Move On

PLAK!!!

Dinda benar-benar tak sadar dapat kekuatan dari mana dia sampai bisa menampar cowok yang telah berdiri di depannya. Semementara itu, Panji—yang mendapatkan hadiah tamparan dari Dinda pun hanya bisa membisu. Ini adalah kali pertama Panji melihat sosok lain dari Dinda, sosok yang ia kenal selama ini lemah lembut, dan penuh kasih sayang telah berubah menjadi sosok cewek yang penuh dengan amarah.

"Din... kamu nampar aku, Din?" kata Panji. Masih enggan percaya jika yang menamparnya adalah Dinda.

"Jangan temuin gue lagi. Gue jijik ama elo!" bentak Dinda.

Nadanya terdengar bergetar, membuat Nathan melangkah maju ingin berada di dekat Dinda agar cewek itu tidak jatuh. Tapi, langkahnya terhenti. Dia percaya, Dinda bisa melakukan semuanya. Dan dia percaya, mulai dari sekarang Dinda mungkin akan bisa mengatasi semua trauma buruknya.

"Din, aku bisa jelasin semuanya. Aku tahu kalau semua ini salahku. Dan aku janji aku bakal tanggung jawab semuanya. Tapi aku butuh waktu, Din. Aku juga nggak bisa buat malu orangtuaku, Din. Masa depanku masih panjang, dan aku akan sukses dulu."

"Masa depan lo bilang?" tanya Dinda yang semakin tampak kecewa kepada Panji. "Elo ngomong masa depan sama orang yang udah lo ancurin masa depannya, Nji! Elo manusia apa bukan, sih? Elo punya hati apa enggak, ha! Mending, lo segera pergi dari sini, dan jangan temui gue lagi sebelum gue laporin lo ke kantor polisi!"

"Tapi, Din—"

"Heh, cowok wajah karung beras. Elo nggak budek, kan? Lo denger apa yang cewek gue barusan omongin, kan? Enyah lo dari sini sebelum gue nyalahin meriam di pantat busuk lo itu!" bentak Nathan.

"Lo—"

"Pergi, Nji!"

"Oke, kali ini aku ngalah dari cowok belagu ini, Din. Tapi asal kamu tahu, sampai kapan pun aku akan tetap mencoba memperbaiki hubungan kita."

BUKKK!!!

"Ngebacot banget lo. Pergi nggak!" bentak Nathan, setelah meninju pelipis Panji.

Panji langsung berdiri, setelah ia tersungkur, masuk ke dalam mobilnya kemudian melesat pergi.

Dinda menghela napas beberapa kali, kemudian Nathan menepuk-nepuk pundaknya. Senyuman lebar Nathan pertontonkan untuk Dinda.

"Elo hebat, Din. Pertahankan," kata Nathan, sambil mengacungkan dua jempol tangannya.

Sementara Dinda hampir saja jatuh karena tubuhnya yang seolah kehabisan tenaga. Dia sama sekali tak menyangka, jika dirinya sendiri mampu berkata seperti itu di depan Panji. Padahal dia pikir, akan selamanya ketakutan saat Panji datang menemuinya.

"Terimakasih ya, Nath... ini semua berkat elo," katanya. Tersenyum simpul ke arah Nathan yang sudah berdiri di sampingnya.

Keduanya kemudian berjalan, menyusuri jalanan beraspal setelah melewati gerbang sekolah. Sesekali, Nathan memandang ke arah Dinda. Ada tanya namun ia tak sanggup untuk mengutarakan, namun tanya itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya.

"Din...," kata Nathan, yang berhasil membuat Dinda menoleh. Nathan lantas menelan ludahnya dengan susah, kemudian ia tersenyum miring. "Nggak jadi, deh!" putusnya.

Panji mau bertanggung jawab atas apa, Din?

Apa yang telah Panji lakuin ama elo?

Kenapa lo bilang Panji telah ngerusak masa depan elo?

