas. Mereka kemudian mulai membacanya.
"Opo iki?!"
Elang mengucapkan kalimat barusan dengan nada kesal. Membuka halaman selanjutnya, kalimat sumpah serapah dari berbagai daerah yang ia lontarkan.
Agen lainnya juga ingin mengumpat kasar seperti yang di lakukan Elang, namun tidak terburu-buru seperti laki-laki tersebut. Mereka membuka halaman-halaman selanjutnya. Tapi hasilnya tetap sama. Semua tulisan di kertas tersebut telah dispidol hitam, tak menyisakan satu kalimatpun yang bisa di jadikan Moza dan kelima agen lainnya untuk mengetahui fakta baru tentang Serigala Merah.
"Kau tak salah berkas, kan Daf?"
Arthur yang raut wajahnya terlihat panik, menatap Dafa, membuat agen lainya ikut menatap ke arah laki-laki yang tadi menemui orang BIN.
"Aku sudah dapat konfirmasi dari Mrs. Grey, dan ya! Memang ini yang tersisa!" Dafa menjelaskan dengan gestur malas.
"Jika hanya coret-coretan seperti ini, informasi apa yang kita bisa dapat!" Tio melempar berkas yang dia ambil tadi ke atas meja kemudian membantingkan kepalanya kesandaran sofa yang di dudukinya.
"Apa tidak ada salinan lainya atau versi elektroniknya? Apapunlah! selain tumpukan sampah ini!" Tambah Elang frustasi.
Bagaimana tidak? Anggota tim sudah berharap besar akan mendapat sedikit informasi mengenai kejahatan Serigala Merah di masa lampau melalui berkas tersebut yang nantinya akan di gunakan sebagai acuan dalam operasi mereka saat ini, namun hasilnya hanya tumpukan berkas yang dengan sengaja di spidol hitam pada setiap huruf! Jelas mereka sangat kecewa.
"Soal itu tidak mungkin." Pengakuan Dafa menambah rasa kesal kelima rekanya. "Setiap misi yang di jalankan hanya akan ada satu berkas laporan. Protokol keamanan." Lanjut Dafa.
Kedua gadis yang ada di sana saling menatap bingung. Di saat situasi buntu seperti ini, mereka berdua sama-sama memegang prinsip lebih baik diam jika bicara tak bisa memberikan solusi. Karena bagaimanapun juga, Moza dan Alexa paham dengan jalan pikiran para lelaki di hadapanya bahwa peran wanita di badan Intelijen kebanyakan hanya dalam urusan pendekatan kepada target.
"Kecuali..., " Dafa menggantung kalimatnya, membuat semua orang di sana menatap penasaran terhadap dirinya.
Paham situasinya bagaimana, tanpa kalimat tanya Dafa melanjutkan ucapanya, "kita minta keterangan langsung dengan orang-orang yang dulu mengurusi Serigala Merah."
"Terlalu lama Daf!" Elang langsung menyanggah kalimat Dafa. "Kita harus mendapat izin dari Mrs. Grey, dimana Mrs. Grey sendiri harus memprosesnya kepada atasannya lagi. Dan kita tahu sendiri, pasti itu tidaklah mudah! Ingat!" Nada suara Elang tegas memperingatkan. "Yang kita hadapi bandar narkoba terbesar di Jawa!"
"Jika orangnya dekat dengan kita, maka tak perlu prosedur itu, bukan?" Dafa membalas santai ucapan Elang. Membuat kelima rekanya menatap bingung padanya.
"Maksudmu?"
"Ayah Moza dulu menjadi salah satu petugas yang turun langsung dalam penangkapan Serigala Merah."
Moza yang duduk dengan posisi kedua tangan menyangga kepala mendapat tatapan menilisik dari kelima rekanya. Kemudian tanpa merubah posisi, ia bicara dengan nada malas.
"Aku sudah pernah menanyakan hal ini padanya tapi tak mendapatkan apa-apa."
"Kau-"
"Apa?" Moza memotong perkataan Elang sambil menyandarkan tubuhnya. "Jangan bicarakan izin di saat situasi genting!" Tambah Moza membuat Elang langsung terdiam. Tapi hal itu hanya berlangsung selama lima detik karena selanjutnya yang Elang lakukan adalah menyuruh Moza menghubungi papanya.
"Tidak!" Malah Arthur yang menolak usulan Elang.
"Kenapa bang?" Elang bertanya heran, "ini kesempatan kita satu-"
"Sudah sangat keterlaluan meminta informasi dengan mengandalkan ikatan hubungan! Tanpa izin pula!" Arthur berkata tegas, tapi Elang bersikeras.
