Chapter 3

Perjalanan Lucena ke perbukitan utara Glaswald dimulai dengan langkah-langkah penuh antusiasme, meskipun sedikit diselimuti keraguan. Jalan setapak yang membentang di depannya dipenuhi rerumputan hijau yang lembut, dan udara segar dari ladang sekitar membuatnya merasa damai. Langit biru cerah tanpa awan menjadi latar sempurna untuk petualangan kecil pertamanya.

Di tengah perjalanan, ia melewati padang rumput yang luas, tempat segerombolan domba sedang sibuk merumput. Hewan-hewan itu tampak tenang, bulu mereka putih bersih seperti kapas. Di dekat mereka, seorang gembala tua tertidur di bawah bayangan pohon ek besar, topi jeraminya menutupi wajahnya. Lucena tersenyum kecil melihat pemandangan itu, merasa bahwa dunia di luar Orrinshire ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan.

Setelah berjalan beberapa jam, ia akhirnya tiba di perbukitan. Bukit-bukit itu bergelombang lembut, ditumbuhi bunga liar berwarna-warni dan pohon-pohon kecil yang melambai diterpa angin. Lucena mengeluarkan buku petualang pemula dari tasnya—sebuah panduan bergambar tentang berbagai tanaman herbal dan tempat menemukannya.

Ia duduk sebentar di sebuah batu besar, membuka halaman demi halaman buku itu untuk memastikan bahwa ia mencari tanaman yang benar. "Baiklah." Katanya pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri. "Ini seharusnya tidak sulit."

Dengan hati-hati, Lucena mulai menjelajahi bukit. Ia memeriksa di bawah semak-semak, di sekitar akar pohon, dan di antara celah-celah batu. Dalam waktu sekitar dua jam, ia berhasil mengumpulkan semua tanaman yang diperlukan. Daun-daun hijau, bunga kecil berwarna ungu, dan akar-akar pendek dengan bau tajam kini tersimpan rapi di kantong kainnya.

Setelah yakin bahwa ia telah mengumpulkan semuanya, Lucena mencari tempat untuk beristirahat. Ia menemukan sebuah pohon kecil yang memberikan cukup bayangan dan duduk di bawahnya. Ia mengeluarkan sebotol air dan sedikit roti yang ia beli dari Serikat sebelum berangkat.

Sambil menikmati makanannya, ia bersenandung kecil, melodi lembut yang biasa ia dengar saat bekerja di bar. Angin sepoi-sepoi meniup rambutnya, membuatnya merasa tenang meskipun sendirian.

"Dunia ini lebih indah dari yang aku kira." Gumamnya sambil menatap perbukitan di sekelilingnya.

Namun, di tengah ketenangan itu, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Perasaan samar yang membuat tengkuknya meremang. Ia menghentikan senandungnya dan menoleh ke belakang, tapi tidak melihat apa-apa. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya, Lucena menarik napas panjang dan mencoba kembali bersantai, meski kini rasa waspada perlahan mulai menguasainya.

Tiba-tiba, dari balik rimbunnya pepohonan, muncul dua serigala besar dengan mata tajam berkilauan, menatap langsung ke arah Lucena. Kedua binatang itu berjalan perlahan, langkah mereka nyaris tak bersuara di atas rumput, sementara telinga mereka tegak, mendeteksi setiap gerakan kecil Lucena.

Jantung Lucena berdetak kencang. Tangannya gemetar saat meraih pisau kecil yang ia bawa—senjata sederhana yang bahkan tak pernah ia gunakan sebelumnya. Napasnya terengah, tapi ia tahu satu hal: ia tidak bisa lari. Kedua serigala itu akan lebih cepat darinya, dan jika ia tidak melawan, nasibnya sudah pasti berakhir di sini.

Dengan tangan gemetar, Lucena mengangkat pisaunya, mencoba terlihat lebih berani dari perasaan yang sesungguhnya. "Ayo... kalau kalian mau, aku tidak akan menyerah begitu saja." Katanya pelan, suaranya bergetar meski ia mencoba menegaskan keberanian.

