Chapter 1
Orrinshire bersinar dalam kemegahan malam itu, diterangi ribuan lentera yang menggantung di setiap sudut kota. Musik rakyat menggema, riuh rendah tawa dan nyanyian memenuhi udara. Lucena tersenyum, memeluk nampan penuh bir di dadanya sambil menari-nari melewati kerumunan. Raut wajahnya memancarkan keceriaan, meski langkah kakinya mulai terasa berat setelah berjam-jam berkeliling.
"Lucy! Tambahan bir di sini!"
"Tidak! Di sini dulu, Lucy!"
Seruan mabuk orang-orang lokal membuat Lucena tertawa kecil, meski lelah mulai terasa di tubuhnya. Pesta ini jauh lebih besar dari yang dia bayangkan. Tahun ini, festival panen menjadi acara yang mengundang pendatang dari desa-desa sekitarnya, menjadikan Orrinshire pusat perhatian. Ia berpikir, betapa indahnya hidup di tempat yang penuh damai seperti ini.
Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. Ketika Lucena hendak mengambil bir tambahan, bulu kuduknya berdiri tanpa sebab. Seperti angin dingin yang menyelinap, firasat buruk menyusup ke hatinya. Dan kemudian—
BOOM!
Suara ledakan mengguncang Orrinshire. Tanah berguncang hebat, membuat lentera-lentera jatuh dan pecah. Teriakan menggema, menggantikan tawa yang sebelumnya menghangatkan suasana. Lucena terjatuh, nampannya terlempar, bir yang ia bawa membasahi tanah. Ia menatap ke langit, melihat asap hitam membubung dari arah gerbang kota.
"Apa yang terjadi?! Serangan? Tapi siapa?! Di mana para prajurit Kekaisaran?" pikirnya kacau.
Orang-orang mulai berlarian, saling tabrak tanpa peduli. Dalam kekacauan itu, beberapa tak sengaja menginjak Lucena. Ia mengerang kesakitan, tubuhnya gemetar, namun ia memaksa merangkak ke sebuah gang sempit. Napasnya terengah-engah saat ia mencapai dinding batu yang dingin. Tangan gemetar memegang kepalanya, dan ia terkejut menemukan darah mengalir dari pelipisnya.
"Tenang, Lucy. Kau bisa atasi ini," bisiknya pada diri sendiri.
Dengan napas tertahan, Lucena memejamkan mata dan memohon berkah Dewi Floryn. Cahaya lembut menyelimuti tubuhnya, luka di kepalanya perlahan tertutup. Namun ia tahu ini hanya sementara. Ia harus tetap waspada.
Mengintip dari balik gang, pemandangan di jalanan membuat perutnya mual. Makanan yang tadi menjadi bagian dari pesta kini berserakan, bercampur dengan darah. Kemudian ia melihat mereka: sekelompok Goblin bersenjata lengkap, tubuh mereka dibalut zirah kulit, menyeret mayat-mayat manusia seperti trofi perang.
Lucena terdiam, matanya membelalak. Tentara Kekaisaran kalah? Mereka adalah penjaga yang gagah berani, pelindung Orrinshire. Bagaimana bisa mereka dihancurkan oleh Goblin?
Salah satu Goblin menangkap pandangan Lucena. Ia menunjuk dan berteriak dalam bahasa kasar yang terdengar seperti geraman binatang. Dalam sekejap, lima Goblin lainnya ikut melihat ke arah Lucena dan mulai mengejarnya.
Lucena yang panik melarikan diri, napasnya memburu. Ia berlari sejauh mungkin, namun langkah kecilnya tidak bisa mengimbangi kecepatan Goblin yang lebih lincah. Akhirnya, ia tersandung dan terjatuh keras ke tanah berbatu.
Tawa para Goblin terdengar seperti cemoohan tajam di telinganya. Mereka mendekat, lingkaran kecil terbentuk mengelilinginya. Lucena, dengan tubuh yang gemetar, melihat sebuah pedang pendek yang tergeletak tak jauh dari tangannya. Ia meraihnya, menggenggamnya erat.
