Pindah Sekolah

Pagi ini korden putih seakan menjadi saksi. Jika kini putih sudah tidak suci lagi. Semua telah berubah hanya dengan satu malam, berubah dengan cara yang menyakitkan. Deruan suara kipas angin seolah merintih, memaksa indera pendengaran yang enggan mendengar apa pun terlarut dalam perih. Bahkan, secercah cahaya mentari yang mengintip di sela-sela jendela, tampak mengejek begitu nyata.

Dan Dinda masih di sini. Memeluk tubuhnya sendiri dalam kesakitan yang tak bertepi. Dinda masih di sini, terbenam dengan isakan yang enggan berhenti. Dinda, tidak akan pernah bisa tersenyum lagi.

Seharusnya malam itu dia tidak pergi, menuruti ajakan teman-temannya untuk menghadiri pesta ulang tahun Panji. Karena pada akhirnya, tujuh belas tahun itu akan dilalui dengan sesakit ini.

Dia ingat dengan jelas saat bagaimana percakapan menyedihkannya dengan sang pacar setelah kejadian menjijikkan itu. Dengan enteng, pacarnya menggap kejadian sebesar ini adalah angin lalu.

"Semuanya akan berakhir dengan sangat mudah, Jeng,"

Dinda bangkit dari duduknya, saat mendengar suara dengan nada tinggi itu dari luar. Suara dengan bahasa sangat baku, seolah menggambarkan jika suasana di sana sangat menegangkan.

Dinda masih berdiri di balik pintu kamarnya, memandang dengan seksama dari ujung matanya ada beberapa sosok yang ia kenal. Orangtua Panji, dan juga orangtuanya. Bersitegang karena kesalahannya.

Dinda masih ingat dengan jelas, bagaimana marah ayahnya saat mengetahui ini semua. Bahkan, ia sempat akan diusir dari rumah dan tak dianggap sebagai anak. Untunglah ia masih memiliki Ibu yang mengasihaninya, berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan keadilan atasnya. Mulai dari beberapa kali mendatangi rumah keluarga Panji tapi selalu diabaikan, kemudian mencoba melaporkan masalah ini ke kantor polisi. Namun sayang, musuh dari kebenaran yang dibawa oleh orang miskin adalah uang. Hingga akhirnya, apa yang diusakan sepenuh tenaga oleh orangtua Dinda hanyalah sia-sia belaka.

"Anak Ibu telah menghancurkan masa depan anak saya. Lalu, Ibu berkata seperti itu, Bu? Apa Ibu tidak pernah berpikir bagaimana masa depan anak saya? Bahkan, saya sendiri sudah tidak tahu lagi bagaimana nasib anak saya setelah ini," jerit Nina—Ibu Dinda frustasi.

Dia berulang kali memukul-mukul dadanya dengan sangat keras. Sambil terisak karena sudah tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

"Lho, kok jadi putra saya yang salah, Jeng? Bukankah dua tahun terakhir ini mereka pacaran, kan?" kata Anggun—Mama Panji tidak terima.

Ternyata, pertemuan yang dibuat oleh keluarga Panji ini pun tak menghasilkan apa pun. Sebab bagi keluarga kaya itu, keluarga miskin adalah keluarga yang pantas dipandang sebelah mata.

"Kalau suka sama suka ya tidak bisa menyalahkan anak saya, dong. Itu anak Jeng Nina, kalau tidak merayu anak saya, mana mungkin, sih, bisa sampai terjadi seperti ini, Jeng. Yang harusnya disalahkan itu anakmu itu! Anak perempuan kok bisa-bisanya tidak tahu diri!" sindir Anggun.

Dinda melihat ibunya diam membisu. Dinda yakin, jika ibunya telah membuang semua harga diri, dan malu karena ulahnya. Dan itu berhasil membuatnya semakin merasa bersalah.

"Ya sudah, tidak perlu berdebat seperti ini. Saya punya cara untuk menyelesaikan masalah ini. Saya sebagai orangtua Panji, tidak akan pergi dari tanggung jawab. Tapi biar bagaimana pun, kami akan bertanggung jawab dengan cara kami sendiri...," kata Agung—Papa dari Panji. "Saya akan memindahkan Dinda ke salah satu SMA terbaik yang mungkin letaknya agak jauh dari tempat ini. Agar semua hal-hal buruk yang mungkin nanti akan terjadi bisa segera diantisipasi. Kalian tidak perlu khawatir mengenai biayanya. Kami akan menanggungnya sampai nanti Dinda lulus SMA. Satu lagi, kami jamin tidak akan ada yang tahu masalah ini selain keluarga kita. Oleh sebab itu, Dinda bisa melanjutkan hidupnya, dan anak kami bisa melanjutkan hidupnya juga tanpa beban dari kalian. Bagaimana?"