Serigala pertama menyerang lebih dulu, melompat ke arah Lucena dengan rahang terbuka, siap menancapkan giginya. Lucena berteriak, melangkah mundur sambil mengayunkan pisaunya secara acak. Pisau itu memang mengenai serigala di bahu, membuatnya meringis dan mundur beberapa langkah, tetapi serigala kedua segera menggantikannya.

Lucena berusaha menangkis serangan serigala kedua dengan pisau, tetapi cakar hewan itu berhasil mencakar lengannya. Ia menjerit kesakitan, darah mulai mengalir dari lukanya. Namun, rasa sakit itu malah mendorong adrenalinnya. Ia mengayunkan pisaunya lagi, kali ini mengenai moncong serigala kedua. Hewan itu melolong kesakitan, namun serigala pertama sudah kembali menyerang, menerjang tubuhnya hingga ia jatuh terguling ke tanah.

Lucena bergulat di tanah dengan serigala pertama. Giginya nyaris mencengkeram lehernya, tetapi ia berhasil memutar tubuhnya dan menusukkan pisau ke sisi perut serigala itu. Binatang itu melolong keras, tubuhnya tersentak sebelum akhirnya terjatuh di samping Lucena, tak bergerak lagi.

Belum sempat bernapas lega, serigala kedua melompat ke arahnya. Lucena, dengan tubuh yang penuh luka dan tenaga yang mulai habis, hanya bisa mengangkat pisaunya ke depan. Serigala itu menerjang, dan pisau kecil itu menancap tepat di dada binatang tersebut.

Hewan itu berguling, meronta-ronta beberapa kali sebelum akhirnya diam.

Lucena duduk terengah-engah di atas tanah, tubuhnya berlumuran darah, baik darahnya sendiri maupun darah kedua serigala itu. Luka gigitan di pahanya terasa berdenyut, cakaran di lengannya perih setiap kali ia bergerak. Tangannya gemetar saat memegang pisau yang kini penuh noda darah.

Ia menatap tubuh tak bernyawa kedua serigala itu, kemudian menunduk, menyadari apa yang baru saja ia lakukan. "Aku masih hidup..." Bisiknya, hampir tak percaya.

Namun, rasa kemenangan itu segera digantikan oleh rasa sakit di seluruh tubuhnya. Ia merobek sebagian kecil pakaiannya untuk membalut luka gigitan di pahanya, meskipun upaya itu hanya sedikit membantu. Dengan susah payah, ia berdiri, memaksakan kakinya untuk melangkah, membawa tanaman herbal yang ia kumpulkan sebelumnya.

"Ini baru awal." Katanya pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri meskipun tubuhnya hampir menyerah.

Lucena akhirnya berhasil tiba kembali di Glaswald saat senja mulai turun. Tubuhnya terasa remuk, setiap langkahnya disertai denyutan rasa sakit dari luka-luka yang ia alami. Namun, ia memaksakan dirinya menuju bangunan Serikat Petualang, menyerahkan tanaman herbal yang ia kumpulkan.

Felina yang sedang berada di meja resepsionis menyambutnya dengan senyum, meskipun senyumnya segera memudar saat melihat kondisi Lucena. "Lucena! Apa yang terjadi padamu?" Felina bertanya cemas.

Lucena mengangkat tangan, meminta Felina memberinya waktu untuk bernapas sebelum ia mulai menjelaskan. "Aku... diserang dua serigala saat di bukit utara. Aku... aku terpaksa melawan mereka."

Felina mengerutkan alis, tampak bingung. "Serigala? Di bukit utara? Itu tidak mungkin... Serigala di sana sudah punah bertahun-tahun yang lalu karena perburuan berlebihan. Bahkan pemerintah menjadikannya zona perlindungan untuk mencegah hal itu terjadi lagi."

Lucena menggeleng lemah, sambil mengeluarkan ciri-ciri kedua serigala yang ia temui. "Mereka tidak seperti yang aku bayangkan. Bulunya lebih gelap, hampir hitam. Matanya berwarna kuning tajam, seperti menyala. Mereka juga jauh lebih besar daripada serigala yang biasa aku dengar dari cerita."

