8. Perlahan Belum Pasti
Selama menjadi adik seorang Aofar, sepanjang hidupnya Ardhani tak pernah merasa memiliki ikatan yang cukup erat dengan kakak keduanya itu. Aofar adalah Aofar. Kakak laki-laki yang ia anggap egois, usil, serta tak memiliki jiwa family man sedikit pun. Jangan tanya Ardhani memilih siapa yang akan ia pilih dari kedua kakak lelakinya. Cicak penjelajah dinding rumah mereka pun tahu siapa jawabannya.
Namun takdir membawa perubahan yang nampak nyata di dalam hidup Ardhani. Kehampaan karena absennya sosok Arman di rumah, nyatanya tegantikan oleh Aofar yang nampak berusaha keras untuk mengambil hatinya. Perlahan Aofar menjelma menjadi sosok kakak yang Ardhani butuhkan. Walau tak secara terang-terangan, paling tidak saat ini Ardhani merasa memiliki seseorang yang bisa memberikan perlindungan.
Ponsel Ardhani berdering. Aofar yang ia tunggu untuk menjemputnya, tiba-tiba mengirimkan pesan.
Bang Aofar: Dhan, kerjaan Abang belum beres. Ada problem dadakan sama modelnya. Kamu ke studionya Adam dulu, ya? Abang samperin nanti di sana.
Kedua mata Ardhani melebar membaca dua kalimat terakhir.
Kamu ke studionya Adam dulu, ya. Abang samperin nanti di sana.
Tanpa pikir panjang, Ardhani menelepon kakak keduanya yang baru ia puji di dalam hati tadi.
"Nggak mau! Ngapain aku nggak ada angin nggak ada topan tiba-tiba datang ke sana? Aku nunggu Bang Aofar aja," omel Ardhani begitu Aofar menjawab teleponnya.
"Studionya Adam kan deket, Dhan. Kantor kamu juga mau tutup. Nunggu di sana aja, ya? Bang Aofar nggak tahu nih bakal kelar jam berapa."
Ardhani memejamkan kedua mata dan menghela napas jengkel. Jika saja Ibunya tak pergi liburan ke luar kota bersama kelompok ibu-ibu aerobik, ia tak akan ragu untuk pulang sendirian sejak tadi.
"Abang lebih lega kamu di studio Adam, Dhan."
"..."
"Atau Abang suruh Adam jemput kamu ke sana?"
"Nggak!" potong Ardhani gugup. "Nggak usah!
"Ya udah. Pelan-pelan aja nyetirnya. Jalanan licin habis hujan."
"Aku keliling dulu aja. Pulang ke rumah kalau Bang Aofar kelar."
"Ya ampun, Dhani. Cuaca lagi buruk seharian. Banyak pohon tumbang, noh!" Aofar menghela napas. "Lagian Adam udah beliin kamu makan, Dhan. Tega bener."
Entah mengapa tiba-tiba wajah Ardhani terasa sedikit kaku.
"Ke studio Adam aja ya, Dhan?"
"..."
"Ardhani?"
"Iya," jawab Ardhani ketus sebelum menutup panggilan.
Dengan setengah hati, Ardhani berjalan keluar dari lobi kantornya. Sepanjang perjalanan menuju parkiran kendaraan, ia sedikit menyesal telah memuji Aofar dengan segenap ketulusan hatinya.
Aofar benar-benar tak dapat ditebak.
***
Saat akan berhenti di depan studio milik Adam, Ardhani mengamati Adam yang menatapnya seraya menenteng helm di depan pintu.
"Mau pergi, ya?" tanya Ardhani ragu-ragu seraya melepas helm.
"Mau ke depan gerbang ruko. Nungguin kamu."
Ardhani berjalan perlahan mendekati Adam. "Ngapain nunggu aku?"
"Kamu nggak angkat telepon. Takutnya lupa studioku bangunan yang mana." Adam membuka pintu, mempersilakan Ardhani untuk masuk. "Belum makan, kan?"
Kaki Ardhani melangkah memasuki studio Adam. "Belum."
"Ya udah, makan dulu." Adam berjalan lebih dulu menuju pantry. "Kata Aofar kamu nggak rewel soal makanan. Nasi goreng pasti mau, kan?"
"Cuma satu?" Ardhani memperhatikan bungkus nasi goreng yang Adam sodorkan padanya di atas meja.
Adam nampak heran. "Emang biasanya kamu makan berapa porsi?"
Ardhani menghela napas. "Maksudnya ... ini buat aku aja? Kamu nggak ikutan makan, nih?"
Walaupun samar, senyum Adam tertangkap jelas di mata lawan bicaranya. "Kamu maunya makan sepiring berdua?"
Karena tiba-tiba merasa kikuk melihat Adam tertawa, Ardhani pun duduk dan meraih nasi goreng pemberian laki-laki itu.