"Anda pikir—"

"Saya bersedia!"

Dinda tersentak dengan jawaban ayahnya yang memotong ucapan ibunya. Dinda bisa melihat dengan jelas, jika wajah ibunya kini sedang memandang ayahnya tanpa kata-kata.

"Pak, Bapak ini bagaimana—"

"Mau bagaimana lagi, Buk? Memangnya dengan Ibuk ngotot atas kebenaran-kebenaran ini, anak Ibuk itu akan bisa kembali seperti dulu lagi? Biar bagaimanapun, apa yang dilakukannya ini sudah fatal, Buk. Dan hanya ini cara satu-satunya untuk mengatasi semuanya! Bapak sudah angkat tangan, Bapak sudah nggak mau lagi membahas dan mendapat penolakan dari Ibuk!"

Dinda melihat, ibunya berlari masuk ke dalam kamar. Sementara ayahnya, telah sibuk dengan beberapa dokumen yang telah dibawa oleh orangtua Panji. Untuk kemudian, mereka saling berjabat tangan menandakan jika perjanjian itu telah disetujui oleh kedua belah pihak.

Lagi, Dinda hanya bisa menangis. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa pun. Menolak pun tak mungkin, sebab masih diizinkan tinggal di rumah ini oleh ayahnya, Dinda sudah merasa bersyukur.

*****

Dan, setelah kedatangan orangtua Panji ke rumahnya. Kurang lebih seminggu, Dinda akhirnya benar-benar dipindahkan di salah satu SMA terfavorit di kotanya. Meski memang jarak antara sekolah, dan rumahnya terbilang cukup jauh. Oleh sabab itu ayahnya mengambil keputusan jika ia harus tinggal di kos-kosan. Alasan yang cukup klise untuk mengusir anak perempuannya dari rumah, karena dengan tinggal di kos yang bisa ditempuh jalan kaki menuju sekolah akan lebih baik, dari pada harus pulang—pergi dari rumah yang memakan waktu kurang lebih dua jam.

Lagi, Dinda menghela napas panjang. Tanpa bantahan, tanpa ucapan. Dia terus menjalani apa yang telah ayahnya perintahkan. Bahkan ibunya sempat beberapa kali mencoba membantah tapi hal itu berakhir mentah. Yang bisa ibunya lakukan hanyalah, menangisi kepergian Dinda. Semua rasa khawatir, dan cemas karena pisah jauh dengan anaknya selama kurang lebih satu tahun setengah benar-benar membuatnya resah. Jika bersamanya saja ada cowok jahat yang berhasil menyakiti putri kecilnya, lalu bagaimana saat jauh darinya.

Tapi, lagi-lagi Ibu Dinda tak bisa berbuat banyak. Yang bisa ia lakukan hanyalah memberikan secuil doa. Dari sayatan-sayatan hatinya yang kini telah terluka.

"Di sini kos-kosan putri. Namun demikian, kalau ada temanmu yang berkunjung diperbolehkan, kok, Dik. Tapi waktunya dibatasi. Mayoritas anak-anak dari SMA Airlangga kos di sini. Dan tentu, sebagian lainnya para pekerja juga mahasiswa. Kamu tahu kan, tempat ini strategis, makanya Ibu membuat beberapa tempat kos di sini," jelas pemilik kos kepada Dinda. Sambil mengajak Dinda menuju ke kamarnya.

Tempat kos di sini terbilang dalam kawasan yang cukup elit. Rupanya, orangtua Panji menganggap pemberian semua ini lebih dari setimpal untuk membayar harga diri Dinda. Tapi, Dinda tidak membantah, sebab rasa dendam dan sakit telah mematikan hatinya.

Dinda memandang tempat kos itu, setelah gerbang depan, ada sebuah pos satpam. Untuk kemudian, ada taman di tengah-tengah bangunan yang berisikan kamar-kamar berlantai dua. Di sisi kanan ada sebuah ruangan besar, seperti ruang tamu, setelahnya dapur, dan kamar mandi di luar. Meski kata Ibu kos, di dalam kamar juga disediakan kamar mandi masing-masing.