"Aku tidak akan menyerah begitu saja," gumamnya, menatap tajam ke arah para Goblin.
Bukannya takut, Goblin-goblin itu malah tertawa lebih keras. Salah satu dari mereka, yang terlihat seperti pemimpin, maju sambil mengayunkan kapak kecilnya dengan santai.
Namun Lucena tahu satu hal: ia mungkin bukan pejuang, tapi ia tak akan mati tanpa perlawanan. Dengan keberanian terakhir yang ia miliki, ia mengayunkan pedang pendek itu ke arah musuh pertamanya.
Lucena memegang pedang pendek itu dengan kedua tangan yang gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, bercampur dengan darah yang masih menetes dari luka kecil di kepalanya. Ia tahu, ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan. Ia hanyalah seorang pelayan bar, bukan prajurit, bukan petualang. Tangannya bahkan terasa berat hanya dengan menggenggam pedang itu.
Keenam Goblin mengelilinginya, bergerak perlahan seperti pemangsa yang tengah bermain-main dengan mangsanya. Tawa mereka keras dan kasar, bahasa mereka terdengar seperti gumaman yang tidak dimengerti Lucena. Salah satu Goblin, yang tampaknya pemimpin, maju lebih dekat, mengayunkan pedang karatan kecil dengan gerakan santai.
"Aku tidak takut." Bisik Lucena pada dirinya sendiri, meski suaranya bergetar. Namun ia tahu itu dusta. Seluruh tubuhnya menggigil, dan kakinya terasa lemas.
Pemimpin Goblin itu berhenti beberapa langkah di depannya, tersenyum menyeringai, dan mengeluarkan suara geraman yang tampaknya seperti ejekan. Ia memberi isyarat kepada bawahannya untuk mundur, seolah memberi Lucena "kesempatan" untuk menyerangnya lebih dulu.
Dengan terpaksa, Lucena melangkah maju dan mengayunkan pedangnya dengan tenaga seadanya. Tebasannya meleset, bahkan sebelum mencapai kulit Goblin. Ia terlalu lambat dan tidak terlatih. Tawa para Goblin pecah lagi, lebih keras kali ini.
Goblin itu menangkis ayunan pedang berikutnya dengan mudah, memutar pedang kecilnya untuk menghentikan serangan Lucena. Ia kemudian mendorong Lucena dengan kasar hingga ia terjatuh ke tanah.
"Berhenti bermain-main denganku!" Teriak Lucena dengan putus asa, namun suaranya terdengar lebih seperti permohonan.
Goblin lainnya maju, menendang pedang pendek dari tangan Lucena. Pedang itu terlempar jauh, meninggalkannya tanpa perlindungan. Salah satu Goblin mendekat, mengayunkan senjata tumpulnya, memukul bahu Lucena dengan keras hingga ia meringis kesakitan.
Lucena berusaha merangkak menjauh, namun salah satu Goblin menginjak punggungnya dengan keras, membuatnya jatuh kembali ke tanah. Ia memutar tubuhnya, menendang dengan lemah, tapi Goblin-goblin itu hanya menertawakan usahanya yang sia-sia.
Satu demi satu, Goblin itu mulai mencambuknya dengan sisi tumpul pedang mereka. Tebasan tidak dalam, tapi cukup untuk meninggalkan luka yang membuat Lucena meringis dan menjerit. Bajunya terkoyak di beberapa bagian, dan darah mulai mengalir dari luka-luka kecil di lengannya.
"Dewi Floryn... tolong aku." Bisik Lucena lirih, hampir tidak terdengar di tengah cemoohan Goblin. Ia merasa tubuhnya melemah, setiap gerakannya menjadi lambat, dan kesadaran mulai memudar.
Ketika salah satu Goblin mengangkat senjatanya, tampaknya siap untuk mengakhiri permainan, tiba-tiba sebuah suara lantang memecah udara.
"Hey, dasar makhluk rendahan! Lawan seseorang yang sepadan!"
