Uluran Tangan, Sahabat

Punggung Nathan menubruk tembok yang ada di belakangnya dengan sangat kencang. Tapi untuk kemudian, dia segera berdiri dan menarik tangan Dinda agar Dinda bisa lepas dari cengkeraman cowok arogan yang ada di depannya.

"Jangan sentuh cewek gue!" marah Nathan dengan bara api yang mulai tersulut di kedua matanya.

Pun dengan Panji, dia benar-benar tidak terima jika Dinda—ceweknya, tiba-tiba diakui sebagai hak milik oleh cowok sok kecakepan seperti cowok yang ada di depannya. Cowok dengan tatapan dingin yang sangat menyakitkan. Bahkan, Panji sendiri tak bisa untuk sekadar meraba bagaimana sifat asli cowok yang ada di depannya.

"Dinda cewek gue, sudah sedari dua tahun yang lalu. Jadi, ada hak apa lo ngakuin cewek gue jadi hak milik elo, Bangsat!" marah Panji tak terima.

Sementara Dinda, dia hanya bisa mematung. Ketika dua cowok yang ada di sisi kanan-dan-kirinya kini seolah sedang berebut sebuah benda yang amat mereka inginkan. Sementara bagian dari memorinya yang lain terus-terus merekam bagaimana sosok Panji telah menjamah tubuhnya. Rasanya, semua rasa dingin dan nyeri menyelusup masuk ke sumsum tulangnya. Bahkan, hawa dingin itu tampak begitu nyata sampai membuat ia menggigil kedinginan.

Nathan maju selangkah, tubuhnya condong ke depan, kemudian ia merengkuh bahu Dinda agar berada tepat di sampingnya. Sementara, tangannya yang lain meraih kerah seragam putih abu-abu milik panji. Mata abu-abu Nathan, meneliti setiap inci bagian wajah Panji. Bagian wajah seseorang yang entah kenapa begitu membuat emosinya tumpah ruah.

"Pergi lo dari sini sebelum usaha papa lo gue hancurin sekarang juga," tandasnya, dengan penuh penekanan seolah apa yang ia katakan benar-benar akan terjadi.

Tapi, Panji menyeringai. Dia memiringkan wajahnya sesaat sebelum ia kembali menatap manik mata milik Nathan.

"Siapa elo, berani ngancam gue?" kata Panji tak kalah terima.

Nathan langsung menyeringai, dia pung mendekatkan bibirnya ke arah telinga Panji, kemudian berbisik, "Agung Wicaksono nggak sehebat itu, bahkan dia bisa saja berlutut di bawah kaki gue,"

Setelah mengucapkan itu, Nathan langsung mendorong tubuh Panji. Membuat cowok itu mundur beberapa langkah untuk mengimbangi tubuhnya. Nathan kembali menyeringai, kemudian dia merengkuh tubuh Dinda seolah ingin mengatakan kepada Panji, jika Dinda adalah miliknya seutuhnya.

"Jika memang dulu elo cowoknya Dinda, maka mulai detik ini. Kalian putus. Karena Dinda udah jadi cewek gue, paham lo?"

"Anjing lo, berengsek!" marah Panji.

Tapi, hal itu tak digubris oleh Nathan. Dia langsung pergi sambil menggandeng tangan Dinda dengan langkah terburu. Dia tahu Dinda aneh, dan dia tak mau Dinda kembali histeris lagi seperti beberapa waktu yang lalu.

Nathan berhenti di lapangan tengah, saat ia memastikan jika Panji tak mengikutinya dia pun memandang lurus-lurus cewek yang sedari tadi tangannya digenggam itu. Dingin, tangan Dinda benar-benar terasa dingin. Tapi, Nathan tak bisa menebak bagaimana ekspresi Dinda sekarang. Sebab wajahnya ditundukkan dalam-dalam, dan rambutnya yang tergerai menutup wajahnya dengan sangat sempurna.

Nathan terdiam untuk sesaat, baru kali ini ia merasa begitu kaku. Baru kali ini ia merasa canggung dengan cewek selama hidupnya. Dan terlepas dari itu semua adalah, baru kali ini dia merasa bersalah karena telah mencium dinda.

Lantas, apa yang harus dilakukan Nathan sekarang agar Dinda mau memandang ke arahnya?

Nathan meletakkan jari telunjuknya di kening Dinda, kemudian mendorong sedikit kepala Dinda agar cewek itu mendongak memandangnya. Mata bening Dinda memandang manik matanya, dan itu berhasil membuat Nathan gugup luar biasa. Hanya memandang mata bening Dinda, dia ingat kembali ciumannya tadi.

"Lo sehat, kan? Elo nggak bakal histeris lagi, kan? Di sini nggak ada Sasa atau pun Selly yang bakal bantuin gue ngangkat elo kalau lo pingsan," ketus Nathan. Tapi, Dinda masih diam. "Lo nggak usah GR deh ama ciuman tadi. Itu gue lakuin semata-mata karena mau nyelametin elo dari makhluk yang kayaknya lebih horor dari genderuwo, dan jin iprit di mata lo. Dan inget, ya, mulut gue nggak terinveksi virus menular apa pun. Jadi dijamin aman. Ngerti lo!" katanya lagi panjang lebar.

Lagi, gerimis mulai jatuh dengan cara tak sopan. Di saat yang tak tepat seperti ini. Atau bahkan, gerimis hendak mengaburkan air mata Dinda yang enggan untuk keluar karena adanya Nathan?

Nathan menelan ludahnya dengan susah. Dia benar-benar tak tahu harus apa. Sebab luka yang dirasakan oleh Dinda benar-benar membuat Nathan nyaris gila. Dia mencoba untuk menebak dan menerka-nerka, apa penyebab Dinda sampai setakut itu kepada cowok berengsek tadi. Tapi, sampai kapan pun, jawaban itu tak pernah bisa Nathan temukan.

