EIGHT - HOMECOMING


Pagi ini Moza mengendarai mobilnya di salah satu kawasan perumahan elit.

Sebelum menjalankan misi bersama Alexa dan yang lainya, Moza berencana mengunjungi rumah kedua orang tuanya. Sebenarnya mamanya yang bersih keras memerintahkan Moza untuk pulang. Misi terakhirnya kemarin berlangsung selama dua minggu. Dan selama itu pula Sabrina tidak bertemu dengan putrinya.

Mobil Moza berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam. Rumah berlantai tiga dengan gaya arsitektur percampuran Eropa dan adat Jawa nampak setelah gerbang di bukakan oleh seorang satpam perumahan yang kebetulan melintas di dekat rumah orang tuanya.

Setelah memarkirkan mobilnya di samping mobil-mobil milik papa mamanya, Moza melangkah menuju pintu besar rumahnya yang terbuka lebar.

Moza yang hafal betul kelakuan mamanya ketika dirinya pulang, langsung menuju ruang makan keluarganya. Benar saja, Sabrina nampak tengah menata hidangan di atas meja makan.

"Hai mam!" sapa Moza.

"Kok udah sampe Za? Cepet banget! Kamu ngebut ya?"

"Enggak. Tadi jalanannya agak sepi, nggak kena macet kayak biasanya."

Moza tadi berangkat pagi-pagi sekali. Dan sebelum ke sini, ia sempat ke supermarket dekat kediaman kedua orang tuanya untuk berbelanja kebutuhan sehari-harinya yang mulai menipis.

Tapi sebenarnya jika dirinya mengebut pun tak masalah. Dirinya inikan agen Intelijen yang sudah biasa dengan adegan nyaris mati. Mamanya ini berlebihan!

Moza berjalan mendekati Sabrina yang masih sibuk mondar mandir dari area dapur ke meja makan, memindahkan menu sarapan keluarganya sendirian.

Memang tidak ada asisten rumah tangga di rumah besar kedua orang tuanya. Pekerjaan yang bertaruh nyawa membuat papa maupun mamanya tidak mudah mempercayai orang. Mereka benar-benar hanya mengandalkan diri mereka sendiri untuk mengurusi semua kebutuhan rumah tangga di kediaman mewahnya.

"Aku bantu?" tawar Moza.

Sabrina meletakan piring terakhir berisi ayam panggang buatanya. Wanita berumur tiga puluh sembilan tahun itu tersenyum. Ia mendekati Moza yang berdiri di sisi meja makan. Kemudian mengecup kilat dahi putrinya.

"Mama!" Gerutu Moza.

Sabrina langsung menyingkir dari hadapan Moza. Putrinya itu selalu terlihat kesal jika ia memperlakukanya posesif.

"Kenapa? Marah kamu?" Sabrina tertawa mengejek pada Moza.

Terlepas dari pekerjaan penuh resiko putrinya, Sabrina selalu menggangap Moza adalah gadis kecilnya. Pertemuan yang sangat jarang dengan Moza membuatnya selalu berfikir bahwa setiap kebersamaanya dengan Moza selalu menyenangkan. Sabrina gemar menggangu Moza. Ekspresi kesal Moza selalu menjadi bagian favoritnya.

Moza tidak menanggapi ucapan mamanya. Ia menarik kursi di depanya kemudian duduk di sana.

Ada tujuan lain Moza datang ke sini. Percakapan dirinya bersama Arthur yang sesekali membahas Elang membuat dirinya penasaran dengan latar belakang kehidupan kakak beradik itu.

Selama ini Moza selalu menggangap bahwa Elang hanyalah laki-laki genit yang ingin selalu menarik perhatian setiap wanita yang di temuinya. Tapi pandangannya sedikit berubah ketika ia mendengar pengakuan Elang tentang kematian orang tuanya.

Moza juga sekalian ingin bertanya sedikit tentang Serigala Merah. Siapa tau, ibunya mempunyai informasi tentang kelompok ini. Walau Moza sadar, tindakanya ini sama saja dengan ia mencoba untuk membocorkan misi rahasianya.
Tapi menambah informasi demi keberhasilan misi tak ada salahnya kan?

"Za!" mamanya menepuk bahunya keras. "Kenapa diem?"

"Ngantuk. Semaleman nggak tidur."

"Emangnya ngapaian aja kamu?"

Tubuh Moza menjadi kaku. Tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya terjaga semalam suntuk hanya karena memikirkan senyuman Arthur yang jarang dilihatnya. Bisa-bisa mamanya akan meledeknya habis-habisan mengetahui anak gadisnya yang cuek ini mulai suka kepada laki-laki. Ya walaupun itu merupakam hal yang normal.

"Wait! Apa tadi? Suka?!"

Tanpa sadar tangan kanan Moza menggebrak meja, menyuarakan keterkejutan batinya.

"Kamu kenapa sih Za?" Sabrina mengerutkan dahinya.

"Ada nyamuk. Papa mana ma?" Moza mengalihkan pembicaraan yang untungnya mamanya mengikuti arus yang di buatnya.

"Jemput opa-mu. Oma pengen banget ketemu sama cucunya yang selalu ilang di tengah acara keluarga." Sabrina menekankan suaranya pada kalimat terakhir.

"Mama tahu sendiri, gimana kerjaanku."

"Mama tahu, tapi omamu enggak. Lagian bandel sih. Cewek harusnya kerja di bidang yang nggak berisko tinggi."

Terjadi keheningan kemudian. Moza melirik mamanya heran. Apa kira-kira mamanya lupa, bagaimana dirinya bisa bertemu dengan papanya?

"Ehm, kamu kalau udah laper makan duluan nggak apa-apa loh." Kini Sabrina yang mencoba mengubah topik pembicaraan.

"Enggak, Moza nunggu yang lainya dateng dulu."

"Oke." jawab Sabrina yang kemudian duduk di sebrang Moza sambil menatap ponselnya.

"Papa udah deket ini."

Moza mengganggukan kepalanya ketika mamanya menunjukan layar handphone yang menampilkan pesan dari papanya.

"Ma," Moza akan memulai aksinya. "Ketika mama masih di BIN dulu, pernah bertugas atau kenal sama agen dengan code name Ardani enggak?"

Moza menggunakan kata kunci Ardani, mengingat nama belakang Arthur maupun Elang berakhiran dengan kata itu.

Pandangan Sabrina menerawang, "Ardani? Mama enggak kenal."

Moza menghembuskan nafas kecewa.

"Tapi... Mama pernah denger dari papamu, Ardani itu nama seorang agen yang tewas saat menangani kasus bandar narkoba... "

"Serigala Merah!" Moza menambahi cepat ucapan mamanya saat terlihat kesulitan mengingat.

"Yap! Papamu ikut dalam operasi gabungan BIN, BNN, Polri, maupun TNI saat itu untuk menangkap komplotan Serigala Merah."

Moza tersenyum bersemangat. Semoga saja papanya mengetahui informasi mengenai latar belakang kehidupan Elang.


















Heloo everyone!! ;)
This is mommy and daddy Moza.

1. Sabrina


2. Kendra










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top