Sebuah sosok muncul dari bayangan gang, rambutnya yang dikepang melambai saat ia melompat ke tengah-tengah para Goblin. Seorang wanita dengan baju kulit sederhana, membawa pedang panjang yang tampak tajam dan digunakan dengan penuh percaya diri.
"Delilah..." Lucena berbisik, hampir tidak percaya. Ia mengenal wanita itu, seorang petualang yang mampir ke barnya beberapa saat yang lalu. Lucena bahkan memberinya sepotong roti gratis, tanpa menyangka perbuatannya yang sederhana itu akan dibalas dalam situasi seperti ini.
"Jauhi dia." Kata Delilah dengan suara dingin, pandangannya tajam menatap Goblin-goblin itu.
Goblin-goblin itu berhenti tertawa, tampaknya menyadari ancaman nyata di hadapan mereka. Delilah tidak membuang waktu. Ia bergerak cepat, menebas satu Goblin yang terlalu lambat untuk menghindar. Tubuhnya bergerak seperti angin, setiap serangan akurat dan mematikan.
Keenam Goblin itu mencoba melawan, tapi mereka tidak memiliki kesempatan melawan seseorang yang berpengalaman. Dalam waktu singkat, semua Goblin itu tergeletak tak bernyawa di tanah.
Delilah segera berlutut di samping Lucena, memeriksa lukanya. "Kau terluka parah." Katanya, nada suaranya melembut. Ia mengeluarkan kain dari tasnya, membalut luka-luka Lucena sebisa mungkin.
Lucena tersenyum lemah, air mata mengalir di pipinya. "Terima kasih..." Bisiknya, sebelum akhirnya pingsan karena kelelahan dan rasa sakit.
Delilah menghela napas panjang, lalu mengangkat tubuh Lucena dengan hati-hati. "Kau berani, Lucy." Katanya pelan, meski tahu Wanita itu tidak bisa mendengarnya. "Tapi lain kali, biarkan orang lain yang bertarung."
Langit Orrinshire memerah dengan asap dan api, jeritan manusia bercampur dengan gemuruh langkah makhluk-makhluk liar di kejauhan. Delilah menggendong tubuh Lucena yang lemah di punggungnya. Nafasnya berat, namun ia terus berjalan tanpa henti menuju pusat kota, tempat terakhir yang masih aman.
"Jangan mati, Lucy." Gumamnya pelan. "Kau sudah terlalu banyak kehilangan darah. Bertahanlah sedikit lagi."
Pusat kota Orrinshire kini telah berubah menjadi benteng darurat. Tembok tinggi dari kayu gelondongan didirikan terburu-buru, diperkuat dengan tali dan paku seadanya. Para penjaga kota yang tersisa berjaga di atas tembok dengan panah siap ditembakkan, sementara beberapa tentara Kekaisaran, yang terluka namun masih sanggup berdiri, memimpin upaya pertahanan. Di sisi lain, petualang-petualang dari Guild bekerja sama, beberapa membantu menahan gerombolan Goblin di luar, sementara yang lain mengurus pengungsi yang terluka.
Delilah berjalan melewati gerbang kayu yang baru saja dibuka oleh seorang penjaga. "Buka jalan! Dia butuh perawatan!" Teriaknya, dan dua prajurit yang berjaga di sana langsung membantu menuntunnya ke tenda medis di tengah-tengah benteng itu.
Di dalam tenda perawatan, bau anyir darah bercampur dengan aroma obat herbal. Para tabib sibuk merawat puluhan orang yang terluka, kebanyakan warga sipil yang berhasil melarikan diri. Delilah dengan hati-hati meletakkan Lucena di salah satu tikar kosong.
"Dia pingsan." Katanya kepada seorang tabib tua yang segera mendekat. "Luka-lukanya tidak dalam, tapi dia kehilangan banyak darah. Jaga dia."
Tabib itu mengangguk, lalu memulai pemeriksaan pada tubuh Lucena. Tangan tuanya bergerak terampil, membersihkan luka-luka yang kotor, mengoleskan salep, dan membalutnya dengan kain bersih. "Dia beruntung masih hidup." Gumam tabib itu sambil melanjutkan pekerjaannya.