Felina terdiam sejenak, tampak berpikir. "Ini aneh... Jika mereka bukan serigala lokal, dari mana mereka datang? Dan bagaimana bisa mereka ada di bukit itu?"

Lucena hanya mengangkat bahu, terlalu lelah untuk memikirkan misteri tersebut. "Aku hanya mencoba bertahan hidup. Jika aku tidak melawan mereka, aku mungkin tidak akan ada di sini sekarang."

Felina mengangguk pelan, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih lembut. "Kamu tidak salah. Membela diri adalah tindakan yang benar. Aku akan mencatat ini di laporan Quest-mu. Mungkin pihak Serikat bisa menginvestigasi lebih jauh tentang keberadaan serigala itu."

Setelah mengisi laporan, Felina memberikan kompensasi kecil kepada Lucena untuk misi herbalnya. "Untuk pertama kali, kau melakukannya dengan baik. Namun, aku sarankan kau beristirahat dulu dan merawat lukamu. Kau bisa kembali mengambil misi setelah pulih."

Lucena mengangguk dan tersenyum lemah. Meskipun tubuhnya terasa sakit dan penuh luka, ada sedikit rasa bangga dalam dirinya. Ini adalah langkah pertamanya dalam perjalanan panjang untuk menjadi petualang hebat.

Setelah menyerahkan laporan dan menerima kompensasi, Felina menyadari kelelahan yang tergurat di wajah Lucena. Ia menawarkan sebuah saran praktis.

"Lucena." Ujar Felina sambil menunjuk sebuah pintu di sisi kiri bangunan. "Serikat menyediakan penginapan untuk petualang yang baru bergabung atau sedang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Harganya cukup terjangkau karena hanya akan dipotong 20 persen dari hadiah Quest yang kau terima. Itu sudah termasuk sarapan, makan malam, dan akses penuh ke fasilitas Serikat, seperti ruang latihan dan perpustakaan."

Lucena mengerutkan kening, mencoba menghitung cepat di pikirannya. Meskipun hadiahnya tak seberapa, potongan itu masih terasa masuk akal baginya, terutama dengan kondisi tubuhnya yang membutuhkan istirahat segera. "Jadi aku tak perlu membayar langsung dengan uang, ya? Itu cukup membantu." Katanya pelan.

Felina tersenyum, mengangguk. "Benar. Selain itu, makanan di sini lumayan enak, dan tempat tidurnya cukup nyaman. Kamu bisa langsung mendaftar di meja penginapan di sana." Ujarnya sambil menunjuk resepsionis lain yang tampak sibuk melayani petualang lain.

Lucena menghela napas lega. "Terima kasih, Felina. Ini benar-benar membantu. Aku tak yakin bisa mencari penginapan di luar dengan kondisiku sekarang."

Felina menepuk bahu Lucena dengan lembut. "Istirahatlah dengan baik. Kau telah melalui banyak hal hari ini. Dan jangan ragu untuk kembali ke sini jika membutuhkan bantuan."

Lucena mengangguk dan berjalan menuju meja penginapan. Setelah mengisi formulir sederhana dan memberikan rincian Quest-nya, ia menerima sebuah kunci kecil dengan nomor kamar.

"Kamarmu ada di lantai atas, nomor 207." Kata petugas di meja dengan ramah. "Jika membutuhkan apa pun, kau bisa menghubungi kami di sini."

Lucena membawa dirinya ke lantai atas dengan langkah pelan, rasa lelah dan nyeri mulai mereda hanya dengan pikiran tentang tempat tidur yang hangat dan makanan hangat yang menunggunya. Setibanya di kamar, ia membuka pintu dan mendapati ruangan sederhana namun bersih, dengan tempat tidur empuk, meja kecil, dan jendela yang menghadap jalan utama di Glaswald.

Setelah meletakkan barang-barangnya, Lucena membaringkan tubuhnya di atas kasur, membiarkan rasa nyaman menyelimuti dirinya. Ia tahu, ini hanya awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan, tetapi malam itu, ia membiarkan dirinya menikmati kehangatan dan kedamaian yang langka.

...
.....

