7. Dia? Nggak Mungkin, dong!
"Kita mau ke mana?"
Adam tak menjawab pertanyaan Ardhani. Perempuan itu baru sadar Adam mengambil jalan yang seharusnya tidak mereka lewati.
"Dam?"
"Oh... masih sadar, toh? Kirain tadi ketiduran di belakang karena diem mulu."
"Kita mau ke mana?" ulang Ardhani dengan nada lebih tinggi.
"Cari makan. Laper."
"Pulang aja, Dam!"
"Di sana tadi aku nggak jadi makan, loh. Laper."
"Aku mau pulang!"
Vespa kuning Adam berhenti tepat di depan penjual sate. Adam membalikkan tubuhnya secara tiba-tiba hingga membuat Ardhani reflek menjauhkan tubuh.
"Nggak pengertian banget, sih?"
Kening Ardhani mengerut heran.
"Kamu ngajak aku kondangan tapi nggak kasih ma-"
"Aku nggak pernah ajak kamu, ya!" sela Ardhani judes.
Adam menghela napas dan menutup mata sejenak. "Terserah, deh. Aku cuma mau makan. Minta waktunya lima belas menit aja masa' nggak bisa, sih?"
Ardhani sedikit merasa tersudutkan sekarang. Ia menoleh ke samping dan turun dari motor seraya melepas helm. "Makan di sini aja."
Tak ada sanggahan dari Adam. Pria itu hanya mengangkat bahu dan melepas helmnya.
.
.
Ardhani masih bingung bagaimana mendeskripsikan perasaannya saat ini. Beberapa hal terjadi begitu cepat di hidupnya tanpa memberinya kesempatan untuk bersiap. Beberapa saat yang lalu ia merasa begitu menyedihkan bertemu dengan Bintang. Dan kini, ia merasa begitu malu duduk di hadapan Adam yang sedang menyantap makanan.
"Lagi diet, ya?" tanya Adam tiba-tiba. "Satenya enak, loh."
Kepala Ardhani menggeleng. Mual di perutnya membuat ia tak berselera makan sedikit pun.
"Udah yang tadi nggak usah dipikirin! Anggap aja nggak pernah terjadi."
Bibir Ardhani terbuka, namun tak kunjung mengeluarkan suara.
"Mending makan. Perut kenyang, hati pun senang."
"Bintang bukan pacarku," ucap Ardhani lirih.
Adam mengangguk. "Aku lebih percaya kalau cewek tadi itu pacarnya, sih."
Ingin rasanya Ardhani menenggelamkan diri di sungai sampingnya.
"Kamu suka dia?"
Bukannya menjawab, pipi Ardhani malah merona merah.
"Kasihan banget kejebak friendzone."
"Terus aja, Dam. Hina aku terus-terusan," gumam Ardhani.
Tawa Adam terdengar begitu puas. "Jadi aslinya kamu jomblo?"
"Iyaaaaa. Puaaaaaas?" Suara Ardhani yang meninggi turut melebarkan tawa Adam.
"Nggak apa-apa. Nggak ada yang salah kali sama jomblo," ucap Adam sebelum melanjutkan makan malamnya.
Ardhani tak menanggapinya. Ia lebih memilih memperhatikan sisi jalan yang berada di seberang sungai, memperhatikan cahaya-cahaya lampu yang memantul di atas air. Begitu damai dan menenangkan.
Haaah... entah mengapa ia merasa sedikit lega sekarang.
***
Harusnya hari Minggu adalah hari 'malas-malasan' bagi Ardhani. Setelah hampir seminggu berkutat dengan rutinitas kerja, inilah hari yang yang pas baginya untuk memanjakan diri.
Harusnya begitu. Namun postingan foto Bintang yang merangkul Melinda di akun sosial media pria itu membuat mood dan hari me time Ardhani berantakan seketika. Niat Ardhani yang hanya bermalas-malasan di atas kasur seraya melihat sosial media hingga siang hari, harus terpaksa terhenti karena tiba-tiba ia ingin memblokir Bintang dari kehidupan dunia mayanya.
"Kok tumben udah keluar kamar jam segini?" tanya Ratna saat melihat anak bungsunya menuruni tangga.
"Mau siram tanaman Ibu."