"Ini kamarmu, ya, Dik. Dan ini kuncinya, di sana kamu ada satu teman lagi. Saat ini dia sedang sekolah, sekolahnya sama dengan sekolahmu, kok. Semoga kamu betah ya, Dik. Ibu tinggal dulu," kata Ibu kos lagi, memberikan sebuah kunci kepada Dinda.

Ambar nama Ibu kos itu, usianya memang tidak terlalu pantas dipanggil dengan Ibu. Akan tetapi, Dinda lebih nyaman jika menyebutnya seperti itu.

"Oh ya satu lagi, Dik. Jika ada yang perlu ditanyakan, kamu bisa meneleponku, atau datang langsung kerumahku yang ada di samping, ya? Nggak usah sungkan-sungkan," imbuhnya lagi.

"Iya, Bu."

Setelah itu Bu Ambar pun pergi, membuat Dinda bersegera menaruh barang-barang yang sedari tadi ia bawa. Menata beberapa pakaian, dan seragam baru yang ia punya. Ke dalam salah satu lemari kosong yang ada di dalam kamarnya. Sebuah TV LED terpasang di dinding kamarnya, kipas angin, beserta jam dinding berjajar rapi di sana. Di sisi kiri ada dua buah ranjang yang sengaja disusun berbentuk L. Kemudian di sisi lainnya, dua buah lemari dengan ukuran minimalis berjajar rapi.

Dinda melirik bagian ranjang yang tampak berantakan, sebuah selimut yang belum tertata. Serta beberapa helai pakaian yang tertumpuk dengan tidak rapi di sana. Dinda yakin, jika siempunya sepertinya tadi gugup. Atau bahkan, telah mencoba beberapa pakaian lalu ditinggalkan.

Dinda pun merapikan ranjang itu, melipat sebentar beberapa pakaian dan diletakkan dengan manis di atas ranjang. Dia tidak berani untuk memasukkannya ke dalam lemari. Sebab itu adalah hal yang privasi.

Kini dia berganti dengan lemarinya, mengamati dua potong seragam baru yang ia punya. Seragam putih abu-abu, yang sama seperti yang lainnya. Dan seragam berwarna biru, dengan motif kotak-kotak dan berompi. Sebuah emblem berwarna kuning bertuliskan SMA Airlangga bertengger manis di dada kanan mengisyaratkan sebuah keperkasaan.

Dulu SMAnya juga sama. Menjadi salah satu SMA bergensi di wilayahnya. Dan Dinda bisa masuk ke sana pun harus bersusah payah, menembus beasiswa agar bisa bertahan di sekolah. Tapi kabarnya SMA ini berbeda, SMA swasta elit yang bahkan dihuni oleh orang-orang kaya saja. Dinda semakin merasa gerah mengingat orang kaya, pikirannya selalu teruju kepada Panji dan keluarga.

Dinda menoleh saat pintu kamarnya terbuka. Seorang cewek masuk dengan seragam putih abu-abunya. Cewek berambut sebahu, dengan kulit putih, lengkap dengan mata bulatnya. Memandang ke arah Dinda, kemudian meletakkan tasnya di atas ranjang begitu saja.

"Elo anak baru SMA Airlangga, ya?" tanya cewek itu.

Dinda mengangguk, dia mengulurkan tangannya. "Dinda," katanya.

"Gue Nadya...," jawab cewek lencir itu. "Tumben semester ganjil ada anak pindahan. Itu sangat jarang, lho. Selamat datang deh di SMA gue, semoga elo... betah," sedikit melirik Dinda, Nadya pun menuju ke arah lemari. Memasukkan beberapa pakaian yang tampak sudah rapi. Mengambil pakaian lainnya, kemudian ia kenakan begitu saja. Kemudian, menyalakan TV, sambil menikmati cemilan yang sedari tadi ada di nakas mejanya.

Dinda sama sekali tak tahu, jenis ucapan macam apa itu. Ucapan dengan nada menggantung, seolah ancaman di depan telah menunggunya sewaktu-waktu. Tapi, Dinda mencoba mengabaikannya. Dia memilih tidur sebelum petang tiba. Sebab setelah ini dia harus ke toko buku, membeli peralatannya sebelum besok berangkat sekolah.