Lagi, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa Nathan pendam dalam hati. Dia sudah berjanji bahwa dia tak akan mencampuri apa pun urusan Dinda. Lagi pula, sejak kapan dia sampai sepenasaran itu dengan urusan cewek? Bahkan kawan-kawan cowoknya pun, Nathan nyaris tak peduli.

"Apaan sih?" tanya Dinda penasaran.

"Nggak, nggak apa-apa, misscall aja. Siapa tahu elo budek."

"Kuping gue aja masih bisa dengerin suara napas elo, Nath. Yakali gue budek," ketus Dinda.

Nathan tertawa saja dibuatnya, rupanya menghadapi Dinda bukanlah semudah dia menghadapi cewek-cewek pada umumnya.

"Besok gue gajian nih. Mau gue traktir nggak?" tawar Dinda yang berhasil membuat Nathan menoleh.

"Hah, serius?" tanya Nathan.

"Tapi tempatnya gue yang nentuin, ya,"

Sesaat Nathan tampak berpikir, kemudian dia mengangguk semangat. Dinda tampak memandang wajah pucat Nathan, cowok bermata abu-abu itu tampak tak bertanya apa pun tentangnya. Bukan berarti jika ia berharap Nathan akan bertanya pekerjaan apa yang dilakukan sampai ia mendapatkan gaji, akan tetapi nyaris siswa di SMAnya tidak ada satu siswa pun yang memiliki pekerjaan sampingan menjadi guru les. Mereka sudah lebih dari mampu, dan tak butuh atas gaji yang menurut mereka tak seberapa, kan?

*****

Sore ini, Dinda sudah tampak sibuk dengan beberapa potong pakaian baru yang beberapa waktu lalu dibelikan oleh Nadya. Bahkan, ia hanya tersenyum singkat saat Nadya masuk ke kamar.

Nadya yang hendak duduk pun menarik sebelah alisnya, kemudian ia bersedekap. Hari ini dia tak ada latihan cheers, jadi dia pulang lebih awal. Melihat saat ia pulang ada Dinda yang sudah sibuk dengan baju-baju bukankah itu merupakan hal yang aneh?

"Elo udah pulang? Tumben," kata Nadya, menaruh tas dan beberapa buku paket di meja kemudian mendekat ke arah Dinda yang yang telah memilih sepasang baju yang mungkin akan dikenakannya.

"Gue tadi bolos, Nad."

"What? Elo bolos? Seriusan? Elo yang katanya siswi paling rajin bolos?" pekik Nadya yang hampir tak percaya.

Dinda tersenyum lebar kemudian dia mengangguk. "Diajakin Nathan,"

"Gila tuh anak. Kenapa ngajakin elo yang enggak-enggak sih!"

"Ya, bukan salah Nathan juga kali, Nad. Gue juga yang pingin. Lagian, gue ngerasa lagi suntuk di kelas. Dan lo tahu apa yang terjadi saat gue bolos tadi?" kata Dinda semangat.

"Hmm?" jawab Nadya, melepas seragamnya kemudian memakai pakaian sekenanya.

"Tadi, gue ketemu ama Panji, Nad."

Nadya yang awalnya malas-malasan pun langsung memasak mimik serius. Ia langsung memandang Dinda dengan perasaan cemas. Dia benar-benar tak mau temannya ini akan histeris lagi. Tapi, melihat gestur Dinda yang mengatakan itu dengan senyum simpulnya membuat Nadya sedikit lega.

"Terus? Gimana?" tanyanya serius.

Dinda kemudian duduk diikuti oleh Nadya, kemudian ia menghela napas panjang.

"Kata Nathan gue harus ngelawan rasa takut gue ama Panji. Dan gue nggak tahu entah dapet kekuatan dari mana, bahkan tadi gue nampar dia, Nad. Dan semua rasa benci, marah, dan kecewa gue ama dia selama ini gue luapin semua ama dia. Gue udah nggak mau ketemu dia lagi, Nad. Gue ngerasa jijik ama diri gue sendiri tiap kali keinget dia."

Dinda memeluk dirinya sendiri, sekilas dia teringat kembali kenangan buruk yang Panji lakukan kepadanya. Nadya langsung memeluk tubuh Dinda, mengelus punggung temannya itu dengan lembut.