Pagi itu, setelah menikmati sarapan sederhana namun mengenyangkan yang disediakan oleh Serikat—roti hangat, telur rebus, dan sup sayuran—Lucena berjalan menuju fasilitas latihan. Bangunan itu terletak di sisi timur gedung utama Serikat, sebuah aula besar dengan atap tinggi dan dinding yang dihiasi rak senjata, target panah, dan peralatan latihan lainnya.

Ketika Lucena masuk, suara logam beradu dan mantra yang dilantunkan memenuhi ruangan. Di dalam, berbagai kelompok petualang pemula sedang berlatih: beberapa menggunakan pedang, lainnya memanah, sementara sekelompok kecil mempraktikkan sihir elemen dasar di pojok ruangan.

Lucena merasa canggung pada awalnya, tapi ia mengingat kembali tujuannya. Ia berjalan menuju salah satu rak yang menampilkan berbagai tombak dengan berbagai panjang dan bentuk. Tangannya menyentuh gagang tombak yang sederhana namun kokoh, mengingatkan pada tombak yang pernah ia lihat Ayahnya gunakan.

"Ah, tombak pilihan yang bagus." Ujar seorang pelatih berperawakan besar yang memperhatikannya dari kejauhan. Ia mengenakan baju kulit tebal dengan rambut abu-abu pendek. "Senjata ini memang membutuhkan ketangkasan, tapi jarak jangkauannya membuatnya sangat efektif, terutama melawan lawan yang lebih besar atau bergerombol."

Lucena menelan ludah, gugup. "Saya... saya masih pemula. Tapi saya pernah melihat Ayah saya berlatih dengan tombak, jadi saya pikir mungkin saya bisa mencobanya."

Pelatih itu mengangguk dengan penuh perhatian. "Kalau begitu, kita mulai dengan dasar-dasar. Pegangan yang benar adalah hal paling penting. Jangan terlalu kaku, tapi jangan terlalu longgar juga."

Pelatih itu menunjukkan cara memegang tombak dengan benar, dan Lucena mencoba menirunya. Tombak itu terasa lebih berat dari yang ia bayangkan, tapi ia berusaha tetap teguh.

"Bagus." Kata pelatih itu. "Sekarang, cobalah untuk menusuk ke target itu." Ia menunjuk ke sebuah boneka latihan di depan mereka.

Lucena mengambil posisi, mengingat bagaimana Ayahnya dulu memegang tombak. Dengan sedikit keberanian, ia melancarkan tusukan ke arah boneka. Namun, tusukan itu terlalu lemah, dan tombaknya hanya menyentuh permukaan tanpa dampak berarti.

Pelatih tertawa kecil, bukan dengan nada mengejek, melainkan lebih kepada dorongan. "Jangan takut memberikan tenaga! Ingat, lawanmu tidak akan menunggu. Bayangkan kau menusuk sesuatu yang berusaha menyerangmu."

Mendengar itu, Lucena menarik napas dalam, mengingat serigala yang ia lawan kemarin. Dengan tekad yang baru, ia mengayunkan tombaknya ke arah boneka, kali ini dengan tenaga lebih besar. Tusukan itu menghantam tepat di tengah torso boneka, cukup kuat untuk membuatnya bergoyang.

"Bagus! Itu lebih baik." Kata pelatih, tersenyum puas. "Sekarang kita coba beberapa kombinasi: tusukan, sapuan, dan blokir. Ingat, tombak adalah senjata serbaguna."

Latihan terus berlangsung selama beberapa jam. Meskipun tangan Lucena mulai gemetar karena kelelahan, ia merasa senang. Setiap kali ia berhasil meningkatkan tekniknya, rasa percaya dirinya tumbuh sedikit demi sedikit.

Ketika sesi latihan selesai, pelatih itu menepuk bahunya. "Kau punya potensi, Lucena. Jangan berhenti berlatih, dan tombak ini bisa menjadi perpanjangan tubuhmu dalam waktu dekat."

Lucena tersenyum lelah namun puas. Ia menyeka keringat di dahinya dan memutuskan untuk kembali ke penginapan, beristirahat sebelum melanjutkan pencariannya untuk menjadi petualang hebat.