*****

Pagi ini Dinda resmi mengenakan seragam sekolah barunya. Bersiap bertemu teman baru, dan pengalaman baru lainnya. Mungkin di sini Dinda bisa mengambil hikmah, karena dengan tempat baru ia bisa mencoba melupakan semuanya.

Nadya memandang Dinda yang masih berdiri mematung di depan lemari, tatapan Dinda tampak kosong dan linglung. Bukan, bukan cuma hari ini, bahkan Nadya memerhatikan hal itu sedari kedatangan Dinda ke sini. Bahkan tadi malam, Nadya nyaris tak bisa tidur. Semalam dia mendengar isakan Dinda. Bahkan, hanya beberapa saat Nadya pikir cewek berparas cantik itu tidur, yang ada hanya cewek cantik itu mengigau dan berteriak histeris seolah-olah ketakutan sambil menyebut nama Panji beberapa kali.

Dan subuh tadi, seberondong pertanyaan dilontarkan oleh tetangga kamar Nadya. Mereka yang tak tahu jika di kamar Nadya ada penghuni baru pun mengira jika semalam Nadya ngelindur atau bahkan kesurupan. Nadya rasa, dari pada dipindah sekolah, seharusnya Dinda ditaruh di psekiater. Atau tempat-tempat yang membuat jiwanya sedikit tenang.

"Elo udah tahu kan letak SMA kita?" tanya Nadya.

Dinda menoleh ke arahnya, mengangguk pelan kemudian meraih tas ranselnya. Tapi, anggukan Dinda benar-benar tak lantas membuat Nadya puas. Nadya khawatir jika cewek yang menjadi teman kamarnya ini nanti akan melakukan hal di luar batas. Bunuh diri, misalnya? Meski ia cukup penasaran dengan apa yang dialami Dinda dulu. Tapi Nadya pikir, hal itu benar-benar cukup membuat mentalnya kacau-balau.

"Bareng ama gue aja, deh!" putusnya.

Dia lantas berjalan di depan, disusul Dinda dari belakang. Tanpa banyak kata Dinda mulai berjalan sambil meneliti setiap tempat, dan sudut yang ada di distrik ini. Memang, kos-kosan Mbak Ambar terletak cukup dekat dengan SMA Airlangga. Bahkan saking dekatnya, hanya perlu waktu lima sampai sepuluh menit untuk sampai ke sana.

"Nad, apa ada toko buku di sini? Gue mau beli beberapa peralatan sekolah," kata Dinda pada akhirnya.

Satu kalimat cukup panjang yang baru saja Nadya dengar. Nadya mengambil arah kiri, kemudian dia terhenti di salah satu toko buku yang lumayan besar. Bahkan di sana, sudah banyak siswa-siwi yang memakai seragam serupa dengan mereka. Ya, mulai dari toko buku ini, adalah batas SMA Airlangga berada.

"Lo bisa beli di sini, gue tunggu di konter itu, ya. Mau beli pulsa!" kata Nadya.

Dinda lantas mengangguk, masuk ke dalam toko buku untuk membeli beberapa bulpen, spidol, dan beberapa buku paket. Dia memerlukan itu, dan uang saku dari ibunya selama sebulan bisa ia gunakan dulu.

Toko buku di sini bisa dibilang cukup besar untuk ukuran anak-anak SMA. Setelah pintu kaca besar, pengunjung disajikan beberapa deret majalah yang tertata rapi tepat di samping kasir. Kemudian, dibagian sebelah kanan rentetan buku paket, novel, dan peralatan tulis-menulis ada di sana. Dan yang paling ujung, ada kursi yang cukup panjang beserta meja mungkin untuk anak-anak sekadar nongkrong atau membaca buku.

Dinda menyusuri rak demi rak buku yang ada di sana, kemudian dia mengambil posisi paling ujung. Membaca bagian belakang buku sebelum ia yakin untuk membelinya. Namun tiba-tiba, ia menangkap suara erangan yang sangat aneh.

"Nath, gue cinta ama elo,"

Dinda melirik sekilas, pada tempat paling ujung ruangan itu. Kedua tangannya tiba-tiba bergetar, saat melihat sepadang anak SMA yang mengenakan seragam sepertinya sedang berciuman di sana.