"Semuanya akan baik-baik aja, Din. Percaya ama gue. Lo buka lembaran hidup lo yang baru, ya. Gue bakal ada terus buat ngejagain elo."

"Thanks, Nad. Elo emang sahabat gue."

Dinda tak tahu lagi harus dengan apa dia berterimakasih kepada Nadya, faktanya sahabatnya yang satu ini benar-benar sangat baik kepadanya. Dia jadi rindu, dengan sahabat-sahabatnya dulu. Bahkan sampai detik ini, dia tak berani membalas pesan-pesan yang sahabatnya kirim. Tentang pertanyaan kenapa dia pergi dari SMA Wijaya Kusuma tiba-tiba.

"Jadi, di sini? Kita bakal makan di sini?" tanya Nathan dengan wajah jengkelnya.

Petang tadi dia menjemput Dinda, awalnya dia pikir dia akan pergi berdua saja dengan Dinda. Namun sayang, Nadya pun diundang oleh Dinda. Terlebih setelah kekesalannya, dia diajak Dinda makan di warung pecel lele! Apa Dinda tak salah? Seorang Nathan Alfaro diajak makan di warung pecel lele yang makannya harus memakai tangan?!

"Dind...," kata Nathan hendak menolak ajakan Dinda. Lebih baik dia segera kabur dari sini, dan nongkrong bareng teman-temannya di mall dari pada harus mati bersama dengan Dinda dengan cara yang teramat sangat konyol. Berada di sini, benar-benar bukan dirinya.

"Nath, maaf, ya, gue bisanya nraktir elo di tempat kayak gini. Lain kali, gue bakal traktir elo di kafe, deh. Ohya, pecel lele di sini juara lho, Nath. Gue nemuin pas ama Nadya kemarin."

Nadya memandang ke arah Nathan dengan senyuman jahilnya. Dia tahu lebih dari siapa pun, cowok seperti Nathan tidak akan pernah mau makan di tempat seperti ini. Hanya menunggu hitungan detik, Nadya yakin jika Nathan akan menolak mentah-mentah, atau mencari alasan untuk pergi dari sini.

"Nggak apa-apa, kok, Din. Suasana baru, ya, kan? Seru kayaknya," jawab Nathan yang berhasil membuat Nadya, dan dirinya sendiri pun keheranan.

"Elo nggak salah, Nath? Elo mau makan di sini? Nathan Alfaro mau makan di warung pinggiran kayak gini?" tanya Nadya yang tampaknya cukup kaget mendengar jawaban Nathan.

Nathan hanya bisa tersenyum samar. Ingin sekali dia menjitak kepalanya sendiri atau bahkan pura-pura pingsan. Bagaimana bisa, otak dan mulutnya tak bisa sinkron seperti ini?

"Tapi, ada sendoknya, kan?" tanyanya ragu-ragu.

"Elo nggak pernah makan di sini apa gimana sih? Yakali elo nggak tahu caranya makan sambel ama lalapan, Nath. Elo manusia, kan?"

"Yakali elo pikir Nathan apa? Setan?" timpal Nadya. Dinda pun tertawa dibuatnya.

"Ya elah, cowok ganteng kayak gue dateng ke tempat seperti ini, bakal kaget semua pengunjung sama pemiliknya. Dikira artis hollywood sedang nyasar ke sini," percaya diri Nathan.

"PD banget, sumpah. Yang ada, dikira lo dari planet lain karena nggak bisa makan ginian. Sok banget sih elo, Nath!" bantah Dinda tak mau kalah.

"Gue mah sok pantes. Lha elo, sok, nggak pantes!" ketus Nathan.

Tak berapa lama pesanan Dinda pun datang, tiga bebek goreng lengkap dengan nasi putih hangat-hangat, lalapan, beserta sambalnya. Tak lupa, tiga gelas es jeruk pun berjejer di sana beserta tiga mangkuk air untuk cuci tangan.

Nathan tampak kikuk, bingung bagian mana dulu yang akan ia ambil. Setelah ia melihat Dinda, dan Nadya dia pun mengikuti langkah mereka.

