TRAUMA
Sudah seminggu Dinda tidak masuk sekolah, bahkan hal itu membuat Nadya ikut-ikutan sering izin untuk tidak masuk sekolah. Pasalnya, Nadya menjadi satu-satunya keluarga bagi Dinda sekarang. Tidak ada yang bisa membantu cewek itu dari trauma, selain Nadya. Sebenarnya, dia ingin mengabari keluarga Dinda. Tapi sayang, Nadya tak punya kontak keluarga Dinda. Terlebih, cewek itu ponselnya dikunci dengan pola, ia bertanya beberapa kali tentang keluarga Dinda pun, Dinda tak menjawab.
Lagi, Nadya menghela napas panjang. Dia hanya bisa duduk di ranjangnya sambil melirik ke arah Dinda yang saat ini sedang berbaring memunggunginya. Ini sudah kali ke lima ia mengantar Dinda ke psikater, dan sampai hari ini pun dia tak mengetahui apa masalah Dinda. Yang ia tahu hanyalah, Dina pulang ke kos oleh Nathan mengenakan seragam olahraga milik Sasa, dan dengan kondisi tak sadarkan diri. Setelah itu Dinda tampak sangat histeris seperti orang kesurupan, membuat Nadya langsung membawanya ke psikiater. Meski Nadya pun tak menampik jika awalnya dia ingin membawa Dinda ke seorang dukun atau bahkan kyai karena takut jika Dinda barang kali kesurupan. Namun, setelah mendengar cerita dari Sasa, dan Nathan, Nadya akhirnya tahu, apa yang menjadi penyebab Dinda sampai sehisteris itu. Pasti, semua ini ada hubungannya dengan orang yang disebut sebagai 'Nji' yang Nadya tak tahu siapa sosok itu.
"Gimana kabar Dinda, Nad?" tanya Nathan.
Saat ini Nadya sudah berada di ruang tamu kos, duduk berdua dengan Nathan yang baru saja datang. Dia membawa beberapa makanan, kemudian diletakkan di atas meja.
"Mendingan sih, Nath... udah bisa tidur, dan udah lebih tenang dari sebelumnya," jawab Nadya. Dia bisa melihat ada rasa khawatir pada raut wajah Nathan. Rasa yang Nadya kira Nathan tak pernah mungkin bisa memilikinya.
"Kata dokternya gimana, trauma apa yang bikin dia sampai kayak gitu? Gue bener-bener penasaran?" tanya Nathan lagi.
Sejenak Nadya pun diam. Antara mengatakan hal yang sedari lama ia pendam, atau ia akan tetap bungkam. Kemudian, dia melirik ke arah cowok yang ada di sampingnya itu, yang kini mata abu-abunya sedang memandangnya lekat-lekat.
"Gue juga nggak tahu, Nath. Trauma apa yang ada di balik depresinya Dinda. Sebab, pihak psikiater pun menutup rapat-rapat. Hanya saja, semenjak Dinda pindah di sini, hampir setiap malam Dinda menangis. Kemudian dia mengigau, teriak ketakutan sambil memanggil nama 'Nji' entah siapa itu. Yang jelas dia bener-bener histeris banget, sampai kamar samping pada ngira kalau gue yang kesurupan."
"Nji?" tanya Nathan. Nadya pun mengangguk.
"Iya, gue juga nggak paham, dan nggak tahu siapa di balik nama itu," Nadya diam sesaat, kemudian ia memandang Nathan lekat-lekat. "Nad, lo bisa cabut tanda elo pada Dinda. Sebab dia nggak pantes lo tandain."
Nathan diam, dia tak lagi menanggapi ucapan Nadya. Sebab bayang-bayang jeritan histeris Dinda benar-benar melekat di dalam otaknya. Bahkan, menganggu tidur malamnya beberapa hari belakangan ini.
*****
"Din, gue boleh ngomong ama elo?" tanya Nadya hati-hati saat melihat Dinda yang sudah mau untuk sekadar duduk di ranjangnya.
Mata Dinda memandang Nadya dengan tatapan sendunya, kemudian dia menampilkan seulas senyum tipis.
"Maafin gue ya, Nad. Gue selalu ngerepotin elo. Dan soal konsultasi ke psikolog, nanti uangnya gue ganti, ya. Thanks, banget elo udah sudi ngurus gue."
Nadya langsung mendekat ke arah Dinda, kemudian dia memeluk Dinda erat-erat. Seperti merasakan rasa sakit Dinda, Nadya pun merasakan perih yang sama.
"Nggak apa-apa, Din. Gue bener-bener nggak masalah, dan elo nggak perlu balikin apa pun dari gue. Gue ikhlas. Hanya saja, gue bener-bener penasaran ama beberapa hal. Gue boleh bertanya ama elo?"
