SPARK - Part 17

Ini sudah seminggu Aileen melalui hari-harinya tanpa mengambil pusing persoalan kantor dan seperangkatnya. Mungkin, hanya memusingkan diri dengan suami, rumah beserta hobi melukisnya yang ia lakoni setiap senja menghampiri---itu seperti sebuah keharusan bagi dirinya karena amat indah setiap piringan matahari secara keseluruhan telah hilang dari cakrawala. Apalagi saat mendengar  suara alunan musik klasik dari piringan hitam yang menjadi koleksi suaminya.

Terkadang, apa yang dilakukannya, menuntun rasa bosan masuk. Namun, itu hanya sementara karena hari-hari berikutnya, ia mulai menikmatinya.

Ya, walau terkadang, teman masa kecilnya---Jean kadang memberikan pesan suara untuk melalukan pertemuan. Aileen tidak bisa menolak karena ia memang mengenal cukup baik dan sangat lama pria itu. Serasa begitu tidak enak jika menolaknya.

Karena itu pun, Lucy selalu memberikannya ocehan agar dirinya menjauhi pria yang ia cap sebagai buaya yang terlepas dari penangkaran. Ada-ada saja! Dan selain itu, Aileen harus mendengarkan kabar perihal Anne yang harus mengikuti suaminya ke Italia karena suaminya yang memiliki urusan pekerjaan disana.

Agak terbawa suasana karena ia tidak bisa memberikan dukungan secara langsung---hanya melalui ponsel yang tidak memuaskan hati. Bahkan karena mengingat itu, Aileen mulai membayangkan dirinya yang mungkin berstatus sama dengan Anne.

Menjadi seorang ibu.

Namun buru-buru, ia menggelengkan kepalanya saat ia yang tengah menyusuri pikirannya itu dan menatap lukisan yang tampak indah. "Huh, aku sepertinya harus melukis benda mati saja." Ia bergumam ketika mengamati kanvas itu. Lantas mengambilnya dari easel---alat penyangga lukisan yang berkaki tiga dan menaruhnya di tempat yang ia sediakan lantas menggantungnya. Walau terkadang ia sering merasa letih dan malas untuk melakukannya, tetapi ia tetap saja melakukannya.

Ia kemudian berkacak pinggang menatap lukisan seorang wanita mengenakan payung dengan rintikan hujan pada malam hari. Bahkan, saat sekitarnya tampak sibuk dengan pasangannya---memberikan kesan menyedihkan. 

"Ada-ada saja yang kulukis," gumamnya pelan. Mencoba mencari kekurangan pada gambar itu untuk menjadi bahan risetnya tetapi harus tertunda saat pintu ruangan pribadinya terbuka, menampilkan Vhi yang sudah mengenakan pakaian santai. Sungguh, ia tidak menyadari kehadiran suaminya itu.

"Kapan kau pulang? Kenapa aku tidak menyadarinya?" tanyanya sembari mendekatkan diri. Manalagi, Vhi juga berjalan mendekat dengan tersenyum tipis. "Setengah jam yang lalu. Aku sengaja dan tidak ingin merepotkanmu saja."

Ia mengangguk dan dapat dilihat, Vhi yang bersiap memberikan sebuah kecupan ringan. "Bagaimana dengan harimu? Aku tahu, kau pasti bosan," tuturnya dengan lembut sesaat manik mereka saling beradu.

Aileen hanya menggeleng. "Tidak juga, aku sangat menikmatinya," katanya dengan lembut dan sekilat, mengerjapkan maniknya yang membuat Vhi merasa gemas saja. "Katakan saja jika bosan. Aku akan mengajakmu berkeliling."

"Benarkah?"

Vhi mengangguk. Membuat Aileen berbinar. "Kemana?"

Dan untuk pertanyaan ini, Vhi tampak memikirkannya. Namun, ia langsung saja menarik pergelangan tangan sang istri untuk menjauh dari ruangan ini. "Sebuah kejutan yang akan membuatmu bahagia."---aku ingin melihatmu terus tersenyum. Hanya itu.