Sementara Dinda, dia benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa seorang manusia, tidak bisa makan lalapan? Makan dengan tangan? Ataukah Nathan ini tipikal manusia yang sombong yang tidak mau makan biasa saja karena terlahir dari orang kaya? Jadi, dia merasa bak pangeran, atau bahkan raja seperti gelar yang ia sandang di SMAnya?

"Liat aja, habis ini, dia pasti ngajakin pulang," kata Nadya sambil nyenggol lengan Dinda.

Dan benar saja apa yang dikatakan oleh Nadya. Setelah mereka selesai makan, meski saat makan tadi Nathan benar-benar tampak kesetanan karena mungkin baru pertama kali merasakan makan nasi anget, bebek goreng, sambel, dan lalapan, akhirnya dia kalap. Semua yang ada di cobek kecil pun habis tak bersisa. Tapi, buru-buru Nathan mengajak pulang. Padahal, Dinda ingin mengajak mereka nonton.

"Din, sorry, ya. Kapan-kapan aja deh, gue traktir deh nontonnya. Sorry banget, gue nggak bisa banget nih," kata Nathan setelah berada di depan kosan Dinda.

Dia terus saja menekan perutnya, keringat pun mulai berkucuran membanjiri kening Nathan. Dan, wajah pucat Nathan tampak semakin pucat. Bahkan, bibir Nathan yang biasanya merona, kini tampak pucat.

Nathan kenapa?

Dinda ingin bertanya tapi dia sendiri bingung harus bertanya apa. Yang bisa dia lakukan hanyalah, mengangguk kaku, sambil melihat kepergian Nathan yang melesatkan mobilnya dengan setengah ugal-ugalan. Sementara Dinda, menarik tubuh Nathan dengan kekehan yang ia tahan.

"Nathan nggak bakal kenapa-napa, kan?" tanya Nadya, masih dengan tawa yang ia coba sekuat tenaga untuk tahan.

"Elo kenapa sih, Nad? Nanya Nathan nggak kenapa-napa tapi ekspresi lo kayak gitu? Nggak lucu tau nggak!" gemas Dinda. Ia lantas masuk ke dalam kamarnya, meletakkan tas kemudian rebahan di ranjang Nadya.

"Elo tahu nggak, Din. Sebenernya Nathan itu punya penyakit maag kronis. Dan seumur hidupnya, dia nggak pernah makan pedes atau pun makan asem. Itu sebabnya dia nggak pernah makan yang namanya sambel. Bisa masuk ruang ICU dia, Din."

"Hah? Seriusan?" tanya Dinda nyaris tak percaya.

Tapi, Nadya malah sudah tertawa sejadi-jadinya karena hal itu. Dinda benar-benar tak habis pikir dengan Nadya, kenapa dia malah tertawa?

"Nathan kalau masuk ICU karena tadi gimana sih, Nad? Elo malah ketawa aja, sih!" gemas Dinda. Dia jadi merasa bersalah kepada Nathan, karenanya yang tak tahu membuat Nathan kesakitan. Pantas saja tadi Nathan seperti menahan sakit, wajahnya pucat pasi dengan keringat dingin yang terus berkucuran di sekujur tubuhnya.

"Ya habis gimana ya, Din, lucu aja sih. Udah tahu dia punya penyakit maag kronis, udah tahu dia nggak suka sambel. Pakek sok-sokkan ikut makan kita segala. Tadi kan dia bisa misahin sambelnya, atau ambil dikit aja. Masak ngorbanin nyawa buat dapetin cewek, bener-bener bukan gaya dia sih. Hahahaa!"

"Nad...," kata Dinda yang melihat wajah senang Nadya. Selama ini Dinda tahu jika Nadya tampak tahu betul tentang Nathan. Apakah Nadya juga salah satu dari deretan mantan Nathan yang hanya bertahan pacaran seminggu saja? Nadya tidak buruk, dia bisa dikatakan salah satu cewek cantik, dan populer di sekolah. Sementara menurut gosipnya, cewek-cewek cantik dan populer di sekolah dipacari semua sama Nathan. "Elo kayaknya kenal banget ama Nathan, ya,"

Sontak Nadya langsung terdiam, dia berhenti tertawa, dan menampilkan senyum kaku. Setelah menggaruk tengkuknya, dia pun duduk dengan anteng dan mencoba menyibukkan diri dengan hal-hal lain.

