Chapter 2
Dua hari setelah kejadian tragis yang mengguncang Orrinshire, suasana kota masih diselimuti kabut duka. Meskipun sebagian warga mulai bangkit untuk memperbaiki kehidupan mereka, luka yang ditinggalkan oleh serangan masih terasa dalam setiap langkah dan ucapan. Untuk menghormati mereka yang gugur, sebuah upacara pemakaman massal diselenggarakan di luar kota. Di sebuah lapangan luas yang kini dihiasi dengan gundukan tanah baru, kuburan massal telah digali untuk menampung jasad-jasad yang tidak terhitung jumlahnya—warga, prajurit Kekaisaran, dan petualang yang telah memberikan nyawa mereka demi Orrinshire.
Langit hari itu abu-abu, seolah turut berduka bersama mereka yang ditinggalkan. Penduduk yang masih hidup, termasuk para prajurit Kekaisaran dan petualang, berkumpul di sekitar kuburan massal. Setiap wajah memancarkan kesedihan, tetapi juga rasa hormat yang mendalam. Di tengah kerumunan, seorang pendeta dari Gereja Sol berdiri dengan khusyuk, mengenakan jubah putih yang kini berlumuran debu perjalanan. Ia, Pendeta Dorian, adalah figur keagamaan yang dihormati di Orrinshire dan sekitarnya. Namun, hari ini, ia akan melakukan sesuatu yang berbeda.
Pendeta Dorian melangkah maju ke podium sederhana yang terbuat dari kayu bekas. Ia mengangkat tangannya, meminta perhatian semua orang yang hadir. Suaranya menggelegar, namun tetap lembut, membelah keheningan yang mencekam.
"Saudara-saudaraku." Katanya. "hari ini kita berkumpul bukan hanya untuk meratapi kehilangan kita, tetapi juga untuk merayakan keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tak terhingga dari mereka yang telah pergi mendahului kita. Mereka adalah putra-putri terbaik Orrinshire, yang telah menunjukkan bahwa harapan dan persatuan selalu bisa melawan kegelapan."
Ia berhenti sejenak, menarik napas dalam, sebelum melanjutkan. "Namun, hari ini bukan hanya milik Gereja Sol. Hari ini, kita bersatu sebagai umat yang saling menguatkan, apa pun keyakinan kita. Sebab duka adalah bahasa universal yang tak mengenal batas iman atau kepercayaan."
Para hadirin tampak terkejut sekaligus tersentuh. Pendeta Dorian kemudian memanggil seseorang dari kerumunan: Lucena. Dengan ragu-ragu, Lucena melangkah maju, wajahnya masih menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Lucena." Kata Dorian dengan suara hangat. "Kamu adalah satu-satunya di antara kami yang masih menjaga iman pada Dewi Floryn, Dewi Kehidupan dan Kesuburan. Kami meminta bantuanmu untuk memimpin doa bagi mereka yang telah pergi, agar mereka diterima dalam damai oleh Dewi Floryn."
Lucena terdiam sejenak. Ia merasa berat melangkah ke depan, mengingat kesedihan yang baru saja ia alami dengan kehilangan Gustaaf. Namun, tatapan warga yang berkabung memberinya keberanian. Ia mengangguk pelan dan mengambil tempat di samping Pendeta Dorian.
Dalam suaranya yang lembut namun tegas, Lucena mulai memanjatkan doa kepada Dewi Floryn. Doanya sederhana, tetapi setiap kata yang ia ucapkan terasa tulus, meresap hingga ke hati para hadirin.
"Dewi Floryn, yang memberikan kehidupan pada bumi ini, kami memohon padamu untuk menerima mereka yang telah pergi. Mereka yang telah memberi segalanya untuk melindungi kami. Semoga jiwa mereka kembali ke alam-mu yang damai, dan semoga kami yang ditinggalkan terus diberkahi kekuatan untuk melanjutkan perjuangan mereka..."