Delilah duduk di dekat tikar, menghela napas panjang. Punggungnya terasa pegal, dan pikirannya lelah, tapi ia tidak bisa beristirahat terlalu lama. "Berapa lama kita bisa bertahan?" Tanyanya kepada seorang penjaga yang berdiri di dekat pintu tenda.
Penjaga itu menggeleng pelan. "Tidak tahu. Goblin-goblin itu semakin banyak. Tapi selama tembok ini berdiri, kita punya kesempatan. Bala bantuan juga akan segera tiba."
Delilah memandang ke arah Lucena, yang kini berbaring tenang dengan napas perlahan-lahan kembali stabil. Ada rasa lega melihat wanita muda itu selamat, setidaknya untuk saat ini.
Namun, di luar tembok, suara-suara dari makhluk-makhluk liar terus menggema, mengingatkan mereka semua bahwa bahaya belum usai. Orrinshire mungkin bertahan malam ini, tapi apakah mereka bisa melewati hari esok? Delilah menggenggam gagang pedangnya erat, mempersiapkan diri untuk pertarungan berikutnya.
Langit Orrinshire yang dipenuhi asap gelap mendadak bergema oleh suara yang menggetarkan hati. Dari kejauhan, terdengar sirene pekikan yang mengiris udara. Semua orang—penjaga, prajurit, petualang, bahkan para pengungsi—menoleh ke arah suara itu. Delilah yang berdiri di dekat tikar tempat Lucena terbaring langsung memandang keluar tenda dengan alis terangkat penuh harapan.
Dari balik awan tebal, muncullah siluet pesawat-pesawat dengan sayap patah khas mereka, melesat anggun namun mengancam. Itu adalah pesawat pengebom tukik milik Angkatan Udara Kekaisaran Eisenblut, Sturmschwinge. Sirene yang mereka bawa bukan sekadar alat perang; itu adalah simbol teror yang dirancang untuk menghancurkan moral musuh, dan kali ini, para monster di luar Orrinshire menjadi sasarannya.
Tiba-tiba, ledakan keras mengguncang tanah. Bom pertama jatuh tepat di tengah-tengah gerombolan Orc dan Goblin, meluluhlantakkan mereka dalam sekejap. Api berkobar tinggi, dan tanah di sekitarnya berubah menjadi kawah. Ledakan berikutnya menyusul, memporak-porandakan barisan musuh yang tadinya tampak tak terbendung.
Gerombolan monster yang sebelumnya bergerak dengan keyakinan buta kini kacau balau. Beberapa mencoba melarikan diri, sementara yang lain hanya berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Sirene terus melolong, membuat mereka panik dan kehilangan fokus.
Di luar tembok Orrinshire, suara gemuruh mesin semakin dekat. Dari balik kabut, barisan tank dengan gagah. Tank-tank ini memiliki nama: Donnerschlag Mk.IV, simbol kemegahan teknologi perang Kekaisaran Eisenblut. Di samping mereka, halftrack berisi infanteri Kekaisaran melaju dengan kecepatan tinggi, sementara prajurit-prajurit di dalamnya mengarahkan senapan mesin ke arah gerombolan monster.
"Ini dia..." Gumam Delilah dengan senyum tipis. Ia tahu bahwa Orrinshire kini memiliki harapan nyata untuk bertahan.
Tank-tank itu berhenti di posisi strategis, larasnya berputar dengan presisi mengarah ke kumpulan Orc yang tersisa. Ledakan demi ledakan menggema, menghancurkan musuh yang tersisa tanpa ampun. Para infanteri Kekaisaran turun dari halftrack, menyebar dengan formasi disiplin, senapan mesin mereka melontarkan peluru seperti hujan logam.
Dari tembok benteng kayu, salah satu Petualang muda berseru. "Mereka datang! Kita selamat!"
Di bawah perlindungan tembok, Delilah mendekat ke salah satu penjaga yang tampak terpaku oleh pemandangan luar biasa itu. "Kita harus membuka gerbang dan biarkan mereka masuk." Katanya tegas.