"Elo salah satu mantan Nathan, ya?" tebak Dinda tanpa basa-basi. Dan itu membuat Nadya kembali tertawa semakin terbahak dari sebelumnya.

"Gue, mantan Nathan? Enggaklah... ih, amit-amit!" jawabnya.

"Terus?" desak Dinda lagi siapa tahu Nadya mau menjawab dengan jujur.

"Ya nggak ada terus," putus Nadya, seolah enggan menjawab pertanyaan Dinda itu. dia langsung sibuk dengan sebuah novel yang ada di tangannya, seolah-olah sengaja menjauhi Dinda.

Dinda masih tiduran di samping Nadya, kemudian dia melirik-lirik Nadya sesekali. Dia ingin bicara lagi, tapi takut jika sahabatnya itu akan tersinggung.

"Nad...."

"Hmmm,"

"Nathan itu anaknya gimana sih?"

"Menurut lo gimana?" tanya Nadya balik yang berhasil membuat Dinda bingung.

"Ya... baik. Gue rasa terlepas dia badboy apa enggak. Tapi gue rasa dia baik," jawab Dinda.

"Ya, emang kayak gitu."

"Jadi dia baik?" tanya Dinda yang kini wajahnya sudah didekatkan pada wajah Nadya, dan berhasil membuat Nadya menutup novel yang baru saja ia baca.

"Kenapa lo kepo? Jangan-jangan lo mulai naksir dia, ya?" tebak Nadya.

Dinda menggeleng.

"Ya bukan gitu kali, Nad. Hanya saja, untuk punya temen cowok pun, nggak tahu kenapa gue kebayang aja ama Panji. Nathan kan tipe-tipe model Panji, gue takut kalau dia nggak baik. Yang bakal nyakitin cewek, gue nggak mau punya temen kayak gitu."

"Menurut gue sih, kalau ama elo dia beneran baik, Din. Bahkan gue nggak pernah liat dia sebaik ini ama cewek mana pun," jawab Nadya. "Elo cewek yang Nathan tandain, yang biasanya hanya bisa bertahan seminggu di sekolah. Tapi nyatanya, sampai detik ini elo masih aman-aman aja, kan, di sekolah? Bahkan, dia sampai marah besar jika pilar lain ngusik elo. Terus juga, gue nggak pernah liat dia sepeduli ini ama cewek, yang bahkan dia alergi ujan, dia rela ujan-ujanan, dia rela tiap hari ke sini saat elo depresi kemarin. Dan yang paling kerennya lagi, dia sampai rela makan sambel secobek karena elo. Gue rasa itu bukan ekting, Din, tapi beneran itu Nathan. Dan mungkin, maksud dia nandain elo bukan buat ngerjain elo. Tapi buat ngelindungin elo."

"Terus yang maksud sepulun juta itu, Nad? Elo tahu apa maksudnya?" tanya Dinda semakin penasaran. Mungkin saja, Nadya tahu tentang itu kan?

"Gue nggak tahu, tuh, Din. Yah... mungkin... mungkin...," kata Nadya sambil melirik ke arah Dinda sekilas. "Mungkin Nathan taruhan ama Rendra...."

"Taruhan? Untuk?"

"Ehm... mungkin kalau Nathan bisa ngeluarin elo dari SMA Airlangga dalam waktu seminggu Nathan menang, dan sebaliknya. Mungkin kayak gitu. Mana gue tahu sih, Din, gue kan nggak temennya mereka," jelas Nadya. Seolah-olah enggan disangkut-pautkan dengan tiga pilar SMA Airlangga.

