5. Apaan Sih Ini?

'Siapa yang tak mencintai hari Minggu? Apakah ada?'

Dua pertanyaan itu berputar di kepala Ardhani saat melihat tetesan hujan di jendela kamarnya. Di dalam rengkuhan selimut tebalnya, perempuan itu berkali-kali mengerjap dan menguap menikmati nuansa hujan di Minggu pagi.

Kurang dengerin lagu Maaron Five aja nih...

"Dek?"

Ardhani menoleh malas ke arah pintu. "Ya, Bang?"

"Abang masuk, ya?"

"Hm."

Arman masuk dengan wajah mengantuk dan rambut yang masih berantakan. "Binar mau ngomong nih."

"Ya, Kak Binar?" Ardhani bangkit dari buaian selimut hangatnya.

"Dhani sehat? Maaf udah ganggu tidur kamu, ya?"

Ardhani melirik Arman yang tengah menguap. Ia benar-benar bersyukur Arman akan menikah dengan Binar. "Nggak ganggu kok, Kak. Ada apa?"

"Untuk baju kamu di nikahan kami besok, kamu mau jahit sendiri atau mau terima jadi?"

"Terima jadi aja, Kak."

"Yakin? Aku takut model bajunya nanti ngga cocok sama selera kamu."

Ardhani tertawa. "Selera apaan? Aku ngga punya selera khusus, Kak. Ngga apa-apa ikutin yang lainnya aja. Lagian aku juga ngga punya penjahit langganan."

"Oh... ya udah kalau gitu. Nanti aku kirim format ukuran untuk bajunya, ya? Kamu ukur sendiri di rumah."

"Siap, Kak Binar." Ardhani menoleh Arman. "Mau ngomong lagi sama Bang Arman?"

"Oh, ngga perlu. Dia masih ngantuk, kasihan nanti kalau maksa ngobrol."

Kekehan Ardhani mengalir begitu. "Iya sih. Ini aja udah merem sambil duduk."

Giliran Binar yang tertawa. "Ya sudah kalau begitu, Dhan. Foto bajunya nanti aku kirim ke Arman, ya?"

"Siap, Kak."

"Oke aku tutup, Dhan."

"Iya."

Mulut Ardhani sedikit ternganga saat menoleh kakak pertamanya lagi. Nampak di sampingnya, Arman sudah tidur meringkuk di atas kasur dengan nyaman. Hati Ardhani pun menghangat melihatnya. Tanpa ia sadari, ia rindu melihat tingkah polos Arman seperti ini.

"Sesekali Abang kaya gini kan manis. Eh malah selalu bertingkah kaya' orang tua," ucap Ardhani seraya menyelimuti Arman sebelum meninggalkan kamar.

***

Hari-H akad nikah Arman pun tiba. Dekorasi pernikahan yang cukup sederhana pun dipasang di dalam rumah Binar yang bernuansa bangunan Jawa. Ornamen-ornamen kayu yang mendominasi, nampak begitu indah dipadupadankan dengan mawar putih dan kain berwarna sama di beberapa sudut rumah.

Seluruh orang di dalam rumah tiba-tiba bergumam saat Binar muncul dan berjalan menuju meja akad. Kecantikan perempuan berwajah lembut itu betul-betul terpancar dan bersinar di hari bahagianya. Senyumnya semakin melebar saat mendapatkan tatapan yang lembut dari calon suaminya.

"Ya ampun cantiknyaaaaaaa...." gumam Jeya.

Ardhani mengangguk setuju. Binar nampak luar biasa cantik dibalut kebaya putih yang menempel pas di tubuh langsingnya.

"Dulu almarhum Ayahmu pernah bilang begini, Dhan."

Kepala Ardhani menoleh Ratna yang duduk di sampingnya. Kedua mata ibunya nampak berkaca-kaca mengikuti langkah kaki Binar.

"Kalau Ardhani menikah, ingatkan aku untuk nggak nangis terlalu keras, ya?" Ratna lalu menatap Ardhani dengan senyum keibuannya. "Siapapun jodoh kamu nanti, kamu harus bahagia, ya? Biar tangis Ayahmu di sana nanti nggak sia-sia."

