Prolog
SPACE
Namaku Gwen, Gwenneth Felicia. Anak tunggal dari pasangan Alesso Ferdinand dan Alicia Mccartney. Aku berkewarganegaraan Inggris. Tahun lalu aku pindah ke Indonesia karena papaku ada tugas dinas di sini.
Hari ini adalah hari Senin. Aku sudah siap dengan seragam putih abu-abu, memastikan tidak ada yang ketinggalan, menunggu Papa yang tengah memanaskan mesin mobil, lalu berangkat ke sekolah.
"Sebentar, Pa. Ada Keira," ujarku meminta Papa untuk menghentikan mobil kami.
"Ajak saja untuk berangkat sekolah bersama," sahut Papa.
Aku mengangguk. Aku lalu turun dari mobil dan menghampiri Keira---sahabatku---yang sedang mengenakan sepatu di teras rumahnya. Keira adalah orang yang membantuku belajar bahasa Indonesia. Kebetulan kami satu komplek dan satu kelas juga.
"Hei, Keira!" sapaku sambil melambaikan tangan. Aku berdiri di luar pagar rumah Keira.
Keira mendongak. "Eh, ternyata lo, Gwen. Sebentar gue selesein pake sepatu dulu."
Setelah selesai dengan sepatunya, Keira menghampiriku. "Kenapa?"
"Ayo berangkat sekolah bareng gue," ajakku.
Keira menatap ke belakangku. Ada mobil keluargaku di sana. Papa yang sengaja menurunkan kaca mobil pun tersenyum ketika Keira menatapnya. Keira balas tersenyum.
"Nggak usah, deh, Gwen. Gue berangkat sendiri aja. Nggak enak gue," ujar Keira.
Aku berdecak. "Pake nggak enak kayak sama siapa aja. Udah ayo barengan berangkatnya."
"Tapi---"
"Nanti gue kasih tetring, deh, buat nontonin MV BTS kesukaan lo pas jamkos," potongku dengan cepat.
Keira kalah telak. Aku tahu persis apa kelemahan gadis itu. Setelah didesak olehku, akhirnya Keira pun setuju untuk berangkat bersama.
🍀🍀🍀
Selamat Datang di SMA Anteres.
Papan besar dengan tulisan berisi sapaan tersebut menyambutku dan Keira setibanya di sekolah. Setelah berpamitan dengan Papa, kami berjalan beriringan menuju kelas.
"WOI, FANYA!" seruku.
"Buset suara lo," cibir Keira sambil menggosok-gosok telinganya. Sedangkan aku hanya nyengir kuda.
Fanya---gadis berponi dengan ikatan rambut bak ekor kuda---menoleh ketika aku menyerukan namanya. Ia adalah sahabatku dan Keira. Kami bertiga sering dijuluki 'Tiga Serangkai' oleh teman-teman sekelas karena ke mana-mana pasti selalu bersama.
"Tugas Kimia udah pada kelar?" tanya Fanya setelah bergabung denganku dan Keira.
"Astoge gue kelupaan!" Keira berseru panik. Bola matanya membulat sempurna. "Lo kenapa baru ngingetin sekarang, Fan?!" lanjutnya dengan tidak santai.
Fanya hanya menggidikkan bahunya, sedangkan aku tertawa melihat wajah panik Keira.
Keira memasang wajah memelasnya pada Fanya---tersirat sebuah kode. Fanya yang menangkap kode tersebut pun menghela napasnya dan mengeluarkan buku tugas Kimianya dari dalam tas. Keira menerimanya dengan senang hati.
"Makasih, Fanya Sayang. Gue duluan. Dah!" ucap Keira sebelum mengambil langkah seribu menuju kelas. Aku tertawa melihat Keira yang beberapa kali menabrak orang-orang yang berlalu-lalang di koridor.
"Lo udah ngerjain tugasnya?" tanya Fanya sambil menutup resleting tasnya.
"Jelas belum lah. Gue malah baru tau kalo Kimia ada tugas," jawabku kelewat santai.
Fanya merotasikan bola matanya, tak heran dengan sikap santuy yang aku miliki. "Buruan gih lo nyusul Si Keira. Keburu masuk tugas lo belum kelar lagi."
"Nanti gue ada jadwal latihan sama anak cheers pas jam Kimia," kataku sambil menaik-turunkan alis.
"Pantes aja lo nyantuy," cibir Fanya.