Air muka Ratna berubah cerah. "Waaah... kamu memang anak Ibu paling cantik, Dhan."
Ardhani hanya memutar bola mata seraya melewati Ratna yang duduk di ruang tamu. Udara dingin pagi hari langsung menyerang Ardhani saat ia membuka pintu. Setelah mengenakan jilbab sederhananya, Ardhani keluar dan melakukan peregangan tubuh.
Segarnya udara pagi membuat Ardhani membuka matanya lebih lebar. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, ia mulai mengerjakan apa yang bisa membuat pikirannya teralihkan.
"Dhani!"
Ardhani tentu tak bisa menutupi raut terkejutnya saat melihat Adam yang menaiki sepeda di luar pagar rumah.
"Nitip ini buat Aofar," ucap Adam seraya mengangkat sebuah kantung kresek putih.
Sedikit gugup, Ardhani meninggalkan selang air dan menghampiri Adam. Pria itu nampak banyak berkeringat. "Apa ini?" tanyanya seraya menerima pemberian Adam.
"Bubur ayam."
"Bang Aofar nitip?"
Adam menggeleng. "Dia ngeluh nggak enak badan kemarin. Makanya kubelikan itu."
"Perhatian banget," gumam Ardhani super pelan.
"Aofar masih sakit?"
"Nggak tahu. Belum ketemu."
"Yeee... gimana sih adiknya ini?"
Kening Ardhani mengerut tak terima. "Ya emang belum ketemu dari pulang kemarin."
"Ya udah, nitip itu buat Aofar."
Ardhani memperhatikan Adam yang siap mengayuh sepeda. Keraguan untuk mengatakan sesuatu pun hinggap di benaknya. "Em... Dam?"
Adam menoleh Ardhani.
"Makasih."
"Itu buat Aofar, bukan buat kamu."
"Makasih kemarin udah nemenin kondangan."
Jeda waktu yang menghiasi momen itu terdengar sunyi karena keduanya sama-sama terdiam saat ini.
"Hm." Adam memecah keheningan terlebih dahulu. "Makasih juga buat traktiran satenya kemarin."
Ardhani mengangguk kaku, setelah itu ia hanya memperhatikan punggung Adam yang menjauh.
***
Pintu kamar Aofar terbuka perlahan dari luar. Kepala Ardhani pun muncul perlahan dari sana.
"Bang?"
Tak ada sahutan dari Aofar yang meringkuk berada di bawah selimut. Tanpa memanggil lagi, Ardhani berjalan masuk untuk membuka gorden jendela kamar kakaknya.
Aofar nampak terganggu dengan sinar terang yang tiba-tiba membanjiri wajahnya. Kedua matanya berusaha sekuat tenaga untuk terbuka. "Udaaaah, udah subuhan tadi," gumamnya tak jelas dan tanpa sadar.
Ardhani menyodorkan kantung kresek yang ia bawa. "Dari Adam."
Butuh beberapa detik bagi Aofar untuk mengumpulkan kesadaran. "Apa tuh?"
"Bubur."
"Jam berapa ini?"
"Jam tujuh."
Aofar menguap dan beringsut duduk.
"Bang Aofar masih migrain?"
"Udah nggak dari bangun subuh tadi." Aofar berhenti memijat lehernya dan menatap Ardhani penuh tanya. "Pulang jam berapa kemarin?"
"Setengah sepuluh." Ardhani meletakkan kantung kresek di pangkuan Aofar. "Kata Ibu, Bang Aofar udah tidur dari jam delapan."
"Kondangan lama amat? Diajak Adam ke mana aja? Abang cuma minta tolong Adam anterin kamu kondangan aja, loh!"
Ardhani menghela napas seraya berjalan ke arah pintu. "Nggak usah lebay deh, Bang!"
"Dia nggak aneh-aneh kan, Dhan? Nggak bikin kamu-"
"Bang Aofar," sela Ardhani saat meraih daun pintu. Ia pun menoleh Aofar dengan senyum tipis di bibirnya. "Makasih udah nyuruh Adam nemenin aku kondangan."
Hingga Ardhani menutup pintu, ia bisa melihat raut heran yang terpancar jelas di wajah kakak keduanya.
