SPARK - Part 2 | Damn
Rembulan kini menghampiri, menjadikan tontonan malam yang mengagumkan sembari ditemani secangkir cokelat hangat.
Ia mencoba untuk mengingat, kapan terakhir kalinya ia melakukan hal ini dengan tenang? walau bayangan tadi pagi terus melintas tanpa permisi yang membuatnya kembali kesal.
Alhasil helaan napas kembali mengudara. "Yang benar saja? Aku dipecat hanya karena Erick?" ia bergumam pelan lantas kembali menyesap cokelat hangat itu. Kemudian membiarkan kepalanya melirik ke arah jam yang kini memperlihatkan tepat pada angka sembilan. Lantas tidak lama terdengar suara mobil yang ia yakini milik suaminya.
Ia mencoba tidak peduli, lebih kepada ia merajuk pada suaminya sendiri. Tidak ada larangan bukan? Lantas ia kembali menyesap minuman hangatnya dengan menatap potret rembulan yang menyejukkan maniknya. Hingga dimana pintu kamar terbuka, menampakkan sesosok pria bersetelan jas dengan wajah khas lelah.
Aileen acuh, membuat pria itu tersenyum kecil sembari menuntun tungkainya mendekat lalu memberi kecupan hangat di pucuk rambut cokelat itu.
"Kau merajuk, yah?" Vhi mengatakannya sembari melepas setelan jasnya. Namun Aileen hanya terdiam saja.
"Huh, omong-omong, mana istriku yang biasanya menyambut suaminya dengan penuh cinta--"
"Dia telah mati," jawab Aileen asal. Namun tidak lama ia menghela napas, menyimpan gelas itu lalu memeluk Vhi dengan wajah cemberutnya. "Vhi, kau benar-benar jahat! kau benar-benar memecatku," kesalnya.
Vhi tidak menangapinya---lebih pada membiarkan istrinya itu menuntaskan kekesalannya lantas tidak lama ia menangkup kedua pipi tembam istrinya dan dengan usil memencet hidung bak perosot itu. "Kau sungguh jelek kalau seperti ini," ujarnya sembari memberikan sapuan hangat disekitar pelupuk mata itu.
Tapi nyata Aileen malah mengembungkan kedua pipinya membuat Vhi ingin memakan kedua pipi bak mochi dimaniknya. "Vhi, kau sungguh tidak adil jika memecatku hanya karena Erick. Sungguh, kalau memang itu alasannya, aku akan menghindarinya dan tidak berbuat sesukaku lagi. Aku janji,"
"Love, bisakah kau diam saja dirumah? Maksudku, kau tidak perlu bekerja karena aku bisa melakukannya. Bukan bermaksud mengingkari janji itu, tapi bekerja adalah tugasku." ujarnya lembut--Vhi berusaha menjelaskan dengan sangat lembut kepada istrisnya yang tengah merajuk.
Aileen menghela napas. "Aku sudah terbiasa dengan semuanya, Vhi. Kau pasti sudah mengenalku. Aku hanyalah pengembara yang akhirnya memutuskan mencari kehidupan di London. Aku terlahir dari keluarga petani dan sejak kecil, aku tidak terbiasa untuk berdiam saja. Itu kenapa, aku selalu melakukan hal-hal yang kurencakan sejak dahulu dan aku melakukan ini, tidak bermaksud menyinggung apa yang kau pikirkan."
"Aku mengerti, tapi kali ini, cobalah mengerti diriku." Vhi mengelus rambut cokelat sepunggung itu lantas melirik arloji dipergelangan tangannya. "Aku akan mandi dan tidak perlu menyiapkan makan malam karena aku baru saja mentraktir tim untuk peresmian proyek game kali ini."
Aileen hanya mendengus kesal. Nyatanya tidak ada celah untuk mengembalikan pekerjaannya kali ini. Apalagi suaminya itu secara terang-terangan melarangnya untuk bekerja walau menggunakan bahasa lembut.
Tapi, ia tidak bisa berdiam diri saja.
*****
"Aku akan ke mansion sebelum makan siang," Aileen mengutarakan izin itu tatkala sarapan untuk hari ini telah ia sajikan di atas meja. Menuntun bokongnya untuk mendarat di atas kursi yang berhadapan langsung dengan presensi Vhi yang kini melahap sarapan di pagi ini.
Vhi hanya menaikkan sebelah alisnya. "Apa ada pembahasan penting?"
