3. Nyebelin Juga Nih Orang
Ardhani masih mematung menatap Adam yang nampak terkejut memandangnya. Saat itu juga, hampir seluruh tubuh Ardhani menjadi mati rasa. Hanya jantungnya saja yang berdetak menggila karena ketakutan memikirkan apa yang harus ia lakukan jika Adam menyapanya.
"Makasih ya, Mbak."
HAH??????
Adam menyudahi senyumnya, lalu berbalik menjauh. Selama ia berjalan pergi, tak ada yang Ardhani lakukan selain menatap punggungnya tanpa berkedip.
"Kamu kenal?"
Ardhani menoleh Bintang dengan linglung.
"Atau terpesona?"
"Apa sih? Nggak!"
Bintang menyunggingkan senyum miringnya. "Seumur-umur kenal kamu, aku nggak pernah lihat kamu melongo lihatin cowok kayak gitu."
Ardhani memejamkan mata dan menggeleng untuk menghalau wajah Adam yang masih membayang di wajahnya.
"Ardha?"
"Hng?" Ardhani menatap Bintang lagi.
"Kenapa sih?"
"Nggak." Ardhani menoleh tempat terakhir ia melihat punggung Adam. "Sampai mana tadi, Tang?"
Bintang sedikit menekuk wajahnya. "Nggak sampai mana-mana. Kan kamu udah jelas-jelas nolak ajakanku ke Bandung."
Tak ada sahutan dari Ardhani. Ia hanya memajukan bibir menyedot es latte-nya tanpa ekspresi.
"Kamu nggak niat berubah pikiran gitu?"
Ardhani berdiri dan meraih tasnya. "Bye, Tang. Aku pulang."
"Yaaah Ardha!"
***
Tawa Jeya yang kencang membuat Ardhani sedikit risih. Masalahnya, di depan minimarket itu tidak hanya mereka yang duduk di sana. Semua orang hampir menoleh Jeya dan memberikan tatapan penuh tanya.
"Trus..." Jeya mengusap air mata yang baru berlinang di sudut matanya. "Trus kamu ngaku?"
"Ya gimana lagi? Orang dia udah tahu aib masa kecilku. Ya kali aku ngelak?"
Jeya kembali tertawa, namun lebih lirih dari sebelumnya.
"Tengsin banget tahu nggak sih, Kak." Ardhani mengusap wajahnya. "Masa sekalinya match yang dibahas malah aibku, sih?"
"Unik juga sih dia. Harusnya kan dia kasih impresif yang cool gitu." Kedua mata Jeya menyipit. "Sengaja kali dia, Dhan."
"Sengaja malu-maluin aku?"
Kedua bahu Jeya terangkat. "Bisa jadi karena ngerasa temen kecil, jadinya lebih bebas aja bahas apa aja."
Ardhani memasang muka kesal. "Nggak gitu juga kali."
"Ya udah laaaaah semangat. Di Madam Rose nggak hanya dia doang kan? Yakin deh pasti banyak cowok yang tertarik sama kamu." Jeya memutar bola matanya. "Tapi kalau kamunya aktif nyari juga sih di sana."
"Udah ah, nggak usah bahas itu. Bahas yang lain."
"Apaan? Bahas Bintang? Bosen, Dhan!"
Kedua sudut bibir Ardhani melorot ke bawah.
"Aku nginep rumah kamu deh malam ini. Sekalian mau tanya-tanya ke Bang Arman, gimana caranya nyiapin hati untuk nikah."
"Kak Jeya ngga malmingan nanti?"
"Farhan lagi luar kota." Jeya meraih tasnya. "Cari makan dulu, yuk? Mampir rumahku ambil baju, terus kita pulang ke rumah kamu."
.
.
Sebuah vespa kuning yang terparkir di halaman rumah Ardhani membuat perempuan itu bertanya-tanya di dalam hati saat turun dari motor. Ia seperti pernah melihat vespa mencolok itu, namun lupa di mana tepatnya.
"Aofar?"
Ardhani menoleh Jeya yang menggumam sendiri.
"Aofar pulang, Dhan?"
"Ha? Engga kok. Minggu kemarin."
"Lah itu!"
Tepat saat Ardhani menoleh arah Jeya menunjuk, Aofar membuka pintu dan berjalan melambaikan tangan dengan riang.
"Jeyaaaaaa!"
"Aofaaaaar!"