Dada Ardhani ngilu mendengarnya. Dengan cepat ia memeluk Ratna untuk menyembunyikan air mata yang bersiap lolos dari kedua matanya.

"Semua anak Ibu harus bahagia. Kalian semua anak yang baik, pantas mendapatkan itu semua."

Kedua mata Ardhani lalu tertuju pada keberadaan Aofar yang sedari tadi sibuk mengabadikan momen di dekat meja akad. Untuk kali ini Ardhani tak mau mengakui lagi betapa kerennya kakak keduanya itu jika sedang memotret. Namun untul hal lain, karena pria yang mengenakan kemeja batik yang senada dengan roknya sekarang itu telah menunjukkan sisi lain yang tak pernah Ardhani ketahui kemarin malam.

.

.

.

Ardhani yakin betul bayangan pria yang sedari tadi mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang gelap adalah Aofar. Niatnya untuk mengambil air di dapur menjadi sedikit terlupakan karena pergerakan mencurigakan dari kakak keduanya itu.

Tak lama kemudian, Aofar berjalan keluar menuju teras. Dan lagi-lagi Ardhani dikejutkan dengan kakak pertamanya yang ternyata sudah duduk di sana terlebih dahulu.

"Tidur sana! Nggak lucu kalau besok Abang kesiangan," gerutu Aofar saat berdiri di samping Arman.

Dengan langkah pelan, Ardhani mendekati pintu untuk memantau apa yang kedua kakak lelakinya bicarakan.

Arman menghela napas berat. "Kamu harus buktikan kata-katamu, Far."

"Ha? Kata-kata apaan?"

"Jaga Ibu dan Dhani baik-baik setelah Abang nggak di rumah ini."

Kedua mata Ardhani sedikit melebar mendengar perkataan Arman.

"Oh... hahaha." Aofar membuang muka. "Udah kali. Udah kulakuin juga kan sebelum Bang Arman pergi?"

Arman menoleh Aofar, meminta penjelasan lewat tatapannya.

"Nih ya... aku selalu nurutin semua permintaan Ibu. Mulai dari antar jemput Ibu kemana pun, beliin apa yang Ibu mau, bantu Ibu masak, terus-"

"Kalau Dhani?"

"Kalau Dhani..." Aofar berpikir sejenak. "Aku udah larang dia pulang malam. Terus waktu malam itu dia dianter temen cowoknya juga udah kumarahin-"

"Yang ada selama ini kamu selalu ngajak dia tengkar, Far."

Aofar terdiam, sedangkan Ardhani mengangguk setuju.

"Jagain Dhani sebagai kakak lelakinya! Bukan malah selalu bikin dia kesel."

Selama beberapa saat Aofar terdiam menatap kakinya. Berkali-kali ia nampak mau mengutarakan sesuatu, namun tak kunjung mengeluarkan suara.

"Mungkin gampang bagi Bang Arman untuk jadi sosok Abang yang disayang Dhani. Tapi..." Aofar menggaruk tengkuknya. "Tapi cukup susah buatku yang nggak banyak melewati waktu bersama dia."

Arman termangu menatap Aofar, begitu pula Ardhani yang mendengarnya dari balik pintu.

"Bagiku... untuk cari perhatiannya aja susah. Apalagi jadi sosok Abang yang dia mau? Dia terlalu mandiri di depanku, dan itu semakin bikin aku sulit untuk mengakrabkan diri." Aofar tertawa garing. "Mana tuh anak kaku lagi."

"Gitu-gitu dia adikmu!"

"Iyaaaaaa..."

Ardhani memutar bola matanya. Merasa sedikit sia-sia sempat menaruh simpati pada perkataan Aofar.

"Kamu kan gampang akrab sama orang lain, tapi kenapa sama adik sendiri susah, sih?" tanya Arman.

"Karena Dhani nggak bisa aku dekatin dengan cara yang biasa."

