Chapter 4
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka berempat akhirnya tiba kembali di Serikat Petualang Glaswald saat matahari mulai tenggelam. Bangunan megah itu bersinar lembut di bawah cahaya lampu, memberikan rasa aman setelah semua yang mereka alami.
Felina menyambut mereka di meja resepsionis dengan senyuman, namun matanya langsung melebar ketika melihat keadaan Lucena. "Astaga, apa yang terjadi padamu?!"
Veyran, yang memegang bukti serigala raksasa, menjelaskan, "Kami berhasil membunuh serigala raksasa di bukit utara. Lucena yang memberikan pukulan terakhir, tapi dia terluka parah. Perlu perawatan segera."
Felina mengangguk cepat, memanggil staf medis untuk membawa Lucena ke ruang perawatan. Sementara itu, Halrik menyerahkan barang-barang yang mereka bawa, termasuk kepala serigala raksasa, untuk diverifikasi oleh staf serikat. Setelah beberapa saat, mereka diberi hadiah yang cukup besar, lebih dari cukup untuk menutupi kebutuhan mereka selama beberapa waktu.
Lucena, yang sudah terbaring di ranjang perawatan, hanya bisa tersenyum tipis saat mendengar kabar itu. "Setidaknya semuanya tidak sia-sia." Katanya lemah.
Namun, Felina mengingatkannya dengan tegas. "Kau harus lebih berhati-hati, Lucena. Luka dari Quest sebelumnya bahkan belum sepenuhnya sembuh, dan sekarang kau malah memaksakan diri melawan monster sekelas itu."
Lucena mengangguk pelan, merasa sedikit bersalah. "Aku tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka melakukannya sendirian."
Sienna, yang berdiri di dekatnya, menambahkan dengan lembut. "Dan kau luar biasa. Tapi kali ini, kau harus benar-benar beristirahat, Lucena. Tubuhmu butuh waktu untuk pulih."
Selama beberapa hari berikutnya, Lucena dirawat di ruang perawatan Serikat. Luka-lukanya dirawat dengan ramuan dan mantra penyembuhan, namun dokter dan penyembuh memperingatkan bahwa ia harus menghindari aktivitas berat setidaknya selama seminggu penuh.
Dari tempat tidurnya, Lucena melihat rekan-rekannya datang bergantian untuk menjenguk. Halrik membawakan makanan hangat, Sienna menghiburnya dengan cerita, dan Veyran memberikan laporan tentang bagaimana barang-barang dari serigala raksasa menghasilkan uang yang cukup untuk membeli perlengkapan baru bagi mereka semua.
Lucena merasa bersyukur, meskipun tubuhnya lemah. Dia tahu bahwa perjalanan menjadi petualang hebat masih panjang, dan perjuangan ini baru saja dimulai. Tapi di balik rasa sakit dan kelelahan, ada semangat yang terus menyala di hatinya—semangat untuk terus maju dan membuktikan dirinya di dunia yang penuh tantangan ini.
Seminggu berlalu dengan lambat dan membosankan bagi Lucena, terutama karena ia harus tetap berada di ruang perawatan. Meski begitu, ia memanfaatkan waktu ini untuk terus belajar. Buku Petualang Pemula yang selalu dibawanya kini menjadi sahabat setia, membantunya mempelajari tipe-tipe monster, kelemahan mereka, serta strategi dasar untuk bertahan hidup di dunia yang penuh bahaya ini.
Selain itu, ia juga mulai membaca beberapa buku tentang dasar-dasar sihir yang dipinjamkan oleh Felina. Namun, belajar sihir ternyata lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia membaca teori tentang bagaimana energi sihir mengalir dalam tubuh, cara memanipulasinya, dan mantra-mantra pemula seperti bola api kecil atau hembusan angin.
Saat mencoba mempraktikkan teori itu, ia merasakan energi sihir dalam tubuhnya tidak stabil—fluktuasi yang disebabkan oleh kurangnya latihan sejak kecil. Mantra yang ia coba ciptakan sering kali menghilang begitu saja sebelum berhasil terbentuk. 'Mengontrol sihir itu seperti mencoba menangkap ikan licin dengan tangan kosong.' Pikirnya frustrasi.