***
Ardhani tahu, empat hari belakangan ini Aofar lebih sering memperhatikan gerak-geriknya tiap kali mereka bertemu. Tak jarang, Ardhani menjumpai tatapan heran Aofar yang tertuju tepat kepadanya. Walaupun beberapa kali Ardhani membalas tatapan pria itu, Aofar tetap tak gentar memandangnya dan semakin memperhatikannya dengan tatapan menyelidik.
"Far, nggak lagi pengen terang bulan?"
Pertanyaan Ratna memecahkan kesunyian ruang tengah rumah itu. Setelah lama tak memiliki waktu untuk sekedar duduk santai bersama, malam ini secara kebetulan, anggota keluarga itu berkumpul karena tayangan pertandingan bulu tangkis yang disiarkan di televisi.
"Ibu mau?" tanya Aofar.
Ratna hanya tersenyum malu-malu. Ia pun menoleh Ardhani yang duduk sedikit menjauh. "Dhan, yang enak rasa apa?"
"Tiramisu," jawab Ardhani singkat.
"Nah itu, Far."
Aofar sedikit memicing menatap adiknya. "Ayok ikut, Dhan!"
Ardhani menoleh Aofar malas. "Ke mana?"
"Beli terang bulan."
"Pakai delivery kan bisa."
"Oh, gitu. Oke." Aofar mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengetikkan sesuatu di sana dengan berapi-api. "Kamu yang ambil di depan, ya!"
Di tempatnya, Ardhani hanya khawatir apa yang akan terjadi setelah ini.
.
.
Dan benar saja. Dua puluh menit setelahnya, Adam berdiri di depan pintu rumah seraya membawa kantung kresek terang bulan langganan Aofar. Ardhani sempat ternganga, apalagi saat ia menoleh ke jendela rumah, dan mendapati kakak keduanya itu dengan serius mengawasinya.
"Aofar ngapain, sih?" Adam yang melihat kelakuan Aofar turut berkomentar.
"Kok kamu yang beliin?"
"Aofar nitip."
Ardhani menghela napas, lalu mengambil kantung kresek tersebut. "Uangnya udah belum?"
Adam mengangguk, lalu kembali menoleh Aofar yang masih setia di posisinya. "Beberapa hari ini dia aneh."
"Tiap saat dia aneh."
Dengkusan geli Adam meluncur bebas.
"Makasih, ya? Sorry Bang Aofar udah ngerepotin."
"Santai. Tadi kebetulan dia nitipnya pas banget waktu pulang, kok."
"Loh, ada Adam?"
Baik Ardhani dan Adam menoleh ke sumber suara.
"Cari Aofar?" Ratna mendekat dan berdiri di samping putrinya.
"Nggak kok, Tante. Saya ke sini cuma ngantar terang bulan."
"Loh, kok kamu yang beliin?"
"Bang Aofar nitip, Bu," jawab Ardhani singkat.
Ratna tersenyum. "Oh ... Makasih, ya? Mau makan dulu? Tante kebetulan tadi masak rendang."
Adam tampak gugup. "Nggak usah, Tante. Terima kasih. Sudah ditunggu Mama makan malam."
"Aduh... manis banget kamu, Dam."
Ardhani memalingkan muka. Tak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari mulut ibunya.
"Adam pulang dulu, Tante."
"Salam buat Mama kamu, ya. Bilangin jangan lupa lusa pengajian di komplek sebelah."
Tawa Adam mengalun. "Siap, Tante."
***
"Apa-apaan sih semalam?"
Aofar yang mengikat tali sepatu, menghentikan kegiatan dan menatap adiknya. "Apaan?"
"Nggak usah ngeles deh, Bang! Akhir-akhir ini Bang Aofar aneh, dan Adam pun juga ngerasain itu."
"Wah wah, udah sehati sepemikiran aja nih kalian."
Ardhani melotot heran. "Maksudnya?"
"Kalian ada apa?" tanya Aofar seraya berdiri.
"Hah?"
"Nah, siapa sekarang yang ngeles?"
"Aku nggak ngerti maksud Bang-"
"Berangkat dulu, Dhan. Abang udah ditungguin tim. Assalamu'alaikum."
Aofar melewati Ardhani begitu saja, dan berjalan menuju pagar meninggalkan adiknya yang masih tercengang di teras rumah.
.
.
