3) A Story in A Cafe
SPACE
"Dasar jomlo ngenes! Hahaha."
Gwen yang berada di samping Zacky menolehkan kepalanya sambil melayangkan tatapan tajam.
"Lo kesindir? Ngaku juga lo akhirnya."
PLAK!
"Jangan main fisik dong!" protes Zacky seraya berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.
"Makanya! Kita di sini buat ngerjain PR, bukan debat. Lo nggak malu apa dilihat sama orang banyak di kafe ini?" ucap Gwen.
Zidan menyahut, "Mirror elah! Yang ngajakkin debat duluan juga lo, Gwenneth."
Fanya memijat pelipisnya karena kepalanya terasa pusing melihat tingkah laku mereka.
Setelah perdebatan yang tidak penting itu usai, suasana menjadi hening dan serius karena fokus dengan buku PR masing-masing.
"Zack," panggil Gwen sambil menyenggol lengan Zacky.
"Hm?"
"Nomor 5 gimana caranya?"
"Cari diketahuinya dulu. Abis itu kalo ada yang perlu diubah, dikali kalo nggak dibagi."
Gwen manggut-manggut. Lalu tak lama kemudian ia menyenggol lengan Zacky lagi.
"Terus?"
"Nabrak."
"Zacky!"
"Iya, iya, nyantuy dong. Terus cari periodenya dengan dibagi."
"Periode bukannya dikali?" tanya Gwen tak yakin.
"Dibagi, Sayang."
Zidan dan Fanya dibuat terbatuk karenanya. Mereka menatap Zacky tak percaya. Namun Zacky mengabaikan hal itu dan menganggap celetukannya tadi hanyalah lelucon belaka. Tidak perlu dibawa serius dan dimasukkan ke hati.
"Dikali, Zack!" kukuh Gwen.
"Dibagi. Coba lihat catatan lo di halaman sebelumnya. Bagian satuan frekuensi."
Gwen mengikuti kata Zacky. Lalu dengan polosnya Gwen melebarkan senyumannya hingga deretan gigi rapinya tampak.
"Hehe ... bener dibagi. Makasih, Zack!"
Sudah satu jam mereka berkutat dengan buku PR yang tak kunjung habis itu. Zidan mulai pasrah dengan soal materi getaran yang waktu SMP pernah ia pelajari.
"Pulang, kuy, Zack?" ajak Zidan.
"Ayo dah, skuy!"
Zacky mulai membereskan buku-bukunya ke dalam tas. Namun, tangan Gwen dengan cepat menahannya.
"Mau kemana lo?"
"Ke neraka."
"Aamiinn ...."
"Ya enggaklah! Ke rumah, ngantuk, gue mau rebahan santuy."
"Terus tugasnya?"
"Lo lanjutin sendiri, semuanya udah ada di buku, kalo masih bingung tanya Fanya aja. Gue cabut."
Zacky dan Zidan tak memperhatikan langkah mereka hingga tanpa sengaja menabrak pintu kafe dengan keras.
Brakk!
"MAMPUS LO!" Gwen tertawa terbahak-bahak hingga perutnya terasa kram. Berbeda dengan Fanya yang cara tertawanya lebih kalem.
"Anjir, nih, pintu. Minggir!" gerutu Zidan.
"Pinter! Harusnya lo buka, tuh, pintu. Bukannya malah diceramahin," ucap Zacky.
"Tau, ah! Nih pintu ngerusak image cool gue aja. Awas aja lo pintu sialan!" maki Zidan sambil menunjuk-nunjuk pintu di depannya.
Dengan kasar, Zidan membuka pintu kafe lalu menutupnya dengan kencang. Hal itu menimbulkan suara yang membuat seluruh pengunjung menoleh, termasuk pemilik kafe.
Fanya dengan takut-takut menenggelamkan kepalanya di atas meja.
Mati gue, batinnya.
Gwen tetap santai mengerjakan tugas Fisikanya. Tersisa lima soal lagi tugas itu akan selesai. Fanya beranjak lalu berbicara pada Gwen bahwa ia akan melanjutkan kerjanya. Gwen mengangguk mengiakan. Tapi sebelum Fanya pergi, Gwen memesan secangkir cappucino dengan seporsi roti mentega. Fanya mengangguk lalu pergi dari hadapan Gwen yang netranya terpaku pada buku PRnya.
Setelah 10 menit berlalu, pesanan Gwen datang dengan satu soal Fisika yang tak kunjung terpecahkan. Gwen tak lupa berterima kasih sebelum menerima cangkir cappucino itu dan menyeruputnya. Roti menteganya diletakkan oleh pelayan restoran di sebelah tumpukan buku paket beserta buku tulis.