Setelah selesai berlatih, Lucena merasa bahwa tubuhnya cukup lelah, tetapi pikirannya masih bersemangat. Dengan membawa catatan kecil yang ia dapatkan dari Serikat, ia menuju ke perpustakaan yang terletak di lantai dua bangunan Serikat Petualang.

Perpustakaan itu adalah tempat yang luas dan tenang, dengan rak-rak kayu yang menjulang tinggi, dipenuhi buku tentang berbagai topik—strategi bertarung, panduan bertahan hidup, pengetahuan tentang monster, hingga sejarah panjang dunia mereka. Ada juga beberapa petualang pemula lain yang duduk di meja-meja kecil, membaca dengan serius atau mencatat.

Lucena memilih buku tentang herbal dan racikan obat, berharap dapat memahami lebih baik tanaman yang ia temukan sebelumnya. Ia juga mengambil satu buku panduan dasar tentang tombak, berharap dapat memperbaiki tekniknya. Ia duduk di salah satu meja yang dekat dengan jendela, sinar matahari sore menyinari halaman-halaman buku yang ia baca.

Saat ia sibuk mencatat beberapa hal penting, seorang petualang muda dengan rambut coklat ikal dan wajah ramah menghampirinya. "Hei, kau petualang baru, ya?" Tanyanya dengan senyum.

Lucena mengangkat wajahnya, sedikit terkejut. "Iya, aku baru saja bergabung. Namaku Lucena."

Pemuda itu mengangguk. "Aku Veyran. Aku juga baru bergabung sekitar dua minggu lalu. Apa kau sedang mempersiapkan misi berikutnya?"

Lucena mengangguk sambil menunjukkan catatannya. "Aku ingin belajar lebih banyak tentang herbal dan juga tombak. Aku baru pertama kali keluar dari desaku, jadi aku merasa harus banyak belajar."

Veyran tertawa kecil. "Kau tidak sendiri. Aku juga dari desa kecil di selatan sini. Tapi, Serikat ini tempat yang bagus untuk belajar dan mendapatkan teman baru. Kalau kau butuh bantuan atau sparring partner, aku selalu ada."

Mereka berbincang cukup lama, berbagi pengalaman dan kekhawatiran mereka sebagai petualang pemula. Veyran bahkan mengenalkan Lucena kepada beberapa petualang pemula lainnya yang sedang duduk di dekat mereka. Salah satunya adalah seorang gadis bernama Sienna yang ahli dalam sihir penyembuhan, dan seorang pria besar bernama Halrik yang berspesialisasi dalam pertarungan jarak dekat.

Percakapan mereka berlangsung santai dan akrab. Lucena merasa lebih percaya diri setelah bertemu mereka. Meskipun mereka semua adalah pemula, semangat mereka untuk saling membantu dan belajar bersama membuat Lucena merasa tidak sendirian.

Saat malam tiba, Lucena menutup buku-bukunya dan mengucapkan selamat malam kepada teman-temannya yang baru. Ia kembali ke penginapan dengan hati yang lebih ringan dan semangat yang lebih besar. Baginya, ini adalah langkah kecil menuju mimpinya, tapi ia tahu, setiap langkah itu penting.

Dua hari setelahnya, Serikat mendapatkan kabar tentang monster-monster yang tiba-tiba muncul di bukit utara Glaswald, Lucena mengumpulkan keberanian untuk membentuk sebuah party. Ia mengajak Veyran, Sienna, dan Halrik untuk bekerja sama, mengingat mereka sudah mulai saling mengenal dan memiliki keahlian yang saling melengkapi.

"Ini kesempatan kita untuk benar-benar membuktikan diri." Kata Lucena dengan semangat saat mereka berkumpul di meja makan pagi itu. "Aku tahu ini berbahaya, tapi aku yakin kalau kita bekerja sama, kita bisa melakukannya."

Veyran mengangguk sambil tersenyum. "Aku setuju. Kita tidak akan bisa maju kalau hanya berdiam diri."