"Aku tinggal ke atas ya, Dhan? Mau finishing kerjaan." Adam meletakkan piring yang dilengkapi sendok dan garpu di hadapan Ardhani. "Nanti kalau udah kelar makan, langsung samperin aja ke atas. Pintu warna merah."
.
.
Ardhani mengintip lewat kaca pintu yang lebih tinggi darinya. Hanya terlihat Adam yang tengah serius bekerja di depan beberapa layar di sana. Setelah mengetuk dua kali, Ardhani pun membuka pintu merah yang Adam sebutkan tadi.
"Enak nggak nasi gorengnya?" tanya Adam tanpa sedikitpun mengurangi keseriusan menatap layar komputer.
"Enak." Ardhani memandang sekelilingnya dengan heran sekaligus takjub.
Adam berdiri, mengambil sebuah kursi lipat dan membukanya di samping Ardhani. Setelah itu ia kembali duduk di hadapan komputer untuk kembali bekerja.
"Makasih." Ardhani duduk dan turut memandangi layar-layar komputer Adam. "Untuk makanan dan kursinya."
Satu sudut bibir Adam terangkat. "Sama-sama."
"Kamu ... anak band?"
Gerakan tangan Adam berhenti. Ia menoleh Ardhani dengan raut penuh tanya.
"Ada alat musik lengkap di ruangan mirip studio rekaman itu." Ardhani menunjuk ruangan yang dipisahkan kaca bening dari tempatnya duduk. "Terus ada piano yang nyambung sama kompuer ini. Makanya aku mikir gitu."
Adam tertawa singkat. "Bukan, Dhan. Aku visual composer."
Kedua mata Ardhani berbinar mendengar pekerjaan yang cukup asing di telinganya. "Apaan tuh?"
Tawa Adam kembali terdengar. Ia bahkan memutar tubuh untuk menghadap Ardhani yang terlihat bingung.
"Singkatnya, aku pengisi musik latar untuk video," jelas Adam setelah berhenti tertawa.
"Film?"
"Ya ... film pun bagian dari video, sih. Kadang iklan, company profile, video event. Banyak lah."
Mulut Ardhani sedikit terbuka. "Waaah ... keren banget."
Adam tersenyum tertahan memlihat ekspresi Ardhani. "Teman-teman kamu nggak ada yang kerja di industri ini?"
Ardhani menggeleng. "Kebanyakan sih akuntan, sekretaris, sama guru akuntansi."
"Hm ... " Adam kembali menoleh layar komputer. "Kamu bisa main alat musik, nggak?"
"Waktu SD pernah bisa main suling dikit, sih."
Lagi-lagi Adam tertawa. Ia menekan tombol enter di keyboard, lalu berdiri dan menatap Ardhani. "Mau masuk ke sana?"
Tatapan Ardhani mengikuti ruangan yang Adam hampiri. Ia pun turut mengikuti apa yang dilakukan Adam. Kesan pertama yang Ardhani tangkap di ruangan kedap suara yang dipenuhi alat musik itu adalah magis.
"Ketemu!"
Ardhani menoleh Adam yang membawa suling berwarna putih gading.
"Nyanyiin Ibu Kita Kartini, dong," ucap Adam seraya menyodorkan suling tersebut.
"Dam ... " Tatapan Ardhani berubah melas. "Tangga nada di suling aja aku udah lupa."
Adam tertawa, lalu kembali meletakkan suling tersebut di lemari.
"Kamu bisa mainin semua alat musik ini?" Ardhani menyentuh salah satu alat musik mirip gitar. "Ini apa sih namanya?"
"Banjo." Adam berjalan mengambil gitar dan duduk di salah satu kursi. "Bisa, tapi nggak semua alat di level expert. Alat-alat musik yang asing cuma pelengkap. Kali aja aku butuh instrumen tambahan."
"Di studio ini kamu kerja sendiri?"
Kepala Adam menggeleng, lalu mulai menyetem gitar elektrik di tangannya. "Aku punya tim. Tapi emang lebih sering panggil additional player buat instrumen tertentu, sih."
Ardhani turut duduk di kursi terdekatnya. "Semua instrumen langsung dari alat musik?"
"Nggak. Aku juga pakai software audio." Satu sudut bibir Adam terangkat. "Kamu dari tadi nanya mulu, kelihatannya tertarik sama dunia ini. Mau pindah bidang kerja?"
"Ya elah, Dam. Tangga nada aja aku nggak tahu, apalagi kerja ginian?"
"Tapi kalau lagu ini tahu, dong?"
Kedua pupil mata Ardhani perlahan melebar saat Adam memainkan nada intro yang familiar di telinganya. Adam memetik senar dengan tenang, tepat, dan sesuai tempo. Laki-laki itu hanya menggerakkan kepalanya dengan ringan, namun entah mengapa di mata Ardhani, Adam bak tampil sebagai pemusik profesional di atas panggung gelap namun tersorot lampu putih.