Selain itu, ruang perawatan yang sempit tidak ideal untuk berlatih. Beberapa kali ia hampir menjatuhkan barang atau membuat percikan energi sihir yang malah mengganggu pasien lain. Setelah dimarahi oleh seorang penyembuh karena nyaris menyalakan api kecil di sudut ruangan, Lucena memutuskan untuk fokus hanya pada teori sampai ia memiliki kesempatan berlatih di tempat yang lebih aman dan luas.
"Pelan-pelan saja." Kata Sienna saat berkunjung. "Sihir memang sulit, apalagi kalau kau baru mulai sekarang. Tapi kalau kau rajin, kau akan terbiasa."
Lucena mengangguk, berusaha tidak kehilangan semangat. "Aku hanya ingin bisa melindungi diriku sendiri lebih baik. Rasanya selama ini aku terlalu bergantung pada orang lain."
"Kau punya potensi." Tambah Halrik yang datang tak lama setelah itu. "Tapi jangan buru-buru. Belajar sihir itu seperti membangun otot—kau perlu waktu untuk memperkuat fondasinya."
Meski sulit, Lucena tidak menyerah. Malam-malamnya dihabiskan membaca teori sihir dan menghafal mantra sederhana, membayangkan saat ia bisa mempraktikkannya dengan benar. Ia tahu ini hanya langkah kecil, tapi setiap pelajaran yang ia pelajari membuatnya merasa sedikit lebih percaya diri dan lebih siap untuk tantangan berikutnya.
Ketika Lucena akhirnya diperbolehkan keluar dari ruang perawatan, ia merasa lega bisa menghirup udara segar dan melihat suasana luar yang ramai. Di lobi Serikat, ia menemukan Sienna duduk sendirian di salah satu sudut. Gadis itu terlihat sedang melamun, tetapi begitu matanya menangkap kehadiran Lucena, ia langsung berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Lucena! Kau akhirnya keluar!" Seru Sienna dengan semangat. Ia segera menghampiri Lucena dan memeluknya erat. "Aku senang melihatmu baik-baik saja."
Lucena terkekeh kecil, membalas pelukan itu. "Terima kasih, Sienna. Aku sudah jauh lebih baik sekarang. Apa yang kau lakukan di sini sendirian?"
"Aku hanya sedang menunggu waktu, sebenarnya. Tapi sekarang kau di sini, aku punya ide! Bagaimana kalau kita pergi belanja perlengkapan baru? Anggap saja ini sebagai tanda terima kasihku karena kau menyelamatkanku waktu itu.”
Lucena terkejut mendengar ajakan itu, tetapi sebelum sempat menolak, Sienna sudah menariknya keluar dari gedung serikat. "Ayo, aku tahu toko perlengkapan bagus di sini. Kau pasti suka!"
Mereka berjalan menuju salah satu toko perlengkapan paling terkenal di Glaswald. Bangunan toko itu sederhana tetapi ramai, dengan etalase yang memamerkan berbagai macam senjata, baju besi, dan barang kebutuhan petualang lainnya.
"Ini dia, tempat yang sempurna untuk kita lihat-lihat." Kata Sienna sambil tersenyum lebar.
Begitu masuk ke dalam, mata Lucena langsung terpaku pada berbagai barang yang dipajang. Ada pedang dengan bilah mengkilap, tombak dengan desain elegan, hingga baju zirah kulit ringan yang terlihat kokoh. Ada juga rak yang dipenuhi dengan kantong tidur, tali panjat, dan barang-barang lain yang tampak sangat berguna untuk perjalanan panjang.
Sienna berjalan ke arah rak yang memajang berbagai jenis busur. "Aku berpikir untuk mengganti kelas menjadi Ranger. Sepertinya sudah saatnya aku berinvestasi pada yang lebih baik."
Sementara itu, Lucena berjalan ke bagian tombak. Ia mengamati tombak-tombak yang dipajang, membandingkan berat, panjang, dan desainnya dengan tombak kayu sederhana miliknya yang ia dapatkan dari toko perlengkapan pemula.
"Kau harus mencoba salah satunya." Kata Sienna yang tiba-tiba berdiri di belakangnya. "Mungkin kau akan menemukan tombak yang benar-benar cocok untukmu di sini."
