4. Aku Ngga' Nyaman
Di lobi kantornya, Ardhani duduk memandang ke arah jendela. Di luar sana, gerimis kecil membuatnya enggan pulang untuk sementara. Sudah tiga puluh menit berlalu, langit mendung pun terlihat semakin gelap karena malam yang juga turut bersiap untuk muncul. Setelah ini panggilan ibadah maghrib pasti akan berkumandang di lobi yang luas itu. Dalam lamunannya, Ardhani mencoba meresapi lagi apa yang akhir-akhir ini terjadi di lingkup keluarganya sendiri. Termasuk perdebatan Arman dan Aofar yang ia rasa belum sepenuhnya selesai hingga pagi tadi.
Karena terbiasa berjauhan, Ardhani tak pernah terlibat perdebatan hingga pertengkaran hebat dengan Aofar. Cekcok kecil di antara mereka hanya sebatas cibiran atau keisengan Aofar padanya. Ia juga tak pernah melihat kakak keduanya itu terlibat adu mulut dengan Arman. Justru sebaliknya, selama ini Arman nampak jelas begitu perhatian dan sayang kepada adik laki-lakinya. Hingga tiba-tiba malam itu adu urat di antara mereka terjadi. Dan entah mengapa, Ardhani merasa jauh dari kedua kakaknya sendiri.
Ardhani menghela napas dan menyandarkan kepala ke jendela kaca besar di sampingnya. Rasanya belum selesai urusan hati, kini Ardhani harus menjumpai urusan yang lain lagi.
Getar di ponsel Ardhani membuatnya mengernyitkan dahi. Sedikit enggan sebenarnya ia mengangkat panggilan tersebut. Namun seperti biasa, hatinya lebih berkuasa menggerakkan tubuhnya untuk soal ini.
"Ardha?"
"Apa, Tang?"
"Kamu di mana?"
"Kantor."
"Kenapa belum pulang?"
Ardhani menegakkan punggungnya. "Ada apa sih?"
Bintang menghela napas di seberang sana. "Bang Arman nyariin kamu."
"Bang Arman? Kenapa nggak telepon aku langsung?"
"Itu dia yang juga mau aku tanyakan ke kamu."
Ardhani menunduk dan memijat pangkal hidungnya.
"Kamu masih mau di kantor lebih lama?"
"Hm... kayanya gitu."
"Ya udah. Weekend besok kita ketemu, ya? Ceritain apa yang terjadi."
Helaan napas Ardhani terdengar berat. "Hm."
"Hati-hati kalau pulang, ya?"
"Iya."
Panggilan pun terputus, dan menambah beban pikiran Ardhani secara tiba-tiba.
Kenapa pakai acara seperhatian itu sih, Tang?
.
.
Namun perilaku Bintang selanjutnya tentu tidak membiarkan beban pikiran Ardhani bertahan di sana. Sebuah kiriman makanan dari pria itu yang ia terima saat kembali dari musholla kantornya menjadikan pokok permasalahannya berbelok tajam seketika.
Nice attack, Tang. Niceee...
***
Ponsel Ardhani yang beradu dengan meja kerjanya membuatnya berhenti mengetik. Nama Aofar muncul di layar kaca membuat kerutan di kening Ardhani muncul juga.
"Hari ini lembur lagi?" tanya Aofar tanpa salam atai basa-basi terlebih dahulu.
"Hm. Kayanya gitu."
"Lagi banyak kerjaan atau gimana?"
"Nggak... kerjaanku dikit. Aku aja yang hobi bekerja."
Aofar tertawa di seberang sana. "Pulang jam berapa?"
"Kenapa sih?"
"Nanti sekitar jam setengah tujuh aku mau makan bakso kikil deket kantor kamu."
"Truuuuus?"
"Ikut, yuk? Abang bayarin."
Giliran Ardhani yang tertawa. "Males kalau cuma bakso kikil."
"Sekalian es jeruk, deh."
"Dih, pelit!"
"Udah nggak usah banyak protes! Abang tunggu di sana setengah tujuh!"
.
.
Rahang Ardhani seolah jatuh ke bawah saat melihat Aofar tak duduk sendirian. Di samping kakak keduanya itu, Adam duduk dan turut membalas tatapannya dengan ekspresi biasa.
"Sini, Dhan!"
Perhatian Ardhani beralih ke Aofar yang melambaikan tangan dengan semangat. Astaga... jika saja ia tahu Aofar mengajak Adam, ia tentu akan menolak ajakan kakaknya itu dengan mentah.
"Dhani! Ardhani! Sini!"
Sambil menghela napas berat, Ardhani melangkahkan kakinya mendekat.
Seorang pegawai kedai bakso datang menanyakan pesanan. Hanya Aofar yang menjawab, karena Adam memilih diam memperhatikan raut kuyu perempuan berjilbab di hadapannya.