Sienna terlihat sedikit ragu, tetapi akhirnya berkata. "Kalau kita tetap bersama, aku bisa menjaga kalian dengan sihir penyembuhanku. Aku setuju."

Halrik, dengan suara berat dan tegas, hanya berkata. "Aku di pihakmu. Siapa pun yang mendekat, aku akan pastikan mereka tidak bangun lagi."

Setelah semua sepakat, mereka menuju meja resepsionis untuk mendaftar sebagai party sementara dan menerima briefing dari Felina.

Felina berdiri di depan mereka dengan wajah serius. "Situasi ini tidak biasa. Monster-monster yang muncul di bukit utara bukan monster lokal. Ada laporan tentang serigala besar, goblin bersenjata, dan bahkan makhluk mirip kadal yang biasanya ditemukan di rawa-rawa. Kami menduga ada sesuatu yang memaksa mereka keluar dari habitat asli mereka."

Lucena bertanya. "Apa ini berarti kami harus lebih waspada?"

"Tepat." Jawab Felina. "Kalian adalah petualang pemula, jadi jangan mencoba menghadapi musuh yang lebih besar dari kemampuan kalian. Fokus pada observasi dan eliminasi ancaman kecil. Kalau menemukan sesuatu yang mencurigakan, segera laporkan."

Setelah memberikan peta area dan penjelasan tentang titik aman di bukit, Felina menatap mereka dengan tajam. "Jangan ceroboh. Kalian adalah aset Serikat, dan kami tidak ingin kehilangan kalian."

Dengan peralatan lengkap dan strategi yang sudah disepakati, mereka berempat memulai perjalanan ke bukit utara. Perjalanan itu terasa lebih serius dibandingkan misi Lucena sebelumnya. Tidak ada senyuman santai dari para penggembala atau pemandangan yang indah. Atmosfer terasa berat, seperti alam sendiri tahu ada sesuatu yang salah.

Setelah satu jam berjalan, Veyran berhenti dan menunjuk jejak kaki besar di tanah. "Ini tidak seperti jejak serigala biasa." Katanya sambil berjongkok untuk memeriksa lebih dekat. "Ini lebih besar… dan lebih dalam."

Sienna mengerutkan kening. "Mungkin monster yang lebih besar telah datang. Kita harus lebih hati-hati."

Halrik menggenggam kapaknya erat. "Apapun itu, aku siap."

Lucena merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi ia menenangkan dirinya. "Oke, kita lanjut. Jangan terpisah, dan tetap waspada."

Saat mereka mendaki bukit, suara ranting patah tiba-tiba terdengar dari semak-semak. Halrik langsung maju, melindungi yang lain dengan tubuh besarnya, sementara Veyran menarik pedangnya.

Dari semak itu, muncul dua goblin kecil dengan senjata tumpul, terlihat marah tetapi tidak terlalu berbahaya.

"Ini hanya goblin." Kata Veyran dengan tenang. "Kita bisa mengatasinya."

Lucena mengangguk dan mengarahkan tombaknya ke salah satu goblin. Dengan kerjasama sederhana, mereka berhasil mengalahkan kedua goblin itu tanpa banyak kesulitan, meskipun Lucena masih sedikit gugup dalam serangannya.

Namun, saat mereka bernapas lega, suara geraman yang lebih dalam terdengar. Dari balik pepohonan, muncul seekor serigala hitam besar, lebih besar dari serigala yang pernah Lucena hadapi sebelumnya. Mata merahnya memancarkan keganasan.

"Ini yang berbeda." Bisik Sienna dengan nada panik.

"Kita harus melawan bersama." Kata Lucena, mengangkat tombaknya dengan tangan gemetar.

Dengan tekad yang baru mereka temukan, mereka bersiap menghadapi tantangan berikutnya.

Pertarungan dimulai dengan geraman serigala raksasa yang menggema di bukit, membuat keempat petualang pemula itu merasakan adrenalin mengalir dalam tubuh mereka. Lucena, meskipun ketakutan, berusaha tetap memegang tombaknya erat-erat.

"Bentuk lingkaran! Jangan biarkan dia menyerang salah satu dari kita secara langsung!" Teriak Halrik, mencoba mengambil peran sebagai pemimpin.