Lucena mengangguk, tetapi sebelum memutuskan membeli sesuatu, ia memutuskan untuk memeriksa barang-barang lain yang mungkin ia butuhkan. Ia tahu bahwa uang hasil Quest kemarin tidak boleh dihabiskan sembarangan. Mereka pun menghabiskan waktu di toko itu, melihat-lihat, mencoba beberapa perlengkapan, dan berdiskusi tentang mana yang terbaik untuk mereka masing-masing.
Lucena mengambil sebuah tombak dari rak yang menarik perhatiannya. Tombak itu memiliki bilah ramping berwarna keperakan dengan gagang hitam pekat yang dihiasi ukiran runa-runa kecil. Penjual di toko tadi menyebut bahan tombak ini sebagai "Magisium." logam langka yang mampu mengalirkan energi magis dari penggunanya. Lucena penasaran, meskipun ia tidak yakin apakah tombak seperti ini cocok untuk dirinya yang masih pemula.
"Cobalah, Lucena." Dorong Sienna dengan antusias. "Lihat apa yang bisa kau lakukan dengannya."
Dengan ragu-ragu, Lucena menggenggam gagang tombak tersebut. Rasanya ringan di tangannya, seolah tombak itu menyatu dengan tubuhnya. Tanpa sadar, ia mencoba mengalirkan sedikit energi magis ke dalam tombak itu—sesuatu yang ia pelajari secara teori selama masa pemulihannya.
Tiba-tiba, ujung tombak itu berpendar dengan cahaya biru keemasan yang berdenyut. Dari bilahnya, sebuah bilah energi yang jauh lebih besar muncul, membentuk ujung tombak kedua yang terlihat jauh lebih tajam dan berbahaya. Pendaran itu menimbulkan suara berdesis pelan, seperti api yang membara.
"Whoa!" Sienna melompat mundur, matanya melebar. "Lucena, kau lihat itu?!"
Lucena sendiri terkejut, hampir menjatuhkan tombaknya. "Apa… apa yang terjadi? Aku hanya mencoba—"
Penjual toko, seorang pria tua berwajah bijaksana, datang menghampiri mereka dengan senyuman penuh arti. "Tampaknya, tombak itu merespons energimu, Nona muda." Katanya sambil mengelus janggutnya. "Magisium adalah logam yang jarang ditemukan. Hanya mereka yang memiliki resonansi magis tertentu yang bisa memanfaatkan potensi penuhnya. Kau cukup beruntung."
Lucena memandang tombak itu dengan campuran kekaguman dan kebingungan. "Tapi… aku baru saja belajar sedikit tentang sihir. Aku bahkan tidak yakin aku punya cukup kendali."
"Justru itu." Lanjut si penjual. "Tombak ini mungkin bisa membantumu memahami energi magismu lebih baik. Ini adalah senjata yang tidak hanya melindungi, tetapi juga mengajarkan penggunanya untuk tumbuh."
Sienna menepuk bahu Lucena. "Itu tandanya tombak ini cocok untukmu, Lucena. Kau harus mengambilnya."
Lucena tersenyum kecil, meskipun sedikit gugup. "Baiklah, aku rasa aku akan membelinya… asalkan harganya tidak membuatku bangkrut."
Penjual tertawa kecil. "Karena kau adalah petualang muda yang baru memulai perjalananmu, aku akan memberikan diskon khusus. Anggap saja ini dorongan kecil untuk langkah besarmu."
Dengan bantuan Sienna, Lucena membeli tombak itu. Ia tidak tahu bagaimana perjalanan berikutnya akan berjalan, tetapi dengan senjata baru ini di tangannya, ia merasa sedikit lebih percaya diri.
Lucena mendekati penjual dengan tombak barunya yang masih dia genggam erat. "Tuan, apakah Anda juga menjual zirah? Saya membutuhkan sesuatu yang murah tapi cukup kuat untuk petualang pemula seperti saya." Katanya sambil melirik beberapa manekin yang memajang zirah di sudut toko.
Penjual itu mengangguk penuh perhatian. "Tentu saja, Nona muda. Untuk pemula, saya merekomendasikan zirah dari kulit yang diperkuat. Tidak sekuat baja, tetapi ringan dan cukup untuk perlindungan dasar terhadap cakaran atau gigitan monster kecil. Mari, ikut saya."