Saat Lucena berbicara, banyak di antara warga yang merasa terhibur. Bahkan prajurit Kekaisaran yang biasanya tidak terlalu peduli dengan urusan agama terlihat menundukkan kepala dalam doa.
Setelah Lucena selesai, Pendeta Dorian melanjutkan dengan ritual khas Gereja Sol, membakar dupa suci dan memanjatkan doa bagi jiwa-jiwa yang telah pergi. Ia juga memimpin warga untuk menaburkan bunga di atas gundukan tanah, simbol penghormatan terakhir bagi mereka yang telah gugur.
Ketika upacara selesai, suasana di sekitar kuburan massal terasa sedikit lebih ringan, meski duka tetap ada. Pendeta Dorian menepuk bahu Lucena dengan lembut. "Kamubtelah menunjukkan kepada kita bahwa meski berbeda keyakinan, kita tetap bisa saling menguatkan. Terima kasih, Lucena."
Lucena hanya tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. Ia merasa bahwa keikutsertaannya dalam upacara itu, meski sederhana, telah memberinya sedikit ketenangan. Ia tahu, hidup harus terus berjalan, tetapi kenangan tentang mereka yang telah pergi tidak akan pernah pudar.
Beberapa minggu berlalu, Orrinshire mulai kembali berdenyut dengan kehidupan, meski luka yang ditinggalkan serangan itu masih segar di hati penduduknya. Jalanan kota yang semula dipenuhi puing-puing kini bersih, meskipun bekas-bekas pertempuran masih tampak di beberapa sudut. Lucena kembali bekerja di bar tempat ia mencari nafkah, menyajikan bir dan makanan untuk pelanggan yang mencoba mengusir duka dengan tawa palsu dan cerita-cerita usang.
Namun, bagi Lucena, hari-hari itu terasa seperti mimpi yang berulang tanpa akhir. Setiap langkah, setiap gelak tawa yang ia dengar, semuanya terasa hambar dan hampa. Ia bekerja seperti biasa, melayani pelanggan, tersenyum, dan menari-nari kecil mengikuti irama musik, tetapi pikirannya melayang ke tempat lain.
Di sela-sela rutinitasnya, pikiran Lucena dipenuhi oleh bayangan-bayangan masa lalu: wajah Gustaaf yang tersenyum penuh harap ketika ia berbicara tentang mimpi-mimpinya menjadi petualang hebat; keberanian Delilah yang tanpa ragu menghadapi bahaya untuk menyelamatkannya. Mereka, yang telah mengambil risiko dan memberikan segalanya untuk sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, telah mengubah cara Lucena memandang hidupnya.
Malam itu, setelah pelanggan terakhir meninggalkan bar dan ia selesai membersihkan meja-meja yang berantakan, Lucena duduk sendirian di pojok ruangan. Lampu-lampu minyak yang redup memantulkan bayangan di dinding kayu, menciptakan suasana yang suram namun akrab. Ia menopang dagunya di tangan, menatap kosong ke arah segelas bir yang belum ia sentuh.
"Apakah ini hidupku?" Gumamnya pelan pada dirinya sendiri. "Bekerja, menikah, punya anak... lalu menua tanpa pernah tahu bagaimana rasanya benar-benar hidup?"
Lucena mengingat pengorbanan Gustaaf yang mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang-orang yang ia cintai. Ia teringat pada Delilah yang dengan gagah berani melawan ketidakpastian dan bahaya demi menyelamatkan nyawa orang lain. Kedua orang itu, dengan cara mereka sendiri, telah menjalani kehidupan yang penuh makna. Mereka telah berjuang untuk sesuatu yang lebih besar daripada kenyamanan atau rutinitas.
Namun, ia? Ia hanya seorang pelayan bar yang bersembunyi di balik rutinitasnya, berusaha menghindari dunia luar yang penuh bahaya.
Lucena menegakkan punggungnya dan memejamkan mata. 'Apa yang aku cari dalam hidup ini?' Pikirnya.