"Apa, Nad?"
"Apa trauma lo itu berhubungan dengan mimpi elo tiap malam itu, Din?" tanya Nadya hati-hati. Dia benar-benar takut, jika dengan membahas ini akan membuat Dinda down lagi.
Mata Dinda tampak melebar, dia seolah kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Nadya. Kemudian, dia tampak gugup, lalu dia pun menunduk.
"Iya, Nad. Ada hubungannya," jawab Dinda. "Tapi maaf, gue nggak bisa cerita lebih jauh lagi, Nad. Sebab, setiap kali gue ngebahas ini hati gue bener-bener hancur. Gue bener-bener nggak bisa Nad...," Dinda menutup wajahnya dengan kedua tangan, sementara punggungnya sudah bergetar. "Kenapa Nathan tega sih, Nad, ngerjain gue dengan kayak gitu. Apa dia bener-bener ingin gue keluar dari sekolah?" ucapnya lagi, yang berhasil membuat Nadya terkejut.
"Din, elo salah paham...," kata Nadya mencoba menjelaskan. "Yang ngerjain elo bukan Nathan. Dia malah nolongin elo, Din."
"Tapi dia udah nandain gue, Nad. Dan apa yang dikatakan Selly, siswa yang ditandain Nathan bakal keluar dari sekolah dalam waktu tujuh hari."
"Elo salah paham, Din. Yang ngerjain elo bukan Nathan. Gue bisa jamin itu. Bahkan Nathanlah yang nolongin elo," kata Nadya lagi. "Yang ngerjain elo itu Gisel, dan antek-anteknya. Bukan Nathan.
"Tapi mereka adalah tiga pilar SMA Airlangga kan, Nad? Bukankah mereka temenan?"
"Enggak, elo salah paham. Percaya ama gue."
Dinda hanya bisa diam. Dia tak bisa mengatakan apa pun lagi saat Nadya berkata seperti itu. Cara Nadya meyakinkan Dinda, seolah-olah Nadya serius dengan hal itu.
"Bahkan, hampir tiap hari dia dateng ke sini, Din. Diem-diem nanyain kabar elo, dan bawain makanan buat elo. Dia adalah orang yang paling khawatir tentang elo."
Dinda menatap wajah Nadya, dia seolah tak percaya. Seorang Nathan khawatir dengannya? Tidak, itu pasti hanyalah rasa bersalah. Atau bahkan, karena Nathanlah yang melihatnya histeris waktu di ruang ganti itu.
Lagi, Dinda merasa menggigil setiap kali ia mengingat kejadian di ruang ganti sekolahnya. Apalagi, saat mengerikan yang Panji lakukan kepadanya.
Dinda memeluk tubuhnya sendiri yang tiba-tiba terasa dingin, bahkan kini keringat dingin membanjiri tubuhnya.
"Din, elo nggak apa-apa, kan? Mending lo istirahat deh, Din. Jangan mikir macem-macem," kata Nadya yang mulai panik.
Dia membaringkan Dinda, kemudian menyelimuti cewek cantik itu. Tapi, ketika Nadya hendak pergi, tangannya digenggam erat oleh Dinda.
"Nad, temenin gue tidur, ya. Gue takut tidur sendiri," pinta Dinda.
Nadya mengangguk, ia pun mengambil posisi tidur. Merengkuh tubuh Dinda yang sudah tidur dan memunggunginya.
Lagi, Nadya merasa sesak, melihat ada cewek yang begitu trauma seperti ini. Ini adalah kali pertama Nadya menyaksikan secara langsung, dan Nadya benar-benar tak tahu harus berbuat apa.
Paginya, Dinda sudah siap untuk kembali ke sekolah. Meski beberapa kali dia terus bertanya kepada Nadya apakah semua akan baik-baik saja? Bahkan, Nadya terus-terusan memberi semangat. Kalau perlu, ia akan ikut masuk di kelas Dinda sampai pelajaran selesai. Dengan secuil harapan itu, yang Nadya yakin jika Dinda lebih tahu dari siapa pun, jika itu semua tak mungkin. Dinda tetap mengangguk, percaya kepada ucapan Nadya yang memang terdengar begitu tulus.
"Dik Dinda, dan Dik Nadya...," kata Mbak Ambar setelah mengetuk pintu kamar Nadya, dan Dinda.
"Ada apa ya, Buk?" tanya Dinda saat membuka pintu kamarnya.
"Itu, Dik Dinda, ada Dik Nathan di luar."