Dia mematung untuk sesaat, dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak. Rasa perih kembali menjalar di ulu hatinya. Terlebih, saat cowok itu melirik tepat di manik matanya?

Dinda langsung mundur, buru-buru dia mengambil asal salah satu buku yang ada di sana kemudian menuju kasir.

Tatapan itu, picingan mata itu, seolah-olah membuatnya dipaksa kembali mengingat sesuatu yang tidak ia inginkan.

Apa tempat ini sudah gila? Anak SMA macam apa yang berciuman di tempat umum seperti ini? Apakah tempat ini lebih buruk dari SMAnya yang dulu? Dinda terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

"Woy! Ngapain lo! Keluar dari toko kayak abis liat buto ijo!" kata Nadya berhasil mengagetkan Dinda. Bahkan benar, wajah Dinda sudah pucat pasi.

"Ayo, ayo ke sekolah."

Dia langsung menarik tangan Nadya dengan paksa. Berjalan menuju gerbang sekolah secepat mungkin yang ia bisa. Dia benci jenis cowok seperti itu, jenis cowok yang tak beda dengan Panji. Cowok-cowok berengsek yang memanfaatkan ketampanan serta harta orangtua, kemudian digunakan untuk mengencani cewek-cewek yang menggilainya.

"Nanti kita telah, Nad!" kata Dinda.

Nadya berdiri sambil bersedekap, saat mereka berdua telah sampai di lorong sekolah. Sekolah di sini dibagi menjadi beberapa bagian, dan di setiap kelasnya memiliki bangunan bertingkat. Di depan kelas ada sebuah loker yang cukup besar. Loker tersebut diperuntukkan untuk murid-murid menyimpan beberapa barang mereka jika tidak ingin dibawa pulang.

"Lo, ini loker elo," kata Nadya. Sambil menunjuk sebuah nama di sana. Kemudian sebuah kunci tergantung manis di dalamnya.

"Harus ya dipakek?" tanya Dinda seolah enggan.

"Ya terserah sih, kalau lo nggak mau pakek tinggal kembalikan aja kuncinya ke Pak Edo. Selaku guru BP di sini. Tapi saran gue, simpen aja sih. Siapa tahu entar butuh," jelas Nadya.

Dinda membuka loker lemarinya, ada beberapa buku paket, dan beberapa peralatan sekolah lainnya yang mungkin telah disiapkan oleh pihak sekolah. Saat ia hendak mengambil buku-buku itu, ada sesuatu yang jatuh. Kartu merah, dengan lambang mahkota berwarna emas di sana.

"Lo ditandai...," kata Nadya. Wajahnya tiba-tiba pucat saat melihat Dinda membawa kartu itu. Bahkan tanpa sadar, ia melangkah mundur. Seolah ingin memberi jarak antara dirinya dan Dinda. "Kartu itu milik salah satu dari tiga pilar terpenting di SMA ini. Dan kartu yang elo pegang, milik raja di sini. Elo dalam masalah, Din. Di hari pertama lo pindah,"

Dina benar-benar tidak paham. Tentang pilar yang dimaksud Nadya. Namun dari mimik ketakutan yang Nadya sampaikan. Sepertinya, itu bukanlah hal yang baik.

"Maaf ya, Din. Tapi di sekolah, lebih baik kita pura-pura nggak saling kenal. Sebab gue nggak mau berurusan ama mereka."

Mereka? Dinda sama sekali tak tahu, mereka siapa yang dimaksud Nadya. Sebelum ia masuk kelas, dan melihat Nadya pergi dari pandangannya. Dinda memilih untuk ke toilet lebih dulu. Karena dia butuh cuci muka untuk sekadar mendapatkan rasa segar karena lelah telah menyelimuti dirinya.

Selama perjalannya menuju toilet yang Dinda masih menerka-nerka di mana tempat itu berada. Banyak sekali mata yang memandang ke arahnya. Mulai dari pandangan yang aneh, pandangan ingin tahu, bahkan pandangan... mengancam.

Aku harus bagaimana?

Dinda terus menuju ke ujung lorong, meski tak yakin pasti. Dia amat berharap jika apa yang dituju ada di sana. Dan benar saja, sebuah ruangan yang cukup megah tertuliskan toilet sudah ada di depan mata.

Dinda sadar sejatinya SMA Airlangga ini memang benar-benar besar, dan luas. Baik bangunan, dan fasilitasnya disuguhkan dengan cara tak main-main. Bahkan hanya sekadar toilet, Dinda dibuat terpana karenanya.