"Kata Ibu kamu sering lembur sekarang." Aofar membuka obrolan. "Bahkan kemarin pulang jam sebelas. Lembur apaan sampai semalam itu?"
"Kemarin aku nonton."
Aofar mendelik. "Jadi lembur itu cuma alasan?"
Ekspresi Ardhani bertambah kesal. "Biasanya lembur, Bang. Kebetulan aja kemarin aku nonton."
Tawa kecil Adam terdengar hingga membuat Aofar menolehnya.
"Kenapa, Dam?"
"Enggak." Adam menahan senyum. "Lucu aja ngebayangin gimana kalau misalnya aku ngomelin adik."
"Sana minta Mama Papamu dibutin adik baru!"
Adam tertawa, lalu mengundang tawa Aofar juga. Dari tempatnya duduk, Ardhani yang tak ikut tertawa, menyadari untuk yang pertama kalinya bahwa Adam memiliki lesung samar di kedua pipinya.
"Ngomong-ngomong kalian berdua seumuran, kan?" tanya Aofar tiba-tiba.
"Iya."
"Enggak."
Ardhani menatap Adam penuh tanya.
"Aku setahun di atas Dhani," terang Adam. "Sekolahnya aja kita yang satu angkatan."
Kedua mata Ardhani sedikit melebar mengetahui fun fact tersebut.
"Oh..." Aofar mengangguk.
"Kalian kok bisa bareng ke sini?" Kedua mata Ardhani tak berani menatap Adam walau pertanyaannya sebenarnya juga tertuju pada pria itu.
"Kebetulan tadi habis main di deket sini." Kedua mata Aofar melebar bahagia melihat tiga mangkuk bakso yang tersaji di hadapannya. "Makasih, Bang."
"Terus habis ini mau main lagi?"
"Nggak." Kali ini Adam yang menjawab karena Aofar sudah melahap makanannya lebih dahulu. "Habis ini pulang."
Untuk beberapa detik Ardhani terlibat adu mata dengan Adam. Ia tak mengatakan apa-apa, bahkan hingga Adam memutus kontak mata terlebih dahulu.
.
.
"Lihat deh, Dhan. Ya ampuuuun, cakep banget dah tuh Kuning Langsatnya Adam."
Ardhani memegang erat jaket Aofar yang duduk memboncengnya. Setiap kali berhenti di traffic light, kakaknya itu selalu memuji motor Adam tanpa bosan. Ardhani takut saja, jika tiba-tiba keluar celetukan mengerikan dari Aofar karena terlalu banyak memuji motor Adam.
"Kamu dibonceng Adam pakai motor kamu aja, ya?"
KAN???
"Abang pengan naikin motornya Ad-"
"Nggak!" potong Ardhani galak. "Sono Abang aja yang dibonceng dia! Jangan suruh-suruh aku ya!"
Aofar menoleh ke belakang dengan sedikit heran. "Galak bener, sih?" gumamnya.
Ardhani tak menjawab dan membuang muka.
Tak lama kemudian mobil di depan Aofar maju beberapa meter, mau tak mau pria itu pun melakukan hal yang sama hingga kini ia berada tepat di samping Adam. Dari belakang, Ardhani curi-curi pandang mengamati Adam yang tengah menatap traffic light yang masih menyala merah. Tidak ada maksud apa-apa sebenarnya, ia hanya takut tiba-tiba Adam menolehnya atau mungkin mengajaknya berbicara. Paling tidak ia harus siap mental agar tidak terkesan 'cengo' saat diajak bicara, kan?
Namun semua persiapan mental Ardhani terasa percuma ketika Adam benar-benar menolehnya. Perempuan itu hanya bisa tertegun, dan ujung-ujungnya menjadi cengo saat Adam memberi isyarat ada sesuatu di pipinya.
"Ada tisu," ucap Adam tanpa suara.
Dengan cepat Ardhani meraba pipinya dan menyingkirkan benda apapun yang ada di sana. Tanpa sempat mengucapkan satu patah kata pun, Ardhani menjauhi Adam karena Aofar yang menjalankan motor terlebih dahulu.
***
Hari Sabtu pun tiba. Tepat pukul satu siang saat ia akan keluar dari ruangan, ponsel Ardhani bergetar di tangannya.
"Aku udah di luar."
"Iya ini jalan keluar." Ardhani menempelkan id card-nya ke mesin absensi.
"Hari Sabtu kenapa masuk kerja sih?"
"Emang aku pegawai pemkot kaya' kamu?"
"Hahahahaha."
"Tunggu bentar."
Ardhani memutus panggilan dan berjalan secepat mungkin keluar gedung. Sebuah city car putih menyambutnya saat ia melewati pintu.