"Mumpung ujan, lo nggak punya cita-cita buat nangis? Seenggaknya, ujan bisa nutupin wajah jelek lo saat nangis," kata Nathan lagi.

Nathan hendak pergi, mungkin saat ini Dinda sedang butuh waktu sendiri. Namun, saat ia hendak pergi. Tangan Dinda menarik jaketnya, membuat Nathan membalikkan badannya ke arah Dinda kemudian cewek itu memeluknya dengan begitu erat. Tangisannya pecah, tubuhnya bergetar hebat seolah derita yang menumpuk-numpuk di hatinya tumpah ruah. Akhirnya, Nathan melihat sisi hancur Dinda yang sehancur-hancurnya. Sisi paling lemah Dinda yang selama ini selalu berlaku kasar padanya. Tangan Nathan masih telentang, dia bahkan tak tahu harus berbuat apa. Membalas pelukan Dinda, atau hanya perlu menjadi sebuah Nathan yang kini sedang dijadikan patung oleh Dinda.

*****

Malam ini Dinda berselimut tebal, sambil menonton televisi dengan Nadya, di dalam kamr. Hujan masih enggan berhenti, dan hal itu pula yang membuat mereka enggan beranjak dari mana pun.

Nadya melirik ke arah Dinda. Sebenarnya, ada banyak tanya yang ingin ia ucapkan kepada Dinda. Terlebih, saat melihat Dinda kembali pulang dalam keadaan basah kuyup dengan Nathan. Tapi, pertanyaan yang menjejali otaknya diurungkan. Dia sudah cukup tahu situasinya sekarang. Dinda, kembali murung.

"Dia tadi ke sini, Nad...," kata Dinda pada akhirnya. Membuat Nadya yang sedari tadi makan kuaci menoleh ke arahnya. "Panji... Panji tadi di sekolah, nyariin gue, Nad. Dia... dia pasti sedang merencanakan sesuatu yang jahat lagi ama gue," lanjut Dinda. Matanya kembali nanar, nada histeris tampak jelas terdengar di sana.

Nadya langsung merengkuh Dinda, mencoba menenangkan cewek yang benar-benar masih dalam keadaan hancur itu.

"Tenang, Din, ada gue. Mulai sekarang, berangkat dan pulang sekolah, elo bareng ama gue, ya? Gue nggak bakal ngebiarin siapa pun nyakitin elo,"

Dinda kembali menangis di pelukan Nadya, dia memeluk erat tubuh Nadya mencoba mencari ketenangan di sana. Saat dia memeluk tubuh Nathan siang tadi.

"Gue takut, Nad. Gue bener-bener takut ama Panji."

*****

"Jadi untuk hari ini, dan seterusnya, lupakan Panji dan kita belanja sampai puas gimana?" kata Nadya pagi ini.

Hari sabtu—minggu memang sekolah libur, itu sebabnya di sabtu pagi yang lumayan cerah ini Nadya bersikeras mengajak Dinda untuk ke mall. Selain ingin mengajak Dinda keluar dari kompleks, Nadya juga ingin membelanjakan beberapa keperluan Dinda. Cewek itu, benar-benar butuh ditolong untuk menjadi salah satu siswi SMA Airlangga. Sebab wajah cantik saja tidak cukup untuk tetap bisa berdiri kokoh di sana.

"Tapi, Nad... gue lagi nggak ada duit," ucap Dinda sambil menggembungkan pipinya.

Sebenarnya pagi ini dia ingin tidur sampai siang, atau sekadar menikmati beberapa buku untuk dibaca. Akan tetapi, Nadya terus saja memaksanya untuk keluar. Terlebih, di tempat yang baru kali ini dia pijak.

"Udah deh nggak usah lebay kayak orang susah gitu," kata Nadya.

Kemudian dia berjalan menuju ke beberapa stand pakaian dan beberapa kosmetik. Jujur, beberapa kali Nadya mengambil pakaian untuk Dinda selalu Dinda menolak. Ia benar-benar sangat sungkan, Dinda tahu betul brand-brand yang dipilih oleh Nadya bukanlah brand dengan harga yang murah. Dan itu diberikan gratis untuknya? Dinda, tak semaruk itu.

"Nad, please... jangan buat gue sungkan kayak gini," mohon Dinda.

Dia berhenti, benar-benar berhenti saat Nadya mulai kalap dan mengambil apa pun yang ia rasa cocok untuk Dinda. Nadya menghela napas panjang, ia memandang Dinda sambil berkacak pinggang.

"Elo ya, nggak usah sungkan ama gue tahu, Din. Kayak ama siapa aja, ih! Udah, biasa aja, ya. Dan tenang, gue ikhlas kok, nggak bakal gue ungkit-ungkit, oke? Sekarang, ayo kita ke tempat kosmetik. Wajah cantik elo, sayang dianggurin, Din."

Lagi, Nadya menarik-narik tangan Dinda ke tempat-tempat yang dia inginkan. Mencoba beberapa kosmetik di wajah Dinda kemudian mengambil beberapa lainnya untuk dibeli. Nadya menghela napas, seolah-olah dia telah melakukan suatu hal besar. Senyumnya mengembang di kedua sudut bibirnya, bahkan dia sudah tak mempedulikan bagaimana rambut sepundaknya mulai acak-acakan.

"Ya ampun, Din, gue lupa!" pekiknya.

Dinda yang tergopoh-gopoh dengan beberapa kantong belanjaan pun memandang Nadya dengan tatapan semakin bingung.

