SPARK - Part 21

Vhi menatap kosong pada gelas berisi wiski, tidak mengindahkan Jimmy yang hanya bisa diam setelah mendengarnya. Hal yang amat menyiksa tetapi ia lebih memilih menanti temannya itu menyelesaikan perkaranya melalui minuman beralkohol.

“Jim, aku menghancurkannya.” Bibir tipis itu berucap dan bergetar. Ampuh membuat Jimmy menoleh dengan satu helaan napas panjang.

"Aku sungguh tidak tahu harus mengatakan apa, tetapi saat aku mencoba menilik masalah kalian yang seharusnya tidak boleh kuikut campuri, itu hanya karena egomu yang tidak bisa kau tahan. Kau tidak ingin mendengar apapun yang Aileen coba jelaskan dan juga, masalah hatimu yang melukai Aileen dengan masa lalu yang kenyataannya masih kau simpan dengan rapi," ujarnya secara gamblang, membuat Vhi spontan mengulum kedua bibirnya. Jimmy yang melihat itu, kembali menghela napas sebelum melanjutkan tutur katanya.

"Aku tidak memihak pada siapapun karena aku mengungkapkan sesuai dengan sudut pandangku dan kenyataannya memang seperti itu. Ayolah, Vhi! Bukankah kau sudah mengatakan kepadaku bahwa Alice tidak akan memasuki hatimu? Tetapi kenapa malah seperti ini? Bahkan, kau ingin mengakhiri hubunganmu dengan Aileen sebelum mendengarkan penjelasannya."

"Itu karena aku tidak memahami apapun lagi. Aku memang salah pada waktu itu karena mencintai dan melamarnya. Kami memang saling mencintai, tetapi atensi kami berbeda haluan. Bahkan, ada banyak hal yang tidak bisa tersampaikan karena ketakutan timbul dan alasan kenapa aku mengakhirinya, aku memiliki pandangan sendiri, Jim. Aku tidak ingin memaksakan apapun lagi. Dia akan lebih bahagia dan bebas jika aku mengakhiri ikatan ini. Itu pilihan terbaik diantara kita."

Alhasil, Jimmy langsung saja tersenyum kecut, kala Vhi berdiri dari duduknya dan hendak meninggalkan ruangan Jimmy. "Huh, itu sudut pandang yang mengesankan, tetapi aku tidak bisa memberikan demonstrasi karena ini hidup kalian. Hanya saja, pilihan yang kau katakan terbaik itu malah merugikan. Entah itu kau ataupun Aileen tetapi aku hanya bisa mengatakan satu hal; bertindaklah sebelum kata penyelasan menghampirimu. Bahkan saat kau ingin memperbaikinya, disaat itu, tidak  ada ruang lagi yang terbuka karena pintunya telah tertutup rapat."

Sungguh, tutur kata Jimmy, membuat maniknya berkedip gelisah dengan napas yang serasa tercekat. Jimmy memahami hal itu. Ia merasakan sakit, tetapi tidak ingin memperkeruh keadaan yang suatu saat nanti, akan surut dan Jimmy menanti hal itu karena telah lelah dengan perasaan ini.

Ia tidak ingin memberikan luka dan merusak banyak hal, karena mencintai seorang Mercier.

***

"Kau pasti tidak pernah mendengar dan melihatnya, tetapi wanita inilah yang melakukannya. Wanita ini bisa melakukan apapun agar apa yang diinginkannya terlaksa."

Suara ketukan sepatu berhak tinggi, terdengar menggema, membuat bulu kuduk meremang kala suaranya yang terdengar menegangkan.

"Dia tidak suka penolakan dan juga pengkhianat. Sungguh, dia benar-benar licik sekali."

Bersamaan dengan irama itu, wanita tersebut, menyelipkan rambutnya ke belakang saat langkahnya berhenti dan memasuki toilet wanita.

"Aku bekerja sama dengan wanita itu karena wanita itulah yang menghubungiku. Katanya, dia memerlukan seorang partner tetapi sekarang, aku tidak lagi melakukannya dan mencoba melupakan ambisi itu dan memilih melangkah dengan atensi yang baru."

Kini, wanita itu menatap wajahnya dari cermen. Mengamati pantulan wajahnya dengan polesan riasan sederhana lalu berseringai sembari berpangku tangan dengan angkuh.

Wanita itu memiringkan kepalanya. Lalu jari telunjuknya kini memilih menulis dicermin itu dengan penuh bangga. Bahkan makin tercurahkam saat tulisan tangannya telah tercipta.

"I'm winner!"

"Dia Alice Kleon. Mantan tunangan Vhi yang datang ingin merebut apa yang seharusnya menjadi haknya."

***

Lucy masih mengingat kata-kata Jean mengenai dalang yang merusak rumah tangga temannya. Alice Klous. Ia pernah bertemu dengan wanita itu, tetapi ia belum pernah melihatnya, dan jika ia dipertemukan, dengan senang dan tangan terbuka, ia bersedia menjambak rambut itu. Mohon ingatkan ia dengan apa yang ingin ia lakukan ini karena pada dasarnya, ia sudah sangat kesal melihat kejahatan wanita itu yang membuat temannya yang kini benar-benar berubah—bukan Aileen yang ia kenal dulu. Bahkan, Aileen kini terlihat kurus dan pucat, membuatnya tidak tega, manakala mengingat temannya itu yang sedang hamil.

Lucy sangat bingung untuk melakukan apapun, tetapi ia tidak bisa seperti ini. Bahkan saat Aileen yang enggan menyentuh makanan yang ia hidangkan.

“Aileen, kumohon, jangan seperti ini. Setidaknya ingat bayi yang sedang kau kandung," ujarnya. Aileen hanya menoleh sekilas lantas kembali menatap pemandangan luar. 