"Kamu nggak bawa motor, kan?"
"Enggak, Tang. Sesuai perintah kamu," ucap Ardhani seraya memasang sabuk pengaman.
Bintang tersenyum lebar. "Oke, pertama-tama mari kita cari makan siang."
.
.
"Hari ini ada film apa ya?"
Ardhani tak menjawab, memilih menikmati pizzanya.
"Nonton ini mau, nggak?" Bintang menyodorkan ponselnya.
"Aku nggak mau horor."
"Ya elah ini thriller, Ardha. Nggak ada hantu-hantunya."
"Tetep aja bikin was-was nontonnya. Aku nggak mau."
Bintang melempar tatapan tidak suka sebelum kembali melihat jadwal tayang bioskop di ponselnya.
"Emang harus banget nonton, ya?" tanya Ardhani.
"Nggak juga sih."
"Jalan-jalan aja mau, nggak?"
"Ke mana?" Bintang meletakkan ponselnya.
"Terserah. Mall boleh, tempat rekreasi boleh, pokoknya tempat mana pun yang bisa dibuat jalan-jalan."
Perlahan senyum Bintang muncul. "Gini, dong! Aku kangen Ardha yang banyak mau kaya gini."
Giliran binar di wajah Ardhani yang memudar perlahan.
Bintang berdiri. "Tunggu bentar. Habis aku dari toilet, kita berangkat."
"Jadi ke mana?"
"Ke mana pun kamu mau jalan," jawab Bintang seraya berjalan menjauh.
Ardhani sedikit tertegun. Bintang benar. Dirasa-rasa, sudah lama ia tidak bersikap seperti ini kepada Bintang. Selama ini ia disibukkan dengan perasaan menyedihkan karena telah mencintai sahabatnya sendiri yang sudah memiliki kasih. Astaga... merapal kalimat tersebut saja sudah membuat moodnya anjlok, apa lagi jika diratapi?
Ponsel Bintang berdering. Nama perempuan yang mengganggu sisi kalem Ardhani muncul di sana dengan embel-embel emoji hati merah di kanan-kirinya. Ardhani hanya memandang ponsel Bintang tanpa berkedip. Ia tak akan menjawab panggilan itu, namun harus akui, semakin lama menatap sebaris nama yang tertera di layar itu semakin memanaskan hatinya.
"Yuk." Bintang kembali dan mengenakan jaket jeansnya. "Udah nentuin mau ke mana?"
"Tang?"
"Hm?"
Ragu Ardhani mengatakannya. Ia jelas ingin menolak, namun sisi terdalam hatinya berkata lain. "Tadi Melinda telepon kamu. Mungkin ada tiga kali."
Bintang mengerutkan kening dan mengecek ponsel. "Oh ya?"
Separuh organ tubuh Ardhani seolah luruh. Seharusnya ia tahu perasaan seperti akan kembali terulang jika ia kembali berdekatan dengan Bintang. Dalam hatinya, Ardhani tersenyum kecut membodohkan diri sendiri.
"Ayo, Ardha!"
Ardhani memandang Bintang dengan kosong. "Hng?"
"Ye malah bengong!" Bintang mengambil tas Ardhani. "Katanya mau jalan-jalan?"
"Tapi..." Ardha mulai kebingungan sendiri. "K-kamu nggak nelepon Melinda dulu?"
"Gampang lah itu ntar aja."
Kedua mata Ardhani melebar mendengarnya. Bintang yang ia kenal bucin bisa menjawab seenteng itu?
"Jadinya ke mana?"
"Tang. Melinda loh yang telepon kamu tadi."
"Terus?"
Lagi-lagi Ardhani ternganga. "Yakin nggak mau telepon balik? Nggak apa-apa aku tungguin."
Bintang tersenyum heran, lalu meraih tangan Ardhani dan membuat perempuan itu berdiri. "Melinda bisa nanti. Hari ini adalah Ardha's time. Oke?"
Kedua alis Ardhani menaut. Ia bahkan masih tampak bingung ketika Bintang menggenggang tangannya dan mulai berjalan di depan.
***
Entah jenis perasaan macam apa yang Ardhani rasakan sepanjang menghabiskan waktu berdua dengan Bintang. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tersenyum bahagia. Membagi cerita dengan Bintang seperti ini adalah hal yang selalu bisa membuatnya tenang. Ia suka Bintang mendengarnya, ia bahagia melihat bagaimana Bintang menatap khawatir padanya. Sejak dulu, perhatian Bintang adalah satu hal yang sulit untuk Ardhani tolak.
"Ya udah. Setelah ini kamu nggak usah mikir berat, ya? Kebiasaan kamu kalau mikir berat tuh kamu pendam sendiri terus berubah diem, Ardha. Aku nggak suka."