Sejenak Aileen terdiam, membiarkan roti isi itu habis dari dalam mulut mungilnya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sepertinya tidak juga, tapi aku tidak tahu pasti. Mommy hanya mengirim pesan suara beberapa menit yang lalu dan karena aku memang tidak punya alasan jelas untuk menolak, jadi kuiyakan saja. Kau pun tidak punya alasan untuk tidak mengizinkanku," sorot mata menyipit itu Aileen curahkan pada Vhi yang menyimak mendengarnya.
"Hm, baiklah, apa perlu kuanta--" ucapan Vhi terpotong saat Aileen mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan ucapannya itu. "Aku akan naik bis saja, itu lebih praktis daripada harus merepotkanmu," Aileen mengambil segelas susu lantas menyesapnya hingga menyisahkan setengah saja.
Ia tidaklah merajuk--lebih kepada ingin menghirup udara bebas setelah menghabiskan seluruh waktunya di perusahaan dimana dia harus berkutat lama dilayar monitor komputer. Itu memang melelahkan dalam kurung waktu dua tahun ini, tapi hal yang ditekuninya itu benar-benar membuat hari-harinya begitu terkesan.
"Kalau anggapanmu seperti itu, lantas apa gunanya hadiah di garasi itu yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahunmu?" Vhi menyesap kopi espresso itu yang beriringan menatap manik Aileen yang memberikan timbal balik dengan eyes puppy kebanggaannya.
Mendengar itu membuat Aileen mendengus sebal. "Aish, kau seperti tidak mengenal istrimu ini." lantas ia terkekeh tetapi Vhi malah menatapnya datar membuat ia salah tingkah saja.
"Kita bisa gunakan supir," ucapnya santai yang membuat Aileen merotasikan maniknya.
"tapi aku tidak suka menggunakan supir, itu terlalu merepotkan. Lagipula jika memang dibutuhkan, aku akan menghubungimu," balasnya sembari memberikan sentuhan hangat ke punggung jemari kekar itu lantas memberikan tatapan jahilnya dengan mengedipkan sebelah matanya.
"Baiklah, terserah kau saja," Vhi berujar lalu maniknya tidak sengaja melirik ke arah jam yang menempel di dinding. "Aku akan berangkat." Vhi membiarkan tungkainya mendekat kearah Aileen yang kini berdiri, menatap wajah itu, lalu membiarkan bibirnya memberikan kecupan hangat di kening.
"Jaga dirimu dan jika terjadi sesuatu hubungi aku, oke?"
Aileen hanya mengangguk. "Sampai ketemu saat makan malam."
Itu adalah kalimat perpisahan--tapi ia berharap keharmonisan ini terus ada sampai kapan pun.
Itu adalah harapan besarnya untuk keluarganya ini.
*****
Aileen menatap dirinya dari pantulan layar benda pipih. Memperhatikan potret dirinya yang memakai pleated skirt sleeveless dress berwarna light cream dengan polesan riasan yang natural. Itu sudah menjadi ciri khasnya dan bahkan membuat seorang pebisnis tangguh seperti Victory Dickson jatuh hati begitu saja.
Namun tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya secara tidak sengaja merusak kegiatannya itu dengan menyenggol lengan Aileen yang membuat benda itu jatuh di atas permukaan bis--bahkan terinjak saat seorang anak laki-laki berlarian menuju ke arah ibunya.
Ponselnya sungguh miris, padahal benda itu baru saja ia beli beberapa minggu yang lalu setelah beradu dengan buku tabungannya. Memang ia bisa dengan mudahnya mendapatkan benda itu. Akan tetapi Aileen lebih suka menantang dirinya untuk mendapatkan apa yang ia mau dengan memanfaatkan kerja kerasnya selama ini.
Alhasil, ia hanya bisa menatap miris ke arah ponselnya dan memungutinya.
Beberapa kali ucapan maaf terlontar dari bibir wanita itu dan sebanyak itu pula Aileen mengatakan tidak apa-apa, walau sebenarnya ingin sekali ia berteriak karena kesal. Hingga akhirnya, suasana bis kembali pada muasalnya, begitu pun dengan Aileen yang hanya bisa terdiam di tempat duduknya, menatap layar benda pipih itu yang benar-benar retak--begitu menyedihkan.
Ya, setidaknya ponsel ini masih layak untuk ia gunakan beberapa hari ke depan.
"Apa hari ini akan menjadi hari sialku?" gumamnya lantas meremas ponselnya itu. Hingga dimana suara nyaring terdengar menandakan tujuannya telah tiba. Aileen lantas berdiri, menepuk dressnya itu lantas mengantri untuk menggesekkan sebuah kartu sebagai alat transaksi.
Apa yang dilakukannya tidak terlalu lama hingga kini ia telah keluar dari area bis--hanya berjalan beberapa menit di trotoar, sebuah mansion mewah dan megah dari sekian banyak mansion disana akan nampak.