Ia membawa Lucena ke bagian toko yang memajang berbagai zirah kulit. Beberapa di antaranya terlihat sederhana, dengan warna coklat polos dan desain minimalis, sementara yang lain memiliki tambahan seperti pelindung bahu atau kantong kecil di sabuknya.
Lucena menunjuk salah satu zirah yang terlihat pas untuknya. "Bagaimana dengan ini?"
"Pilihan yang bagus." Kata penjual sambil mengangkat zirah itu. "Kulit ini berasal dari monster kelas rendah, jadi ringan, fleksibel, dan tahan lama. Dengan perawatan yang baik, ini bisa bertahan bertahun-tahun."
Lucena mengangguk setuju, tetapi kemudian mengalihkan pandangannya ke pakaian lain di toko. "Dan, saya juga butuh pakaian untuk bertempur. Selama ini saya hanya memakai pakaian biasa, yang sudah robek dan kotor."
Penjual itu mengangkat alis, seolah baru menyadari keadaan Lucena. "Oh, tentu saja. Di sebelah sana ada bagian pakaian untuk petualang. Kami punya tunik, celana, dan jubah yang dirancang untuk kenyamanan serta daya tahan. Sebagian bahkan dilengkapi kantong ekstra untuk membawa barang-barang kecil."
Lucena dan Sienna berjalan ke bagian pakaian, di mana Lucena memilih tunik sederhana berwarna hijau tua dengan celana hitam yang kuat. Ia juga menambahkan sepasang sepatu bot kulit tinggi yang dirancang untuk melindungi kaki selama perjalanan panjang.
"Aku rasa ini cukup." Kata Lucena sambil melihat penampilannya di cermin kecil di sudut toko.
Sienna tersenyum. "Kau terlihat jauh lebih siap menjadi petualang sekarang. Kau bahkan terlihat keren!"
Lucena tersipu, merasa sedikit lebih percaya diri. Setelah membayar untuk semua barang-barangnya, ia meninggalkan toko bersama Sienna, siap menghadapi petualangan baru dengan perlengkapan barunya.
....
.......
Lucena sedang berlatih di ruang latihan Serikat Petualang, mencoba menguasai tombak barunya. Setiap kali dia mengalirkan energi sihir ke tombak Magisium-nya, cahaya di ujung tombak itu muncul dan membesar, namun sering kali tidak terkendali. Beberapa kali energi itu bergetar liar, membuat Lucena kehilangan keseimbangan.
Saat dia tengah mencoba mengatur napas setelah serangan yang gagal, sebuah suara terdengar dari belakangnya, tenang namun penuh ejekan. "Energi sihirmu seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Tidak stabil, ceroboh, dan... agak menyedihkan."
Lucena berbalik, wajahnya merah karena malu dan kesal. Di hadapannya berdiri seorang wanita berambut hitam pekat yang terurai panjang. Wanita itu mengenakan jubah penyihir berwarna gelap dengan aksen emas di tepinya. Mata tajamnya memandang Lucena dengan campuran rasa ingin tahu dan cemoohan.
"Siapa Anda?" Tanya Lucena, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
Wanita itu tersenyum tipis. "Namaku Thelma. Aku instruktur sihir untuk pemula di Serikat ini. Aku tidak sering melibatkan diri, kecuali jika aku melihat sesuatu yang menarik."
Lucena merasa bingung sekaligus waspada. "Dan... apa yang menarik dari saya?"
Thelma melangkah mendekat, melingkari Lucena seperti seorang guru yang menilai murid baru. "Tombakmu itu." Katanya, menunjuk senjata di tangan Lucena. "Magisium adalah logam yang luar biasa, tetapi hanya mereka yang memiliki potensi sihir yang layak menggunakannya. Fakta bahwa kau bisa mengaktifkan energi tombak itu tanpa pelatihan khusus... menarik."
Lucena menunduk sedikit, merasa gugup. "Tapi energi saya tidak stabil... Saya bahkan tidak tahu cara mengendalikannya."
Thelma tertawa kecil, suaranya terdengar tajam. "Tentu saja tidak! Kau seperti cangkir yang mencoba menampung lautan—belum punya bentuk yang benar. Tapi itu bukan hal buruk. Justru itu berarti kau punya potensi besar. Kau hanya butuh bimbingan."