"Apaan sih, Nad? Elo mau belanja lagi?" tanya Dinda. Nadya menggeleng. "Uang elo habis?" tanyanya lagi. Kemudian Nadya kembali menggeleng.

"Gue ada janji ama cowok gue, Dinda! Dan gue kelupaan, ya ampun!"

"Duh, Nad, masak hal sepenting ini elo sampai lupa sih!" jengkel Dinda pada akhirnya. "Ya udah deh, elo sana cari cowok elo sebelum elo diputusin hanya karena belanjain gue," kata Dinda, mendorong tubuh lencir Nadya agar pergi darinya.

"Emangnya elo bisa pulang sendiri?" tanya Nadya ragu. "Elo bisa kok bareng gue, nanti sekalian pulangnya bareng," tawar Nadya lagi.

Dinda tidak mau. Bagaimana bisa dia akan menjadi obat nyamuk antara Nadya dan cowoknya, tidak mungkin!

"Enggak ah, lagian gue bisa balik sendiri. Tinggal naik angkot minta diturunin depan kompleks kan," katanya.

Sebenarnya, Dinda juga butuh waktu sendiri. Benar-benar sendiri di antara riuh keramaian di sekitarnya. Dia benar-benar ingin menata hati, memantabkan hati untuk benar-benar bangkit dari bayangan kelam Panji. Dia, butuh waktu untuk itu saat ini.

Nadya menggenggam erat tangan Dinda, setelah ia menampilkan seulas senyum, ia pun memeluk Dinda sekilas.

"Gue pastiin, elo balik dengan aman, dan selamat, ya," katanya. Setelah itu, Nadya berpamitan pergi. Setengah berlari menuruni eskalator yang ada di sebelah kiri Dinda.

Sementara Dinda tersenyum simpul, setelah melambaikan tangan untuk Nadya, dia kemudian melangkah pergi. Keluar dari mall, dan menatap langit biru yang tampak mendung.

Seharusnya dia seperti ini, dia melangkah di kota ini pun sendiri. Dia harus bangkit dari jatuhnya sendiri, agar dia benar-benar bisa yakin bisa menghadapi Panji sendiri. Tanpa takut lagi, tanpa trauma lagi. Atau bahkan, dia ingin menampar wajah Panji dengan tangannya sendiri. Tanpa pelantara tangan siapa pun.

Dinda tersentak saat tas-tas belanjaannya ditarik oleh seseorang, dia langsung menoleh ke kanannya dan mendapati Nathan telah mengambil alih belanjaan dari tangannya. Nathan memandang lurus-lurus jalanan yang dipenuhi oleh pejalan kaki yang berlalu lalang. Kemudian, dia menoleh ke arah Dinda, dan tersenyum.

"Cewek kurang gizi kayak elo bawa belanjaan segini banyak, yang ada tulang-tulang elo menyusut ke bawah, kemudian timbunan kulit elo luntur semua," celetuk Nathan.

Dinda mengerjapkan matanya mendengar ucapan Nathan yang lain dari biasanya. Ucapan arogan, tapi Dinda merasa jauh lebih nyaman dari pada sok manis seperti biasanya.

"Kenapa lo bisa ada di sini?" ketus Dinda. Nathan malah tertawa. Setelah nempeleng kepala Dinda, kemudian Nathan berjalan pelan. Pelan-pelan Dinda mengikuti langkah Nathan juga.

"Emang lo pikir ini jalan milik nenek moyang elo apa, yang gue nggak boleh lewat sini? Ini bukan jalan Dinda, ini jalanan umum yang dilewatin banyak orang," bantah Nathan.

Dinda hanya mencibir, tapi dia tak membantah ucapan Nathan selain berjalan beriringan dengannya.

Dinda mencuri pandang pada Nathan, cowok itu tampak tinggi di atasnya meski orang-orang mengatakan jika Dinda ini tinggi. Tapi, jika dibanding dengan Nathan, masih saja kalah jauh.

"Nggak usah lirik-lirik deh, cowok cakep kayak gue emang biasa dilirik cewek," kata Nathan yang berhasil membuat wajah Dinda merah padam.

"Idih, GR banget sih lo, Nath. Gue ngelirik penjual es krim yang ada di seberang itu. Siapa juga yang sudi ngelirik cowok lenje kayak elo."

"Halah, nggak usah banyak alesan deh. Buktinya terpampang nyata, lihat aja, cewek-cewek sekitar sini, nggak kedip tuh ngelihatin gue. Termasuk elo juga!" bantak Nathan tak mau kalah.

Dinda hanya bisa menahan napas. Setelah ia menghentakkan kaki, ia pun berjalan mendahului Nathan. Tapi lagi-lagi, cowok itu bikin ulah. Dia menarik kerah leher kaus bagian belakang milik Dinda, agar cewek itu mau melangkah ke arahnya.

"Gue laper, mau makan!" kata Nathan. "Kalau lo gue tinggal, bahaya. Entar lo dicariin lagi ama mantan lo yang namanya Panji. Jadi, terpaksa gue ngajakin lo makan dulu sebelum balik."

Dan setelah itu, tak ada yang bisa Dinda lakukan selain menuruti ucapan Nathan. Singgah di sebuah restoran kemudian makan bersama Nathan. Sesekali, Dinda memandang ke arah sekitar. Jelas jika kastanya benar-benar jauh dengan mereka. Akan tetapi, cowok yang sudah sibuk dengan makanannya itu benar-benar tampak tak risih dengan keberadaan Dinda. Malah-malah, di sela-sela makannya, Nathan terus saja melemparkan sindiran atau bahkan berbincang yang tak perlu.