Setelah mengatakan itu, Mbak Ambar pun pergi. Menyisakan Dinda, dan Nadya yang masih sibuk dengan buku-buku pelajarannya. Dinda mendekat ke arah Nadya, kemudian memandang Nadya dengan perasaan merinding.
"Tuh, kan, Nad. Nathan masih nandain gue, dia masih ingin gue keluar dari sekolah," kata Dinda dengan mata nanarnya. "Dia nggak akan berhenti sebelum gue keluar dari sekolah Airlangga ini."
"Udah deh, Din, jangan neting dulu, deh. Siapa tahu Nathan ke sini buat nanyain kabar elo."
"Buat?" tanya Dinda seolah masih tak percaya. Nathan itu orang jahat, itulah yang ada di benak Dinda sampai kapan pun.
"Ya karena dia yang nolongin elo lah, Din. Dia yang bawa elo ke sini. Mungkin dia merasa bersalah." Jawab Nadya sekenanya.
Seketika wajah Dinda memerah, dia ingat jika saat itu dia tak sedang memakai pakaian apa pun.
Apa Nathan melihat tubuh telanjangnya?
Nadya melangkah keluar dari kamar kos, menuju ruang tamu yang ada di seberang. Sementara Dinda, mengekori langkah Nadya dengan begitu pelan. Bahkan, jantungnya tiba-tiba terpacu saat melihat sosok itu sedang duduk di salah satu sofa ruang tamu. Menunduk sambil setengah membungkuk, sibuk dengan buku yang teramat tebal yang sedari tadi menjadi fokus utamanya.
Dinda, takut.
Nadya duduk di seberang Nathan, membuat cowok itu mendongak. Mata abu-abunya tampak melebar memandang ke arah Dinda. Seolah, ia ingin tahu apakah Dinda benar sudah baik-baik saja. Seolah, ia ingin meneliti bagian mana Dinda yang sakit. Untuk kemudian, dia tersenyum tipis.
Sementara Dinda masih berdiri di samping Nadya, kedua tangannya saling bertaut, dan wajahnya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya terasa panas dingin, dan entah kenapa ketakutannya kepada Nathan muncul sebanding dengan rasa takutnya kepada Panji. Padahal sebelumnya dia tak takut sama sekali dengan cowok ini.
"Please, Nath, gue mohon. Berhenti gangguin Dinda. Elo tahu sendiri kan, jika Dinda dalam proses penyembuhan. Jadi—"
"Siapa sih yang mau gangguin cewek tengil kayak dia?" kata Nathan yang berhasil membuat Nadya, dan Dinda memandang ke arahnya.
Setelah berdehem, ia pun mengambil kantok plastik yang berisikan dua bungkus makanan, dua gelas minuman, serta buah dan menaruhnya di atas meja.
"Gue cuma mau kasih ini buat elo, Nad. Ucapan makasih gue karena udah ngebantuin ngurusin dia. Gue yakin kalau elo belum sarapan, itu ada dua. Yang satu boleh lo kasih siapa pun deh terserah elo," kata Nathan.
Dinda dan Nadya saling pandang, mereka tampak keheranan melihat tingkah Nathan yang tiba-tiba aneh. Meski demikian, pada akhirnya Nadya memakan sarapan yang dibawakan oleh Nathan, kemudian memaksa Dinda untuk ikut sarapan.
Nathan masih enggan beranjak. Di sela-sela kesibukannya membaca, ia memandang ke arah Dinda yang tampak begitu lahap. Sebuah senyuman terukir manis di sudut bibirnya.
"Udah?" tanya Nathan saat kedua cewek itu tampak sudah selesai sarapan. Ia memasukkan buku yang sedari tadi di dalam tas, kemudian memandang jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. "Bentar lagi masuk nih, yuk bareng," ajaknya. Yang berhasil membuat Nadya, dan Dinda kembali terdiam.
"Gue cuma ngajak Nadya, ya. Tapi kalau lo mau bareng silakan," ketus Nathan. Berjalan terlebih dulu kemudian diekori oleh Nadya, dan Dinda.
Setelah berada di luar, Nadya, dan Dinda memilih duduk di belakang. Membuat Nathan kembali mengomel sebab ia merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar dua cewek aneh untuk ke sekolah. Namun terlepas dari itu semua, lagi-lagi Nathan tampak menyunggingkan seulas senyum.
"Lo tahu cowok cakep yang sedari seminggu ini terus berada di halaman depan SMA kita saat jam pulang sekolah itu siapa?" kata Sasa melayangkan pertanyaan itu kepada Gisel.