Seperti angin malam yang dingin, sebuah perasaan baru menyelinap ke dalam hatinya: keinginan untuk keluar dari kehidupannya yang monoton, untuk menemukan tujuan yang lebih besar. Mungkin ia tidak akan pernah menjadi seperti Gustaaf atau Delilah, tetapi ia tahu ia tidak bisa terus menjalani hidup dengan cara yang sama.
Keputusan itu, meski masih samar, mulai terbentuk di benaknya. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucena merasakan percikan semangat yang nyaris ia lupakan. Sebuah panggilan kecil dalam jiwanya, memintanya untuk mencari sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas.
Ketika fajar menyingsing keesokan harinya, Lucena melihat Orrinshire dengan cara yang berbeda. Kota kecil yang damai ini bukanlah penjara, tetapi tempat awal di mana ia bisa memulai sesuatu yang baru. Ia tidak tahu bagaimana caranya, tetapi ia bertekad untuk mencari tahu. Gustaaf mungkin telah pergi, tetapi semangatnya tetap hidup dalam hati Lucena, memberi dorongan untuk menjalani hidup dengan keberanian dan tujuan.
Dan, siapa tahu? Mungkin ia akan menemukan petualangannya sendiri.
Pagi itu, sinar matahari menyelusup melalui celah-celah jendela kayu di rumah kecil keluarga Lucena. Aroma roti panggang dan teh herbal memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan akrab. Namun, hati Lucena berdebar-debar. Ia telah memutuskan untuk berbicara kepada orang tuanya tentang tekadnya, sesuatu yang telah ia pikirkan berhari-hari.
Di meja makan, sang ibu, Margaret, dengan lembut mengoleskan mentega pada roti untuk sarapan, sementara sang ayah, Alaric, menikmati teh hangat sambil membaca koran tua. Lucena duduk di kursi berseberangan, memandang mereka dengan ragu sejenak sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian.
"Ibu, Ayah." Suara Lucena terdengar pelan namun tegas, "Aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting."
Margaret menoleh, tersenyum hangat. "Tentu, sayang. Ada apa?"
Lucena menarik napas dalam-dalam, tangannya menggenggam erat cangkir teh di depannya. "Aku ingin menjadi seorang petualang. Aku ingin menjadi pahlawan bagi semua orang."
Hening menyelimuti ruangan sejenak. Margaret meletakkan roti di atas piringnya, ekspresinya berubah menjadi khawatir. "Lucena... itu bukan lelucon. Dunia di luar sana berbahaya. Kau tahu apa yang terjadi saat serangan beberapa minggu lalu. Kamu hampir..." Suaranya tercekat, matanya mulai basah.
"Ibu." Lucena menyela dengan lembut, namun nadanya penuh tekad. "Aku tahu ini berbahaya. Aku tahu hidupku tidak akan mudah jika aku memilih jalan ini. Tapi ini adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa benar-benar hidup."
Alaric mengangkat alis, menatap putrinya dengan tatapan penuh perhatian. "Kenapa, Lucy? Apa yang membuatmu ingin mengambil risiko seperti ini?"
Lucena menundukkan kepala sejenak, mencoba menahan emosi. "Gustaaf." Jawabnya lirih. "Dia memberikan segalanya untuk melindungi orang-orang yang ia cintai. Dan Delilah... dia menyelamatkanku tanpa ragu. Mereka menunjukkan kepadaku bahwa hidup ini lebih dari sekadar bekerja, menikah, dan hidup nyaman. Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti, Ayah. Aku ingin menorehkan namaku di hati semua orang, seperti yang mereka lakukan."
Margaret menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Lucena, kau adalah putri semata wayang kami. Aku tidak bisa membayangkan kehilanganmu. Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu? Bagaimana jika kau..."
"Ibu." Lucena memotong, menatap mata ibunya dengan tatapan penuh kasih namun teguh. "Ini adalah pertama kalinya aku meminta sesuatu. Aku tahu kau khawatir. Aku tahu aku mungkin tidak akan kembali kaya, tidak punya rumah mewah, atau hidup nyaman. Tapi aku akan bahagia, Ibu. Aku akan merasa hidup."