Lagi, Dinda melihat sisi lain dari Nathan. Nathan adalah Nathan, meski kesan pertama Dinda kepada Nathan sangat buruk, setidaknya Nathan bukanlah singa yang akan menerkam Dinda hidup-hidup. Setidaknya, Nathan bukanlah Panji.

Bisakah Dinda berpikir seperti itu?

"Din!" panggil Nathan setelah keduanya sampai di pintu gerbang kos-kosan Dinda.

Dinda berhenti, kemudian dia menoleh ke arah Nathan yang masih berdiri menghadapnya. Sementara kedua tangan Nathan dimasukkan ke dalam saku celananya, mata abu-abunya memandang Dinda dengan sangat intens.

"Maafin gue kalau dulu-dulu gue bikin elo risih, dengan ngomong hal-hal yang mungkin bagi lo menjijikkan. Gue akui gue salah," katanya. Tapi, Dinda masih diam. Dia benar-benar bingung dengan apa yang hendak dikatakan oleh Nathan. "Jadi, Din, jika elo nggak mau jadi cewek gue. Apa gue... gue bisa temenan ama elo? Apa gue boleh jadi sahabat elo, Din?" tanya Nathan.

Mata Dinda terbelalak mendengar ucapan Nathan itu. Entah kenapa, ada rasa hangat yang diam-diam merayapi hatinya. Tapi, Dinda sama sekali tak bisa menjawab pertanyaan Nathan itu. Bahkan untuk mengatakan sepatah kata pun, rasanya Dinda tak kuasa.

Nathan berjalan mendekat ke arah Dinda, kemudian dia mengangkat jari telunjuknya tepat di depan mata Dinda.

"Kalau lo mau sahabatan ama gue, lo sentuh telunjuk gue dengan telunjuk elo. Tapi, kalau lo nggak mau, lo boleh pergi. Dan gue nggak akan ganggu-ganggu elo lagi."

"Hanya sahabat, kan?" tanya Dinda pada akhirnya.

Nathan memandang Dinda dengan tatapan terkejut, tapi setelah itu dia menampilkan seulas senyum. Bagaimanapun, Dinda masih dalam kondisi rapuh. Dia tak akan bisa memaksa apa pun untuk memenuhi ambisinya. Nathan mengangguk menjawabi ucapan Dinda, kemudian ragu-ragu Dinda menyentuh telunjuk Nathan dengan telunjuknya.

Nathan tersenyum simpul dengan hal itu. Setidaknya, dia sudah cukup puas. Dinda tak takut dengannya lagi, Dinda telah mengizinkannya masuk ke dalam hidupnya sebagai seorang sahabat. Nathan kemudian menggaruk tengkuknya, saat melihat ekspresi kikuk Dinda, wajah merah Dinda yang malu-malu. Kemudian, dia menjitak kepala Dinda sampai cewek itu mengaduh kesakitan.

"Ekspresi lo itu, kayak nenek-nenek beranak tujuh. Jelek banget!" ejeknya. Kemudian Nathan cepat-cepat pergi dari sana, sebelum dia melihat ekspresi aneh Dinda lagi. Dan akan membuatnya semakin aneh dari pada ekspresi Dinda.

*****

Pagi ini Dinda bangun lebih pagi dari biasanya. Atau bahkan, sejak semalam dia benar-benar tak bisa tidur. Semua pikiran mulai berkecamuk di otaknya, terlebih pikiran menyetujui berteman dengan Nathan apakah menjadi keputusan yang tepat atau bukan. Bukan apa-apa, hanya saja hatinya masih ragu. Meski hanya sekadar sahabat pun Dinda masih merasa takut dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.

Lagi Dinda menghela napas panjang, bagaimana kalau dia bertemu dengan Panji nanti di sekolah? Apakah dia akan benar-benar bisa menghadapi Panji sendiri? Ataukah dia akan spontan lari, dan ketakutan seperti kemarin lagi?

"Din...," kata Nadya yang berhasil membuat Dinda menoleh. Mata kecil Dinda melihat Nadya, yang sudah berdiri dengan mengenakan seragam sekolahnya. "Elo nggak mau sekolah?" tanya Nadya.

"Hah?" tanya Dinda kebingungan. Kemudian, dia memandang jam dinding yang masih pukul 06.00 tepat. Biasanya, Nadya masih bermalas-malasan di atas ranjang jam segini. "Elo mau sekolah jam segini?" tanya Dinda yang tampak bingung.

"Ya ampun, iya, gue lupa lagi kan ngomong sama elo, Din. Hari ini tim cheers gue ada lomba, Din. Jadi gue musti berangkat pagi. Kalau elo gue tinggal nggak mungkin, nanti kalau cowok sialan itu nyamperin elo lagi gimana? Lo bakal lari ke mana? Jadi, ayok deh buru ganti baju gue tunggu," jelas Nadya panjang lebar.

Dia mengambil beberapa helai roti, kemudian dia beri selai dan dimasukkan ke dalam mulutnya dengan terburu.

"Entaran ah, Nad. Elo berangkat dulu aja," putus Dinda. Ini benar-benar terlalu pagi. Dia tidak mau mendahului satpam sekolah yang sudah berada di sekolahan di jam sepagi ini.

Lagi pula, sangat tidak mungkin jika Panji akan ke sini pagi-pagi. Palingan sepulang sekolah nanti. Pun Dinda juga sudah berjanji kepada diri sendiri, bagaimana pun caranya dia harus bisa mengontrol dirinya. Dia tak bisa terus trauma seperti ini. Hancurnya dia, dan apa yang telah diperbuat Panji harus bisa membuatnya kuat. Tak peduli nanti tak ada satu orang pun yang akan menerimanya karena dia kotor. Setidaknya, ini adalah kenyataan yang dirinya sendiri harus menerima terlebih dahulu.