Ya ... selama Adam menyelesaikan satu lagu favoritnya, Love on the Weekend oleh John Mayer, tak pernah sedetik pun Ardhani mengalihkan pandangannya.
.
.
***
Keesokan harinya, tepat di tanggal merah.
Ardhani menguap saat baru duduk di atas ranjang. Semalam tidurnya terasa lumayan nyenyak walau baru naik ke atas ranjang pukul setengah satu pagi. Keterlambatan Aofar menghampirinya di studio Adam, lalu drama ban sepeda motor Ardhani yang bocor membuat mereka baru bisa menginjakkan kaki di rumah pukul dua belas malam.
Layar ponsel Ardhani menyala. Sebuah panggilan dari Bintang membuat ia hanya bisa menatap benda persegi itu tanpa berkedip.
"Mau sarapan apa, Dhan?"
Jantung Ardhani seakan terasa mau melompat keluar saat Aofar tiba-tiba membuka pintu seraya bertanya. "Kebiasaan, ah! Ketuk pintu dulu!"
Aofar hanya menatap adiknya malas. "Mau sarapan apa?" tanyanya lagi.
"Emang pilihannya apa?" Ardhani memaksa tubuhnya untuk berdiri.
"Makanan di taman komplek."
"Buryam."
"Oke."
"Sama batagor."
Niat Aofar untuk pergi pun terhenti. Ia menatap adiknya sinis.
"Kompensasi karena kemarin telat jemput aku," ucap Ardhani seraya merapikan ranjang.
"Iya iyaaa." Aofar meninggalkan kamar Ardhani tanpa menutupnya. "Buruan mandi. Jangan lupa tanaman Ibu!"
Ucapan Aofar membuat Ardhani meninggalkan kamar tanpa menoleh layar ponselnya yang kembali menyala karena telepon Bintang.
.
.
"Hai."
Ardhani mulai terbiasa dengan kedatangan laki-laki yang kini berdiri di gerbang rumahnya. Entah mengapa sudut bibirnya terangkat tanpa ia sadari. "Bang Aofar masih beli sarapan," ucap Ardhani.
"Aku nggak nyari Aofar." Adam mengangkat tumbler bermotif Pan Pan. "Semalam ketinggalan di pantry."
"Oh iya." Ardhani mematikan kran terlebih dahulu sebelum menghampiri Adam. Kedua alisnya menaut menyadari tumbler itu terisi sesuatu. "Apaan nih isinya?"
"Temulawak. Mamaku bikin sendiri."
Ardhani mendadak gugup. "Mama kamu tahu, kalau kamu ngasih ini ke aku?"
"Kenapa emangnya?"
Iya juga. Kenapa emangnya?
"Emang nggak boleh kasih tetangga?"
Untuk beberapa detik, isi kepala Ardhani mendadak kosong.
"Ya .... ya nggak apa-apa," ucap Ardhani kemudian.
"Tadi aku pulang subuh loh, Dhan."
"Nggak tanya."
Adam tertawa saat Ardhani meninggalkannya. "At least bilang makasih, kek."
"Makasih."
"WOY ADAM SUSENO!"
Langkah Ardhani terhenti melihat Aofar yang menghentikan sepeda di depan gerbang.
"Widih .... belanja?" tanya Adam.
"Yo'i." Aofar membuka gerbang dan meluncur ke halaman. "Habisnya nggak ada yang jual makanan di taman komplek gara-gara dijagain Satpol PP. Masak aja, deh."
"Pesen online kan bisa," sahut Ardhani.
"Kamu belum pernah rasain masakan Abang, kan? Masakan mantan anak kos tuh nggak ada lawan. Hati-hati ketagihan."
Ekspresi Ardhani semakin ragu.
"Bentar." Aofar menatap Adam yang kini berdiri di halaman. "Kamu ke sini nyari aku, Dam?"
Adam menggeleng. "Tadi cuma mau anterin barangnya Dhani yang ketinggalan."
Aofar menoleh Ardhani yang mengangkat tumbler. "Oh ... ya udah bantu aku masak, yuk?"
"Ogah. Aku bagian makan aja."
"Ya elah bantu iris-iris doang," ucap Aofar seraya menarik lengan Adam.
"Jangan! Nggak presisi ntar."
"Bodo amat! Yang penting rasanya."
"Dhani kek yang bantuin!"
"Dhani bagian cuci piring."
Rahang Ardhani terbuka mendengar suara kakak laki-lakinya yang sudah memasuki rumah.