Lucena mengangkat alis. "Jadi, Anda mau membantu saya?"
Thelma mengangkat bahu, senyum arogan kembali muncul. "Mungkin. Tapi aku harus memperingatkanmu, aku tidak menyukai pemula yang manja. Aku keras, menyebalkan, dan tidak punya kesabaran untuk orang yang mudah menyerah. Kalau kau mau belajar dariku, kau harus siap bekerja keras."
Lucena menggenggam tombaknya lebih erat, tekadnya menguat. "Saya siap. Saya ingin menguasai ini, dan jika Anda bisa membantu, saya akan lakukan apa pun."
Thelma mengangguk, puas dengan jawaban itu. "Baiklah. Besok pagi, datang ke ruang pelatihan sihir. Jangan terlambat, atau aku akan menganggapmu tidak serius."
Dengan itu, Thelma berbalik dan pergi, meninggalkan Lucena yang kini merasa campuran antara semangat dan gugup. Petualangan barunya tidak hanya akan melibatkan pertempuran fisik, tetapi juga tantangan untuk menguasai kekuatan dalam dirinya yang selama ini tidak terkendali.
Keesokan paginya, Lucena datang lebih awal ke ruang pelatihan sihir, merasa gugup dan penuh antisipasi. Saat dia masuk, Thelma sudah menunggunya, duduk santai di atas meja dengan sebuah tongkat kayu panjang di tangannya. Senyum tipis Thelma yang khas menyambut Lucena.
"Ah, kau datang tepat waktu. Aku kira kau akan terlambat dan memberi alasan malas seperti 'terjebak macet'." Kata Thelma dengan nada mengejek.
Lucena menahan diri untuk tidak membalas, malah memberi anggukan hormat. "Saya siap belajar, Nona Thelma."
Thelma tertawa kecil. "Oh, formalitas ini lucu sekali. Baiklah, mari kita mulai dari dasar-dasar—hal yang biasanya diajarkan pada anak kecil yang bahkan belum tahu cara menulis nama mereka."
Lucena merasakan dorongan untuk protes, tapi dia menggigit bibirnya dan mendengarkan. Thelma berdiri dan mulai menjelaskan.
"Energi sihir itu seperti aliran sungai—tenang, tapi bisa menjadi liar jika tidak diarahkan. Pertama-tama, kau harus belajar menyeimbangkannya. Duduklah, bersila di lantai."
Lucena mengikuti instruksinya, duduk di tengah ruangan dengan mata penuh konsentrasi. Thelma mengeluarkan sebuah tongkat kayu sederhana, menyerahkannya kepada Lucena.
"Pegang ini. Jangan lakukan apa-apa dulu. Fokus pada perasaanmu sendiri—detak jantungmu, napasmu, dan bagaimana energi sihir itu mengalir dalam tubuhmu. Rasakan, jangan paksa."
Lucena memejamkan mata dan mencoba fokus. Awalnya, dia hanya merasakan keheningan, lalu perlahan-lahan dia merasakan sesuatu yang samar, seperti aliran hangat di dalam dirinya. Tapi setiap kali dia mencoba memahaminya lebih jauh, aliran itu bergetar tak terkendali.
"Berhenti memaksakan diri!" suara Thelma memotong dengan nada keras. "Kau terlalu tegang. Sihir itu seperti kehidupan—kau tidak bisa mengontrolnya dengan paksa. Biarkan ia mengalir."
Lucena mencoba lagi, kali ini berusaha lebih rileks. Dia mendengar Thelma berbicara dengan nada lembut.
"Bagus... Kau mulai merasakannya. Sekarang, alirkan energi itu perlahan ke tongkat kayu. Jangan terlalu banyak, hanya setetes saja."
Lucena mengerutkan kening, menyalurkan energi sihirnya ke tongkat. Tongkat itu bergetar ringan, lalu tiba-tiba bersinar redup. Tapi sebelum Lucena bisa merasa puas, energi itu lepas kendali dan tongkatnya retak.
Thelma tertawa terbahak-bahak. "Astaga! Kau berhasil meretakkan tongkat kayu. Itu cukup mengesankan untuk pemula, meskipun berantakan!"