"Beneran elo nggak apa-apa gue tinggal sendiri?" tanya Nadya ingin memastikan. Sebenarnya, dilihat dari gestur Dinda akhir-akhir ini seharusnya dia sudah teramat tenang. Sebab Dinda sudah jauh lebih baik dari saat ia kenal dulu. Bahkan sekarang, Dinda bisa tidur dengan nyenyak, Nadya pun tak pernah mendengar isakan Dinda di tengah malam lagi.

"Enggak apa-apa, beneran," jawab Dinda sambil mengacungkan dua jempol tangannya.

Setelah pertimbangan Nadya yang cukup panjang, akhirnya Nadya pun menyerah. Sebelum berangkat banyak sekali wejangan yang diberikan kepada Dinda, untuk selalu waspada kepada siapa pun, jangan pernah sendirian di mana pun, dan saat mau berangkat,dan pulang sekolah, kunci pintu kamar kos rapat-rapat biar tidak ada penjahat yang masuk. Mengetahui Dinda mengangguk tanda paham, akhirnya Nadya pun pergi juga. Entah kenapa dia merasa seperti seorang Mama kepada anaknya jika bersama dengan Dinda. Jujur, dalam bertemannya dengan siapa pun, Nadya tak pernah sepeduli ini.

Dinda merebahkan kembali tubuhnya di ranjang. Gerimis mulai datang dan itu benar-benar membuatnya gemar untuk bermalas-malasan. Nanti, jika di ruang tamu tidak ada payung, bagaimana dia akan berangkat sekolah? Sebab payung yang disediakan ibu kos hanya sepuluh biji, berbeda jauh dari jumlah anak kos yang ada di sini.

Dinda kemudian bangkit, ia merapikan beberapa buku dan dimasukkan ke dalam tas. Kemudian dia mengambil seragam sekolahnya.

Lagi, Dinda menghela napas panjang. Nanti ada ulangan dan mulai dari mata pelajaran pertama sampai terakhir. Bahkan, Dinda tak bisa sepenuhnya belajar dari ke empat pelajaran tersebut.

Dinda meraih tasnya setelah selesai bersiap. Kemudian berjalan menyusuri ruang tamu kos. Ternyata benar, payung di sana sudah habis. Alamat seragam Dinda akan basah karena jarak kos, dan sekolah cukup jauh dan dia hanya berjalan kaki untuk ke sana.

Untung kemarin Nadya membelikan Dinda beberapa jaket berkain tebal. Setidaknya, itu bisa sedikit membantu menghindari seragamnya untuk lebih basah dari pada tak memakainya.

"Mbak Dinda nggak nunggu gerimisnya reda dulu?" tanya satpam kos.

"Enggak deh kayaknya, Pak. Takut telat," jawabnya, sambil melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.

Satpam itu membuka gerbang kos-kosan, betapa terkejut Dinda saat tahu siapa yang sudah berdiri di depan gerbang kos sambil membawa sebuah payung.

Sosok yang memakai sepatu kets warna merah marun itu, yang kini sepatunya basah terciprat rintikan gerimis dari langit. Payungnya sedikit diangkat, menampakkan sosok tampan yang sedang tersenyum ke arah Dinda.

Dinda benar-benar tak menyangka, jika Nathan telah berada di hadapannya saat ini. Seolah tahu, jika sedari tadi yang dibutuhkan Dinda adalah sebuah payung agar bisa berada di sekolah dengan selamat.

"Lho, elo belum berangkat?" tanya Nathan yang berhasil membuat Dinda terperanjat.

"Hah? Belumlah, lha elo ngapain ada di sini?" ketusnya.

"Ya elah, ini jalanan umum kali, bukan jalan Dinda. Gue kebetulan benerin tali sepatu. Eh ada elo nongol kayak kuntilanak. Kaget gue, makanya berdiri mematung di sini nggak bisa kemana-mana," jawab Nathan dengan ekspresi dibuat-buatnya.

Dinda menghela napas panjang, sebab jelas apa yang dilihat tadi bukanlah Nathan yang sedang mengikat tali sepatunya. Tapi, Nathan yang memang sudah berdiri dengan tegak di depan gerbang kos-kosannya.

"Jadi bareng nggak nih? Kalau enggak ya gue tinggal," kata Nathan lagi.

Segera Dinda melompat ke arah Nathan, masuk di bawah payung Nathan kemudian keduanya berjalan bersama. Untuk sesaat Nathan diam, benar-benar diam dan berjalan dengan langkah yang lebih pelan. Dinda tahu, langkah Nathan tak sepelan ini. Nathan seolah sedang menyamai langkah Dinda, agar Dinda tak tergopoh saat berjalan. Dinda pun memerhatkkan posisi payung yang dibawa oleh Nathan. Condong ke arahnya sampai bahu sebelah kanan cowok itu tampak basah karena terkena percikan gerimis. Sementara, sepatu kets yang Dinda tahu selalu tampak bersih itu kini terciprat oleh tanah. Padahal biasanya, Nathan selalu naik mobil kan?

"Gimana trauma elo, Din, udah baikan kan?" tanya Nathan setelah kediamannya.

Dinda menoleh pada poros wajah tegas milik Nathan, mata abu-abu cowok itu memandangnya sekilas. Kemudian, pandangannya beralih kepada jalanan yang ada di depannya. Sehingga, Dinda hanya bisa melihat kulit pucat Nathan yang tampak memerah, hidung mancung Nathan yang memerah juga. Serta bulu mata Nathan yang tampak begitu lentik.