Sebenarnya, setelah insiden Dinda, Sasa dan Gisel tak bisa disebut akrab seperti dulu. Bahkan, persahabatan mereka kacau balau dan berkali-kali ribut. Akan tetapi, rasa gengsi mereka atas pilar yang mereka sandang membuat keduanya mau tak mau bersatu. Sebab tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah untuk melepas pilar mereka.
"Dia itu namanya Panji. Jika di sini ada Nathan, di SMA Wijaya Kusuma ada Panji. Cowok paling beken di sekolahnya, dan panglima perang di sana. Dan elo tahu dia itu siapa?" kata Sasa lagi yang berhasil membuat Gisel memutar bola matanya jengah. "Dia adalah cowoknya Dinda. Jadi elo tahu kan, kalau di sekolahnya dulu Dinda bukan cewek sembarangan?"
"Panji itu cowoknya Dinda?" kali ini Regar yang bersuara.
Dinda yang baru saja masuk pun hanya memandang mereka sekilas, menggenggam erat tali tas ranselnya kemudian dia duduk. Sementara Nathan, langsung diam dan sibuk dengan ponselnya.
"Iya, Panji itu cowoknya Dinda. Sepertinya sampai detik ini mereka masih pacaran. Karena di instagram Panji masih majang fotonya berdua ama Dinda. Dan kayaknya, mereka pacaran udah dua tahunan ini," kata Sasa lagi.
Dinda hanya diam, dia benar-benar merasa risih jika nama Panji terus disebut. Sementara Nathan, tiba-tiba menaruh ponselnya dengan suara nyaring. Yang berhasil membuat anak-anak yang ada di kelas diam.
"Lo kenapa, Nath?" tanya Regar.
Tapi, Nathan mengabaikannya. Kemudian ia memilih keluar dari kelas kemudian menghilang. Sementara Gisel dalam diam memerhatikan tingkah Nathan, kemudian ia memandang Dinda dengan dendam yang semakin membara.
"Din, elo tahu selama elo nggak masuk sekolah, banyak banget kejadian di luar dugaan terjadi...," kata Selly. Dia memandang ke arah Selly, tapi dia masih diam mencoba mendengarkan. "Selly bertengkar hebat dengan Gisel. Bahkan sampai jambak-jambakan di kelas. Kemudian, Nathan yang tampak murung beberapa akhir ini. Bahkan dia nanyain gue hal-hal yang nggak jelas. Terus..."
"Terus apa?" tanya Dinda penasaran.
"Ada cowok cakep, kayaknya dari keluarga terpandang, dateng ke sini nanyain elo terus."
"Siapa, Sel?" tanya Dinda. Apa cowok yang dimaksud Selly adalah Panji? Seperti apa yang dikatakan Sasa barusan.
"Katanya dia cowok elo. Namanya Panji."
Mendengar penjelasan Selly, kedua tangan Dinda tiba-tiba menjadi dingin. Tidak. Bagaimana bisa Panji mencarinya setelah apa yang telah dia perbuat? Dan lagi, untuk apa lagi Panji mencari-carinya? Apakah Panji masih belum puas dengan apa yang telah ia lakukan? Lalu, apakah hari ini Panji akan ke sini lagi dan mencarinya? Jujur, Dinda benar-benar ketakutan jika itu terjadi.
Dinda menenggelamkan semua pikirannya pada pelajaran Fisika, dan Kimia. Dia bahkan mati-matian memfokuskan konsentrasinya meski selalu gagal. Dan, yang menjadi hal ganjil di sini adalah. Bangku yang ada di sampingnya, yang tampak sepi. Ya, bangku Nathan. Dia tak ada di kelas untuk mengikuti pelajaran. Padahal kata Regar, Nathan nyaris tak pernah membolos sekolah selama ia bersekolah di sini. Lalu, di mana gerangan cowok itu?
Dinda hanya melirik bangku kosong itu. Tas ransel Nathan masih ada di sana. Kemudian, ia menangkap sepasang mata Gisel yang lagi memandangnya dengan pandangan yang penuh kebencian itu. Untuk kemudian, Gisel cepat-cepat kembali menghadap ke depan.
Ada apa?
Jam istirahat datang lebih awal. Dan itu dimanfaatkan Dinda untuk segera mungkin berada di perpustakaan untuk sekadar membaca.
Pandangan Mas Edo tampak terkejut memandang Dinda. Tapi, kemudian pandangan itu kembali menghangar seperti biasanya. Dinda yakin, jika kejadian seminggu lalu yang menimpanya sudah menyebar luas dan sangat cepat ke seluruh penjuru sekolah. Bahkan, pandangan-pandangan aneh ditampakkan dengan begitu nyata oleh para siswa yang memandang ke arahnya.