Alaric tersenyum tipis, meletakkan korannya di meja. "Margaret, dia adalah putri kita. Tapi dia juga seorang wanita dewasa sekarang. Jika ini yang membuatnya bahagia, siapa kita untuk menghentikannya?"
Margaret menoleh ke suaminya, matanya penuh air mata. "Kau setuju dengannya, Alaric? Kau tahu betapa berbahayanya ini!"
"Ya, aku setuju." Jawab Alaric dengan tenang. "Aku juga takut, Margaret. Tapi aku melihat tekad di mata Lucena. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa kita abaikan. Kita harus percaya padanya, seperti kita percaya pada diri kita sendiri dulu saat memulai hidup bersama."
Margaret terisak, menutupi wajah dengan tangannya. Lucena berdiri, berjalan ke sisi ibunya, dan memeluknya erat. "Ibu, aku janji aku akan berhati-hati. Aku tidak akan membuat keputusan ini tanpa berpikir panjang. Tapi tolong, izinkan aku mencoba. Aku ingin membuat kalian bangga."
Margaret mengangguk perlahan, masih terisak. "Kalau ini benar-benar yang kau inginkan, Lucy... Aku tidak akan menghentikanmu. Tapi tolong... jaga dirimu. Jangan buat Ibu menyesal."
Lucena tersenyum lega, memeluk ibunya lebih erat. "Terima kasih, Ibu. Aku janji."
Alaric berdiri, menepuk bahu Lucena dengan bangga. "Kau punya jalan panjang di depanmu, Lucy. Tapi kami akan selalu mendukungmu. Pergilah, buat nama keluarga kita dikenal, tapi lebih penting lagi... buat dirimu bahagia."
Dengan restu kedua orang tuanya, Lucena merasakan semangat yang membara di hatinya. Ia tahu jalan yang ia pilih penuh dengan rintangan, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar bebas dan hidup.
Beberapa hari setelah menerima restu dari orang tuanya, Lucena akhirnya siap untuk memulai perjalanan barunya. Perbekalan telah ia kemas dengan hati-hati: pakaian secukupnya, bekal makanan sederhana, dan sebuah buku kecil yang berisi doa-doa untuk Dewi Floryn. Pemilik bar tempat ia bekerja memberikan ucapan selamat dengan mata berkaca-kaca, bahkan menghadiahinya sebotol anggur yang tidak terlalu mahal tapi penuh makna.
Pagi itu, dengan tas sederhana di pundaknya, Lucena berdiri di pinggir jalan utama Orrinshire, menanti kereta kuda dagang yang akan membawanya ke Glaswald, ibu kota Provinsi Barat. Perjalanan ke Glaswald tidaklah singkat—dua minggu penuh perjalanan melewati bukit, lembah, dan desa-desa kecil. Bagi Lucena, itu adalah langkah pertama menuju mimpi besarnya.
Namun, sebelum kereta kuda tiba, suara deru mesin menarik perhatian orang-orang di sekitar. Sebuah mobil yang tampak megah—walau sederhana—berhenti di depan Lucena. Warnanya hitam mengilap, dengan desain klasik namun elegan, mengingatkan pada kendaraan yang hanya dilihat Lucena dalam buku atau mendengar dari cerita orang lain.
Dari dalam mobil keluar seorang pria paruh baya dengan wajah ramah dan penuh wibawa. Dialah Gubernur Orrinshire, Lord Theodore Arcland, seorang pria yang dikenal karena keadilannya dan kemurahan hatinya kepada rakyat.
"Lucena, bukan?" Tanyanya dengan senyum hangat.
Lucena sedikit terkejut dan buru-buru memberi hormat. "Benar, Yang Mulia. Apakah ada yang bisa saya bantu?"
Gubernur tertawa kecil. "Bukan aku yang membutuhkan bantuan, tapi mungkin aku yang bisa membantumu. Aku dengar kau akan ke Glaswald untuk memulai perjalananmu sebagai petualang?"