Namun, formasi yang mereka coba bangun dengan terburu-buru tidak sempurna. Serigala itu langsung melompat ke arah Halrik, mengandalkan ukurannya yang besar untuk menimbulkan rasa takut. Halrik mengangkat kapaknya dengan tergesa-gesa, mencoba menangkis cakar besar serigala itu, tetapi serangannya membuatnya terhuyung ke belakang.

"Halrik, awas!" Teriak Veyran, mencoba menusuk serigala itu dari samping dengan pedangnya. Sayangnya, pedangnya hanya berhasil melukai sedikit bagian kulit tebal serigala itu.

Sienna segera melantunkan mantra sederhana, membentuk perisai kecil yang berhasil melindungi Halrik dari gigitan serigala. Namun, Sienna terlalu fokus pada mantra sehingga dia tidak menyadari serigala itu mengayunkan cakarnya ke arahnya.

"Sienna, minggir!" Lucena mendorong Sienna ke samping, tetapi serangan itu tetap melukai bahu Lucena, membuatnya meringis kesakitan.

"Lucena, kau terluka!" Sienna panik, mencoba merapalkan mantra penyembuhan, tetapi serigala itu tidak memberi mereka waktu untuk bernapas.

"Kita harus menyerangnya bersamaan!" Teriak Veyran, mencoba mencari celah untuk menyerang lagi.

Mereka mencoba mengikuti saran Veyran. Halrik maju ke depan untuk menarik perhatian serigala dengan kapaknya, memberikan ruang bagi Lucena dan Veyran untuk menyerang dari samping. Namun, gerakan mereka yang kurang terkoordinasi membuat serigala itu dengan mudah menghindari serangan mereka.

"Ini tidak berhasil!" Teriak Halrik, terengah-engah setelah mengayunkan kapaknya beberapa kali tanpa hasil.

Sienna, di belakang mereka, mencoba mengatur napas sambil tetap melantunkan mantra untuk melindungi teman-temannya. Dia merasa frustrasi karena kemampuannya masih terbatas.

Lucena merasa panik, tetapi dia mencoba mengingat apa yang pernah dia lihat saat ayahnya berlatih tombak. Dia menatap serigala itu dengan mata penuh tekad.

Ketika serigala itu kembali melompat ke arah Halrik, Lucena berteriak. "Halrik, pancing dia ke arahku!"

Halrik, meskipun ragu, mengangkat kapaknya tinggi-tinggi dan mundur perlahan, memancing serigala itu untuk mengikutinya. Saat serigala itu mendekat, Lucena mencoba menenangkan napasnya.

Ketika serigala itu berada dalam jangkauan, Lucena menusukkan tombaknya ke arah kepala serigala, tetapi makhluk itu bergerak cepat dan hanya terkena bagian bahunya. Serigala itu meraung kesakitan dan berbalik, menyerang Lucena dengan ganas.

Sienna segera melantunkan mantra perisai, tetapi serigala itu terlalu kuat. Lucena terjatuh ke tanah, tombaknya terlepas dari tangannya.

"Tidak!" Veyran melompat, menyerang serigala itu dari belakang, tetapi hanya berhasil mengalihkan perhatian sesaat.

Saat serigala itu berbalik ke arah Veyran, Lucena melihat tombaknya tergeletak di dekatnya. Dengan tangan gemetar dan luka di bahunya yang terasa berdenyut, dia mengambil tombak itu dan bangkit perlahan.

Dia menunggu waktu yang tepat, dan saat serigala itu menyerang Veyran, Lucena berlari sekuat tenaga. Dengan semua keberanian yang tersisa, dia melompat dan menusukkan tombaknya ke mata serigala itu dengan kekuatan penuh.

Serigala itu meraung dengan suara memekakkan telinga, tubuhnya meronta-ronta sebelum akhirnya jatuh ke tanah dengan suara berdebam.

Lucena terjatuh ke lututnya, terengah-engah. Darah serigala bercampur dengan keringat dinginnya. Veyran segera membantunya berdiri, sementara Halrik memeriksa tubuh serigala untuk memastikan makhluk itu benar-benar mati.