Dinda terdiam, meski jawaban Nadya cukup panjang lebar, tapi entah kenapa ada sesuatu yang ditutupi dari Nadya. Entah apa itu. Tapi, Dinda tak mau banyak tanya lagi. Sebab Dinda tahu jika Nadya benar-benar tidak nyaman dengan percakapan ini.

*****

Pagi ini Dinda tampak heran melihat Sasa duduk sendiri di tepi lapangan tengah sekolah. Padahal biasanya, dia kemana-mana pasti akan dengan Gisel, meski kata Selly keduanya tak seakur seperti dulu.

Pelan-pelan Dinda duduk di sebelah Sasa, Sasa yang melihat tampak enggan tapi dia masih diam. Sasa mengabaikan keberadaan Dinda, dan sibuk memencet-mencet layar HP—nya seolah tengah menunggu sesuatu.

"Ada yang bisa gue bantu, Sa?" tanya Dinda membuka suara. Dia merasa berhutang budi dengan Sasa. Tapi sampai detik ini, Dinda belum bisa membalas budi Sasa.

"Ngapain sih lo? Nggak usah sok kenal, deh! Ganggu aja!" bentak Sasa yang mulai sewot.

Dinda meringis, dia pikir Sasa akan berubah mungkin menjadi teman yang baik. Rupanya, cewek manis berlesung pipi itu masih ketus dengannya.

"Woy, Anjing! Sini lo, Bangsat!"

Dinda, dan Sasa langsung menoleh saat Regar berteriak kesetanan. Berlari mengejar salah satu siswa yang tampak sedang ketakutan. Siswa itu sama seperti yang di film-film, jenis siswa cupu yang memakai kacamata serta rambut klimis belah tengah.

Kira-kira ada apa?

Itu yang menggelitik otaknya saat ini, terlebih Regar yang telah mendapatkan cowok itu, menyeret cowok itu ke lapangan basket yang rupanya sudah ada Nathan di sana.

"Pilar merah mulai beraksi," gumam Sasa yang berhasil membuat Dinda menoleh. "Kalau lo penasaran gimana cara Nathan ngerjain targetnya, lo bisa liat sekarang."

"Ngehajar cowok cupu itu?" tebak Dinda. Sasa tersenyum sinis.

"Membuat cowok itu frustasi."

Dinda tak menjawabi lagi ucapan Sasa. Yang ia lihat saat ini adalah, Nathan melempar bola basket tepat di dada cowok itu sampai cowok itu terhuyung ke belakang. Sementara anak-anak sudah mulai ramai mengerumuni lapangan basket. Bagi cewek-cewek, di pagi hari yang cerah ini melihat Nathan olahraga adalah hal yang sangat keren, sementara bagi cowok-cowok, merupakan keseruan tersendiri melihat sang raja turun tangan sendiri ngerjain orang. Karena kata Sasa, baru kali ini Nathan turun tangan ngerjain anak, biasanya dia akan menyuruh salah satu pilar yang melakukannya.

"Gue butuh temen main nih, yok main bareng," kata Nathan. Tampak ramah tapi nadanya benar-benar terasa begitu dingin.

Cowok berkacamata itu langsung tertunduk menyembah Nathan, bahkan sampai kacamatanya terjatuh. Dan dengan kejam Regar menginjak kacamata cowok itu sampai patah. Sementara Nathan, masih berdiri di tempatnya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

"M... maafin gue, Nath... gue nggak sengaja. M... maafin gue, Nath," pinta cowok itu. Sambil berlutut di depan Nathan.

"Gue butuh temen main, Goblok!" bentak Nathan. "Berdiri!" perintahnya.

Dengan kedua kaki yang tampak gemetar cowok itu pun berdiri, kemudian Nathan, Regar, dan Benny kemudian memulai permainan mereka. Saling oper bola basket dan membuat cowok berambut klimis itu menjadi kucing-kucingan mereka.

Dinda, yang melihat itu tampak semakin geram. Dia benar-benar sudah tidak tahan dengan tingkah bossy milik Nathan.

"Eh, Din... elo mau ke mana?" tanya Sasa, saat melihat Dinda sudah berdiri dan hendak berlari ke arah lapangan basket.