"Aku tidak lapar." Penuturan itu, membuat Lucy menghela napas. "Tetapi--"

"Aku ingin sendiri, Lucy. Aku tidak ingin---" tutur katanya terhenti saat pintu terbuka. Menampakkan sosok Jean yang menatapnya sedih. Pun membuat Lucy juga menoleh menatap objek yang sama. "Jean ingin mengatakan satu hal."

Alhasil membuat Aileen menatap lekat pada pria itu yang kini mendekat. Lucy masih disana, sebagai jaga-jaga sajaa karena Lucy memberikan izin pada Jean pun, tentu memiliki persyaratan.

"Jean, sebaiknya kau pergi saja dari hadapanku! Kalau perlu, tidak perlu lagi memunculkan wajahmu. Aku tidak ingin terjadi kesalahpahaman lagi setelah apa yang terjadi." Aileen bertutur kata yang membuat Jean merasa bersalah. Terbukti dari wajahnya dan helaan napas yang mengudara. Akan tetapi, Jean tidak mengindahkan dan mengulur jemarinya yang membuat Aileen tidak mengerti.

"Akan kuceritakan apa yang seharusnya kau tahu pasal masalah ini. Namun, tempat ini tidak tepat dan aku tahu tempat yang paling tepat."

Aileen belum menerima ulurang tangan itu. Maniknya masih memilih mengamati jemari gagah itu dan benaknya yang juga masih mencerna dengan baik tutur kata Jean yang membuat banyak pertanyaan kini muncul.

Jean amat mengerti tatapan Aileen hingga ia hanya bisa menanti balasan dari uluran tangan itu dengan memberikan senyuman hangat penuh makna. "Kau perlu mengetahui semua ini." ---Dan aku harap, luapan kebencian tak akan menyeruak saat kau telah mengetahuinya.

***

Aileen sejak tadi, hanya bungkam kala Jean menceritakan semuanya. Mulai dari perasannya, ambisi, dan tindakan yang ia lakoni bersama seseorang agar mereka bisa mendapati apa yang mereka inginkan dengan menghancurkan rumah tangganya. Bahkan, ia tidak bisa memberikan timbal balik saat mengetahui seseorang bersama Jean adalah Alice. Wanita yang menjadi mantan tunangan suaminya yang tampak seperti malaikat saat pertemuan pertama mereka.

Aileen benar-benar bingung untuk bereaksi seperti apa kepada Jean selain terisak dan memukul dada bidang pria itu di kursi taman kota setelah Jean mengajaknya untuk mengisi perut terlebih dahulu dan mulai bercerita di taman ini.

Jean tentu menerima perlakuan Aileen kepadanya jika wanita itu bisa memaafkan semua kesalahannya. Akan tetapi, Jean tidak bisa melihat air mata dipelupuk itu---sangat tidak kuasa.

"Kenapa kau melakukannya?"

"Kenapa aku membuatmu merasakan afeksi yang seharusnya tidak boleh ada diantara kita?"

"Janji waktu kita kecil itu hanya omong kosong belaka, Jean! Kenapa kau tidak bisa memahami ini semua!" Aileen mengeluarkan semua luapan amarahnya dan berada di dekapan Jean. "Aku minta maaf."

Hanya itu yang bisa Jean lakukan, tetapi itu tidak bisa merubah keadaan yang terjadi. Bahkan saat dari kejauhan, seseorang melihat mereka dengan sudut pandang yang berbeda. Hingga, pria itu meraih ponselnya di atas dashboard dan berniat menghubungi seseorang.

Masih dengan amatan yang sama, ia menanti seberang sana akan menjawab panggilannya.

"Vhi, kau--"

"Aku tidak bisa mengerti lagi, Leen. Sepertinya, kita memang harus mengakhiri semua hubungan ini tanpa harus pikir panjang lagi dan kau tidak perlu memusingkan persoalan perceraian kita, karena kau hanya perlu memberikan bubuhan tanda tanganmu di atas kertas cerai yang akan kau genggam tidak lama lagi."

"Apa maksudmu, Vhi? Kenapa kau jahat sekali? Sungguh! Ini hanya kesalahpahaman dan juga jebakan Vhi. Kumohon, jangan melakukannya. Aku mencintaimu …."

Rungunya yang mendengar lisan itu, membuat satu sudut bibirnya kini berseringai. "Berikan cintamu itu pada pria yang kini berada dekat padamu saat ini." Sambungan telepon itu kini berakhir saat Vhi mematikannya dan memilih menancapkan pedal gas. Tidak memedulikan jika seseorang merasakan luka.

Aileen merasakannya. Apa yang Vhi katakan, membuat hidupnya makin rumit dan tidak menemui titik terang untuk mereka bersama. Ia sangat tahu bagaimana sikap yang melekat pada Vhi dimana tak akan memberikan kepecayaan lagi kepada siapapun.  Padahal, dalam hal ini, Vhi juga menyembunyikan banyak hal dan seolah-olah tak melakukannya.

Itu agak menyiksa saat hanya ia yang mencoba untuk mempertahankan semuanya dengan alasan agar anaknya lahir memiliki potret keluarga yang sempurna.

"Leen, apa Vhi benar-benar akan melakukannya?"

Kedua bibirnya  kini bergetar kala mendengar pertanyaan itu. Isakannya tertahan yang bersamaan saat ia mengusap perutnya yang masih rata.

"Semuanya sudah berakhir, Jean. Aku tidak bisa melakukan suatu hal yang membuat Vhi mengurungkannya. Aku akan menerima keputusannya dan tidak akan menampakkan diri setelah kami benar-benar berpisah."

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top