Penjaga itu mengangguk cepat dan memberi aba-aba. Gerbang kayu besar Orrinshire mulai terbuka dengan perlahan, cukup lebar untuk membiarkan bala bantuan Kekaisaran masuk. Tank-tank dan halftrack meluncur ke dalam, diikuti oleh para infanteri.
Seorang perwira dengan seragam biru-hitam yang rapi melompat turun dari halftrack pertama, memberi hormat dengan tegas. "Atas perintah Kaisar, kami datang untuk melindungi subjek Kekaisaran yang setia. Orrinshire akan bertahan!" Katanya dengan lantang, suaranya penuh keyakinan.
Delilah tersenyum tipis. "Kalian datang tepat waktu." Katanya. Ia memandang ke arah Lucena yang masih terbaring di dalam tenda perawatan, lalu kembali ke perwira itu. "Kita akan bertahan malam ini."
Kini Orrinshire tidak hanya memiliki tembok kayu dan keberanian penduduknya. Dengan kekuatan Kekaisaran Eisenblut di pihak mereka, kota kecil itu memiliki peluang besar untuk mengatasi ancaman yang datang. Sirene pesawat terus melolong di kejauhan, melodi kemenangan yang menandai akhir dari serangan pertama ini.
Langit pagi di Orrinshire telah kembali tenang, meskipun udara masih dipenuhi aroma logam darah dan asap hitam dari mayat-mayat monster yang dibakar di luar tembok. Nyala api dari pelontar api tentara Kekaisaran menciptakan tarian bayangan suram di sepanjang tanah yang sebelumnya menjadi medan perang. Ratusan monster yang mati kini menjadi abu, tanda akhir dari ancaman yang hampir menghancurkan kota kecil ini.
Delilah duduk di atas bangku kayu kecil di dalam tenda perawatan. Di sampingnya, Lucena masih terbaring, napasnya pelan dan teratur meskipun wajahnya pucat. Delilah memandang ke arah gadis muda itu, kemudian menundukkan kepalanya sambil menopang dagu dengan tangan. Hatinya terasa berat, lebih berat dari biasanya setelah pertempuran selesai.
Dia berbicara, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapa pun di sekitarnya. "Lihatlah ini... Semua darah dan keringat yang kita keluarkan selama bertahun-tahun, semua risiko yang kita ambil, untuk apa? Sekarang kita tak lebih dari bayang-bayang masa lalu. Petualang seperti aku sudah tidak relevan."
Suara Delilah terdengar pahit. Matanya melirik keluar tenda, melihat pasukan Kekaisaran yang sedang merapikan peralatan mereka dengan disiplin. "Lihat mereka. Terlatih, terorganisir, loyal. Mereka tidak ragu, tidak takut. Dan senjata mereka... mereka bisa membunuh satu gerombolan Goblin tanpa menyentuh pedang mereka. Sementara aku... aku hampir kehilangan nyawaku hanya untuk menyelamatkan seorang gadis muda."
Dia menghela napas panjang. "Apa gunanya menjadi petualang? Kita hanyalah alat yang mudah dibuang. Sebentar lagi, tidak ada yang akan membutuhkan kita lagi. Tidak ada yang akan memanggil kita sebagai pahlawan."
Lucena, yang selama ini tertidur, mulai bergerak pelan. Mata cokelatnya terbuka dengan lemah, dan dia memandang ke arah Delilah. Suaranya serak, tapi ia berhasil berbisik. "Kamu salah, Delilah."
Delilah menoleh, kaget mendapati Lucena sudah sadar. "Lucy? Kau bangun? Bagaimana keadaanmu?"
"Aku... masih sedikit pusing." Jawab Lucena pelan, lalu tersenyum tipis. "Tapi aku mendengar semua yang kau katakan. Kau terlalu keras pada dirimu sendiri."
Delilah mendengus. "Aku hanya berkata jujur. Aku tahu kenyataan seperti apa dunia ini sekarang. Kami, petualang, hanya bayangan dari masa lalu. Kami tidak diperlukan lagi."