Lagi, Dinda mengembuskan napas beratntya. Kepalanya ditaruh di atas meja sambil kedua matanya meneliti baris demi baris rangkaian kalimat yang ada di sebuah buku Biologi yang ada di tangannya.
"Lama banget libur lo. Gimana, sehat?" sapa suara serak yang ternyata milik Rendra.
Dinda hendak beranjak pergi, tapi tangannya dicengkeram Rendra dengan erat sehingga mau tak mau Dinda kembali duduk.
Dia memandang Rendra dengan tatapan benci, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Yang berhasil membuat Rendra terkekeh.
Rendra memandang seksama Dinda. Seolah dia tengah bingung dengan apa yang hendak ia katakan. Akan tetapi, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu membuat Rendra cukup yakin jika cewek ini benar-benar tidak pantas untuk dijadikan bahan mainan. Dia memiliki trauma berat, meski Rendra sebelumnya tak pernah peduli tentang apa pun mental orang yang ia tandai. Yang dia pikirkan hanyalah, mencari kesenangan. Dan dia senang jika berhasil mempermainkan seseorang.
"Katanya Nathan nggak ada di kelas hari ini?" tanyanya. Tapi, Dinda mengabaikannya. "Apa itu ada hubungannya ama elo?" tanya Rendra lagi. Dan lagi-lagi, Dinda mengabaikan pertanyaan Rendra.
"Gue nggak ngomong ama patung, kan?" kata Rendra yang tampak mulai kesal.
"Bisa nggak sih, nggak usah nyangkut pautin gue ama Nathan? Gue nggak ingin dan nggak sudi disangkut-pautin ama Nathan!" marah Dinda. Bahkan suaranya yang nyaring mendapat pelototan dari beberapa anak yang ada di perpustakaan.
"Elo tadi sarapan ama cabe berapa kilo sih? Pedes banget ucapan elo. Gue kasih tahu, ya, nggak usah sengak-sengak deh lo di sini. Di sini daerah kekuasaan tiga pilar. Kalau lo mau selamet, lo harus patuhi peraturan ketiga pilar tersebut. Dan kalau lo mau keluar sekolah ini dengan cara dipermalukan, ya terserah elo. Nggak tahu makasih," celetuk Rendra.
Dinda memandang Rendra dengan sengit, tapi dia tak lagi membalas ucapan Rendra seperti tadi.
"Elo tahu, kalau nggak ada Nathan, elo udah mampus...," kata Rendra. "Elo tahu Gisel itu cewek yang nekat. Apa yang elo alamin kemarin hanya secuil dari kenekatannya. Gue yakin, sebenernya rencanya bukan hanya itu saja. Bisa jadi waktu itu dia udah nyewa cowok buat merkosa elo, dan ngerekam adegan itu kemudian diposting disebar luasin. Tapi elo tahu, Gisel nggak sempet ngelakuin itu. Dan itu berkat siapa? Nathan. Lo harus berterimakasih ama dia. Dan gue yakin kalau lo nggak bakal mau ngelakuinnya," sindir Rendra lagi.
Kini Dinda menundukkan kepalanya, sebab ia juga sadar jika apa yang dikatakan Rendra adalah benar. Dia tak mungkin bersikap picik dengan memukul rata semua cowok. Hanya karena cowok jenis Nathan, dan Rendra itu seperti Panji. Lantas ia menganggap jika semua cowok itu berengsek seperti halnya Panji.
"Sebenernya rugi gue ngatain ini ke elo. Tapi ya gimana lagi, gue hanya mengungkapkan kenyataan. Karena apa, gue kesel liat tingkah songon lo. Kek ngarasa jadi cewek sok cantik, dan congkak aja. Ngeselin."
"Gue nggak butuh dibantu siapa pun. Dan gue juga nggak nyuruh Nathan buat bantuin gue. Toh gue yakin, jika dia nggak sok kenal ama gue, nggak sok nandain gue pasti Gisel, dan Sasa nggak bakal ngejailin gue, kan? Karena apa, sumber dari semuanya itu adalah Nathan," kata Dinda tak mau kalah.
"Ralat, hanya Gisel," ucap Rendra. Dinda mengerutkan keningnya sebab ia tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Rendra. Kenapa hanya Gisel? Apakah itu ada sangkut pautnya dengan ucapan Selly tadi? "Dari awal Sasa nggak tahu kalau Gisel ada rencana buat ngerjain elo. Bahkan, dialah orang yang nyariin Nathan untuk ngebantuin elo dari Gisel. Lo harus berterimakasih deh ama dia," lanjut Rendra.