Lucena mengangguk, masih bingung kenapa Gubernur tahu tentang rencananya. "Benar, Yang Mulia. Tapi saya hanya akan menumpang kereta kuda dagang. Saya tidak ingin merepotkan siapa pun."
Gubernur melambaikan tangannya. "Omong kosong. Aku kebetulan akan ke Glaswald untuk membeli sesuatu untuk istriku. Kalau kau tidak keberatan dengan perjalananku yang tidak langsung ke tujuan, aku menawarkanmu tumpangan di mobilku. Perjalanan akan jauh lebih cepat dan nyaman dibanding kereta kuda."
Lucena terdiam sesaat, merasa sungkan sekaligus terhormat. "Yang Mulia, saya... tidak ingin merepotkan..."
"Ini bukan repot, anak muda. Anggap saja sebagai dukungan kecilku untuk petualang masa depan dari Orrinshire. Lagi pula, Glaswald adalah kota besar yang bisa menjadi tantangan tersendiri. Lebih baik kau tiba dengan tenaga penuh, bukan dengan tubuh yang lelah karena perjalanan panjang." Kata Gubernur, suaranya tegas namun bersahabat.
Melihat tawaran yang begitu tulus, Lucena akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, terima kasih banyak, Yang Mulia. Saya sangat menghargainya."
Gubernur tersenyum, membuka pintu mobil untuk Lucena dengan sopan. "Ayo, kita berangkat sebelum matahari terlalu tinggi."
Lucena masuk ke dalam mobil, merasakan jok kulit yang empuk dan suasana interior yang mewah namun tidak berlebihan. Mobil itu berderak pelan ketika mesin kembali dinyalakan, dan perlahan melaju meninggalkan Orrinshire.
Dalam perjalanan, Lucena tak henti-hentinya mengagumi kendaraan itu. "Mobil ini luar biasa, Yang Mulia. Saya bahkan tidak tahu kendaraan seperti ini bisa ada di tempat kecil seperti Orrinshire."
Gubernur tertawa. "Ah, mobil ini memang spesial. Sebuah hadiah dari seorang teman lama di ibu kota Kekaisaran. Tidak semewah yang mereka gunakan di sana, tapi cukup untuk membuatku merasa terhubung dengan pusat Kekaisaran."
Selama perjalanan, mereka berbincang tentang banyak hal: kehidupan di Orrinshire, rencana Gubernur di Glaswald, hingga cita-cita Lucena. Gubernur bahkan memberikan beberapa nasihat kepada Lucena tentang bagaimana menghadapi kerasnya dunia petualangan.
"Lucena, ingatlah." Katanya sambil menatap jalan di depan. "Keberanian itu penting, tapi kebijaksanaan lebih penting. Jangan pernah ragu untuk mundur jika keadaan terlalu berbahaya. Hidupmu jauh lebih berharga daripada gelar atau reputasi."
Lucena mengangguk, menyimpan kata-kata itu dalam hati. Perjalanan ini, meski singkat, sudah memberinya lebih banyak dari yang ia bayangkan—kenyamanan, kebijaksanaan, dan rasa percaya diri yang baru.
Saat mobil melaju melewati jalan-jalan berbatu dan hutan lebat, Lucena merasa bahwa langkah pertamanya menuju mimpi besarnya dimulai dengan cara yang tidak pernah ia duga.
Setelah beberapa jam perjalanan yang panjang namun terasa nyaman, mobil Gubernur akhirnya memasuki Glaswald, ibu kota Provinsi Barat. Suasana kota itu sungguh berbeda dari apa yang pernah Lucena lihat di Orrinshire. Jalanan luas dengan batuan yang tertata rapi, bangunan megah bergaya neo-klasik dengan ukiran-ukiran yang indah, serta hiruk-pikuk pasar dan penduduk yang jauh lebih ramai dibandingkan dengan kota asalnya.
