Hobbledehoy
An awkward teenager; one who is perpetually ungainly and certain
____________
“Nanti pulang bareng, ya? Tapi tunggu sebentar, mau beli minuman dulu.”
Rasanya aneh mendapat ajakan pulang bareng dari seseorang yang belum genap satu hari menyapa netra. Apalagi orang tersebut adalah lawan jenis. Berkat ajakan yang terjadi di sela-sela pembelajaran, Denaya sekarang menunggu seorang laki-laki berkulit kuning langsat menyelesaikan pembayaran, Denaya juga membeli batagor kesukaannya untuk dia jadikan makan siang di rumah. Transaksi Denaya sudah lebih dulu selesai.
“Ayo! Maaf, ya, kelamaan, abangnya tadi tuker uang dulu.” Denaya hanya mengangguk.
Niatnya terbebas dari ketegangan pupus sudah. Denaya tidak bisa menolak ajakan pulang bersama laki-laki yang belum memperkenalkan diri ini, otaknya tidak bisa berpikir cepat mencari alasan tepat untuk menghindari kata ‘Ya’, dan dia juga tidak terbiasa menolak.
Sekelibat pertanyaan menghampiri pikirannya, namun terlalu malu untuk diutarakan dan ragu juga tidak luput menjadi alasan tidak keluarnya semua pertanyaan di kepala.
“Kita tetanggaan, lu nggak inget gua?” Salah satu pertanyaan itu sudah dijawab laki-laki di sebelahnya. Dia bersyukur laki-laki itu peka. “Gua Gavin, adeknya Davin, inget?”
Dua nama yang masih menggantung diingatan Denaya. Benar-benar tidak ingat dan tidak menemukan satu memori pun yang suaranya menyebut antara dua nama itu. Denaya kesulitan menjawab, dia takut menyinggung perasaan laki-laki yang masih menggenggam es teh plastik di tangan.
“Kalo Avin inget?”
Nama itu ... tentu saja dia ingat dan tidak akan pernah dia lupakan satu nama yang sudah menghancurkan mainannya sewaktu kecil, sayangnya mainan jenis apa Denaya pun lupa, tetapi sensasi marah dan sedih masa lampau masih bisa dirasakan sama persis pada detik ini.
Denaya tidak ragu mengangguk dan nyaris kembali membuat protes kalau saja Gavin tidak segera memberikan pembelaan, “Itu abang gua, bukan gua.”
“Abang gua masih simpan bonekanya kalo lu mau ambil,” Ah, benar! Boneka. Boneka Barbie yang baru saja dibeli ayah dan merupakan boneka paling Denaya sayangi. “Tapi bukan Barbie, kata abang gua yang penting boneka. Pas mau kasih, lunya udah pergi.”
Denaya mengangguk. Meski suasana sempat mencair, Denaya kembali kehilangan permasalahan yang bisa dijadikan bahan obrolan sepanjang jalan menuju rumah. Pembahasan tentang boneka yang rusak tidak menarik minatnya, itu sudah lama terjadi dan Denaya tidak benar-benar menyukai boneka.
“Ngomong apa, diem mulu,”
“Nggak tahu mau ngomong apa,” Denaya merutuki jawabannya. Bukankah laki-laki yang sudah menyebutkan namanya sedari tadi memancingnya berbicara? Tetapi pikirannya sama sekali tidak menemukan jalan memperpanjang percakapan.
“Eh, itu apa?”
Matanya justru tertarik pada hal lain yang terselip di antara batang berdaun lebat. Warnanya berbeda dari daun dan batang tempat benda itu menggantung. Gavin ikut membungkuk melihat benda yang dituju Denaya, mereka bersebelahan. Dalam kondisi normal, Denaya tidak akan nyaman, namun benda yang sudah dia yakini adalah ular dan butuh pembuktian lebih dulu menyita seluruh pikirannya.
“Jangan dipegang!” Gavin menarik tangan Denaya.
“’kan udah mati.”
“Bisa aja pura-pura mati, ada beberapa jenis ular pura-pura mati biar dijauhin mangsanya.” Benar juga! Bagaimana Denaya melupakan informasi yang pernah diajarkan ayah. Denaya tidak tahu persis kapan tepatnya dia tertarik pada dunia reptil, tetapi berkat itu ayah mengajarkan hal-hal dasar soal ular, termasuk kebiasaan beberapa jenis. Ular hidung babi. Ya, kalau tidak salah itu namanya.
“Ih, tapi gua penasaran, lucu ularnya.” Denaya tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Gavin malah menarik tangannya menjauh dari ular yang melemahkan diri di atas dahan pohon. Tempat bersembunyinya sangat strategis, tertutupi lebatnya dedaunan. Dan, keheningan kembali menyapa. Denaya meloloskan begitu saja topik yang mungkin bisa menghabiskan langkah mereka tanpa disadari. Dia terlalu penasaran pada kebiasaan ular tersebut sampai melupakan seseorang di sebelahnya.
“Lu tertarik banget sama reptil emangnya?” Denaya cukup bersyukur Gavin tidak pernah menutup mulutnya, mesin di kepalanya bekerja lebih baik menemukan celah kecil pembicaraan.
“Nggak juga, cuma suka lihat ular.” Lagi-lagi Denaya mematikan percakapan dengan sangat mudah. Bagus Denaya! Dia merutuki dalam hati.
Jangan salahkan Denaya bila di hari pertamanya masuk sekolah belum ada satu orang pun yang dia ajak bicara, kecuali orang itu sendiri yang memulai, seperti Gavin. Denaya memiliki kebiasaan menilai seseorang sebelum melakukan interaksi, paling tidak Denaya bisa mengurangi kesalahan pada kesan pertama sebuah pertemuan. Kesan pertama adalah awal dari sebuah hubungan. Begitu yang diajarkan kakak sepupunya.
“Jadi,” Terlalu sibuk dengan pikiran sendiri tanpa terasa mereka telah sampai di depan rumah masing-masing. Rumah Gavin berhadapan langsung dengan rumah Denaya dan ada perasaan cukup risih dalam hati Denaya mengetahui fakta ini, “besok mau berangkat bareng?”
Denaya mengangguk.
“Tunggu di sini sebentar,” Gavin berlari masuk membiarkan pintu terbuka. Sejauh ingatan Denaya mengenai ruang tamu yang dulu lebih sering terbuka, tidak banyak yang berubah selain sofa kayu berganti dengan sofa yang tampak lebih empuk. Gavin keluar membawa sebuah boneka yang masih terbungkus plastik.
“Ini, dari Bang Davin, kasian udah berapa tahun nggak sampai ke pemiliknya.”
Boneka kelinci dengan perpaduan warna pink dan putih memegang sebuah wortel, ukurannya pas untuk dipeluk. Ini boneka kedua yang dia miliki. Harus diperlakukan bagaimana boneka-boneka ini? Denaya tidak pernah meminta dibelikan boneka, kamarnya dulu penuh dengan robot dan mobil-mobilan, tetapi sekarang hanya berisi furnitur dan beberapa buku.
Denaya mengucapkan terimakasih dan masuk ke rumah. Membaringkan boneka baru di sisi boneka lama. Dia berpikir akan menjadikannya teman tidur. Setidaknya hanya itu cara memperlakukan bonekan yang dia tahu.
-------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top