Gwen menerawang ke arah jendela dari tempatnya duduk. Banyak sekali hilir mudik transportasi di luar sana. Tiba-tiba terlintas ide untuk pergi ke toko bunga Andromeda yang sudah lama tidak ia kunjungi. Dia berencana akan membeli bunga, tapi tidak tahu bunga yang seperti apa.
Setelah pesanannya habis dan soal Fisika terakhir berhasil ia pecahkan, langsung saja Gwen menuju kasir yang dekat dengan pintu masuk. Fanya yang melihat itu pun menghentikan laju Gwen.
“Langsung pulang?”
“Enggak, gue mau ke toko bunga Andromeda dulu. Kenapa?”
“Oh ... gapapa, hati-hati di jalan! Sekalian titip Bunga Edelweiss. Banyak nyamuk soalnya, hahaha.”
“Aneh-aneh aja lo.” Gwen geleng-geleng.
“Oke. Besok gue bawa ke sekolah.”
“Siap, Gwen!”
🍀🍀🍀
Gwen sedikit berlari untuk sampai ke toko bunga Andromeda. Butuh 20 menit untuk sampai ke toko bunga itu. Sampailah Gwen di toko bunga Andromeda.
Toko bunga bernuansa putih itu berdiri dengan kokoh dengan pintu masuk berwarna hitam elegan. Langsung saja Gwen mendorong pintu itu dan ia langsung disuguhkan pemandangan rak-rak dan keranjang bunga yang beraneka bentuk. Mulai dari bentuk piala, buket biasa, keranjang biasa sampai keranjang bermotif indah.
"Malem, Tante,” sapa Gwen karena Mama Andromeda yang menjaga kasir toko ini.
“Eh, Gwen, ya? Siang juga.”
“Andromedanya ada, Tan?"
“Lagi packing bunga di dalam sama kakaknya.”
“Oh, oke. Makasih, Tante.”
“Sama-sama.”
Gwen lalu melangkah masuk ke sebuah pintu yang berada di seberang meja kasir. Di dalamnya tampak Andromeda dengan kakaknya yang bernama Marcy. Mereka berdua sedang merangkai macam-macam bunga yang nantinya akan diberikan ke pembeli. Warna dan bentuknya beragam, tapi yang paling disukai Gwen adalah Bunga Krisan.
Andromeda menyadari kedatangan Gwen. Ia lalu mempersilakan Gwen duduk di sebuah pouf putih di pojok ruangan. Gwen melihat bagaimana cara Andromeda dan Marcy merangkai bunga yang indah itu. Lalu terbesit sebuah pikiran di otak Gwen ingin mencoba merangkai bunganya.
Andromeda mengizinkan. Ia lalu menyuruh Gwen mendekat ke arahnya. Mulailah Gwen belajar merangkai bunga. Baru beberapa menit saja Gwen sudah mengeluh kesusahan. Andromeda memaklumi itu. Dia tertawa.
“Harusnya lo itu sabar, Gwen. Ngerangkai bunga itu nggak sembarangan dan harus sesuai keinginan pelanggan.”
“Gue kira gampang. Eh, nyatanya susah. Harus dipotong tangkainya dulu, kek, terus digunting yang nggak perlu. Sumpah, kok, lo bisa telaten gini, sih?”
Andromeda hanya tersenyum menanggapinya.
“Gue mau beli Bunga Edelweiss. Ada nggak?”
“Ada. Lo pesan seberapa? Pake pot atau buket? Kecil, sedang, atau besar?"
“Buket kecil aja. Fanya nitip soalnya.”
“Oke. Bentar, ya. Abis ngerangkai bunga, nanggung soalnya udah mau selesai. Gue buatin teh.”
Andromeda pergi menuju dapur untuk membuatkan Gwen secangkir teh. Dia akan membuat minuman teh Bunga Krisan yang dapat membantu masa pemulihan jerawat dan sebagai obar herbal agar tetap sehat. Andromeda kembali dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh Bunga Krisan.
“Teh Bunga Krisan datang,” ucapnya sambil mengangkat sedikit nampan tersebut.
Dahi Gwen sedikit mengkerut.
Teh bunga krisan? katanya dalam hati.
Andromeda menyuguhkannya dengan sangat anggun dan perlahan. Masing-masing cangkir beserta lepek kecil ditaruh di depan Gwen dan Marcy.
Marcy mengangguk dan mulai menyeruput sedikit teh yang rasanya manis-dingin itu. Gwen takut-takut mencoba teh itu karena dia belum pernah mencobanya.
“Coba aja. Enak, kok. Aku kasih pakai madu itu. Teh krisan cocok buat panas-panas begini. Selain manfaatnya banyak, teh krisan juga bisa membantu pemulihan jerawat,” kata Andromeda sudah seperti pakar herbal.
“Oh ... pantesan kulit lo alus gitu nggak ada jerawatnya sama sekali. Beda sama gue yang sekali jerawatan ada bekasnya dan susah ilangnya. Gue coba, deh ...."