Lucena menempelkan wajahnya ke jendela mobil, takjub dengan pemandangan baru ini. Glaswald adalah dunia yang benar-benar berbeda dari Orrinshire, dengan segala gemerlapnya yang hampir membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar dan kokoh dengan papan kayu yang bertuliskan "Serikat Petualang Glaswald" dalam huruf yang berbalut emas. Bangunan itu terlihat hidup, dengan banyak orang keluar-masuk—beberapa membawa pedang dan perisai, yang lain dengan busur dan panah, bahkan ada yang mengenakan jubah penyihir yang dihiasi simbol magis.
Gubernur Theodore turun lebih dulu, kemudian membuka pintu untuk Lucena. "Kita sampai." Katanya dengan senyum lembut.
Lucena keluar dari mobil, merasa sedikit gugup melihat kerumunan di sekitar bangunan itu. Mereka semua terlihat tangguh dan berpengalaman, jauh dari sosok dirinya yang hanya seorang gadis desa tanpa pengalaman bertarung.
Sebelum Lucena melangkah pergi, Gubernur menyentuh bahunya dengan lembut, membuatnya berbalik. "Lucena." Katanya dengan suara penuh kebapakan. "Kau sekarang berada di dunia yang sama sekali berbeda. Glaswald bukan Orrinshire. Kota ini lebih maju, lebih ramai, tapi juga jauh lebih berbahaya. Jangan pernah lengah. Dunia petualangan mungkin penuh dengan kebanggaan dan kejayaan, tapi kau harus tahu bahwa bahaya selalu mengintai di setiap sudut."
Lucena mengangguk, mencoba menyerap setiap kata. "Saya akan berhati-hati, Yang Mulia. Terima kasih banyak atas tumpangannya dan juga nasihatnya."
Gubernur tersenyum kecil, namun sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang tulus. "Ingat, kau adalah gadis desa yang belum pernah keluar dari Orrinshire. Jangan terburu-buru mempercayai orang lain, terutama di kota seperti Glaswald. Carilah orang-orang yang benar-benar bisa diandalkan, dan jangan pernah malu untuk meminta bantuan jika kau membutuhkannya."
Lucena menggenggam erat tasnya, mengangguk sekali lagi. "Saya mengerti, Yang Mulia. Terima kasih atas segalanya."
Gubernur melangkah kembali ke mobilnya, tapi sebelum masuk, ia menambahkan. "Dan satu hal lagi, Lucena. Jangan pernah kehilangan kepercayaan dirimu. Kau memulai perjalanan ini dengan tekad besar. Jangan biarkan siapa pun, atau apa pun, meruntuhkan semangat itu."
Lucena tersenyum kecil, merasa mendapatkan dorongan moral yang ia butuhkan. "Saya tidak akan mengecewakan Anda, Yang Mulia. Terima kasih."
Mobil Gubernur perlahan melaju, meninggalkan Lucena berdiri di depan Serikat Petualang. Ia menarik napas panjang, menatap bangunan besar di depannya dengan penuh tekad. Hari ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya—babak yang penuh dengan tantangan, bahaya, dan mungkin, kejayaan. Dengan langkah pasti, ia memasuki pintu Serikat Petualang, siap menghadapi apa pun yang ada di hadapannya.
Lucena melangkah ke dalam bangunan Serikat Petualang dengan perasaan gugup bercampur rasa penasaran. Begitu pintu berat dari kayu ek itu tertutup di belakangnya, matanya langsung terbelalak kagum. Interior bangunan ini jauh melampaui apa pun yang pernah ia lihat sebelumnya, bahkan dibandingkan dengan Mansion Gubernur tempat ia sempat bekerja sebagai pembantu beberapa tahun lalu.
Lantai marmer mengkilap memantulkan kilauan cahaya dari lampu gantung kristal besar yang tergantung di langit-langit tinggi. Lukisan-lukisan megah menghiasi dinding, menceritakan kisah para petualang hebat yang telah mencatatkan nama mereka dalam sejarah. Meja-meja kayu mahoni besar tersusun rapi, dikelilingi oleh kursi berlapis kulit yang tampak nyaman. Di sisi lain ruangan, terdapat papan misi besar, penuh dengan kertas-kertas yang dipasang menggunakan paku kuningan.