Lagi-lagi Arman menghela napas. "Abang nggak mau tahu alasan kamu. Entah gimana caranya, kamu harus bisa jadi Abang yang baik buat Dhani selama Abang nggak ada di sampingnya."

Tak ada sahutan dari Aofar yang memainkan jemari kakinya.

"Kalau nggak..." Arman menoleh Aofar. "...mending kamu balik ke Jogja, atau kota lain yang lebih berpotensi untuk karir fotografer kamu."

Kedua alis Aofar menaut. "Kalau kayak gitu nggak ada solusi dong buat Dhani?"

"Ada."

"Apa?"

Arman kembali menatap ke halaman rumah. "Abang pastikan dia bersama laki-laki yang tepat."

Dada Ardhani serasa dihantam sesuatu tak kasat mata.

"Bang Arman mau jodohin Dhani? Nggak, Bang! Nggak boleh! Kuno amat sih Abang ini ah!"

"Apa salahnya kalau pasangannya nanti lebih bisa jagain dia dari kamu?"

"Tetep nggak boleh! Nggak!" Aofar menjambak rambutnya sendiri dengan gemas. "Aku bisa jagain Dhani! Aku bisa jadi Abang yang baik buat dia sampai dia bisa nemuin pria yang tepat buat dirinya sendiri!"

Arman mengangguk. "Makanya buktiin!"

"Iya. Pasti bakal aku buktiin. Tugas Abang udah berakhir, giliran aku. Abang nggak perlu khawatir."

.

.

.

Getaran ponsel Ardhani menyadarkannya yang sedari tadi melamun menatap meja prasmanan. Bintang baru membalas pesannya lagi.

Bintang Anugerah Mulawan: Ya udah kalau gitu salam buat Bang Arman, ya? Sampaikan maafku karena harus dinas luar kota di hari nikahannya, dan tanyain mau kubawain oleh-oleh apa nanti.

You: Kamu kan punya nomornya, Tang! WA sendiri sana!

"Duduk sini mau ngincar makanan apa, sih?"

Ardhani menutup mata mengatur napasnya. Ia harus tetap tenang, karena ia tahu Aofar hanya berusaha untuk mencari perhatiannya. "Ada apa?" tanya Ardhani datar.

Aofar terkekeh kecil. "Dhan minta tolong standby di luar, dong! Adam mau ke sini."

Tatapan Ardhani berubah sadis. "Ngapain dia ke sini?"

"Minjemin tripodnya. Tripod Abang rusak, nggak sengaja habis keinjek saudaranya Kak Binar."

"Acaranya kan udah selesai. Ngapain masih butuh tripod?"

"Yeeeee nih anak! Kelihatan emang nggak pernah nikah."

Mulut Ardhani hendak menyampaikan protes, namun Aofar tak membiarkannya.

"Acara nikahan tuh nggak afdol kalau nggak ada foto bareng-bareng sama keluarga. Tahu nggak kenapa kita pakai seragam nikahan ini? Tujuannya cuma biar kelihatan bagus nanti kalau di foto."

Ardhani membuang muka, malas mendengarkan Aofar lebih lama. "Jam berapa Adam ke sini?"

"Harusnya bentar lagi sampai, sih."

***

Pada akhirnya Ardhani menunggu Adam di depan rumah Binar seperti permintaan Aofar. Sambil berteduh di bawah pohon, perempuan itu memainkan ponselnya untuk menyingkirkan gugup yang belum sepenuhnya hilang tiap kali bertemu Adam.

Sebuah vespa kuning berhenti tepat di depan Ardhani. Nampak Adam yang memakai kacamata hitam, tengah melepas helm dan mengacak rambut ikalnya.

Baiklaaaaah... Ardhani mengakui kalau ia tak tahu harus memulai percakapan seperti apa. "Tri-tripodnya bawa, kan?"

Adam tertawa. "Kalau nggak bawa emang kamu mau ikut aku ambil di rumah?"

Ardhani tak menjawab, hanya bisa mengawasi Adam yang membungkuk mengambil tas tripod di pijakan kaki vespanya.