Aku tertawa. Beberapa saat kemudian kami tiba di kelas. Suasana pagi yang sangat khas langsung menyambut kami. Aku bisa melihat Keira yang duduk dipojokan dengan tangan yang terus bergerak menyalin pekerjaan Fanya. Gadis itu bahkan membiarkan tasnya masih bertengger di pundaknya.
"Tumben lo bertiga misah. Biasanya nempel mulu ke mana-mama barengan," ujar Aina, salah satu teman sekelasku.
"Tau sendiri lah," balasku sambil menunjuk Keira dengan dagu. Aina pun terkekeh setelah paham dengan maksudku.
Fanya sudah duduk di kursinya---persis di sebelah Keira. Mereka satu bangku. Sedangkan aku duduk dengan seorang siswa anak OSN Astronomi, Zacky namanya. Anaknya pintar, alim, dan easy going. Tapi jangan salah. Mukanya memang kalem, tapi aslinya?
"Nge-game lagi, nge-game mulu, nge-game terooss!" cibirku pada tiga siswa yang duduk di kursiku dan Zacky dengan ponsel di tangan mereka. Perkenalkan, mereka adalah Triple Z. Zacky, Zen, dan Zidan. Tiga individu yang masuk ke dalam spesies yang sama---biang keributan kelas.
"Apaan, sih, lo dateng-dateng ganggu aja!" balas Zacky mencibir tanpa mengalihkan fokusnya dari layar ponsel.
"Iya, nih. Nggak tau aja kalo lagi push rank," sahut Zen.
"Lo mending pergi dulu, deh, Gwen. Jangan ganggu. Bentar lagi kita menang, nih," timpal Zidan.
"Idih, ngusir. Orang kalian di sini juga numpang. Hush, hush! Gue mau duduk," kataku sambil mengusir tiga curut itu.
"Bentaran elah, Gwen! Lagi seru juga," protes Zacky.
"Ya bodo amat, sih, lagi seru atau nggak. Kalo mau mabar noh di pojokan kelas, lebih luas. Modal numpang aja bangga," ujarku tak santai.
Aku berdecak kesal lantaran Zacky, Zen, dan Zidan hanya diam tak bergerak sedikit pun. Mereka tetap fokus dengan permainan mereka. Karena emosi yang sudah naik ke ubun-ubun, aku merogoh saku rokku dan mengeluarkan ponselku dari dalam sana. Tanganku bergerak di atas layar. Aku membuka aplikasi WhatsApp, memanggil Triple Z pada sebuah video call group, dan menunggu panggilan masuk di ponsel ketiga cowok itu.
Dapat kudengar Zen dan Zidan mengumpat secara bersamaan dan Zacky menyebut berkali-kali setelah panggilanku masuk di ponsel mereka. Triple Z menatap sengit ke arahku. Aku mengangkat bahu tidak peduli. Dengan wajah kusut, mereka meninggalkan bangkuku dan beranjak menuju sudut baca kelas.
"Makan, tuh, AFK!" seruku, sengaja.
🍀🍀🍀
Bel istirahat berbunyi nyaring. Suara riuh rendah dari setiap kelas menggema di koridor lantai satu hingga lantai tiga. Semua murid berhamburan keluar dari kelas menuju kantin.
Aku, Keira, dan Fanya dalam perjalanan menuju kantin. Tadi kami bersamaan dengan Triple Z saat hendak keluar kelas. Ketiga cowok itu masih sengit denganku. Tapi aku tidak peduli selama itu tidak merugikan diriku.
Kami berjalan melewati ruang OSIS. Aku dapat melihat Satriya---Sang Ketua OSIS---tengah memimpin rapat. Entahlah apa yang mereka bahas. Aku juga tidak terlalu ingin tahu.
Brukk!
"Aww!" Aku dan Keira meringis bersamaan saat seseorang tiba-tiba menyerobot di tengah-tengah kami yang kebetulan bersisian.
"KAK REVAANNNN!!!" seruku dan Keira, lagi-lagi bersamaan.
Seseorang Itu adalah Revan. Kakak kelasku yang menyandang gelar kapten basket sekolah dengan segala tingkahnya yang dapat membuat orang darah tinggi. Aku sering bertemu dengannya karena aku anak cheers dan dia anak basket. Kami adalah tim ketika di lapangan, tapi seperti Tom dan Jerry ketika di luar lapangan.
"Eh, ada orang ternyata. Yamangap gue nggak liat," ujar Revan dengan wajah tengilnya.
"YA MAAF ELAH! Herman ngomong aja pake typo," ralatku dengan tidak santai.