Lucena hampir tidak percaya dirinya berada di tempat seperti ini. Rasanya seperti masuk ke dunia yang benar-benar baru, dunia para pahlawan dan legenda.
Ia berjalan dengan hati-hati menuju meja resepsionis yang berada di tengah ruangan. Di balik meja itu, berdiri seorang wanita muda dengan telinga kucing yang menjulur di antara rambut pendeknya yang keemasan. Mata hijau cerah wanita itu menatap Lucena dengan rasa ingin tahu.
"Selamat datang di Serikat Petualang Glaswald." Kata wanita itu dengan suara ramah, senyuman kecil menghiasi wajahnya. "Ada yang bisa saya bantu?"
Lucena menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Saya... ingin mendaftar sebagai petualang." Kata Lucena.
Wanita bertelinga kucing itu mengangguk, mengambil sebuah buku besar dari bawah meja. "Tentu saja. Nama saya Felina, resepsionis di sini. Apakah Anda sudah memiliki pengalaman bertarung atau pernah bekerja sebagai tentara sebelumnya?"
Lucena menggeleng dengan jujur. "Tidak, saya tidak memiliki pengalaman apa pun. Saya... saya benar-benar baru. Bahkan saya tidak tahu cara menggunakan senjata dengan baik."
Felina menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu, lalu tersenyum tipis. "Tidak masalah. Semua petualang besar juga memulai dari suatu tempat, kan?" Ia mengambil selembar formulir dan menyerahkannya kepada Lucena bersama pena berbulu angsa. "Isi ini, dan kami akan segera memproses pendaftaran Anda."
Lucena mengisi formulir itu dengan hati-hati, menuliskan nama, usia, dan latar belakangnya sejujur mungkin. Setelah selesai, Felina memeriksa formulir itu, lalu mencatat sesuatu di buku besar di depannya.
"Baiklah, Lucena. Karena Anda benar-benar baru tanpa pengalaman, Anda akan memulai sebagai Petualang tingkat kayu, peringkat terendah di Serikat. Berikut adalah plakat kayu Anda." Felina menyerahkan sebuah plakat kecil yang terbuat dari kayu sederhana, dengan nama Lucena terukir di atasnya. "Plakat ini menunjukkan kedudukan Anda di antara para petualang. Anda harus membawa ini setiap saat. Jika hilang, Anda akan dikenakan denda untuk menggantinya."
Lucena menerima plakat itu dengan kedua tangan, menatapnya dengan campuran rasa bangga dan rendah hati. "Terima kasih. Saya akan menjaga ini baik-baik."
Felina tersenyum, kemudian menunjuk ke arah papan misi besar di dinding. "Sebagai petualang pemula, Anda hanya diizinkan mengambil misi tingkat rendah. Pastikan untuk membaca deskripsi misi dengan cermat dan jangan mencoba sesuatu yang terlalu berbahaya. Oh, dan satu hal lagi—sebagai pemula, Anda disarankan untuk bergabung dengan kelompok sampai Anda lebih berpengalaman."
Lucena mengangguk. "Saya mengerti. Terima kasih atas sarannya."
Sebelum pergi, Felina menambahkan. "Semoga beruntung, Lucena. Dan ingat, menjadi petualang adalah perjalanan panjang. Jangan pernah menyerah."
Lucena melangkah menjauh dari meja, menggenggam plakat kayu itu erat-erat. Di dalam hatinya, ia merasa bahwa ini adalah langkah pertama dari perjalanan besar yang akan mengubah hidupnya. Namun, ia juga tahu bahwa jalan ini tidak akan mudah. Tapi dengan tekadnya yang kuat, ia siap menghadapi tantangan apa pun yang menanti.
Lucena mendekati papan misi besar yang mendominasi salah satu sisi ruangan Serikat Petualang. Beragam kertas tertempel di sana, masing-masing memuat deskripsi misi dengan berbagai tingkat kesulitan. Dari memburu monster ganas hingga mengawal kafilah dagang, semuanya tampak menarik namun menakutkan bagi Lucena yang masih hijau.