"Pacarmu mana?"

Kedua mata Ardhani membelalak sempurna.

"Kok nggak kelihatan? Di dalam?" tanya Adam seraya mengangsurkan tas tripod.

"Nggak. Lagi dinas ke luar kota," jawab Ardhani cepat.

"Oh..."

"Ini aja?" Ardhani menyampirkan tas tripod ke bahunya.

Adam memperhatikan Ardhani, sebelum menarik tas tripodnya turun dari bahu perempuam itu. "Nggak perlu dibawa kaya' gitu, bisa rusak nanti payet bajumu."

Kedua mata Ardhani mengikuti tangan Adam yang mengarahkan tas tripod itu ke tangannya.

"Bawa di tangan kaya' gini aja," ucap Adam seraya menyentuh tangan Ardhani untuk mengangsurkan tas tripod. "Asal hati-hati sama samping kanan kirimu."

.

.

"Tante? Ya bener Tante yang pakai kacamata. Agak ke kiri ya, Tante. Mbak yang di samping kanannya agak ke kiri juga."

Teriakan Aofar yang mengarahkan seluruh keluarga dari pihak mempelai perempuan dan laki-laki untuk bisa foto bersama, sama sekali tak menarik perhatian Ardhani. Sejak menyerahkan tripod kepada Aofar tadi, ia lebih sering menatap kedua tangannya yang memegang hand bag.

"Dhan! Geseran ke Ibu dikit, Dhan!"

Ardhani mengangkat tangan kanan dan memperhatikan telapaknya.

"ARDHANI KEJORA!"

Sekonyong-konyong Ardhani langsung mengangkat kepala dan mendapati Aofar yang mengisyaratkan tubuhnya untuk lebih mendekat ke Ratna.

"Ngelamunin apa sih kamu?" tanya Ratna.

"Enggak kok," gumam Ardhani. "Nggak denger aja tadi."

"Oh ya, yang anter tripod tadi... Adam anaknya Tante Resti bukan sih, Dhan?"

Takut-takut Ardhani menatap ibunya yang fokus menatap kamera. "Iya kali. Nggak tau, Bang Aofar yang nyuruh dia ke sini."

Ratna tak menanggapi apa-apa. Fokusnya ke arah kamera membuat Ardhani lega karena tak harus memperpanjang topik.

"Oke semua, karena fotografernya juga ikut foto, jadinya nanti pakai timer, ya?" Aofar memastikan untuk yang terakhir kali bahwa semua orang terangkum dalam frame kamera. "Siap?"

Semua orang serentak menjawab 'siap'.

"Satu... dua... tiga..." Aofar berlari ke samping Ardhani setelah itu, berdiri tegap dan tersenyum seperti yang dilakukan semua orang.

"Lagi dong, Mas! Gaya bebas gaya bebas!" celetuk salah satu keluarga dari pihak Binar.

Aofar berjalan menuju kameranya. "Oke siap, Tante. Kita ambil lagi, ya? Yang ini gaya bebas. Terserah mau ngapain aja, tapi usahakan tetap di tempat masing-masing."

"Enak juga kalau punya saudara fotografer gini, ya? Hahahaha." Kali ini yang bersuara adalah seorang pria yang juga berasal dari pihak keluarga Binar.

"Siap? Satu... dua... tiga... yuk gaya bebas!" Aofar kembali berlari di samping Ardhani dan berpose sesuka hatinya.

Pernikahan Arman dan Binar yang penuh kesederhanaan itu pun berakhir dengan tawa yang menggema di seluruh penjuru rumah.

***

"Dhan! Dhani!"

Ardhani dan ibunya yang sedang menikmati sarapan pun sama-sama terkejut mendengar teriakan Aofar.

"Nanti malam jemput Abang bisa?" Aofar berbicara seraya berjalan cepat ke arah meja makan. "Abang ada kerjaan di deket kantor kamu."

"Kamu udah kerja, Far?" tanya Ratna.

"Freelance, Bu." Aofar kembali menatap adiknya. "Dhan, jemput loh ya!"