"HERAN PINTER! Ngomong aja pake nggak mirror," balas Revan ikutan tidak santai.
"Ih, curang lo motokopi omongan gue. Bayar sini!" Aku tidak terima karena Revan mengikuti ucapanku.
"Bayar-bayar your eyes!" Revan berkacak pinggang, persis seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya.
"Udah lah, Van. Ngalah sama cewek. Gue udah laper nih," lerai Alveno, teman sekelas Revan. Aku mengenalnya. Dia adalah gitaris utama dari band SMA Antares.
"Nggak bisa gitu, Al! Nih cewek kudu gue kasih tau caranya ngomong sama kakak kelas. Nggak ada sopan-sopannya sama sekali," kukuh Revan.
"Eh, ya ampun maaf banget, Kak. Aku kira Kakak itu syaiton makanya aku galakin. Mirip, sih, Kak, mukanya. Eh, nggak taunya Kak Revan." Aku berpura-pura terkejut dan merasa bersalah kepada Revan.
"Mulutnya lemes banget, ya, ngomongnya?" Revan memelototiku.
Alveno memijat pelipisnya. Sepertinya cowok itu jengah karena selalu berada di tengah-tengah pertengkaranku dan Revan. Sedangkan Keira dan Fanya berusaha membujukku untuk menyudahi pertengkaran ini.
"Permisi, ya, kakak-kakak. Kita pergi dulu. Maaf Gwen emang gini orangnya," ujar Keira dengan segan.
"Lo temen gue---"
"Santai aja. Bilangin temen lo, ya, kalo punya mulut filternya jangan ditinggal di empang tetangga." Revan lebih dulu memotong ucapanku.
Aku melotot. Enak saja cowok itu berujar demikian! Sedangkan Keira dibuat salah tingkah ketika Revan menyahuti ucapannya. For your information, Keira sudah menyukai Revan sejak kelas sepuluh.
Setelah itu, aku dan kedua sahabatku segera berlalu dari hadapan Revan dan Alveno. Aku mengomel pada Keira karena ia tidak membelaku tadi. Sedangkan orang yang aku omeli justru sibuk senyum-senyum sendiri. Berbeda dengan Fanya yang sejak tadi tenang, tentram, dan damai.
🍀🍀🍀
"GWEN! KEIRA! FANYA! SINI GABUNG!"
Sebuah seruan melengking menyambut kehadiranku, Keira, dan Fanya di kantin. Tanpa melihat rupanya pun kami tahu siapa sosok pemilik seruan melengking itu. Kami menoleh menuju sumber suara. Benar saja. Itu adalah suara Verissa, tetangga kelas kami. Aku, Keira, dan Fanya kenal baik dengannya.
Kami bergabung ke meja yang ditempati oleh Verissa. Gadis itu tidak sendiri. Ia bersama Sora dan Andromeda, teman dekatnyanya. Andromeda adalah siswi kelas sepuluh. Kami berenam adalah teman dekat meskipun berbeda kelas.
"Halo, Ver, Ra, Da." Aku, Keira, dan Fanya menyapa.
Mereka mengangguk. Aku, Keira, dan Fanya kemudian memesan mi ayam dan es teh manis. Sambil menunggu pesanan datang, kami berbincang-bincang dengan Verissa, Sora, dan Andromeda.
"Toko bunga lo apa kabar, Da?" Aku basa-basi bertanya.
"Alhamdulillah makin hari makin rame yang dateng," jawab Andromeda sambil mengunyah permen karet.
Aku mengangguk. "Eh, Ra. Lo apa kabar? Gue denger-denger kemarin lo sempet demam sampe tiga hari, ya?"
"Iya. Sekarang gue udah baikan, kok," jawab Sora dengan nada lemah lembut.
"Gue boleh gabung nggak?"
Aku, Keira, Fanya, Verissa, Sora, dan Andromeda serempak menoleh. Kami mendapati Aina dengan sepiring siomay di tangannya.
"Wah ... Boleh banget dong. Sini gabung. Eh, Kei, lo geseran dikit napa," ucap Verissa.
Aina berterima kasih karena telah diizinkan untuk bergabung. Ia duduk di samping Sora sekarang.
Seperti gerombolan gadis-gadis pada umumnya, kami bercipika-cipiki membahas semua topik yang sedang hangat dibicarakan. Mulai dari Satriya yang baru-baru ini menolak cinta dari mantan leader anak cheers yang sekarang kelas tiga, Triple Z yang setia menjomlo meskipun banyak siswi SMA Antares yang menyukai mereka, hingga cilok Bang Badrul yang turun harga.