Ia membaca satu per satu dengan cermat, mencari sesuatu yang sesuai dengan kemampuannya yang minim. Akhirnya, matanya tertuju pada sebuah kertas sederhana yang tampak berbeda dari yang lain.
MISI: PENGUMPULAN HERBAL
Deskripsi: Kami membutuhkan beberapa tanaman herbal khusus untuk ramuan penyembuh. Tanaman ini tumbuh di perbukitan utara Glaswald. Harap berhati-hati terhadap binatang liar.
Hadiah: 10 koin perak.
"Ini sepertinya cocok untukku." Gumam Lucena, merasa lega menemukan misi yang tidak melibatkan pertempuran.
Ia kembali ke meja resepsionis untuk mengonfirmasi pilihannya. Felina menyambutnya dengan senyum. "Ah, misi pengumpulan herbal. Pilihan yang bagus untuk pemula." Katanya sambil mencatat pilihan Lucena di buku besar. "Tanaman ini cukup mudah ditemukan, tapi tetap berhati-hati. Kadang-kadang ada binatang liar di sekitar perbukitan."
Lucena mengangguk. "Baik, aku akan hati-hati."
Felina menunjuk ke sebuah pintu di sisi lain ruangan. "Sebelum pergi, aku sarankan kau mengunjungi toko perlengkapan kami. Di sana kau bisa membeli barang-barang seperti pisau pemotong, kantong penyimpanan, atau bahkan ransum. Jika kau belum punya, kau juga bisa menyewa peta wilayah Glaswald."
"Oh, itu ide bagus." Jawab Lucena.
Felina menambahkan, "Dan jika kau ingin, kami memiliki fasilitas loker di sini. Kau bisa menyewa satu untuk menyimpan barang-barangmu yang tidak ingin kau bawa selama perjalanan."
Lucena berpikir sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah, aku akan menyewa loker."
Felina membawa Lucena ke deretan loker di dekat pintu masuk. "Biayanya satu koin perak per minggu. Kau bisa menyimpan barang-barangmu di sini dan mengambilnya kapan saja selama jam operasional."
Lucena membayar biaya sewanya, lalu menyimpan sebagian besar barang bawaannya, hanya menyisakan plakat kayunya, sedikit uang, dan beberapa barang penting lainnya. Setelah itu, ia menuju toko perlengkapan seperti yang disarankan.
Toko itu tidak terlalu besar, tapi penuh dengan barang-barang yang berguna bagi para petualang. Di dalamnya, rak-rak kayu dipenuhi pisau, tali, kantong air, hingga obor. Seorang pria paruh baya dengan apron kulit menyambutnya dari balik meja.
"Butuh apa, nona muda?" Tanyanya ramah.
Lucena menjelaskan misi pengumpulan herbalnya. Pria itu mengangguk dan mulai mengumpulkan barang-barang yang ia butuhkan: pisau kecil untuk memotong tanaman, buku petualang pemula, kantong kain untuk menyimpan herbal, dan sebuah peta wilayah Glaswald.
"Semua ini akan membantumu. Dan untuk petualang pemula seperti kau, aku beri diskon." Katanya sambil menyodorkan barang-barang itu.
Lucena tersenyum penuh syukur. "Terima kasih banyak."
Setelah membayar, Lucena merasa lebih siap untuk memulai misi pertamanya. Dengan tas kecil di pundaknya dan peta di tangan, ia kembali ke meja Felina untuk berpamitan.
"Semoga sukses, Lucena." Kata Felina sambil melambaikan tangan. "Dan ingat, jika kau menghadapi masalah, kembali saja ke sini. Lebih baik menyerah daripada mempertaruhkan nyawamu tanpa alasan."
Lucena mengangguk penuh semangat. "Aku akan berhati-hati. Terima kasih untuk segalanya."
Dengan hati yang berdebar antara antusias dan gugup, Lucena melangkah keluar dari Serikat, siap memulai perjalanan kecilnya menuju perbukitan utara Glaswald.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top