Lucena mencoba duduk, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. "Tidak, Delilah. Kau salah. Dunia mungkin berubah, teknologi mungkin maju, tapi itu tidak berarti kau tidak penting. Kau yang menyelamatkanku. Kau yang melawan Goblin-goblin itu, meskipun kau tahu kau mungkin kalah. Kau memberikan harapan pada seseorang yang bahkan tidak kau kenal. Itu lebih dari apa yang bisa dilakukan oleh pasukan Kekaisaran dengan semua senjata aneh mereka."
Delilah terdiam, menatap Lucena dengan ekspresi penuh keraguan.
Lucena melanjutkan, suaranya kini lebih kuat. "Mungkin peran petualang berubah. Mungkin kau tidak lagi berada di garis depan seperti dulu. Tapi selama masih ada orang seperti aku—orang yang membutuhkanmu, orang yang tidak bisa melawan—kau akan selalu punya tempat. Kau lebih dari sekadar senjata, Delilah. Kau adalah simbol keberanian dan harapan."
Kata-kata Lucena menusuk hati Delilah. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa sesuatu yang hangat di dalam dadanya. Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Kau tahu, Lucy... mungkin kau benar. Aku terlalu keras pada diriku sendiri. Tapi aku tidak tahu apakah dunia akan melihatnya dengan cara yang sama."
Lucena tersenyum lemah. "Dunia selalu membutuhkan pahlawan, Delilah. Kadang, mereka hanya tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya."
Delilah mengangguk pelan, hatinya sedikit lebih ringan. Ia memandang Lucena, yang meskipun lemah, tetap memancarkan semangat. Di luar tenda, suara tembakan terakhir bergema, menandai akhir malam yang panjang dan penuh darah. Dunia mungkin berubah, tapi Delilah tahu bahwa selama ia bisa membantu, ia tetap memiliki tempat di dalamnya.
..
...
Keesokan paginya, matahari yang hangat mulai terbit di atas Orrinshire, mengusir sisa-sisa bayangan gelap dari pertempuran semalam. Meskipun situasi di kota mulai stabil, kerusakan dan trauma masih terasa di mana-mana. Lucena, meskipun tubuhnya masih lemah dan beberapa lukanya belum sepenuhnya pulih, memutuskan untuk mencari orang tuanya yang belum ia temukan sejak serangan itu.
Delilah, yang kini tidak memiliki tugas karena pasukan Kekaisaran telah mengambil alih keamanan kota, dengan sukarela menemani Lucena. Dengan pedangnya tergantung di pinggang dan ransel kecil di punggungnya, Delilah berjalan di samping Lucena yang tampak gelisah namun bersemangat.
"Apa kau yakin mereka pergi ke luar kota?" Tanya Delilah sambil memandang ke jalan yang penuh puing-puing.
Lucena mengangguk. "Ayahku bekerja di tambang yang tidak jauh dari sini. Biasanya, ibuku mengunjunginya setiap beberapa hari untuk membawakan bekal. Kalau mereka tidak di kota, mungkin mereka bersembunyi di sana."
Perjalanan mereka melewati jalan setapak yang dipenuhi sisa-sisa kerusakan. Ada beberapa warga yang terlihat membersihkan puing-puing, sementara prajurit Kekaisaran berjaga di berbagai sudut untuk memastikan tidak ada ancaman susulan. Lucena menyapa beberapa orang yang ia kenal, berharap mereka punya kabar tentang orang tuanya, tapi kebanyakan hanya bisa menggeleng atau memberi doa.
Delilah, yang berjalan dengan tenang di sisi Lucena, sesekali mengamati sekeliling dengan tatapan tajam. "Aku tahu kau cemas, tapi jangan terlalu khawatir. Jika mereka berada di tambang, kemungkinan besar mereka aman. Serangan monster semalam lebih fokus ke kota."
"Aku harap begitu." Jawab Lucena, meskipun suaranya tetap dipenuhi kecemasan.