Gwen menyeruput teh itu perlahan. Satu detik, dua detik, Gwen tak bergeming. Matanya lalu berbinar cerah.
“Gilaa!! Seumur hidup gue nggak pernah minum teh seenak ini. Makasih ngomong-ngomong. Lo terdabes!”
Andromeda dam Marcy tertawa dibuatnya. Gwen, dengan perasaan yang gembira, menyeruput habis-habisan teh tersebut. Teh itu langsung kandas masuk ke dalam perut Gwen yang mengakibatkan cewek itu bersendawa.
“Eh, maaf ...”
Dua kakak beradik itu tertawa lagi karena tingkah konyol Gwen yang tidak ada habisnya. Setelah minum teh buatan Andromeda, Gwen menunggu serta melihat bagaimana caranya Andromeda merangkai Bunga Edelweiss. Butuh waktu sekitar 15 menit untuk merangkai satu buket Bunga Edelweiss. Lalu Andromeda menyerahkannya ke Gwen buket bunga itu.
“Berapa harganya?” tanya Gwen sambil merogoh tas ranselnya.
“Gue diskon 40%, deh. Jadinya cuma lima puluh aja.”
“Eh, kok, gitu? Kak Marcy, Si Andromeda gimana, sih?” Gwen mengerutkan dahinya bingung.
“Gapapa, Gwen. Memang kamu mau bayar harga asli dengan jumlah Rp 125.000,00?” ujar Marcy jenaka.
“Eh, anu, nggak gitu juga, sih. Tapi, kan, diskon 40% itu banyak.”
“Kayak nggak tau Andromeda aja. Udah sana langsung bayar di kasir, mamaku juga udah tau harga buat kamu. Sebelum diskonnya habis. Satu ....” Andromeda mulai menghitung.
“Iya, iya. Makasih, Kak Marcy, Andromeda. Gue pamit!” Gwen langsung berlari keluar dari ruangan yang berbau bunga itu menuju kasir tempat Mama Andromeda berada.
“Tante, Gwen mau bayar.”
“Oke. Lima puluh ribu, ya.”
“Makasih, Tante. Gwen pamit.”
🍀🍀🍀
Gwen berjalan menuju kelasnya seraya membawa buket Bunga Edelweiss pesanan Fanya. Mengingat pagi ini koridor SMA Antares sudah ramai dipadati massa, Gwen tampak kewalahan menghindari pergerakan siswa-siswi lain yang berlalu lalang.
"Pagi semuanya!" teriak Gwen saat tiba di depan kelas. Alih-alih menjawab dengan sapaan ramah, beberapa orang yang ada di tempat itu justru membalasnya dengan dengusan kasar.
Meskipun begitu, Gwen tidak seberapa mengindahkannya. Cewek itu lalu berjalan menuju bangku Fanya dan melemparkan tasnya di atas meja begitu saja.
"Nih, Fan, pesenan lo kemarin." Gwen memberikan buket yang ia bawa pada Fanya yang sedang sibuk menorehkan tinta pada sebuah kertas. Entah dia menulis tentang apa, Gwen tidak peduli. "Lain kali beli sendiri aja sana. Pengorbanan banget woi gue bawainnya," tambah Gwen.
Fanya memandang Gwen yang baru saja duduk di depannya dengan alis yang bertaut. "Pengorbanan? Maksud lo?"
"Gue takut buket lo rusak, makanya gue hati-hati banget bawainnya tadi." Gwen menatap Fanya kesal, kemudian menunjuk pelipisnya yang basah karena keringat. "Lihat, nih! Gue keringetan!"
"Gitu doang lo kewalahan?" tanya Fanya tak percaya, namun raut wajahnya masih tetap datar.
"Ya iyalah!" seru Gwen ngegas. Meskipun demikian, Fanya tak menganggap respon itu sebagai wujud kemarahannya. Lagipula sikap Gwen memang selalu seperti itu sejak dulu.
"Iya, maaf. Lain kali gue ikut, deh." Fanya mengiakan saja. "BTW, lo udah belajar Biologi belum?"
Seketika Gwen tersentak ketika kata-kata keramat itu menjamah pendengarannya. Matanya membulat sempurna. Dia kaget bukan main.
"Eh? Nanti UH? Seriusan lo?" tanya Gwen memastikan yang langsung disambut Fanya dengan anggukan mantap.
"Iya, dua bab sekaligus katanya," balas Fanya yang sukses membuat Gwen semakin panik.
"MATI GUE!" serunya ngegas, lagi.
🍀🍀🍀
Halo! Jumpa lagi!
Gimana part ini? Semoga suka, ya!
Jangan lupa vomment.
Krisar dari kalian juga kami tunggu.
Sampai jumpa di part selanjutnya!
Tinggalkan jejak.
Tertanda,
All Authors.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top