Lucena menundukkan kepala, merasa malu. "Saya masih terlalu kasar..."
Thelma melambaikan tangannya. "Jangan merasa buruk. Itu hanya berarti kau punya kekuatan besar, tapi kau belum tahu caranya mengendalikannya. Itu normal. Makanya kau ada di sini."
Pelajaran berlanjut selama beberapa jam, dengan Thelma mengajarkan meditasi untuk membantu Lucena menenangkan fluktuasi energinya. Dia juga memandu Lucena melalui latihan dasar manipulasi energi, seperti membuat percikan kecil cahaya di tongkat kayu baru.
Di balik sikapnya yang eksentrik dan sering mengejek, Thelma menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Dia selalu menyemangati Lucena dengan komentar-komentar tajam namun penuh maksud baik.
"Aku mungkin menyebalkan." Katanya sambil tersenyum setelah sesi latihan selesai. "Tapi aku melihat potensi besar dalam dirimu, Lucena. Kau hanya perlu terus belajar dan percaya pada dirimu sendiri. Tidak semua orang memiliki kesempatan ini."
Lucena merasa terinspirasi meskipun lelah.
Saat Lucena beristirahat di sela-sela latihannya, Thelma duduk bersila di seberangnya, memandang jauh ke luar jendela dengan mata yang tampak melamun.
"Kau tahu." Thelma memulai dengan nada lembut namun mendalam. "Sebelum kekuatan sihir kita seperti sekarang, ada sosok yang melampaui segalanya. Dia adalah Dewi dari Jerdin Celeste, pusat dari segala kekuatan magis di dunia ini. Namanya kini hanya menjadi bisikan dalam cerita-cerita lama."
Lucena, yang sedang mengatur napas setelah latihan berat, menatap Thelma dengan rasa ingin tahu. "Dewi? Apa dia yang memberi kita sihir?"
Thelma mengangguk perlahan. "Benar sekali. Dia adalah sumber dari semua kekuatan magis. Tidak ada makhluk berakal, baik manusia, elf, dwarf, atau bahkan naga, yang memiliki sihir sebelum Dewi itu turun ke dunia dan memberikan berkahnya. Dia membawa keseimbangan, mengajari kita bagaimana mengendalikan kekuatan itu, dan memberikan aturan agar sihir tidak menjadi senjata kehancuran."
Lucena memiringkan kepalanya. "Kalau dia begitu hebat, kenapa tidak ada lagi yang berbicara tentang dia?"
Wajah Thelma berubah serius, tatapannya seolah menembus waktu. "Karena dia telah tiada, Lucena. Dia gugur dalam Perang Surgawi, ketika dunia ini diserang oleh kekuatan kegelapan yang dipimpin oleh Lord of Fiend. Kau mungkin pernah mendengar sedikit tentang perang itu dalam dongeng, tetapi aku yakin kau tidak tahu betapa mengerikan perang itu sebenarnya."
Lucena menggelengkan kepala, semakin penasaran. "Apa yang terjadi saat itu?"
Thelma menarik napas panjang, seolah mengingat cerita yang sering dia dengar saat masih muda. "Lord of Fiend adalah penguasa kehancuran. Dia memimpin pasukan iblis dan makhluk kegelapan untuk menaklukkan dunia, mencuri kekuatan magis dari makhluk hidup. Dewi itu tidak tinggal diam. Dia memimpin para dewa-dewi lainnya, serta pasukan manusia dan makhluk berakal lainnya, dalam perang besar-besaran melawan kegelapan itu."
"Dia sangat kuat." Lanjut Thelma, matanya berkilau dengan semangat saat membicarakan Dewi itu. "Dia pernah membelah gunung hanya dengan ayunan tangannya, memanggil badai untuk menghancurkan pasukan musuh, bahkan hampir meruntuhkan langit untuk menyingkirkan iblis-iblis terkuat. Dia adalah simbol kekuatan, keberanian, dan pengorbanan."
"Tapi kekuatan itu ada batasnya." Bisik Thelma, suaranya kini lebih pelan. "Dalam medan pertempuran, Dewi itu menghadapi Lord of Fiend sendirian. Pertempuran itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Dan pada akhirnya, dia dikalahkan oleh Lord Of Fiend setelah si Dewi memaksakan dirinya terus menerus. Tubuhnya hancur, jiwanya memudar, dan berkahnya tersebar ke seluruh dunia, menjadi energi sihir yang kita gunakan sekarang."