***
Dapur rumah yang hanpir setiap harinya dikuasai oleh Ratna seorang, kini nampak sedikit gaduh dan berantakan karena ulah dua laki-laki yang berkutat di sana. Potongan sayur yang berceceran di lantai, konter cuci piring yang tampak penuh, serta berbagai bahan masakan yang berantakan, membuat sudut rumah itu lebih mirip kapal pecah daripada disebut dapur.
"Far ini asapnya kenapa sebanyak ini?"
"Kecilin apinya, Dam!" sahut Aofar yang sedang menumis. "Ya ampun ini bentuk potongan wortelnya kenapa ngga konsisten gini, sih?"
"Kamu bilang nggak masalah kalau nggak presisi."
Ardhani yang sedang mengepel lantai dapur pun hanya bisa memejamkan mata mendengar percekcokan itu.
"Dhan, Ibu tuh nanam cabai nggak, sih?"
"Ada," jawab Ardhani seraya memeras kain pel. "Tapi belum merah."
"Nggak apa-apa, yang penting pedas." Aofar meninggalkan dapur tanpa melepas apronnya. "Dhan awasin capcaynya bentar. Abang mau ambil cabai."
Menuruti perkataan Aofar, Ardhani meninggalkan tongkat dan ember pelnya. Saat menghampiri kompor, ia teheran melihat Adam yang menutupi wajah dengan tutup panci.
"Kamu nggak lagi goreng cimol, Dam. Ngapain kaya' gitu?" tanya Ardhani seraya tertawa.
Adam menoleh dengan lugu. "Tadi waktu aku masukin potongan ayam yang baru, asap sama suara minyaknya heboh."
Ardhani masih tertawa saat mengecilkan api di sisi kompor yang Adam gunakan. "Makanya apinya dikecilin. Kan tadi Bang Aofar udah bilang."
"Jadi lama dong matangnya?"
"Kamu kira api besar bikin cepat matang sempurna? Cuma bagian luarnya doang."
"Tahu gini aku cuci piring aja." Adam meletakkan tutup panci di samping kompor. "Masak bikin keringetan."
"Ya udah sana cuci piring," ucap Ardhani seraya meraih spatula dari tangan Adam. "Atau kalau nggak, duduk aja di meja sampai makanannya matang."
Adam melepas apron. "Pakai apronnya, Dhan."
"Apa?"
Ardhani sedikit terkejut saat Adam tiba-tiba mengalungkan apron di lehernya. Ia hendak protes, namun ketika Adam bergeser di belakangnya untuk mengaitkan tali, suasana di sekitarnya mendadak terasa aneh dan asing baginya. Entah mengapa, waktu terasa bergerak lebih lama, sedangkan telinga Ardhani hanya bisa mendengar satu jenis suara.
Degup jantungnya.
"Dhan, ada tamu."
Dalam sekejap, waktu kembali berjalan normal saat Ardhani menolehkan kepala.
"Bintang?" ucap Ardhani tak percaya.
Bintang yang berdiri di samping Aofar hanya tersenyum seraya mengangkat satu tangan.
"Nga-ngapain kamu ke sini?" Ardhani mendadak gugup. "Kenapa nggak bilang dulu?"
"Dari tadi kamu nggak angkat teleponku, Ardha."
Ardhani ingat, sejak tadi ponselnya berada di kamarnya.
Aofar menatap Bintang yang sedikit lebih tinggi darinya. "Udah sarapan belum kamu?"
"Udah tadi di lokasi survey, Bang." Bintang lalu tersenyun. "Tapi kalau ditawarin makan ya nggak bakal nolak, sih."
"Oke, sip. Duduk aja, habis gini makanannya ready," ucap Aofar seraya berjalan ke arah kompor. "Ayamnya udah belum, Dam?"
"Ardhani yang lanjutin. Aku cuci piring aja."
Ardhani menoleh punggung Adam yang berada di depan konter cuci piring. Ia benar-benr tak menyadari kapan Adam berjalan ke sana.
"Butuh bantuan nggak, Bang?" tanya Bintang.
"Kamu bisa motong bawang?"
Bintang menghampiri Aofar seraya melipat lengan kemeja putihnya. "Bang Aofar mau potongannya presisi atau biasa aja, nih?"
Kening Aofar mengerut ragu. Namun ekspresi itu mendadak hilang saat ia melihat betapa cepatnya Bintang mengiris bawang. "Waaaaah .... mantap!" serunya.
"Saya jago masak, Bang."
"Sama, dong? Tos dulu!"
.
.
.
Dan dapur itu pun seolah terbagi menjadi dua kubu. Kubu heboh yang diisi kerja sama apik duo Aofar dan Bintang, serta kubu hening nan kaku yang diciptakan Adam dan Ardhani.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Hai semuaaaa...
Mangat yok mangaaaat. Mwah 😘
.
.
.
Faineli Bang Adam kambek di IG :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top