"Duuuuh... bikin repot aja sih? Naik ojol sana kan bisa!" Jelas-jelas Ardhani menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Yaelah pelit amat, sih? Uangnya kan bisa buat beliin ibu terang bulan, Dhan. Ya kan, Bu?"

Raut wajah Ratna berubah memohon kepada anak bungsunya. "Iya, Dhan. Jemput abangmu, ya? Biar kalau pulang kamu nggak perlu nyetir. Kan enak kalau pulang kerja nanti ada terang bulan yang menanti."

Ardhani memejamkan mata dan mengatur napas. Ratna dan Aofar punya watak dan tingkah yang hampir sama, ia harus bisa menerima hal ini. Ah... tiba-tiba Ardhani merindukan Arman yang lebih sering sepemikiran dengannya.

.

.

Memenuhi janji yang sebenarnya tidak pernah ia setujui, Ardhani menjemput Aofar di salah satau gedung serba guna yang berada tak jauh dari kantornya. Abangnya itu pun juga memenuhi janji dengan membelikan terang bulan sebagai kompensasi. Dari atas motornya, Ardhani memperhatikan jumlah kantung kresek yang Aofar bawa. Terdapat dua kotak terang bulan dalam setiap kantung kresek. Di rumah hanya ada tiga orang, tidak mungkin mereka menghabiskan itu semua, kan?

"Bang Aofar mau mukbang?"

"Ha?" Aofar yang baru memasang helm, menoleh adiknya heran. "Mukbang apaan?"

Dagu Ardhani menunjuk dua kantung kresek yang ada di bawah stang motornya. "Tuh beli segitu banyaknya."

Aofar meng-oh ria. "Nggaaaaak... mau Abang kasih Adam satu."

Ardhani melotot.

"Kita ke tempat kerjanya bentar, ya?" Tanpa mendengar persetujuan adiknya, Aofar menjalankan motor dengan perlahan. "Kasihan dia lagi lembur sama partnernya."

"Perhatian banget sih sama dia?"

"Yaelah, Dhan. Temen rumah tinggal satu apa salahnya, sih?"

Tak ada tanggapan lagi dari Ardhani, bahkan saat Aofar mengarahkan laju motor ke area ruko.

"Abang mau beli apa lagi?"

"Nggak beli apa-apa." Aofar menghentikan motor di depan sebuah ruko berwarna kuning terang. "Ini tempat kerjanya Adam."

Ardhani memperhatikan bangunan lantai dua di depannya dengan penasaran.

"Aku udah di luar," ucap Aofar saat menelepon. "Sini turun."

Tak lama kemudia, pintu bangunan itu terbuka dari dalam, menampakkan Adam yang tampak berantakan dengan kaos dan celana pendeknya. Adam menatap Ardhani sesaat, lalu tersenyum sebelah hingga membuat perempuan itu salah tingkah untuk beberapa saat.

"Mukamu jelek amat?"

Adam tertawa kecil menanggapi celetukan Aofar. "Belum tidur sama sekali dari kemarin."

"Istirahat dikit-dikit," ucap Aofar seraya menyerahkan satu kantung kresek. "Waktu render tinggal tidur bentar kan bisa."

"Iyaaaaa." Adam membuka pemberian Aofar. "Baunya harum bener."

"Balik, ya? Makasih buat pinjeman tripodnya minggu kemarin."

Tawa Adam yang lemah, entah mengapa terdengar empuk di telinga Ardhani.

"Makasih juga buat terang bulannya." Tanpa terkira, Adam menatap Ardhani tiba-tiba. "Makasih ya, Dhan?"

Demi apapun hal yang bisa Ardhani lakukan, mengapa perempuan itu malah menutup kaca helmnya dengan cepat?

"Balik, Dam," pamit Aofar.

"Hati-hati."

.

.

.

Ardhani heran. Benar-benar heran mengapa dua pertemuan terakhirnya dengan Adam membuatnya bertingkah aneh hampir seharian.

.

.

.


.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Enjoy yak ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top