Dinda kembali diam untuk mencerna ucapan Rendra. Jika betul Sasa yang memanggil Nathan, lalu kenapa? Bukankah Sasa satu geng dengan Gisel? Mereka sama-sama satu pilar? Terlebih, dia dan Sasa tidak sedekat itu.
Bel masuk kelas telah berbunyi. Membuat Dinda tersentak. Ia buru-buru mengemasi buku-buku dan peralatan tulisnya yang berserakan di atas meja. Dia bahkan tak sadar jika Rendra sudah tidak ada lagi di depannya. Semua siswa berpondong-pondong keluar. Sementara Mas Edo masih sibuk mencatatat beberapa buku yang dipinjam oleh beberapa siswa tadi. Dinda lupa lagi, kalau sampai detik ini dia belum membuat kartu anggota perpustakaan.
"Dik, nggak pinjam buku?" tanya Mas Edo, saat melihat Dinda melintas di depannya.
Dinda pun terhenti, dia menoleh ke arah Mas Edo kemudian tersenyum. "Belum punya kartu anggotanya, Mas," jawabnya.
"Lho, ini kartu anggota Dik Nathan ditinggal katanya buat kamu," jawab Mas Edo.
Dinda semakin bingung. Kenapa begitu?
Mas Edo pun memberikan kartu perpustakaan milik Nathan. Warnanya hitam, bukan seperti kartu-kartu perpustakaan pada umumnya malah terlihat seperti credit card.
"Punya Dik Nathan memang beda, tiga pilar SMA yang boleh memiliki kartu ini," jelas Mas Edo.
Ragu-ragu Dinda mengambil kartu perpustakaan milik Nathan, kemudian ia pamitan untuk kembali ke kelas.
Tadi, dia mendapatkan pesan dari Selly, jika Pak Willis tidak masuk kelas alias jam kosong. Tadi, Pak Willis pamit pulang, karena katanya istrinya tengah melahirkan.
"Jadi jam kosong dong!" teriak Benny sambil melempar buku paketnya kepada Regar. Dia sudah berdiri di atas meja. Sementara anak-anak cewek lebih memilih sibuk dengan kegiatan mereka. Ada yang sedang membaca novel sambil mendengarkan musik, ada yang sibuk dandan, ada yang bergosip, atau bahkan sekadar membaca-baca buku untuk menghilangkan suntuk.
"Woy, anjing! Nathan mana?" tanya Regar yang tampaknya baru menyadari jika sedari tadi Nathan tak ada di kelas.
Dinda yang baru saja masuk pun memandang Regar sekilas, kemudian ia melirik Sasa yang memandangnya dengan tatapan tak acuh. Dia ingin bicara dengan Sasa, dia ingin berterimakasih kepada Sasa. Tapi, bagaimana caranya dia mengatakannya jika Sasa selalu bersama dengan Gisel?
Omong-omong soal Gisel, sebenarnya Dinda ingin menampar pipi mulus cewek itu. Dia benar-benar benci kepada Gisel lebih dari siapa pun. Hanya saja, sedari beberapa waktu yang lalu Nadya selalu mewanti-wantinya, untuk berhenti membuat ulah atau berinteraksi dari tiga pilar yang akan membuatnya masuk ke dalam masalah. Dan untuk sekarang, Dinda akan diam. Jika nanti ia sudah siap dengan semua rasa sakit yang menjadi traumanya, jika nanti dia sudah benar-benar sembuh, pasti dia tak akan segan-segan untuk memberi perhitungan.
"Eh Gis, gue mau ke toilet dulu, deh," kata Sasa. Dia melirik ke arah Dinda yang baru saja duduk membuat Dinda memandang ke arahnya.
Kemudian, Dinda pun bangkit, saat Selly hendak memberitahunya sesuatu.
"Lho, Din, mau ke mana?" tanya Selly yang tampak penasaran.
"Gue mau ke toilet dulu, ya. Kebelet nih," jawab Dinda.
Menyusul; Sasa yang sudah dulu keluar. Dinda terhenti, saat Sasa rupanya sudah berdiri di gang antara gedung kelasnya dan gedung kelas sepuluh. Ia bersender, sambil melipat kedua tangannya di dada.
"Ada apa?" tanya Sasa dengan nada ketusnya.
Dinda berhenti, melihat Sasa kemudian dia berdiri tepat di depan Sasa. Matanya meneliti pada cewek yang tingginya setelinganya itu. Kemudian dia tersenyum dengan hangat. Sasa langsung memalingkan wajahnya saat melihat ekspresi yang ditampilkan oleh Dinda.
"Thanks ya, Sa," kata Dinda yang berhasil membuat Sasa memandang ke arahnya dengan wajah merona. "Meski gue nggak tahu kenapa elo bantuin gue, gue makasih banget ama elo,"
"Kebetulan kok," jawab Sasa masih dengan nada ketusnya.