Keanehan sifat Aofar tentu menyita perhatian Ardhani hampir seharian di tempat kerja. Ia bingung mendeskripsikan perilaku dan perkataan Aofar. Abangnya itu terlihat bingung, gusar, dan aneh di saat bersamaan. Jika saja Aofar adalah Jeya, mungkin Ardhani masih bisa memaklumi perubahan mood-nya. Namun ini jelas Aofar seorang, kakak laki-lakinya yang selama ini ia kenal cengengesan dan usil. Seumur-umur, Ardhani tak pernah melihat Aofar versi ini.
Sebuah panggilan dari nomor yang tak dikenal mengalihkan perhatian Ardhani. Ia hanya mengamati nomor itu tanpa memiliki keinginan untuk mengangkat panggilan. Tak lama setelah panggilan itu berhenti, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.
081xxxxxxxx : Dhan, angkat telepon. Ini Adam.
Nomor itu menelepon lagi, dan Ardhani mau tak mau Ardhani harus mengangkatnya kali ini.
"Dhan?"
Perut Ardhani menegang sejenak saat mendengar suara Adam yang terdengar lebih berat di telepon. "Ya?"
"Aofar besok ada kerjaan?"
Ya mana kutahuuu? "Nggak tahu."
"Biasanya weekend dia kerja nggak, sih?"
"Biasanya gitu."
"Kalau ada, biasanya pulang jam berapa?"
"Seringnya tengah malam. Tapi biasanya jam delapan juga udah pulang. Tergantung."
"Oke."
Ardhani jelas tak tahan untuk bertanya. "Ada apa, sih?"
"Besok lusa kan ultah dia."
Kedua mata Ardhani segera menatap kalender duduk di mejanya.
"Rencananya mau kasih surprise."
"Kalian tuh ya, kenapa perhatian banget sih satu sama lain?" tanya Ardhani reflek.
Adam tertawa kencang di seberang sana hingga membuat Ardhani terkejut dan sedikit menjauhkan ponsel dari telinga.
"Ya gimana lagi? Adik satu-satunya nggak bisa kasih dia perhatian, sih."
"Hah? Gimana gimana?"
Tawa Adam kembali terdengar, namun tak sekencang sebelumnya. "Hari Minggu bisa bantu kasih dia surprise, nggak?"
"Dam, jangan ubah topik!"
"Apaan?"
"Maksud omongan kamu tadi apa?"
Selama beberapa detik Adam terdiam. "Bantu aku siapin semua, ya? Biar kamu sekalian tahu jawabannya."
Adam menutup sambungan, meninggalkan Ardhani yang masih bingung dan heran.
***
Sabtu sore, Ardhani duduk di teras rumahnya seorang diri. Ia baru saja mendapat kabar baik dari Adam, bahwa Aofar akan pulang sekitar jam satu pagi. Semesta sepertinya benar-benar melancarkan renaca Adam untuk memberi kejutan ulang tahun saat Aofar pulang ke rumah tengah malam nanti.
Adam Rumah: Persiapan makanannya gimana?
You: Habis ini aku bantuin Ibu masak.
Adam Rumah: Sip. Pulang dari studio jam delapan nanti aku langsung ke rumah kamu untuk hias halaman. Yang lain bakal datang sekitar jam sebelas.
You: 👍
Adam Rumah: Bang Arman bisa datang, kan?
Ardhani baru saja teringat, ia belum memberitahu Arman. Tanpa membalas pesan Adam terlebih dahulu, ia menelepon kakak pertamanya.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Bang Arman nanti malam bisa nginep di rumah, nggak?" tanya Ardhani tanpa basa-basi.
"Ha?"
"Semalam aja."
"Kenapa, Dhan? Apa yang terjadi? Ada masalah apa?"
Ardhani reflek menggeleng. "Bukan, Bang. Nggak ada apa-apa."
"Terus?"
"Nanti malam mau ada kejutan buat ulang tahun Bang Aofar di rumah. Bang Arman bisa datang?"
Cukup lama Arman terdiam di seberang sana.
"Bang? Bisa, nggak?"
"Kamu tumben bikin ginian untuk Aofar?" Suara Arman terdengar lebih lembut. "Seingat Abang kamu bahkan nggak pernah ucapin selamat ulang tahun ke dia."
"Dhani pernah ucapin, kok!" sanggah Ardhani.