"EH, BAGAS! BILANGIN SINI!" Aku berseru ketika penglihatanku menangkap sosok Bagas, teman seangkatan kami yang menjadi juru foto di ekskul jurnalistik.
Cowok bernama Bagas itu mendekat. Ada kamera yang tergantung di lehernya. Aku yakin sekali harganya pasti bukan main.
"Ada apaan, nih, gue dipanggil sama leader anak cheers kita yang baru?" tanya Bagas.
Aku terkekeh. "Bisa aja lo, Bambang!"
"Nama gue Bagas. Bambang itu bokap gue," ujar Bagas.
Aku menutup mulut, terkejut. Ralat! Pura-pura terkejut. Tadi aku sengaja menjaili Bagas dengan menyebut nama orangtuanya. Ini bukan contoh yang baik. Jangan ditiru, ya!
"Fotoin kita dong," pintaku sambil memasang puppy eyes.
"Najis banget, sih, Gwen," kata Bagas lalu terkekeh geli melihat ekspresiku.
Aku, Keira, Fanya, Verissa, Sora, Andromeda, dan Aina pun mengambil posisi. Kami siap dengan pose masing-masing. Bagas mengangkat kameranya dan bersiap mengambil foto. Setelah aku memberi kode bahwa kami sudah siap, Bagas menghitung mundur dari tiga.
Cekrek!
"Eh, Aina. Lo, kok, jelek banget di sini?" Bagas berkomentar setelah melihat hasil jepretannya.
Aina melotot dikatai seperti itu oleh Bagas. "Suka sekata-kata lo ngatain anak orang! Turunan surga kayak gini lo bilang jelek. Situ rabun, Mas?"
Bagas tertawa. Ini adalah salah satu kebiasaannya---membuat Aina kesal. Menurutnya, wajah Aina ketika sedang kesal itu sangat menggemaskan.
"Uhuk ... Uhuk ... keselek visualnya Taehyung nih gue!" Keira heboh sendiri. Aku dan Verissa ikutan heboh.
"Gwen, Gwen," panggil Verissa.
"Kenapa dah?"
"Masa, ya, ada yang udah dekeeettt banget tapi nggak jadian juga," ujar Verissa sok misterius.
"Seriusan lo? Gila aja kali, ya, mereka," sahutku.
Verissa mengangguk. "Kerjaannya, sih, debat mulu. Tapi tiap hari berangkat-pulang barengan terus. Ke mana-mana barengan pokoknya. Sampe heran gue nempel terus kek perangko sama kertas."
"Siapa, tuh, kalo boleh tau?" Aku berpura-pura tidak tahu.
Verissa menunjuk Bagas dan Aina dengan alisnya. Tawaku, Keira, Sora, dan Andromeda pecah seketika. Kami puas menggoda Bagas dan Aina. Terlebih saat melihat telinga Bagas yang memerah. Itu adalah reaksi tubuhnya ketika Bagas sedang malu atau salah tingkah.
"Nggak mau tau fotonya harus dikirim hari ini juga. Oke, Ganteng?" ujarku sambil mengerlingkan mata kepada Bagas.
"Dasar! Muji gue kalo ada butuhnya doang," cibir Bagas.
"Aduh-aduh ... Anaknya Pak Bambang ngambek. Itu telinganya dikondisikan dulu dong, Mas. Kalo mau salting mah tinggal salting aja," goda Keira.
Bagas segera menutupi kedua telinganya dan pergi dari hadapan kami. Namun sebelum itu, aku dapat melihat Bagas sempat melirik ke arah Aina. Aku terkekeh. Melihat orang yang sedang PDKT ternyata seru juga.
🍀🍀🍀
Selamat datang di SMA Antares. Tempat di mana aku dan teman-temanku melalui masa putih abu-abu kami dengan penuh warna. Ini kisah tentang fase kehidupan kami di masa pencarian jati diri. Ada kalanya kami jatuh, terluka, belajar akan pengalaman, tumbuh menjadi jiwa yang kuat, dan kemudian saling mencintai.
🍀🍀🍀
Halo, semua!!
Selamat datang!
Ini cerita collab story teenliterature26 pertama kami!
styakna Ismisbrin achacamarica KimTaeri04 IkaDoloksaribu ikeeayu serta untuk character maker Zidan x Fanya dan Bagas x Aina fani_ast Mona_TML
Keep reading Space until the end 💙
Thanks and see ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top