Lucena terdiam, kagum sekaligus sedih mendengar cerita itu. "Dia memberikan segalanya untuk kita..."
Thelma tersenyum tipis. "Benar. Dia adalah puncak dari apa yang bisa dicapai oleh seorang pengguna sihir. Tapi dia juga pengingat bahwa kekuatan sebesar itu datang dengan tanggung jawab yang sangat besar."
Lucena menatap tongkat kayu di tangannya. Cerita itu tidak hanya menginspirasinya, tapi juga memberinya pemahaman baru tentang sihir yang dia coba kuasai. "Apakah mungkin aku, atau orang lain, bisa menjadi seperti Dewi itu?"
Thelma tertawa kecil. "Siapa yang tahu, Lucena? Potensi ada di dalam diri kita semua. Tapi ingat, bukan hanya kekuatan yang membuat Dewi itu luar biasa. Keberanian, pengorbanan, dan cintanya pada dunia ini adalah hal yang membuatnya abadi di hati mereka yang tahu kisahnya."
Lucena mengangguk pelan. Cerita itu memberikan tujuan baru dalam perjalanannya—bukan hanya menjadi petualang yang hebat, tetapi juga seseorang yang bisa melindungi dunia seperti Dewi dari Jerdin Celeste.
Setelah menyelesaikan latihannya bersama Thelma, Lucena berjalan dengan semangat ke perpustakaan besar di gedung Serikat. Dalam pikirannya, nama Dewi itu—Magiënna—terus terngiang-ngiang. Rasa penasaran membara dalam hatinya. Siapakah nama dewi itu sebenarnya?
Lucena mulai membaca buku-buku sejarah kuno dan mitos tentang Dewi itu. Beberapa buku yang dia temukan menggambarkan Magiënna sebagai sosok yang luar biasa. Dari teks-teks itu, dia mempelajari bahwa:
Magiënna adalah nama yang paling sering digunakan untuk Dewi tersebut, tetapi buku-buku yang lebih kuno menyebutkan bahwa itu mungkin hanya gelar, bukan nama aslinya.
Sang Dewi dipercaya menciptakan sihir bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk dunia itu sendiri. Bagi Magiënna, sihir adalah jalinan kehidupan, sebuah energi yang menghubungkan segala sesuatu di dunia.
Legenda juga menyebutkan bahwa dia tidak hanya menciptakan sihir, tetapi juga bintang-bintang di langit. Banyak yang percaya bahwa setiap bintang adalah simbol kekuatannya, memberikan perlindungan abadi kepada dunia bahkan setelah kematiannya.
Salah satu cerita menarik menyebutkan bahwa saat Magiënna pertama kali menciptakan sihir, dia menari di atas lautan, dan dari gerakan tubuhnya, cahaya bintang pertama kali muncul di langit malam.
Namun, ada hal yang membuat Lucena semakin penasaran. Tidak ada satu pun buku yang menyebutkan nama asli sang Dewi. Semua teks yang dia baca hanya menyebutnya sebagai Magiënna, "Pemberi Sihir," atau "Bunda Bintang."
Lucena menutup salah satu buku yang baru saja selesai dia baca dan bersandar di kursinya. Dalam pikirannya, dia bertanya-tanya, Mengapa nama aslinya tidak disebutkan? Apakah ada alasan di balik itu? Atau apakah namanya telah hilang bersama waktu?
Lucena terus menggali, membaca buku demi buku hingga malam tiba. Salah satu buku mitologi mencantumkan sebuah kalimat yang membuatnya tertegun:
"Magiënna memberikan bintang-bintang kepada langit agar manusia tidak tersesat dalam kegelapan, tetapi nama aslinya disembunyikan dalam hati mereka yang paling setia kepadanya. Nama itu adalah kunci menuju misteri terbesar dunia."
Lucena memandang kalimat itu dalam diam, perasaan takjub dan rasa penasaran yang semakin mendalam bercampur di hatinya. Baginya, Magiënna bukan hanya sosok yang agung, tetapi juga misteri besar yang mungkin bisa membawanya pada petualangan yang lebih besar di masa depan.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top