Arman tertawa. "Berapa kali? Cuma pas kebetulan dia pulang, kan? Itu pun nunggu Bang Arman suruh kamu."
Giliran Ardhani yang terdiam mengingat apa yang diucapkan Arman.
"Abang datang sama Binar. Kalau ada yang dibutuhkan kabarin Abang, ya?"
"Iya," jawab Ardhani lirih.
"Udah ada kuenya, belum?"
"Udah dipesenin Adam."
"Adam? Adam tetangga kita itu?"
"Iya."
"Oh... selain akrab sama Aofar, dia juga akrab sama kamu?"
Kedua mata Ardhani melebar. "Ng-nggak. Nggak juga, kok. Kita nggak terlalu akrab. Biasa aja."
"Ya udah. Sepulang Binar ngajar nari nanti kami ke sana. Mungkin sampai rumah jam sebelasan."
"Oke."
Panggilan tertutup setelah Arman dan Ardhani saling mengucap salam. Dalam diamnya, Ardhani merenungi setiap perkataan Arman yang terasa sedikit menyakiti dadanya. Sebagai adik, ia sadar jika selama tak menaruh hormat, perhatian, serta rasa sayang yang besar untuk Aofar. Ia tak adil dalam memperlakukan kedua kakaknya. Tanpa ditelaah lebih lanjut pun, setiap orang yang melihat sekilas pasti akan segera tahu.
Yah... karena memang kenyataannnya begitu.
***
Sebenarnya Ardhani sudah mulai mengantuk saat ini. Sebagai budak korporat, ia memiliki jam tidur yang lumayan teratur setiap harinya. Jika begadang pun, itu karena series yang ingin ia tamatkan dengan segera, ataupun sesi curhat yang ia lakukan setiap Jeya menginap di rumahnya. Selebihnya, pola hidup Ardhani dipenuhi dengan keteraturan jadwal dan kebiasaan.
"Ngantuk?"
Ardhani tak jadi menguap dan melebarkan kedua matanya yang terasa panas. Adam datang tiba-tiba dan duduk tepat di sampingnya.
Adam menyandarkan pungung dan menghela napas. "Cuma mereka yang berhasil aku ajak kemari."
Pandangan Ardhani tertuju ke beberapa orang yang berbincang penuh tawa di halaman. Mereka semua adalah mantan tetangganya, sekaligus teman bermain Aofar sewaktu kecil.
"Nggak apa-apa. Yang kamu lakukan lebih dari cukup," komentar Ardhani.
"Padahal pengen banget bawa salah satu mantan Aofar ke sini."
Sudut bibir Ardhani terangkat geli. "Yang ada, surprise ini jadi gagal karena suaminya marah-marah."
Adam tertawa. "Dekorasiku gimana?"
Ardhani mengangguk. "Lumayan."
"Bagus, Dam. Kamu pasang sendiri?"
Baik Adam dan Ardhani menoleh Arman yang berdiri di depan pintu rumah.
"Oh, nggak kok, Bang. Tadi dibantuin anak-anak," jawab Adam.
"Aofar pasti langsung pulang, kan?"
Adam mengangguk. "Udah saya pastikan, Bang. Dia tadi kedengerannya emosi gitu waktu saya telepon."
"Mancing emosi Aofar emang segampang itu," ucap Arman seraya mendengkus.
Ardhani hanya mendengarkan. Seingatnya tadi, Adam bercerita bahwa ia menelepon Aofar untuk mengajak bertemu membicarakan sifat aneh kakak keduanya itu selama beberapa hari terakhir.
Ponsel Adam berdering sering. Ia pun dengan cepat berdiri. "Pak Amin bilang Aofar barusan lewat pos security. Yuk siap-siap," ucapnya lantang.
Semua orang lalu mengambil posisi bersembunyi. Teras dan halaman rumah yang sebelumnya nampak indah karena dekorasi lampu yang Adam buat, harus terpaksa digelapkan demi kelancaran kejutan.
Tak butuh waktu lama, bayangan Aofar berjalan dengan langkah berat mendekati pagar pun terlihat. Gerutuan pria itu tentang lampu teras rumah yang padam, bahkan terdengar hampir di seluruh penjuru halaman hingga teras. Saat ia berjalan melintasi setengah halaman, seluruh halaman tiba-tiba berubah terang hingga membuatnya terkejut dan berteriak.