Ketika mereka mendekati tambang di pinggiran Orrinshire, Lucena mulai berlari kecil, rasa lelahnya dilupakan sementara oleh harapan. Tambang itu tersembunyi di balik bukit kecil, dengan pintu masuk yang terlindung oleh batu-batu besar. Ketika mereka tiba, Lucena memanggil dengan suara penuh harap.
"Ayah! Ibu! Ini aku, Lucena!"
Hening sesaat, hanya suara angin yang berhembus di antara pepohonan. Lucena merasa dadanya mulai sesak oleh kekhawatiran. Namun, tak lama kemudian, suara berat yang familiar memecah keheningan.
"Lucena?! Itu kau, Nak?!"
Dari balik bayangan tambang, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih muncul. Wajahnya penuh debu, tapi matanya memancarkan kebahagiaan ketika melihat Lucena. Itu adalah ayahnya.
"Ayah!" Lucena langsung berlari dan memeluk pria itu dengan erat. Tangis bahagia pecah, rasa lega yang membanjiri hatinya tidak bisa disembunyikan.
Di belakang ayahnya, seorang wanita dengan apron yang sudah lusuh muncul. Itu adalah ibunya. Wanita itu membawa keranjang bekal yang sudah hampir kosong. Ketika melihat Lucena, ia menutup mulutnya dengan tangan, air mata langsung mengalir.
"Lucena! Syukurlah kau selamat!" Ibunya bergabung dalam pelukan mereka, memeluk anaknya erat-erat.
Delilah, yang menyaksikan reuni itu dari kejauhan, hanya berdiri dengan tangan di pinggang, senyum kecil terukir di wajahnya. "Syukurlah, mereka baik-baik saja." Gumamnya pada dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat, Lucena akhirnya memperkenalkan Delilah kepada orang tuanya. "Ini Delilah. Dia menyelamatkanku ketika serangan terjadi."
Ayah Lucena mengulurkan tangan dengan hangat. "Terima kasih, Nona Delilah. Kami tidak tahu bagaimana cara membalas budi atas apa yang telah kau lakukan untuk anak kami."
Delilah hanya mengangkat bahu dengan santai. "Itu sudah tugasku... meskipun aku hanya seorang petualang yang tidak terlalu berguna sekarang." Katanya, setengah bercanda.
Ibunya tersenyum. "Kau telah menyelamatkan putri kami. Bagaimana mungkin itu tidak berarti apa-apa?"
Delilah tidak menjawab, tapi senyumnya semakin lebar. Ia merasa sedikit lebih dihargai dari sebelumnya.
Setelah memastikan keadaan aman, mereka semua kembali ke kota bersama-sama. Lucena, yang kini merasa beban berat di hatinya telah terangkat, berjalan lebih ringan. Meski Orrinshire masih dalam proses pemulihan, kebahagiaan kecil ini menjadi tanda bahwa kehidupan, meski sulit, tetap bisa dilanjutkan.
Matahari sudah semakin tinggi saat Lucena dan keluarganya akhirnya kembali ke Orrinshire yang perlahan mulai bangkit dari kehancuran. Warga kota sibuk memperbaiki rumah-rumah mereka yang hancur, sementara prajurit Kekaisaran tetap berjaga di berbagai sudut, memastikan tidak ada ancaman susulan. Lucena, meskipun lelah, merasa lega telah menemukan orang tuanya selamat. Namun, ada satu pikiran yang masih menghantuinya: sahabat masa kecilnya, Gustaaf.
Setelah berpamitan dengan ayah dan ibunya, yang kini sedang membantu warga lain di tempat penampungan, Lucena memutuskan untuk mencari tahu tentang kabar Gustaaf. Ia ingat terakhir kali bertemu dengannya, Gustaaf sedang bersiap pergi ke ibu kota untuk mengejar mimpinya menjadi seorang petualang hebat. Tapi serangan kemarin mungkin telah mengubah segalanya.