*****

"Vhi, ini?" Aileen membulatkan maniknya tidak percaya atas kejutan yang Vhi maksud. Astaga! Ia tidak pernah memikirkan hal ini sekalipun. Padahal, hari bersejarah untuk dirinya pun sudah lewat. 

Bagaimana tidak. Rooftop yang tidak pernah ia pijaki karena malas, kini disulap menjadi suatu seni yang mengagumkan. Bunga, string lights dan beberapa foto polaroid mereka berdua kini tersusun rapi penuh polekan. Aileen sungguh tidak bisa berkata-kata lagi. Apalagi, di tengah-tengah dari ini semua, terdapat tempat dinner yang telah Vhi rancang begitu niat, sehingga terlihat begitu indah nan mengagumkan.

"Kau melakukannya? Maksudnya, kenapa bisa? Aku bahkan tidak menyadari apapun dan lagi, ulang tahun ataupun hari spesial sudah lewat.” Bibir tipisnya berkicau dengan manik yang masih berbinar. Vhi yang melihatnya, langsung saja melingarkan kedua tangannya dipinggang ramping itu. Ia memeluknya sangat erat seraya kepalanya yang kian maruk menelusupnya pada celuk leher itu dan mengecupnya sekilas. “Apapun bisa kulakukan untuk menyenangkanmu dan hari-hari bersamamu itu sangatlah spesial.”

Aileen tentu tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya, bahkan saat ia kini berhadapan dengan Vhi setelah ia membalikkan badan. Senyuman itu, begitu teduh dan syahdu ketika mata memandang. “Tidak perlu seperti ini juga. Aku mengerti, tugas kantor amat menyibukkan dan menyita seluruh waktumu. Lagipula, melihatmu sudah membuat hari-hariku begitu bahagia.”

Mendengar Aileen mengatakan hal itu, membuat Vhi langsung menuntun kedua jemarinya ke pipi tirus tersebut, seraya membiarkan hidung bak perosot saling bersua—tak memedulikan angin malam yang menusuk kulit. “Teruslah seperti ini. Jangan berubah.”

“Kau juga. Teruslah menjadi pribadi yang kucinta. Jangan berubah dan jangan biarkan seseorang untuk masuk,” ujarnya. Agak aneh saat Vhi mencoba untuk memahaminya, tetapi ia langsung saja mengangguk. “Aku janji. Lagipula, hanya ada Vhi dan Aileen dalam kisah ini. Tidak ada yang lain.”

***

Pribadi itu teramat bahagia. Proyek tim yang ia bentuk pada waktu itu telah merampungkan semuanya. Tidak ada celah untuk dirinya memberikan kritikkan, tetapi ia tidak juga memberikan sebuah pujian. Dengan berkata; game sampah yang tadinya tidak layak disebut hiburan, dapat kalian daur ulang sehingga membuat seseorang terus ingin memainkannya—tidak memedulikan jika hiburan itu awalnya berasal dari sampah. Namun tim yang diketuai oleh Hiro—pria berwajah Asia, tampak senang mendengarnya. Itu sangat berarti, karena lembur mereka tidaklah sia-sia.

Karena itupun,  membuat Vhi tidak harus mengeluarkan banyak tenaganya untuk berpikir dan merampungnya. Tinggal memberikan persetujuan dengan memberikan tanda tangannya di atas materai, semuanya akan selesai. Jimmy  yang melihat suasana hati Vhi yang sangat baik pun, membuat hatinya kian damai setelah melihat temannya itu yang seperti mosnter  mengerikan jika sedang marah---tidak akan segan-segan menghancurkan benda apapun yang ada disekitarnya.

"Ternyata, perkataanmu soal waktu itu memang benar. Mereka bisa melaluinya," ucap Jimmy sesaat Vhi harus menandatangi berkas penting itu.