"Kenapa lo mau bantuin gue, Sa?" tanya Dinda penasaran.
Sejenak Sasa terdiam, dia berdehem beberapa kali kemudian memalingkan wajahnya lagi.
"Perkataan elo waktu itu...," kata Sasa pada akhirnya. "Buat gue sadar,"
"Yang mana?" tanya Dinda yang berhasil membuat Sasa melotot.
"Ya tentang kemarinlah, perkataan elo buat gue ngerti kalau apa yang gue lakuin itu keliru. Seharusnya, gue nggak sebodoh itu terlalu mendewakan Nathan. Sampai-sampai berbuat hal kelewatan. Oh ya, masalah ciuman gue ama Nathan, sebenernya gue yang minta ke dia. Gue harap elo nggak salah paham," jelas Sasa.
Dinda mencerna ucapan Sasa. Terlebih, penjelasan masalah ciuman yang ia liat di toko buku waktu itu. Sebenarnya Sasa tak memiliki kewajiban menjelaskan itu kepadanya, toh Dinda bukan siapa-siapanya Nathan.
"Jujur, Sa, gue bilang gitu bukan berarti gue benci ama elo. Justru karena gue nggak ingin elo berakhir seperti gue. Jadi gue harap, elo lebih hati-hati milih cowok ya. Karena cowok zaman sekarang susah buat dipercaya."
"Gue bukan pacar Nathan, kok. Nathan itu nggak punya pacar," ralat Sasa yang berhasil membuat Dinda semakin bingung. Jika memang benar Sasa bukan pacar Nathan, lalu kenapa mereka ciuman? "Dulu kami pacaran, tapi cuma satu bulan. Nathan itu playboy. Dan dia nggak akan bisa bertahan ama cewek lebih dari seminggu. Dia terkenal badboy di sekolah ini. Cowok paling busuk yang digilai banyak cewek. Dan cowok paling licik sebagai dalang hancurnya anak-anak sekolah lain."
"Lalu Gisel? Apa dia pacarnya? Apa dia nggak cemburu elo ciuman ama pacarnya?" tanya Dinda yang semakin bingung.
"Bukan juga. Saat ini Nathan nggak sedang pacaran sama siapa pun. Dan kalau dia pacaran pun, itu hanya main-main."
"Lalu kenapa dengan lo lama? Bukankah kata lo dia nggak bakal pacaran lebih dari seminggu?" tanya Dinda penasaran.
Sasa terdiam sesaat, dia kemudian tersenyum hambar. "Ya, karena gue yang maksa. Udah deh berhenti ngebahas ini. Nathan nggak ada di kelas ngapain? Dia keluar pakek motornya Regar."
"Kenapa lo tanya ama gue?" tanya Dinda yang semakin bingung. Dia diseloroh pertanyaan-pertanyaan aneh oleh Sasa seolah dia adalah keluarga Nathan yang wajib tahu Nathan pergi ke mana pun. "Gue bukan emaknya. Toh temennya Nathan itu elo, bukan gue,"
"Ih udah deh, ngomong ama elo udah kayak ngomong ama hakim sidang. Gue balik kelas dulu," putus Sasa.
Dinda mengangkat kedua bahunya, kemudian mengekori langkah Sasa. Saat masuk kelas, mata Gisel sudah meneliti Sasa, dan Dinda secara bergantian. Tapi, Dinda mengabaikan itu. Duduk manis di bangkunya dan sibuk dengan Selly.
"Elo udah ngerjain tugasnya Bu Endang, Din?" tanya Selly.
"Tugas apaan? Gue nggak tahu," jawan Dinda. Sebab seminggu ini dia tak masuk sekolah. Jadi dia tak tahu kalau ada tugas dari guru Bahasa Inggrisnya tersebut.
"Disuruh ngerangkum sebuah berita yang ada di sekitar, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Sebagai bahan tanya jawab, dan diskusi," jelas Selly.
"Kayaknya gue bakal telat pulang nanti," keluh Dinda. Dia harus berada di perpustakaan untuk mencari bahan. Padahal tubuhnya sudah lelah dan ingin istirahat di kamar.
Selly hanya bisa meringis. Tersenyum lebar ke arah Dinda seolah ia merasa bersalah. Iya, seharusnya dia bisa memberi kabar Dinda melalui telepon. Tapi, tak dilakukan Selly karena dia tahu kalau teman sebangkunya itu sedang sakit. Dia tak ingin menganggu. Dan sekaranglah dia baru bisa memberitahu, karena besok tugas itu harus segera dikumpulkan.