"Kau berhasil, Lucena." Kata Sienna, matanya berbinar meskipun wajahnya masih dipenuhi kecemasan. "Kau membunuhnya."

Lucena hanya mengangguk, terlalu lelah untuk berbicara.

"Itu… luar biasa." Kata Halrik, meletakkan tangannya di bahu Lucena dengan bangga. "Kau benar-benar seorang Petualang."

Mereka berempat beristirahat sejenak, mengumpulkan tenaga sebelum kembali ke Glaswald.

Saat suasana mulai tenang dan Sienna sibuk menyembuhkan luka-luka Lucena dengan mantra sederhana, Halrik mendekati mayat serigala raksasa itu. Dia mengeluarkan pisau berburu dari sabuknya, lalu mulai memeriksa tubuh makhluk itu dengan hati-hati.

"Apa yang kau lakukan, Halrik?" Tanya Lucena dengan suara lemah, masih mencoba menahan rasa sakit dari luka-lukanya.

"Ambil bagian-bagian yang berharga." Jawab Halrik sambil mulai menguliti bagian kecil dari bulu tebal serigala. "Bulu, cakar, dan taring dari makhluk seperti ini bisa dijual mahal. Atau, kalau kau tahu pandai besi yang tepat, mereka bisa digunakan untuk membuat senjata atau perlengkapan yang sangat kuat."

Lucena menatap Halrik dengan rasa ingin tahu. "Kau serius? Bagaimana bisa bulu atau taring berubah menjadi senjata?"

Halrik tersenyum kecil, berhenti sejenak untuk menunjukkan salah satu cakarnya yang besar dan tajam. "Lihat ini. Cakar seperti ini, kalau ditempa dengan baik, bisa dijadikan ujung pisau atau bahkan panah yang sangat kuat. Bulu tebalnya bisa dijadikan pelapis baju zirah ringan yang mampu menahan serangan senjata tajam. Taringnya?" Halrik menunjuk ke salah satu taring besar serigala. "Taring ini biasanya digunakan sebagai hiasan atau komponen sihir oleh para penyihir. Harganya bisa setinggi langit.'

Lucena terdiam, memperhatikan dengan takjub saat Halrik melanjutkan pekerjaannya dengan cekatan. "Jadi… ini semacam sumber penghasilan tambahan?"

Halrik mengangguk. "Benar. Sebagai petualang, kita tidak hanya mendapatkan uang dari menyelesaikan misi. Barang-barang seperti ini bisa menjadi penyelamat kalau kita sedang kehabisan uang, atau kalau kita membutuhkan peralatan yang lebih baik untuk bertahan hidup di luar sana."

Veyran yang duduk tak jauh, mendengar percakapan itu, menimpali. "Tapi ini juga butuh pengalaman. Kalau salah cara mengambilnya, kau bisa merusak bagian yang berharga. Aku sendiri masih belajar."

Lucena mengangguk pelan, merasa terinspirasi. Meskipun dia baru saja melewati pertarungan paling menakutkan dalam hidupnya, dia mulai melihat potensi besar dalam perjalanan ini. Petualangan bukan hanya soal bertarung, tetapi juga soal memanfaatkan segala hal yang ada di dunia ini.

"Kalau begitu, aku ingin belajar juga suatu hari nanti." Kata Lucena dengan semangat baru.

Halrik tertawa kecil. "Kau punya banyak waktu untuk belajar, Lucena. Tapi untuk sekarang, fokus saja pada penyembuhanmu. Ini perjalanan panjang, dan kita baru saja mulai."

Sienna tersenyum lembut sambil melanjutkan penyembuhannya. "Dan aku di sini untuk memastikan kau tetap hidup untuk mempelajarinya."

Mereka semua tertawa kecil, meskipun tubuh mereka lelah dan luka-luka masih terasa. Pertarungan dengan serigala raksasa itu tidak hanya menguji kekuatan fisik mereka, tetapi juga membangun rasa persahabatan dan pelajaran berharga tentang kehidupan sebagai petualang.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top