Itu adalah kediaman keluarga Dickson--kediaman keluarga suaminya.
Sebenarnya, ada rasa canggung yang terus saja muncul jika harus berada di mansion ini. Entahlah, Aileen sepertinya belum bisa mengaplikasikan diri dengan baik saat telah menjadi bagian dari keluarga Dickson.
Keluarga yang begitu berpengaruh di London akibat beberapa saham yang mereka miliki, belum lagi saham-saham yang membentang di beberapa negara pilihan. Mengingat itu kadang membuat Aileen meringis ngilu--mencoba membuka matanya apakah ia benar-benar bermimpi atau tidak? dan nyatanya--itu memang kenyataan.
Kenyataan dimana ia menjadi pendamping hidup anak tunggal dari pasangan Felix Dickson dengan Freya Genio.
Ouh--dua sosok yang tidak pernah Aileen bayangkan sekalipun. Bagaimana tidak! Felix Dickson adalah triliuner yang benar-benar dihormati dikalangan pebisnis dunia. Tak ayal saat wajahnya yang masih terlihat fresh terus saja dimuat diberbagai media massa karena begitu banyak prestasi yang diraihnya dalam dunia bisnis. Sementara Freya Genio adalah pebisnis tangguh yang memiliki banyak cabang dipelosok dunia dalam bidang kosmetik dan properti dimana dikenal dengan nama brand Freio-- bahkan banyak kalangan figuran yang menggunakan merek ternama ini.
Terkadang, jika ia mengingat semua itu--ada hambatan bak tembok di antara mereka. Aileen tentu mengerti apa yang ada dipikirannya, walau keluarga ini tidak pernah mempermasalahkan status sosial--setidaknya hampir semua.
****
Aileen mencoba memberikan senyuman yang terbaik, tatkala beberapa pasang mata kini melempar senyum disebuah percakapan dan ia hanya memilih meremas cangkir dengan ukuran potret monalisa. Tidak berniat ikut andil dalam pembahasan ini.
Ia tidak tahu harus memberikan timbal balik selain tersenyum dan mengangguk.
"Oh! Aileen, kudengar dari beberapa sumber, kau dipecat diperusahaan suamimu sendiri? itu berita konyol bukan?" ujarnya lantas tertawa. Aileen begitu mengingat siapa wanita itu. Ia adalah Dorothy Christina, istri dari adik ayah mertuanya, Pilips Dickson yang begitu menyebalkan dimaniknya.
Sungguh, terkadang Aileen berpikir bahwa Dorothy adalah seseorang yang tidak menyukainya menjadi bagian dari keluarga ini karena asal usul keluarganya yang tidak setimpal dengan keluarga ini.
Menilik mimik muka Dorothy yang terlihat menyebalkan menanyainya seperti itu membuat Aileen mengurungkan niat untuk memaki. Ia lebih memilih memberikan satu senyuman yang benar-benar hangat.
"Itu bukan sebuah pemecatan, bibi--"
"Aunty Dorothy," pangkasnya sembari menyesap teh hijau dari cangkir itu dengan sangat anggun.
Aileen mengangguk. "Itu bukan pemecatan. Kami sudah berbincang sebelumnya, karena aku ingin menekuni bidangku yang sebenarnya. Sederhananya seperti itu."
Sungguh! Susah payah Aileen harus menahan dirinya atas kebohongan yang terus ia lakoni. Alhasil membuat semua wanita yang tengah berkumpul itu mengangguk saja.
Akan tetapi Dorothy seperti belum puas menanyainya.
"Hm, bukankah kau lulusan seni rupa? Kutebak, apa kau sedang mendalami seni lukismu? itu cukup bagus karena seluruh wanita dikeluarga Dickson itu mendalami dunia bisnis, jadi kapan-kapan kau bisa melukis diriku nantinya."
Aileen hanya tersenyum--walau dalam hatinya benar-benar kesal dengan itu. "Iya, aku ingin mendalaminya. Membuat suatu karya seni yang memanjakan mata dari perpaduan kuas dan kanvas sudah sangat kurindukan. Ya, walaupun aku sudah terbiasa membuatnya dalam bentuk digital, tetap saja aku tidak bisa menahan diriku untuk melakukannya." ujarnya lantas menatap presensi Dorothy dengan lekat. "Tentu, Aunty Dorothy, kapan-kapan aku akan melukismu," --sekaligus menjambak sanggulmu itu yang sebegitu menyebalkannya dengan wajahmu.
== TBC ==
Thanks udah mampir🤗 jangan lupa vote dan komennya☺
Sampai jumpa di bagian selanjutnya👌
Borahae💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top