Dinda masuk ke dalam salah satu kamar toilet. Mencuci mukanya kemudian dia keluar lagi. Dan lagi-lagi, langkahnya terhenti saat melihat kejadian menjijikkan itu. Ketika sosok cowok yang sama sedang berciuman dengan cewek yang berbeda.

Tapi, apa yang ditampilkan Dinda jelas berbeda dari sebelumnya. Saat mata cowok itu memicing ke arahnya, Dinda dengan dingin dan tak acuh melaluinya begitu saja. Kemudian, melangkah dengan cepat menuju kelas.

"Murid baru? Adinda Ratih?" tanya seorang guru berkaca mata kepada Dinda.

Dinda mengangguk, ia tersenyum menjawabi ucapan guru yang di mata Dinda tampak begitu sangat ramah.

"Sudah tahu kelasnya, kan? Sudah mendapatkan pesan dari TU?" tanyanya lagi.

"Iya, Pak, sudah,"

"Ya sudah, selamat belajar, ya. Semoga kamu betah sekolah di sini. Kalau ada kebingungan, dan keluhan, kamu bisa tanya sama Bapak. Oh ya, nama Bapak Pak Edo, guru BP di sekolah ini."

"Iya, Pak, terimakasih,"

Lagi, Dinda melanjutkan langkahnya. Tapi, lagi dia dihadang oleh segerombolan cowok yang seragamnya tidak tertata rapi.

Mereka siapa?

"Siswi baru itu, ya?" tanya salah satu di antara mereka. Cowok flamboyan, yang tampaknya disegani teman-temannya. Cowok itu lalu menempelkan jari telunjuknya tepat di kening Dinda, dengan seringaiannya dia pun berkata, "seharusnya gue yang nandain elo. Tapi nggak masalah, sepuluh juta gue rasa nggak buruk-buruk amat buat harga diri elo,"

Lagi, Dinda diperlakukan seperti ini. Seperti seorang manusia hanya bisanya hanya dihargai oleh materi. Lagi, hati Dinda meradang. Sebelum cowok itu pergi, Dinda langsung menarik ujung seragamnya kuat-kuat.

"Seharusnya elo yang gue tandain. Sebagai cowok yang seharusnya enyah dari muka bumi ini!" setelah mengatakan itu Dinda langsung pergi. Bahkan dia sudah tak peduli jika saat ini teman-teman cowok flamboyan itu mengatakan sumpah serapah kepadanya. Sebab bagi Dinda, cukup keluarga Panji yang berani menginjak harga dirinya. Dan dia tidak akan pernah mau, jika yang lainnya melakukan hal yang sama.

"Itu tempat duduk Sasa," kata seorang cewek yang duduk di deretan bangku nomor tiga, baris kedua sebelah kanan.

Dinda yang baru masuk kelas, dan hendak duduk itu pun kembali berdiri. Kemudian ia kembali menaruh tasnya pada satu sisi bangku lainnya.

"Itu tempat duduk Gisel," kata cewek itu lagi.

Dinda mengerutkan kening. Jika memang tempat duduk ini berpenghuni, bukankah seharusnya tas-tas mereka telah ada di bangku ini sekarang? Atau mungkin jika memang mereka belum datang. Lagi, Dinda menaruh tas ranselnya di sebuah bangku, yang letaknya di dertan pertama sebelah kanan. Persis di samping cewek itu duduk.

Kemudian, cewek itu menghela napas panjang. "Itu tempat duduk Nathan, lo duduk di sana sama aja cari masalah," katanya lagi.

Dinda langsung berdiri, memandang cewek itu dengan alis bertaut. Di dalam kelas tidak ada siapa pun, selain cewek yang sedari tadi mengoreksinya untuk duduk. Sementara cewek itu tak pernah sama sekali membantunya mengatakan di mana bangku kosong agar dia bisa duduk sekarang.

"Lalu bangku yang kosong ada di sebelah mana, Mbak?" tanyanya jengkel.

Cewek itu hanya melirik sisi sampingnya, kemudian tak menjawabi ucapan Dinda dan sibuk dengan bukunya.

Dinda langsung duduk di samping cewek itu, yang tempatnya tepat di samping tempat duduk keramat milik cowok yang bernama Nathan.