"Apa gue bisa...," kata Dinda pada akhirnya, Nathan kembali menoleh. "Apa gue bisa terbebas dari trauma mengerikan itu, Nath? Apa gue bisa menghadapinya? Jika Panji datang, apa gue bisa berdiri di depannya sendiri tanpa sembunyi lagi, dan paling enggak gue bisa menamparnya?" tanya Dinda dengan nada yang bergetar. Matanya tampak nanar, tapi itu bukan karena rasa haru yang membuatnya ingin menangis. Melainkan, ledakan emosi yang tertahan dari dalam dada, namun selama ini dia hanya bisa menyimpannya saja.

Nathan menepuk bahu Dinda beberapa kali, kemudian dia tersenyum lebar. Dia benar-benar tak pandai untuk menenangkan cewek sama sekali. Terlebih, menjadi teman curhat seseorang, jadi apa yang ia hendak katakan pun ia benar-benar tak yakin.

"Lo aja bisa galak ama gue, kenapa lo nggak bisa galak ama dia? Gue yakin, elo pasti bisa kok, Din. Yakin aja dulu, nanti keberanian itu bakal nyusul kok," jawab Nathan sekenanya.

"Apa bener semua cowok yang terlahir dari orangtua kaya itu berengsek, Nath?" tanya Dinda lagi. Seolah ia ingin memastikan hatinya sendiri akan satu hal.

"Gue rasa bener. Buktinya, gue seberengsek ini, kan?" jawab Nathan lagi.

Dinda langsung menoleh, sebuah jawaban blak-blakan Nathan yang berhasil membuat Dinda berpikir lagi. Dinda rasa, hanya Nathan satu-satunya cowok yang mengatakan sejujur itu, jika dirinya adalah orang yang berengsek.

"Udah deh, wajah jelek kayak elo nggak pantes buat sok-sokkan trauma. Wajah elo tu judes, bukan kalem, dan bukan tampang yang mudah teraniaya kayak di sinetron hidayah. Nanti, tumbuh lo semakin menyusut karena keseringan ngerasa takut."

"Nathan!" marah Dinda. Nathan malah tertawa.

"Gue ngomong fakta kali, Din. Kenapa elo marah?" katanya.

Dinda langsung diam. Jika terus diladeni maka Nathan akan mengatakan apa pun untuk memancing kemarahannya.

Dinda mendekat ke arah Nathan, sampai cowok itu tampak kaget dan menegakkan payungnya. Niat Dinda adalah, jika dia merapatkan jarak dengan Nathan cowok itu tak perlu lagi memiringkan payungnya, dan bahu cowok itu tidak akan basah.

*****

"Jadi beneran, Din? Elo bisa ngerjain ulangan tadi? Nggak ada yang susah?" selidik Selly yang saat ini sudah berada di kantin sekolah bersama dengan Dinda.

Dinda tak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk memakan somay yang sudah ada di depannya. Tadi, dia belum sempat sarapan. Sebab biasanya, yang mengurusi hal-hal seperti sarapan adalah Nadya. Dia hanya bagian beresnya saja.

"Ya nggak gitu juga kali, Sel. Kayak gue yang apa aja, sombong banget gitu," jawab Dinda. Dia hanya menjawab soal ulangan lebih cepat dari yang lainnya, toh itu pun Dinda masih merasa takjub dengan Nathan. Sebab cowok itu, sudah lebih dulu keluar dari pada dia.

"Ya gue takjub aja, Din. Gila, tadi soal itu sulit-sulit banget dan elo, bisa nyelesaiinya. Hebat banget. Pasti di sekolah lo dulu, elo ini salah satu siswi berprestasi."

"Gue bisa sekolah di sana karena beasis—"

"Gue boleh bawa Dinda pergi?" tanya Nathan memotong pembicaraan.

Selly hanya bisa melongo, saat tangan Dinda sudah ditarik Nathan dan digandeng untuk segera menjauh dari tempat Selly.

"Ada apa, Nath? Gue laper, mau makan!" marah Dinda. Yang memang dia baru saja menikmati somaynya, tapi Nathan langsung menariknya dengan paksa.

"Nggak usah bahas apa pun dengan siapa pun di sini. Din. Elo bisa nggak kayak gitu?" ucap Nathan setelah ia berhenti berjalan.

Dinda mengerutkan keningnya, dia benar-benar tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nathan.

"Di sini masih terlalu rawan buat elo. Dua pilar SMA ini masih ngintai elo buat dibully. Jadi saran gue, apa pun hal tentang sekolah lo dulu, sebaiknya lo nggak perlu beberkan ke siapa pun. Termasuk ama Selly."

"Kenapa gitu? Toh, gue keluar dari sekolah gua yang dulu bukan karena maling, bukan...." kata Dinda pun terhenti. Apa ucapan dari Nathan ada benarnya. Dia keluar dari sekolahnya yang dulu memang bukan karena kasus pencurian. Akan tetapi, karena dia telah diperkosa. Dia telah tidak suci lagi. Jadi, kalau sampai teman-temannya di sini mengorek informasi darinya dan sampai tahu alasan dia pindah, pastilah itu bisa digunakan sebagai bahan bullyan, dan yang lebih mengerikan dari itu adalah... dia bisa saja dikeluarkan dari sekolah. "Oke, gue paham," lanjutnya.

Nathan mengacak rambut Dinda sekilas, kemudian dia pergi begitu saja. Dia benar-benar tak paham dengan sikap Nathan. Kenapa dia mengatakan hal seperti itu, lalu pergi?

"Elo pacaran ama raja di sini?" tanya Rendra yang berhasil membuat Dinda menoleh. "Mesra amat, habis gandengan tangan terus ngelus kepala. Kalian pacaran?" selidik Rendra lagi.