Ardhani mengamati baik-baik Bintang yang menyetir di sampingnya.
"Lagian Abang-abang kamu pasti bisa menemukan cara baikan sendiri. Cowok tuh gampang baikannya." Bintang membalas tatapan Ardhani sekilas. "Mau janji nggak untuk selalu cerita masalah kamu ke aku?"
Ardhani mendengkus. "Nggak."
"Kenapa?"
"Aku bisa cerita ke Kak Jeya."
"Yaelah, Ardha. Emang selama ini aku kamu anggap apa sih?"
Seolah sulit mengutarakan apa yang hatinya teriakan, Ardhani memilih kembali menghadap ke depan.
"Janji dulu, nggak? Kalau nggak mau aku turunin di sekarang nih!"
Ardhani tertawa. "Ngancamnya jelek ih! Aku aduin Bang Arman, ya!"
"Loh kok malah balik ngancam?" Bintang pun turut tertawa.
Mobil Bintang berhenti tepat di depan gerbang rumah Ardhani.
"Kamu mau ngapain?" tanya Ardhani yang heran melihat Bintang mematikan mesin.
"Pamit."
"Ibuku jam segini udah tidur kali. Udah kamu langsung pulang aja!"
Bintang melepas sabuk pengamannya dan keluar. "Kalau begitu pamit Bang Arman aja," ucapnya.
Ardhani menyerah, lalu ikut turun. Saat menutup pintu mobil, ia sedikit terkejut bertemu tatap dengan Adam yang keluar dari gerbang rumahnya. Dari kaki ke atas, Adam mengenakan sandal jepit, celana pendek rumahan dan jaket hoodie over size. Walau hoodie jaket pria itu terpasang di kepalanya, Ardhani tetap bisa mengenali Adam dengan cepat karena tatapan dan postur pria itu.
Adam melewati Ardhani begitu saja, termasuk Bintang yang nampak heran menatapnya berjalan menjauh.
"Kenapa, Tang?"
"Enggak." Bintang lalu menatap Ardhani. "Kayak pernah ketemu, tapi lupa di mana."
Tanpa memberikan respon, Ardhani pun membuka gerbang dan berjalan masuk. Tampak di teras rumah, Aofar berdiri dari kursi dan menyilangkan lengan.
"Dari mana aja Dhan pulang semalam ini?" Suara Aofar terdengar lantang. Pria itu lalu mengamati Bintang. "Mana nggak ijin lagi!"
Baru saja Ardhani membuka mulut, Arman muncul lewat pintu rumah dan berdiri di samping Aofar.
"Udah ijin aku kok!" ucap Arman tanpa membalas tatapan heran adik keduanya.
Bisa Ardhani rasakan, ketegangan lagi-lagi menyelimuti kedua kakaknya.
"Apa kabar, Tang?" Arman mendekat dan menjabat tangan Bintang. "Lama nggak ketemu."
"Baik, Bang." Bintang menoleh Aofar dan tersenyum. "Bang Aofar, ya?"
"Siapa kamu? Pacarnya Dhani?"
"Temenku, Bang!" sela Ardhani tegas.
Bintang masih tersenyum. "Saya minta maaf kalau sudah ajak Ardha main sampai kemalaman."
"Nah gitu dong sadar diri!"
"Far!" Suara berat Arman membuat keadaan menjadi hening seketika. "Dia udah ijin aku. Nggak denger?"
Aofar tak menghiraukan tatapan peringatan dari kakaknya. "Lain kali kalau mau ajak Dhani keluar sampai malam ijin aku juga. Oke?" ucapnya sebelum masuk ke dalam rumah.
Ardhani hanya menatap kepergian Aofar dengan diam.
"Ardha aku pulang dulu."
"Hati-hati, Tang. Thanks yah..."
Bintang tersenyum seraya mengusap lembut punggung Ardhani. "Bang Arman, saya pulang dulu."
"Hmmm... hati-hati di jalan, Tang." Arman mendorong bahu Bintang. "Yuk, aku antar ke gerbang."
Dari tempatnya berdiri, Ardhani tahu ada yang disampaikan Arman kepada Bintang saat mereka berjalan berdampingan. Namun Ardhani memilih untuk tak memikirkannya dan berjalan masuk ke dalam. Moodnya yang sejak siang tadi baik, nyatanya harus kembali buruk saat ia menginjakkan kaki di rumah.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Sehat-sehat ya, semuanya ❤
Cerita ini sebenarnya kelar beberapa hari yang lalu, tapi aku pending karena sekalian nunggu Tombak. Wkwkwkwk...
Silakan bully Tombak di sini 🙈🙉🙊
.
.
.
Btw... nemu staff pemkot kek Bintang gini adanya di kota mana yaaaa? :')
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top