"Gue mau ngomong ama Nathan, Sa!"

"Percuma, Din, jangan nyari penyakit. Woy, Din!" teriak Sasa.

Ternyata Dinda mengabaikannya, Dinda sudah berlari mendekat ke arah lapangan basket. Membelah kerumunan siswa-siwa yang ada di sana. Berlari menuju arah Nathan, dan teman-temannya.

"Nath!" teriak Dinda, yang berhasil membuat Nathan yang saat ini memegang bola hendang memasukkan ke dalam ring pun terhenti.

Sementara cowok berambut klimis itu, tampak meringis memandang ke arah Dinda. Antara semakin takut atau senang, jika Nathan berhenti meski sejenak untuk membullynya.

"Lo apa-apaan sih, Nath? Ngelakuin ini apa-apaan?" kata Dinda.

Nathan menghela napas panjang, dia menaruh bola basket dalam rengkuhannya. "Apaan sih, Din? Ini bukan urusan elo. Udah sana, cewek juga. Liat aja di pinggir lapangan,"

"Lo itu nggak sedang olahraga, nggak sedang main, Nath. Tapi lo itu sedang mempermainkan anak orang!" kata Dinda tak mau kalah.

"Eh cewek cakep! Minggir deh lo! Gangguin kita aja! Emangnya lo pikir, lo ini siapa? Pakai sok jadi pahlawan segala! Lo nggak tahu, lo ini sedang berhadapan ama siapa? Pilar merah!" bentak Regar.

"Diem lo bencong! Gue nggak ngomong ama elo, ya! Gue ngomong ama Nathan!" bentak Dinda. Entah kenapa, mendengar hal itu malah membuat Nathan tersenyum dibuatnya.

"Elo udah kayak nenek gue, Din. Cerewet," celetuk Nathan.

"Diem lo! Elo itu semalem sakit, kan? Jadi, balik ayo! Nggak usah bully-bullyan, Nath!" kata Dinda, menarik tangan Nathan hendak membawanya pergi dari sana. Tapi, Nathan menolak.

"Ini bukan urusan elo, Din. Udah deh, elo pergi dulu sana!" bantah Nathan yang tampak mulai jengkel.

"Jadi gini ya aslinya elo. Yang katanya gue ini temen elo, Nath? Elo tahu nggak, cowok itu... cowok yang sedang lo kerjain, dan lo permainkan itu? Di rumah sana, ada Mama yang menunggu kedatangannya, Nath. Di rumah sana, ada Mama yang saat ini berharap jika anaknya akan belajar dengan tenang di sekolah. Dan elo... sama temen-temen banci lo ini, ngerjain dia, Nath! Elo jahat!" marah Dinda.

"Woy, cewek sok kecakepan!"

Dinda langsung terhuyung, saat tangan Gisel mendorong tubuhnya. Tapi, Nathan buru-buru pasang badan agar Dinda tidak jatuh tersungkur.

"Lo pikir, elo itu siapa, hah! Sok ngelarang Nathan! Nggak usah sok kePDan deh lo! Lo pikir hanya karena Nathan baik ama elo terus lo bisa ngatur-ngatur Nathan, gitu? Siapa elo! Cuih!"

"Gis, jaga ucapan elo! Ini bukan urusan elo, ya!" bentak Nathan pada Gisel. Dengan tatapan tajam yang berhasil membuat Gisel semakin emosi.

"Jadi elo belain Dinda? Nath, gue ini si pilar kuning. Gue ini seharusnya—"

"Diem, nggak! Pergi lo dari sini!" bentak Nathan lagi.

Gisel langsung lari, setelah melirik ke arah Dinda dengan dendam yang semakin membara di dalam bola matanya.

Sementara Dinda, sudah mengabaikan kepergian Gisel. Kemudian dia berkacak pinggang memandang Nathan lurus-lurus.

"Oke, Nath. Kalau lo nggak mau lepasin cowok ini, gue juga nggak bakal mundur. Lo bertiga mempermainkannya, kan? Jadi, biarkan gue jadi tim cowok ini buat ngelawan tim lo!"