Sepulang sekolah Dinda langsung buru-buru berada di perpustakaan sebelum perpustakaan tutup. Dan dengan sangat terpaksa ia harus meminjam kartu perpustakaan milik Nathan kalau tidak ingin pulang kemalaman dari sekolah.
Dinda meminjam beberapa buku setelah memilah beberapa buku paket yang dianggap cocok dengan materi yang hendak ia ambil. Kemudian memberikannya kepada Mas Edo untuk didata. Sesekali ia melihat ke arah luar, sudah sore. Itu artinya ini sudah terlalu lama ia berada di perpustakaan. Bahkan seharusnya di jam seperti ini Mas Edo sudah pulang, karenanya Mas Edo terlambat pulang.
"Maaf, ya, Mas," kata Dinda untuk yang ketiga kali. Mas Edo tersenyum, kemudian mengangguk.
"Nggak apa-apa, mumpung di rumah nggak ada kerjaan juga, Dik," jawab Mas Edo.
Untunglah pegawai perpustakaan ramah, dan baik seperti Mas Edo. Jika tidak, ia akan benar-benar dapat masalah. Sebab Dinda paling tak bisa berhadapan dengan orang yang ketus.
"Mas Edo, aku pamit dulu, ya," kata Dinda lagi.
Mas Edo pun mengangguk.
Dinda melangkah menyusuri lorong-lorong kelas, sebelum ia bisa sampai ke koridor kelas dan keluar dari sekolah. Sesekali ia memandang ke arah sekitar, sebab bulu kudunya tiba-tiba meremang.
Lagi, Dinda mencoba menetralkan hati dan pikirannya. Tidak mungkin ada setan kan? Dinda cepat-cepat melangkah keluar dari sekolah. Tapi, matanya seketika langsung tertuju pada sosok yang kini sedang bersandar di sebuah mobil.
Dinda mundur dengan kedua kaki yang nyaris lumpuh. Tapi, dia benar-benar tidak ingin jatuh sekarang. Dia, benar-benar tidak ingin sosok yang ada di ujung matanya itu mendekat, atau bahkan menyentuh tubuhnya.
Tubuh Dinda mendadak menggigil, mulutnya benar-benar kelu. Matanya tiba-tiba nanar. Dia memeluk dirinya sendiri kemudian mundur, mencoba bagaimana caranya untuk pergi dari tempat yang membuatnya ngeri sekarang.
"Dinda, Din!" teriak sosok itu.
Setengah terisak Dinda langsung berlari, mencari di mana pun tempatnya untuk sembunyi. Dia tidak mau bertemu dengan sosok ini!
Langkah Dinda langsung terhenti, saat sebuah tangan besar menarik tangannya. Sampai Dinda berada dalam dekapan sebuah sosok. Sosok yang baunya sangat wangi, dan sosok yang begitu sangat rapi. Dinda hendak berontak, tapi dia ingat ucapan Dokter Anita. Kuasai dirimu, sebelum kamu melakukan hal apa pun. Sebab, trauma yang bisa menghilangkan adalah dirimu sendiri.
"Nathan..." rintih Dinda, saat mendongak dan mendapati sepasang mata abu-abu itu telah memandangnya lekat-lekat.
Antara takut, antara tenang, semua rasa berkecamuk di dalam hati Dinda. Takut, karena mungkin jika sosok itu mungkin akan mengejarnya sampai sini. Dan tenang karena dia sekarang berada dengan Nathan. Meski ia masih belum percaya dengan Nathan, setidaknya dia merasa jika Nathan akan membuat rasa takutnya itu hilang.
"Dia datang," kata Nathan. Sambil menggamit pinggang Dinda dengan erat.
Lagi, Dinda menelan ludahnya. Dengan spontan dia memeluk tubuh Nathan semakin erat. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Nathan.
Nathan menarik wajah Dinda, kemudian dia memandang Dinda lekat-lekat. Sesaat dia memandang ke arah belakang Dinda, kemudian dia tersenyum miring.
Setelah itu dia pun berbisik kepada Dinda, "Din, maafin gue," lalu mencium bibir Dinda.
Dinda hanya bisa terbelalak, dia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Sebab semua yang dilakukan Nathan terasa begitu cepat di otaknya, dan begitu cepat pula mengalir membuat sebagian kewarasannya lumpuh. Dinda mematung, tubuhnya terasa mati dicium dengan begitu panas oleh Nathan.
Sementara sosok lain yang ada di belakang Dinda, berjalan lebar-lebar mendekat ke arah Dinda, dan Nathan. Menarik Dinda kemudian meninju rahang Nathan.
"Jangan sentuh cewek gue!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top