Kedua saudara sepupu berkepribadian extrovert itu berpelukan erat seraya saling menowel kepala dengan gembira.
"Jahat ih tiap ke sini nggak ngabarin!" Jeya melepas pelukan terlebih dahulu.
"Jarang pulang aku, Je. Minggu kemarin pun juga di suruh Bang Arman."
"Lah ini Bang Aofar kok pulang?" sambar Ardhani.
"Kenapa, sih? Emang pulang nggak boleh?"
Ardhani memutar bola mata. Tidak, ia tidak boleh kesal sendiri tiap menghadapi kakak keduanya. Tanpa memperpanjang obrolan, Ardhani masuk begitu saja ke dalam rumah dan terkejut bukan main saat menemukan sosok yang selama seminggu ini mengganggu pikiran serta harga dirinya.
Maurico Adam teman masa kecil sekaligus pria yang match dengannya, kini sedang duduk santai di sofa ruang tamunya.
WHAT THE FFFFFF!
Tak ada kata-kata yang bisa Ardhani keluarkan. Sekujur tubuhnya membeku, sama seperti saat di mana ia bertemu Adam beberapa hari yang lalu. Dan sialnya, kenapa pria itu tersenyum tanpa sungkan padanya seperti sekarang?
"Baru pulang kerja?"
Ardhani merinding mendengar suara berat Adam. Ia memang pernah mendengar suara Adam beberapa hari yang lalu saat bertemu di cafe. Tapi tak ia sangka mendengar suara pria itu lagi di tempat hening akan berdampak seperti ini bagi dirinya.
Alhasil, Ardhani pun hanya bisa mengangguk kecil di tempatnya.
"Oh... kirain baru pulang malmingan."
Mood Ardhani terbanting seketika. Tiba-tiba ia ingin melempar Adam dengan gelas minuman boba yang ada di tangannya saat ini.
"Dhan, mau pesen apa?" Aofar berjalan mendekatinya seraya menyerahkan sebuah ponsel. "Jeya traktiran pacar baru nih."
"Nggak baru-baru juga kali!" sahut Jeya yang tengah melepas sneakersnya di depan pintu.
"Baru kamu kasih tahu aku maksudnya." Aofar kembali menatap sang adik. "Buruan pilih! Kebetulan ada menu baru di tempat ini yang mau Abang cobain."
Wajah kesal Ardhani belum hilang saat ia meninggalkan Aofar begitu saja. "Nggak usah. Nggak mood."
"Dhan! Beneran? Ibu lagi pergi dan nggak masak loh!"
Tak ada jawaban dari Ardhani yang melangkah menuju tangga dengan hentakan kaki kasar.
"Dia kenapa?" gumam Aofar.
"Tadi moodnya bagus, kok." Jeya turut bergumam mendekati Aofar.
Adam hanya satu-satunya orang yang terdiam di sana. Ia lalu menunduk memperhatikan undangan pengajian yang ditipkan Mamanya, seraya berdehem untuk memberi sinyal eksistensinya.
"Eh, Dam. Ya ampun, sampai aku anggurin," ucap Aofar seraya menoleh Adam. "Mau sekalian makan di sini?"
"Nggak usah, Far. Aku langsung cabut aja."
"Buru-buru amat sih?"
Adam berdiri dan menyerahkan undangan titipan Mamanya. "Ada revisi kerjaan yang nunggu."
"Aku ke kamar Dhani dulu, Far." Jeya berjalan menuju tangga. "Anterin hp-ku ke atas kalau udah kelar."
"Btw, Dam..." Aofar mengikuti Adam yang berjalan ke arah pintu. "Anak-anak sini pada ke mana semua sih?"
Tawa Adam terdengar ringan. "Udah pada nikah, Far. Pindah semua dari sini."
"Gini ya rasanya kalau udah nggak punya temen rumah?"
"Lah aku? Bukan teman rumah kamu?"
Aofar terkekeh. "Besok sunmorian, yuk?"
Lagi-lagi Adam tertawa. "Boleh. Jam 6 ya? Biar sepi."
"Okeeeee... samperin ke sini ya?"
Adam yang hendak menyalakan mesin vespanya, menatap Aofar yang berdiri di teras. "Oke," sahutnya kemudian.
Deru mesin vespa Adam terdengar mulus saat pria itu menjalankan motornya keluar pagar. Di saat yang bersamaan, suara hentakan kaki yang berlari menuruni tangga terdengar gaduh di belakang Aofar.