"Selamat ulang tahun, Aofar!" Seru semua orang yang tiba-tiba muncul bersamaan.
Aofar jelas masih tercengang di tempat. Semua orang yang bernyanyi pun bahkan tak membuatnya tersadar dengan apa yang sedang terjadi di halaman rumahnya.
"Selamat ulang tahun, Anakku." Ratna datang membawa kue dari dalam rumah. Perempuan itu mencium pipi putra keduanya. "Semoga selalu sehat, bahagia, dan dicukupkan rejekinya."
Aofar mulai menampakkan ekspresi saat Ratna memeluknya. Ia menghela napas lega dan menutup mata saat membalas pelukan ibunya.
"Udah tua, Far. Dikurangin main-mainnya," celetuk salah satu teman kecil Aofar.
"Gila ya... kirain aku nggak akan bisa ketemu kalian lagi." Aofar ganti memeluk erat satu per satu teman masa kecilnya. "Ide siapa sih ini?"
"Adam tuh."
Pelukan Aofar berakhir. Ia pun menatap Adam yang berdiri berjajar dengan kedua saudara dan iparnya. "Parah kamu, Dam."
Adam hanya tertawa.
"Selamat ulang tahun, Bang Aofar. Semoga nggak pernah capek punya adik kaya' aku."
Aofar nampak gemas melihat betapa kikuknya Ardhani berbicara. Ia pun berjalan dan memeluk adiknya erat. "Kamu jangan cepet gede dong, Dhan. Bikin aku nggak bisa usilin kamu aja, kan?"
Semua orang yang tahu bagaimana Aofar selalu mengusili Ardhani sejak kecil pun tertawa.
.
.
"Tahu nggak, sih? Ini pertama kalinya ulang tahunku dikasih surprise kaya' gini."
Adam yang tengah membakar sosis di samping Ardhani pun tertawa. "Kasihan amat."
Aofar mengangguk, lalu tersenyum kecil mengenang memori itu. "Hidup sendirian di kota orang tuh emang banyak nggak enaknya."
"Makanya jangan pergi lagi setelah ini." Ardhani ikut menimpali. "Di rumah aja, sama keluarga."
Senyum Aofar perlahan memudar. Ekpresi pria itu dengan cepat berubah menjadi kesal. "Tahu nggak, sih? Aku uring-uringan dan ngeselin seminggu ini karena curiga kalian pacaran."
Adam dan Ardhani menoleh Aofar dengan tatapan horor.
"Bang Aofar apaan sih?" sergah Ardhani.
"Kamu mikirnya gitu amat, Far?" tanya Adam setelahnya.
"Ya, sorry. Akhir-akhir lagi capek banget sama kerjaan, jadinya nggak bisa ngontrol asumsi."
Adam tertawa geli, sedangkan Ardhani kembali melanjutkan kegiatan dengan tampang kesal.
"Tapi beneran ya, Dam. Awas kalau diam-diam kamu pacarin adikku!"
Ardhani menegang di tempatnya, sedangkan Adam semakin melebarkan tawanya.
"Nggak akan lah, Far. Ngapain juga aku ngelakuin itu?"
Dua piring penuh sosis bakar tersodor dengan tiba-tiba ke dada Aofar.
"Nih! Kasih ke temen Abang daripada mikir yang nggak penting di sini!" ucap Ardhani ketus.
Aofar nampak ingin protes saat menerima piring tersebut. Adam berjalan terlebih dahulu menuju bagian tengah halaman tempat di mana teman-temannya duduk di tikar.
"Janji sama Abang ya, Dhan. Kalau kamu disakiti cowok siapapun, bilang ke Abang."
Kening Ardhani mengerut tak suka. "Udah sana!"
"Abang bakal kasih dia pelajaran."
"Sanaaaaaa!" ulang Ardhani seraya mendorong punggung kakaknya menjauh.
.
.
.
Aku sakit hati, Bang. Tapi karena ekspektasiku sendiri.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Sayang Aofar ❤
Publish dulu, keburu ngantuk. Besok kalau sempat mau perikso typo 😂
.
.
.
"Kalau sama yang ini sih ya pasti ekspektasiku auto 📈, Dhan." 🥺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top