"Baguslah jika kau memahaminya," tuturnya yang kemudian menutup berkas itu lantas menatap Jimmy. Akan tetapi, sekilat, mereka mendengar suara ketukan jemari pada pintu berbahan kaca dikala itu juga, membuat Jimmy dan Vhi langsung menoleh kearah sana. Bersamaan saat empu memberikan izin masuk.

Itu Alice. Pun, wanita itu memberikan salam formal dengan sebuah map di tangannya. "Maaf mengganggu, sir. Saya hanya memberikan dokumen yang sir minta tentang rangkuman para pekerja di Next Out serta beberapa riwayat personel yang sir katakan."

Jimmy masih terdiam menatap Alice. Sementara Vhi, tampak pria itu mengangguk dan menyuruh Alice untuk memberikan dokumen itu. "Kenapa bukan Mikhel yang memberikannya?"

Alice hanya tersenyum tipis. "Beliau masih berada di New York dan beliau, memberikan saya tanggung jawab untuk mewakilinya."

Serta-merta, membuat Vhi mengangguk dan mulai mengeceknya. Jimmy yang ada disana, serasa berada pada hawa yang tidak masuk akal tetapi tidak lama, ia mendapati panggilan telepon dari seseorang yang penting sehingga ia meminta izin untuk meninggalkan ruangan ini. Melupakan jika dua orang yang seperti orang asing karena masa lalu kini berada disatu ruangan.

"Sir, apa ada yang kurang?"

Vhi hanya terdiam saja dan itu membuat Alice sangat gelisah. Takut-takut, ketidak telatenannya, menghancurkan suasana hati pria itu. Namun gelengan kepala dari sang atasan, membuatnya agak bingung.

"Tidak ada yang kurang. Sesuai dengan apa yang aku harapkan."

Alice menghembuskan napas denga lega. Setidaknya, kegelisahannya tidaklah benar dan ia bisa bekerja dengan tenang. "Kalau begitu, aku pamit untuk kembali--"

"Oh iya, terima kasih untuk kotak makanannya. Kau selalu mengirimkannya melalui sekretarisku lima hari berturut-turut ini," pangkasnya, membuat Alice mengangguk sembari tersenyum tipis. "Tidak masalah, sir. Aku hanya mencoba menjadi pribadi yang lebih baik lagi."

Walhasil, membuat Vhi tersenyum tulus. Begitu indah saat kedua sudut bibir itu yang terbentang. "Dan kuakui, masakanmu sangat enak."

"Aku sangat senang jika sir menyukainya, tetapi aku minta maaf jika sir tidak nyaman dengan itu. Apalagi—“

“Tidak perlu terlalu formal dan tidak perlu meminta maaf. Kau mengirim kotak makan, cukup membantu karena aku bosan dengan hidangan kafetaria. Ya, istriku bisa saja melakukannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini, aku selalu melihatnya dengan wajah letih sehingga aku melarangnya.” Penuturan itu, membuat senyum indah dibibir Alice memudar, mencoba kembali tersenyum tetapi kelu terasa pada rahangnya.

“Dia orang yang sangat beruntung …”

Namun nyatanya, Vhi menggeleng. “Pernyataanmu sangat salah, Alice! Aku yang beruntung menemukannya diantara banyak wanita dimuka bumi ini.” Pun menimbulkan persoalan pada benak Alice. Apalagi, satu gejolak sangat berasa menjalar. Sebesar apapun saat ingin mencoba melipurkan masa itu, tetap saja ada celah untuk menerobos. 

“Kau sangat mencintai istrimu, yah?” tanyanya dengan manik berkaca serta bibir yang agak bergetar. Namun, Vhi tidak menyadari hal itu karena pandangannya yang fokus pada figura pernikahannya yang ia simpan di atas meja kerjanya.

“Sangat, aku sangat mencintainya melebihi diriku sendiri.”

Alice tersenyum. “Andai kau tahu, rasa menyesal terus hadir saat aku harus mencoba memahami keadaan, dimana aku masih mencintaimu dan terus terjebak dengan afeksi ini.”

Tbc.

Maafkan kalau masih ada typo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top