"ADAAAAAAAAAAM," teriak Jeya di beberapa anak tangga terakhir.
Tepat di belakang Jeya, Ardhani turun dengan tergesa. "KAK JEYAAAAAAA!!!"
"DAAAAM, TUNGGU! INI DHANI-"
Teriakan Jeya langsung terhenti saat Ardhani membungkam erat mulutnya. Jeya ambruk ke lantai dengan tawa yang kencang, sungguh berbeda dengan raut muka Ardhani yang menunjukkan gugup dan kesal di saat yang bersamaan.
"Kalian ngapain, sih?" tanya Aofar seraya melewati begitu saja dua saudarinya bergulat di lantai.
"Ini nih Dhani, Far hmppph-"
"Kak Jeya diem, nggak?" Kali ini Dhani menindih Jeya.
Tawa Jeya yang berbaur dengan rasa sakit di tangannya pun menjadi penutup gurauan saudara sepupu itu.
***
Tak pernah terjadi sekali pun di dalam hidupnya, Ardhani melihat Aofar sudah keren di pagi hari. Ardhani memang selalu disertai gengsi menganggap kakak keduanya itu keren ketika memotret. Namun pagi ini, tanpa membawa kamera atau peralatan memotret lainnya, Aofar yang duduk di kursi teras sudah terlihat segar dan tampan seolah hendak pergi berkencan.
"Tumben pagi-pagi udah mandi?" tanya Ardhani saat berdiri di pintu rumah.
"Tiap subuhan aku selalu mandi ya!"
Ardhani hanya mencibirkan pernyataan Aofar tanpa suara seraya berjalan menuju kebun kecil ibunya.
"Tumben udah mandi, Far?"
Sebuah suara pria lain membuat Ardhani menoleh karena merasa menang. "Kan? Nggak aku aja yang tanya gitu, Bang Arman juga."
Arman hanya tertawa, sedangkan Aofar yang kesal hanya memalingkan muka.
"Mau ke mana, Far?" tanya Arman lagi.
"Sunmorian, Bang."
"Sunmorian? Apaan tuh?"
"Sunday morning ride."
"Yaelah kirain apaan." Arman kembali berjalan ke dalam rumah.
"Dhan! Abang mules nih!"
Ardhani yang menyirami tanaman tak menoleh Aofar sedikit pun. "Teruuuuus?" tanyanya malas.
"Nanti kalau ada temen Abang nyamperin suruh nunggu dulu yah!" Suara Aofar pun menjauh seiring langkahnya menuju rumah.
Tak ada sahutan dari Ardhani. Ia memilih untuk menyirami sisi kebun yang lain. Menyirami kebun ibunya, bisa dibilang adalah kegiatan Ardhani setiap minggu pagi demi mendapatkan free pass ijin pulang malam sewaktu-waktu.
Ardhani menguap lebar seraya mengucek kedua matanya yang masih mengantuk. Semalam ia dan Jeya begadang untuk marathon series terbaru. Alhasil, ia baru bisa memejamkan mata sekitar pukul tiga pagi. Sungguh, sebuah kegiatan sabtu malam minggu yang sangat berfaedah bagi moodnya yang sempat anjlok malam tadi.
Deru mesin suara motor yang berhenti di depan gerbang rumahnya membuat Ardhani menoleh. Demi apapun bentuk nasib sial seluruh manusia di bumi, mengapa pula Ardhani harus menjumpai kesialannya berkali-kali akhir-akhir ini? Di sana, di depan gerbang rumahnya, Adam tengah memandangnya seraya melepas helm dari kepala.
"Aofar ada?"
Pandangan Ardhani dengan cepat tertuju ke ujung selang yang ia pegang. "Di kamar mandi," sahutnya singkat.
Adam memandang Ardhani selama beberapa saat. "Aku boleh masuk nggak ini?"
Tak ada sahutan atau bahkan tolehan kepala dari Ardhani.
"Boleh bukain pagarnya?"
Menghembuskan napas menahan emosi, Ardhani melepas begitu saja selang dari tangannya dan berjalan ke arah gerbang. Tanpa menatap Adam, Ardhani membuka gerbang rumahnya.
Adam tersenyum tertahan. "Makasih."
Ardhani kembali meraih selang dan menyiram kebun saat Adam menuntun motornya masuk. Setelah memarkir vespa kuning kesayangannya, Adam memandang punggung Ardhani sejenak sebelum berdiri di sampingnya.