"Setuju!!!!" teriak siswa-siswa lainnya.

Nathan menebarkan pandangannya, melihat bagaimana para cowok-cowok memandang Dinda dengan antusias. Kemudian, Nathan beralih memandang ke arah rok Dinda.

Berengsek!

Umpat Nathan, dia tahu betul apa yang hendak dilihat oleh siswa-siwa itu bukanlah permainan basket ini sendiri. Namun, bagaimana rok Dinda akan bertahan ketika ia bermain basket.

Nathan melempar bola basket kepada Regar, kemudian dia menarik tangan Dinda menepi lapangan. Namun, Dinda kini yang menolak.

"Ayo balik, kata lo kan lo ngajak balik. Ayok!" katanya. Yang berhasil mendapat sorakan oleh siswa-siswa yang ada di sana.

"Enggak! Gue nggak mau balik! Ayo kita tanding, Nath! Dan jika gue menang, lo harus lepasin cowok itu dari tanda elo!" kata Dinda semakin menantang.

Nathan menghela napasnya, kemudian mengacak rambut cokelatnya frustasi. Mau diapakan cewek yang ada di depannya ini? Faktanya, Dinda benar-benar tidak bisa ia atur sama sekali.

"Oke, gue kalah. Ayo balik," kata Nathan ingin menyudahi perdebatannya dengan Dinda. Menarik tangan Dinda, tapi lagi-lagi ditepis oleh Dinda.

"Nath, apaan sih? Elo ngalah? Nggak ada dalam sejarahnya raja ngalah ama cewek, Nath!" teriak Benny mulai emosi. Baginya, semenjak kenal Dinda, Nathan berubah. Nathan tak seasik dulu.

Dinda meraih bola basket dari tangan Regar, kemudian dia mengoperkan bola itu kepada Nathan.

"Ayo, Nath! Jangan malu-maluin gue!" kata Dinda.

"Ah, berengsek!" umpat Nathan.

Dinda langsung mencuri bolah basket dari tangan Nathan, kemudian dia berlari dan saling oper dengan cowok berambut klimis menuju ring yang ada di ujung barat.

Regar, dan Benny mencoba membayang-bayangi Dinda, tapi ditarik menjauh oleh Nathan. Nathan tak mau siapa pun cowok itu dekat-dekat dengan Dinda.

"Nath, apaan sih!" teriak Benny tak terima.

Tapi, Nathan mengabaikannya. Dia langsung berdiri tepat di samping Dinda dan membiarkan cewek itu memasukkan bolanya ke dalam ring. Yang menjadi fokus Nathan adalah, agar rok Dinda tak naik ke atas. Meski banyak sorakan kecewa anak-anak cowok melihat tingkah Nathan yang terkesan begitu jelas.

"Nath! Ah, payah lo!" timpal regar.

"Din, lo udah masukin bolanya, kan? Jadi, gue kalah. Ayo balik!" bujuk Nathan yang sudah mulai hilang sabar. "Hey, Aska... mulai sekarang gue lepas tanda merah pada lo. Jadi, lo bebas! Jangan pernah muncul di radius lima meter dari gue, atau gue bakal bunuh lo saat itu juga. Ngerti, lo!" katanya.

"M... makasih, Nath! Terimakasih!" cowok bernama Aska itu pun langsung lari, membuat anak-anak menyorakinya. Tapi, Dinda masih enggan pergi dari sana.

"Tapi, kan.... Nath! Nathan!" teriak Dinda pada akhirnya. Setelah Nathan menggendong paksa Dinda agar dia mau masuk ke dalam kelas, dan tidak menjadi tontonan anak-anak cowok lagi.

Nathan bersumpah dalam hatinya, siapa pun yang memiliki niatan kotor kepada Dinda akan benar-benar dia hilangkan dari sekolah ini.

"Nath! Turunin gue, Nathan!"

"Enggak! Ngapain gue nurunin nenek-nenek bawel kayak elo!"

"Nathan, ih! Nggak lucu! Gue malu!"

"Bodo amat!"

"Nathan!"

"Apaan sih bawel!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top