"Setidaknya biarkan Moza mencoba," Elang menatap Arthur memelas, "sekali saja,"
"Enggak Lang!" Arthur masih menolak, "kita masih bisa melanjutkan misi walau tanpa tambahan informasi."
Ucapan Arthur barusan membuat adik lelakinya terlihat emosi.
"Tapi informasi yang pasti bisa membuat langkah kita lebih terarah! Semakin cepat kita mendapat informasi, maka semakin dekat kita dengan para bedebah itu!" Elang berkata dengan nada frustasi.
Arthur menyadari kemana ujung dari perkataan Elang. Dia memajukan tubuhnya, menatap adiknya lekat. "Lang, jangan membuat misi ini menjadi ajang balas dendamu terhadap mereka!" Suara Arthur penuh dengan sarat peringatan.
Keempat orang lainnya saling tatap. Mereka terjebak dengan perang dingin antar saudara yang sepertinya sudah lama menjadi perdebatan.
"Ehm.., aku bisa mencoba untuk menghubungi papaku, tapi tidak dengan jaminan ia mau berbicara tentang Serigala Merah." Moza mencoba memberi usul. Walau bukan usulan sempurna karena tadi sempat menjadi perdebatan antara dua kakak beradik di depanya. "Setidaknya bisa di coba?" Tambahnya
Arthur masih menatap Elang, namun jika tadi tatapan mereka saling menghujam, kini mata Elang berubah menjadi sendu penuh harapan.
Arthur jelas tak tega. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil mengusap kasar wajahnya. "Terserah!"
Laki-laki itu kemudian bangkit, berjalan menuju dapur di apartment Dafa dan Tio.
Elang menatap punggung lebar kakaknya yang berjalan menjauh dengan senyum kecil. Kemudian mata tajamnya bergantian menatap keempat kawanya dengan wajah antusias.
"Lekas telepon papamu ayo Za!"
Moza heran. Elang memang pengendali ekspresi wajah yang sempurna. Habis berdebat panjang, langsung menampilkan wajah antusias? Memang dasar setan!
"Daf, bisa amankan panggilanku dengan papa?"
Moza tak ingin pembicaraan seriusnya nanti di sadap orang lain. Walau kemungkinan besarnya tidak mendapat informasi apa-apa, tapi siapa tahu papanya ingin sedikit bicara tentang bandar satu ini.
Dafa langsung mengiyakan. Ia mengambil laptopnya, kemudia meminta hp Moza. Setelah di rasa selesai melakukan program terhadap ponsel Moza, Dafa menyerahkan kembali handphone tersebut kepada pemiliknya.
Moza langsung membuat panggilan. Ia mengaktifkan mode loudspeaker. Dan Setelah lima kali nada tunggu, papa Moza menjawab panggilan telepon.
"Kenapa Za?"
To the point! Mereka bingung ingin memancing pembahasan Serigala Merah bagaimana jika seperti ini.
"Lagi sibuk pa?" Moza mengucapkan kalimat tersebut sambil menatap keempat rekanya bergantian.
"Baru di jalan. Ada apa?"
"Tanya dikit, boleh?" Tak ada gunanya berbasa-basi. Dan memang Kendra bukan tipikal orang yang senang dengan berbasa-basi.
"Say, kiddo!"
Elang menatap Moza hina mendengar panggilan Kendra pada dirinya. Sementara Moza sendiri sebenarnya sedikit malu karena di panggil dengan sapaan akrab khas papanya untuk dirinya. Hanya saja ia pura-pura tidak peduli dengan memasang tampang judes di depan rekan timnya.
"Tapi harus di jawab walaupun satu kalimat. Yaaa?" Pinta Moza.
Jede beberapa detik. Dari percakapan terkahir kalinya bersama Moza, Kendra sadar pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh putrinya tersebut.
"Pa-"
"Kalau kamu tanya soal Serigala Merah, maaf, papa nggak bisa jawab!"
Ucapan Kendra barusan membuat orang-orang di sebrang panggilan telepon kembali saling tatap. Satu-satunya harapan tentang fakta target mereka menolak untuk memberikan informasi.
Elang mengambil alih ponsel Moza yang tadi di taruh di atas meja kemudian berbicara dengan nada yang menggebu.