Lucena berjalan menyusuri jalanan kota yang masih penuh dengan puing-puing. Sesekali ia bertanya pada warga yang ia temui, berharap mendengar kabar baik tentang Gustaaf. Namun, kebanyakan orang hanya menggeleng atau menatapnya dengan ekspresi sedih.
Saat Lucena melangkah semakin jauh ke bagian kota yang lebih hancur, ia melihat dua sosok yang familiar duduk di depan sebuah rumah yang nyaris runtuh. Eva dan Eric, orang tua Gustaaf, sedang menangis dalam keheningan. Eva memeluk Eric erat-erat, sementara pria itu menundukkan kepala, wajahnya penuh kesedihan.
Lucena merasa dadanya mencelos. Dengan hati-hati, ia mendekati mereka. "Bibi Eva? Paman Eric? Apa yang terjadi?" Tanyanya, suaranya bergetar.
Eva mendongak dengan mata yang basah dan sembab. Ia membuka mulutnya untuk berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar. Sebagai gantinya, ia hanya menunjuk ke arah sebuah kain yang terhampar di tanah, tidak jauh dari tempat mereka duduk.
Lucena mengikuti arah jari Eva, dan matanya tertumbuk pada kain yang warnanya sudah berubah menjadi merah gelap oleh darah. Kakinya terasa lemas. Ia tahu apa yang ada di bawah kain itu, tapi hatinya menolak untuk menerima kenyataan. Dengan langkah gemetar, ia mendekati kain tersebut.
Eric akhirnya angkat bicara, suaranya berat dan pecah. "Gustaaf... dia mencoba melindungi warga saat serangan kemarin. Dia melawan Goblin dan Orc seorang diri untuk memberi waktu bagi yang lain melarikan diri."
Eva menangis lebih keras, menggenggam tangan Eric erat. "Dia selalu berkata ingin menjadi pahlawan, ingin melindungi orang-orang yang ia sayangi. Tapi... dia terlalu muda... terlalu muda untuk pergi..."
Lucena berlutut di samping kain itu, tangannya gemetar saat ia menyentuh ujungnya. Perlahan-lahan, ia menarik kain itu ke samping, memperlihatkan wajah Gustaaf yang pucat. Wajah yang dulu penuh semangat dan mimpi kini tidak lagi bernyawa. Luka di tubuhnya bercerita tentang pertempuran yang ia hadapi, tentang keberanian yang akhirnya membawanya pada akhir yang tragis.
Air mata mengalir deras dari mata Lucena. Ia tidak bisa berkata-kata, hanya memandang wajah sahabatnya yang kini telah tiada. Ia teringat saat-saat mereka bermain bersama di masa kecil, saat Gustaaf berbicara dengan penuh semangat tentang mimpinya menjadi seorang petualang yang akan membawa kebanggaan bagi Orrinshire.
"Kenapa...?" Bisiknya lirih. "Kenapa harus dia?"
Eva memeluk Eric semakin erat, suaranya terdengar lemah. "Dia menyelamatkan banyak orang, Lucy. Dia melakukan apa yang dia percaya benar. Tapi itu tidak menghilangkan rasa sakit ini..."
Delilah, yang tidak jauh dari situ, berdiri dalam keheningan. Ia menyaksikan semuanya dengan tatapan suram, memahami luka yang tidak hanya dialami oleh keluarga Gustaaf, tapi juga oleh Lucena. Perlahan, ia mendekati Lucena, meletakkan tangan di bahunya.
"Dia seorang pahlawan, Lucy." Kata Delilah pelan. "Tapi aku tahu itu tidak akan mengurangi rasa kehilanganmu."
Lucena mengangguk perlahan, tangannya mengepal di atas kain yang kini kembali menutupi tubuh Gustaaf. "Dia memang pahlawan." Katanya, suaranya penuh rasa sakit. "Tapi aku berharap dia masih ada di sini..."
Hari itu, Lucena belajar bahwa keberanian dan pengorbanan sering kali datang dengan harga yang tak terbayangkan. Gustaaf mungkin telah pergi, tapi semangat dan mimpinya akan terus hidup dalam kenangan semua orang yang ia selamatkan.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top