Dinda menepis tangan Rendra yang hendak menggenggam pundaknya. Kemudian dia hendak pergi tapi tangannya digenggam erat-erat oleh Rendra. Jenis genggaman yang kuat, tapi tak terasa menyakitkan seolah Rendra menahan tenaganya agar tangan mungil Dinda tidak hancur di dalam genggamannya.

"Jawab dulu, cewek belagu!" marah Rendra.

"Nggak ada urusannya ama elo!" ketus Dinda. Lagi, dia hendak pergi. Tapi lagi-lagi Rendra menahannya.

"Ini urusan gue, hubungan elo ama cowok berengsek itu ada hubungannya ama gue. Ngeri?!" marah Rendra. Dia sudah hilang sabar dengan sifat tengil Dinda. Tapi, bagaimanapun dia terus berusaha untuk menahan amarahnya.

"Kami hanya berteman. Puas?" jawab Dinda pada akhirnya. Mengibaskan tangannya sampai genggaman Rendra lepas.

Dia sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran cowok-cowok yang ada di sekolah ini. Bahkan, dengan hal sepele pun dibuat jadi masalah.

Dinda mengembuskan napasnya, kemudian dia beranjak menuju toilet. Sepertinya, dia harus mencuci muka. Agar otaknya sedikit segar untuk melanjutkan ulangan di jam pelajaran kedua.

"Nath, kenapa sih wajah lo bonyok gitu? Sedari tadi nih gue mau nanya ama elo. Eh elonya ngehindar mulu," selidik Regar.

Dinda yang baru saja masuk ke kelas pun melirik ke arah Nathan, tapi cowok itu masih mengabaikan pertanyaan temannya.

"Heran ya gue, sikap nih anak beda banget akhir-akhir ini. Kesurupan apa lo, Nath? Lelembut sekolah?" celetuk Regar lagi yang berhasil membuat seisi kelas terbahak karenanya.

Nathan melirik dengan angkuh, membuat tawa Regar dan seisi kelas langsung senyap. Sepertinya, Nathan memang memiliki aura yang benar-benar mengerikan. Sementara Dinda, hanya diam membisu. Dia tak tahu harus berkata apa. Faktanya, karena Panjilah wajah Nathan jadi memar seperti itu.

"Ya nggak gitu maksudnya, Nath. Kan biasanya setiap tawuran elo selalu ngandalin gue, Regar, ama Rendra. Jadi aneh aja gitu liat wajah cakep lo bonyok kayak gini."

"Biasalah, cowok. Masa gue harus ngandalin elo mulu kalau rebutan cewek," jawab Nathan sekenanya.

"Heh, Anjing! Mana sepuluh juta gue!" teriak Rendra sambil menggedor meja Nathan dengan keras.

Dinda nyaris melompat karena ulah Rendra. Sementara Nathan, masih tenang dan sibuk dengan bukunya.

"Elo udah ngelanggar perjanjian kita, Bangsat! Elo ciuman ama cewek saat perjanjian kita masih berjalan!" kata Rendra lagi. Melempar beberapa lembar potret Nathan, yang tengah mencium sesorang cewek yang hanya terlihat punggungnya.

Mendengar hal itu, jantung Dinda terasa berhenti berdetak. Sebab ia tahu lebih dari siapa pun, siapa cewek yang ada di dalam foto itu.

"Siapa cewek ini? Dinda?" selidik Rendra.

Nathan langsung memandang Rendra dengan bengis, kemudian dia menutup bukunya dengan kasar.

"Bukan," jawab Nathan singkat dan dingin. Kemudian, ia merogoh sesuatu di dalam tas ranselnya. Mengeluarkan amplop cokelat dan menaruhnya di atas meja. "Sepuluh juta. Gue kalah dari elo."

"Nath, ini beneran elo, kan?" tanya Benny dengan nada terkejutnya.

"Berengsek. Gue merasa jadi pecundang sekarang," tambah Rendra.

"Elo kenapa sih, Nath? Elo itu pilar merah di SMA kita. Elo raja kita. Kenapa tiba-tiba lo bersikap seperti ini? Kalah? Sejak kapan lo kalah dari rivalmu, Nath?" kini Gisel bersuara, wajahnya tampak merah padam seolah benar jika dia sedang marah sekarang. "Gue kecewa ama elo, Nath."

Mendengar hal itu Dinda melirik ke arah Nathan. Dia benar-benar tak bisa melakukan apa pun sekarang. Dia tidak bisa bertindak seperti Nathan yang akan melindungi cowok itu sama sepertinya kemarin.

Dinda langsung berdiri, dia sama sekali tak tahu apa yang akan dilakukan ini adalah benar. Dengan cepat ia menarik tangan Nathan, sampai anak-anak di kelas memandang ke arahnya. Mengajak Nathan pergi keluar kelas dan membawanya ke taman belakang gedung kelasnya.

"Sorry, Nath. Gue malah ngebebanin elo karena masalah ini," kata Dinda setelah Nathan duduk di salah satu bangku di taman. Dinda masih berdiri, enggan duduk bergabung dengan Nathan. "Karena gue elo malah dimusuhin temen-temen elo."

"Biasa aja kali, Din. Entar juga mereka balik lagi kayak biasanya," jawab Nathan. Dia menyunggingkan seulas senyum, seolah benar jika yang terjadi tadi bukanlah masalah yang besar untuknya. Berbeda dengan Dinda, yang selalu menganggap apa pun adalah hal yang serius.

"Kenapa lo nggak jujur ama mereka, Nath?" tanya Dinda lagi.

"Untuk apa? Mempermalukan elo di depan semua orang?"

Dinda diam mendnegar ucapan itu dari Nathan. Dia sama sekali tak menyangka, jika apa yang menjadi ucapan Nathan benar-benar berbeda dari anggapannya tentang Nathan selama ini.