Dan tak lama setelah itu, bel sekolah pun berbunyi. Menandakan jika jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Kelas yang tadinya sepi pun kini sudah mulai ramai, para murid satu persatu menempati tempat duduk mereka. Dinda bisa melihat dengan jelas, tempat duduk yang kata cewek di sampingnya ini milik Sasa, kemudian milik Gisel. Jenis cewek-cewek yang Dinda sering temui di sekolahnya dulu. Yang bahkan Dinda berada di lingkaran itu.

Bukan, bukan berarti dia diterima di sana karena dia adalah orang yang kaya. Hanya karena Dinda ceweknya Panjilah yang membuat ia menjadi salah satu siswi beken di sana.

Dinda tersenyum kecut mengingat nama Panji lagi. Bahkan, pensil yang ada di tangannya pun patah tanpa terasa.

"Ini siswa barunya?" kata seorang cewek berambut ikal kepada Dinda.

Dinda tebak jika cewek itu bernama Gisel. Cewek cantik itu pun memandang Dinda kemudian menyeringai, seolah-olah telah meneliti Dinda dari ujung kaki sampai kepala.

"Cantik juga, tapi nggak sebanding ama kita-kita. Hahaha!" semua teman-temannya tertawa mendengar itu. Seolah menjatuhkan Dinda adalah hal yang sangat lucu.

Tapi, Dinda tak peduli. Dia lebih memilih membaca buku paketnya, dari pada harus mengurusi cewek-cewek gila popularitas seperti mereka.

"Gue saranin jangan berurusan ama mereka. Kalau lo mau idup lo aman di sini," bisik cewek yang berada di sampingnya.

Dinda menoleh, dia tak menjawabi ucapan cewek itu. Dan mengabaikannya begitu saja. Sebab, tanpa diminta pun, Dinda benar-benar enggan untuk sok kurang kerjaan dengan mencari urusan pada anak-anak kaya itu.

"Selamat pagi anak-anak!"

Seorang guru perempuan masuk ke dalam ruangan. Usianya kira-kira 4 tahun, dia berdiri sambil meneliti murid-muridnya. Kemudian tersenyum simpul. Garis wajahnya tampak tegas, namun Dinda bisa yakin kalau guru yang ada di depannya ini cukup bijaksana.

"Anak-anak, ada anak baru di kelas ini. Saudari Adinda, silakan memperkenalkan diri," kata guru itu lagi.

Sebelum ia berdiri, tampak sosok yang dua kali telah menganggunya. Sosok itu berjalan dengan santai tanpa permisi kepada guru yang sedari tadi sudah ada di depan kelas. Sambil sekilas melirik ke arah Dinda, sosok itu pun menyeringai. Untuk kemudian duduk di bangku persis di samping bangku Dinda. Jadi, dia bisa paham siapa gerangan cowok itu. Cowok yang harus dihindari, kata teman sebangkunya.

Dinda pun berdiri, mulai memperkenalkan diri kepada teman-temannya. "Selamat pagi, nama saya Adinda Ratih. Saya pindahan dari SMA Wijaya Kusuma. Terimakasih,"

"Din, elo cakep juga, Din, udah punya cowok belum?" celetuk seorang cowok yang diabaikan oleh Dinda.

"Woy, kenapa elo pindah di semester akhir gini? Apa jangan-jangan elo ada kasus lagi di sekolah elo yang dulu!" timpal yang lainnya.

"Pacaran ama gue aja, Din, gue mau!"

"Sudah, sudah, cukup!" guru itu pun menengahi. "Terimakasih atas perkenalannya, Adinda. Semoga betah bersekolah di sini ya, nama Ibu Ningsih. Kalau ada apa-apa jangan segan-segan hubungi Ibu,"

"Iya, Bu. Terimakasih,"

Dinda pun kembali duduk, tapi di mejanya sudah ada sebuah kartu berwarna merah. Kartu yang sama persis seperti yang ada di lokernya tadi.

Dinda menoleh ke arah teman sebangkunya, tapi cewek itu diam saja. Kemudian, dia menoleh ke arah sampingnya, cowok bermata cokelat itu, tersenyum meski ia tak melihat ke arah Dinda.

Elo milik gue.

PS. Nathan

Hanya itu tulisan yang ada di kartu merah itu. Sebelum Dinda merobeknya dan membuang robekan itu di dalam bangku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top