"Tapi om, kita memiliki wewen-"
"Wewenang kalian berlaku bagi saya jika kalian memiliki surat perintah atau izin dari atasan." Kendra memotong ucapan Elang. "Dan saya yakin kalian tidak memiliki hal tersebut. Jadi jangan paksa saya untuk berkata apapun sebelum kalian memiliki satu di antaranya. Lagipula, izin itu akan sulit kalian dapatkan, bukan?"
Panggilan langsung di putuskan sepihak oleh Kendra sebelum Moza ataupun agen lainya berucap.
Mereke merasa speecles mendengar ucapan Kendra. Sepertinya misi yang di hadapi mengandung banyak konspirasi. Banyak yang di tutup-tutupi.
Tak ada yang berbicara setelah panggilan telepon berakhir. Para agen Intelijen memilih sibuk dengan pikiran masing-masing, menerka-nerka tentang apa yang sebenarnya mereka hadapi sehingga banyak orang yang memilih tutup mulut jika ditanyai perihal Serigala Merah. Bahkan berkas laporan misi dari gembong narkoba satu ini sengaja di rusak agar tak meninggalkan bekas.
Para agen Intelijen menemui titik buntu di sini. Mereka harus memulai penyelidikan dari bawah lagi. Dan semoga saja SMA Budi Bangsa menjadi jalan mereka menuju puncak organisasi Serigala Merah itu sendiri.
Handphone yang berada di dalam genggaman tangan Moza bergetar di sertai nada panggilan. Elang kembali menunjukan wajah antusias. Ia berpikir bahwa ayah dari gadis tersebut berubah pikiran dan berniat ingin memberikan sedikit keterangan mengenai bandar yang sedang ia incar.
Moza mengangkat ponselnya, membaca nama kontak yang terpampang di layar handphone miliknya.
Dengan muka yang tetap datar, ia membalikan layar handphonenya, mengarahkannya kepada keempat rekan kerjanya agar bisa ikut membaca nama si penelpon yang ternyata berbeda dengan harapan Elang tadi.
"Fero telfon." Kata Moza singkat.
Elang langsung menjatuhkan kepalanya kesandaran sofa sambil menghela nafas kesal.
"Kenapa bukan Raditya, Za?" Tio bertanya heran.
"Udah punya cewek. Pasti enggak baca dokumen misi dengan teliti ya?" Alexa melirik malas pada lelaki yang sering mengacuhkan detail setiap misi dalam dokumen yang di bagikan.
"Ya siapa tahu Raditya anaknya playboy abis! Setiap liat cewek bening dikit, langsung embat!"
Tio mencoba mengelak dari pembahasan dokumen misi, karena jujur saja, ia selalu malas berhadapan dengan tumpukan kertas yang isinya hanya tulisan. Melihat begitu banyaknya tulisan katanya bikin sakit mata.
"Angkat aja Za. Siapa tahu Fero langsung mengajakmu buat transaksi." Dafa akhirnya yang memberikan saran mengingat Tio dan Alexa akan terus melanjutkan percakapan unfaedah mereka.
Moza mengangguk singkat kemudian memilih berjalan ke arah balkon apartment agar percakapannya dengan Fero nanti tidak terkontaminasi umpatan kasar baik yang berasal dari Tio ataupun Alexa.
"Tapi si Fero dapet darimana nomer Moza?" Tio bertanya setelah Moza menghilang di balik pintu geser kaca. Perkataanya barusan memdapat jawaban dari Elang.
"Tadi pas bubaran kelas, Moza di cegat Fero di depan pintu. Dia minta nomer hp Moza."
"Gercap juga yak, tuh bocah!" Tio berucap jenaka, yang di telinga Elang terdengar ganjil suaranya.
"Nggak kayak Elang! Cupu! Dari dulu pendekatan mulu, nggak ada gerakan gesitnya buat hubungan ke jenjang pernikahan!"
Tio langsung berlari menyusul Arthur ke arah dapur sambil tertawa terbahak melihat Elang yang langsung menegapkan tubuhnya sambil menampakan muka murka andalanya mendengar olok-olokan receh darinya.
"Tio bangsat!" Umpat Elang tertahan, membuat Dafa dan Alexa juga tertawa.
Moza kembali masuk ke dalam ruang tamu apartment. Ia duduk di kursi yang tadi di isi Arthur. Ketiga kawanya langsung memberikan tatapan bertanya-tanya.
"Fero ngajakin jalan keluar. Ngenalin kota Jogja modusnya." Moza berucap datar.
"Iyain aja. Kita nanti yang atur jalan ceritanya supaya dia mau bicara soal kegiatan haramnya."
P.s : sori gaezz, yang tadi ada kesalahan teknis, tapiiii silahkan di voment ;p
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top