"Pantang bagi gue mempermalukan cewek di depan banyak orang, Din. Asal lo tahu itu. Gue emang cowok berengsek tapi gue punya hati nurani."

Dinda diam sesaat, kemudian dia memandang Nathan yang telah memunggunginya itu. Dinda berjalan, duduk di samping Nathan dan memandang ke arah cowok berambut cokelat itu.

"Gue beneran nggak ngerti elo, Nath. Elo aneh."

"Asal nggak kayak elo. Udah cebol, otak lo dangkal lagi," celetuk Nathan. "Traktir gue karena gue laper sekarang habis nyelametin harga diri lo yang setinggi tiang bendera itu."

"Heh?" kata Dinda. "Nanti sepulang sekolah deh. Gue traktir makan cilok di depan," imbuhnya.

Nathan berdecak. "Gue lapernya sekarang, elo ngajaknya nanti. Mati gue entar."

"Kan masih ada kelas, Nath. Ulangan."

"Gimana kalau kita bolos. Elo berani nggak?" tantang Nathan yang berhasil membuat Dinda mendelik.

Biar bagaimana pun, menurut anak-anak Nathan itu termasuk salah satu siswa yang paling rajin. Hampir tidak pernah namanya bolos sekolah, atau pun pulang di tengah-tengah jam pelajaran kalau bukan dalam situasi genting. Tapi sekrang?

"Cemen lo, Din, nggak berani bolos."

"Terus ulangannya gimana?"

"Halah, kan bisa besok-besok. Gue yang urus. Gimana?" tawar Nathan keras kepala. Dia membuka telapak tangannya, seolah berharap jika Dinda akan menggenggam tangannya tersebut.

"Oke," jawab Dinda. Tersenyum simpul dan menggenggam tangan Nathan. Senyum Nathan mengembang, kemudian dia segera bangkit untuk menarik Dinda pergi dari sana. "Tapi, tas kita ada di kelas. Uang gue ada di tas."

"Udah urus entaran, gue udah laper. Gue ada jalan di samping yang kita bisa keluar masuk kelas kita dengan aman."

Nathan langsung mengajak Dinda menuju samping gedung olahraga. Di sana ada semak-semak yang cukup rimbun. Setelah mereka dekat, Nathan pun menyibak semak-semak itu. Sebuah lorong kecil yang ditutup pintu dari kayu itu pun tampak nyata. Seolah seperti jalan rahasia yang disembunyikan di sebuah film-film.

"Biasanya kalau telat atau kalau gue nggak mood sekolah. Gue masuk lewat sini," jelas Nathan.

Dinda pun tersenyum dibuatnya. Meski ia tak menampik, jika jantungnya terpacu karena hal seperti ini. Ini adalah kali pertama ia membolos sekolah, terlebih di saat ulangan berlangsung.

Bagaimana jika ia dipergoki guru piket? Atau, bagaimana nasibnya nanti kalau tahu dia membolos? Ah, tapi Dinda tak ingin peduli. Yang Dinda inginkan sekarang adalah, dia ingin merasa benar-benar bebas!

"Waow! Gue ngerasa masuk ke dalam dunia lain!" pekik Dinda semangat. Dia melompat kegirangan dengan senyuman yang terus mengembang dari kedua sudut bibirnya.

Sementara Nathan, memandang Dinda dalam diam. Dia baru tahu sekarang, jika ada cewek yang bisa segembira ini hanya sekadar bolos sekolah. Nathan sama sekali tak bisa membayangkan, bagaimana tekanan batin yang dirasakan Dinda. Hingga melakukan hal sepele seperti ini saja seolah ia telah merdeka.

"Jadi sarapan di mana?" tanya Nathan.

Dinda langsung menoleh, dia ingat jika Nathan minta ditraktir. "Kan gue udah bilang, uang gue ada di dalem tas."

"Gue pinjemi dulu deh, laper nih. Yok!" ajaknya.

Menggandeng tangan Dinda untuk segera pergi dari sana. Dinda memandang tangannya yang digandeng oleh Nathan sedari tadi. Dia sendiri bingung, bagaimana ceritanya Nathan dan dia sekarang gemar saling menggandeng tangan. Sejak kapan mereka bisa sedekat ini? Padahal, baru kemarin mereka menjadi seorang teman.

"Elo kenapa sih?" tanya Nathan. Yang sadar jika Dinda menghentikan langkahnya. Sadar jika Dinda memerhatikan genggaman tangannya kepada Dinda, Nathan pun melepaskannya pelan-pelan. "Sorry, kebablasan," jelas Nathan. Menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Din, kamu di sini?"

Dinda, dan Nathan langsung menoleh saat mendengar suara yang tak asing itu. Panji sudah berdiri tak jauh dari mereka, dengan wajah penuh harapnya.

Napas Dinda kembali sesak, bahkan secara spontan dia memundurkan langkahnya ke belakang. Namun, sebelum Dinda luruh, tangan Nathan menggenggam pundaknya seolah menguatkan.

"Ini kesempatan buat elo, Din. Lakukan apa aja yang ingin lo lakukan buat ngelampiasin emosi lo ama cowok tengil kayak dia. Lo ingat, dia nggak seganteng gue, dia nggak sekaya gue. Kalau ama gue aja lo bisa ketus, seharusnya lo bisa juga ama cowok buluk itu. Jangan buat harga diri gue hancur, Din," bisik Nathan.

Mendapati ucapan panjang lebar Nathan, Dinda benar-benar tak fokus. Tapi dia cukup kaget saat tangan besar Panji menepuk pundaknya. Seperti sengatan listrik yang langsung mengaliri tubuhnya secara berkala.

"Din."

PLAK!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top