"Kemarin-" Adam berhenti karena Ardhani nampak begitu terkejut memandangnya. Setelah beberapa detik berlalu dengan keheningan dan keterkejutan Ardhani, Adam melanjutkan kalimatnya. "Kemarin sepupu kamu teriak manggil namaku nggak, sih? Aku sempat berhenti nungguin, tapi nggak ada suara lagi."
"M-mana kutahu?" Kedua mata Ardhani menghindari lawan bicaranya. "Aku di kamar."
"Oh..." gumam Adam seraya mengangguk pelan. "Terus yang kemarin itu pacar kamu?
Selang di tangan Ardhani hampir saja tergelincir mendengar pertanyaan Adam. Beberapa detik berlalu dengan bengongnya Ardhani di hadapan Adam.
"Kalau udah punya pacar ngapain main Madam Rose, sih? Bosen, ya?" Ekspresi Adam berubah tengil. "Dari mukanya emang dia kelihatan ngebosenin, sih."
"Heh!" Reflek Ardhani menghardik Adam.
Adam tertawa. "Kalau udah punya pacar nggak usah main Madam Rose, lah! Kasihan yang jomblo beneran di sana."
Entah mengapa, Ardhani selalu mendadak cengo di hadapan Adam seperti saat ini.
"Dam! Yok berangkat!"
Baik Adam dan Ardhani menoleh Aofar yang sedang memakai sepatu. Adam lalu menjauh, menghampiri vespa kuningnya dan memakai helm.
Tak lama kemudian Aofar berlari mendekat. Setelah Adam memutar balik motornya, Aofar naik begitu saja di jok dengan raut wajah gembira. Dan tanpa berbicara lagi, Adam menarik gas motornya pergi meninggalkan Ardhani yang masih mencerna apa yang baru saja ia alami.
.
.
Kebingungan Ardhani nyatanya menyita fokusnya hingga malam hari. Hari Minggu yang seharusnya ia lalui dengan ketenangan karena terlepas dari beban pekerjaan, mau tak mau harus terusik oleh tingkah laku dan perkataan Adam pagi tadi.
"Dhan, telepon Arman udah sampai mana!"
Ardhani yang duduk di meja makan, kembali terfokus pada Ibunya. Disentuhnya nama kakak pertamanya di layar ponsel, sebelum mengarahkan benda itu ke telinganya.
"Aofaaar!" panggil Ratna melengking.
"Whasup, Mom?" Sayup-sayup terdengar sahutan Aofar dari lantai dua.
"Ayo sini makan!"
Panggilan telepon Ardhani akhirnya terjawab. "Bang Arman sampai mana? Ini ditungguin Ibu makan malam," ucapnya begitu saja.
"Habis gini sampai. Tungguin bentar."
Ardhani menutup panggilan dan memandang kuah rawon yang ada di hadapannya. "Habis gini Bang Arman sampai, Bu."
"Jeya ngapain pulang sebelum makan malam sih, Dhan? Pulang dari sini dengan kenyang kan enak. Sampai rumah bisa langsung tidur." Ratna mendongakkan kepala untuk sekedar mengecek kemunculan Aofar.
"Pacarnya tiba-tiba pulang, Bu. Mereka mau dinner."
"Loh Jeya punya pacar baru lagi? Cepet banget ganti pacarnya? Kapan-kapan aku mintain tips, ah..."
Ardhani menatap Ibunya putus asa. Kini ia paham dari mana keabsurdan Aofar berasal.
Aofar datang dengan berisik, lalu duduk di samping Ardhani. "Bang Arman mana? Lama bener nganterin Jeya?"
"Udah mau sampaaaaaaaiii." Ardhani sengaja memanjangkan suku kata terakhir karena malas menjawab pertanyaan Aofar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," jawab Ratna dan Aofar bersamaan.
Arman duduk di samping Ratna. "Widih... rawon."
"Jangan lupa do'a dulu sebelum makan," ucap Ratna seraya meraih piring.
"Bentar, Bu. Aofar mau ngomong."
"Ntar aja kenapa sih?" Ardhani turut meraih piring. "Habis makan kan en-"
Aofar merebut piring Ardhani. "Bentar doang. Dengerin baik-baik."
Ardhani merengut, sedangkan ibu dan kakak pertamanya memandang Aofar serius.
"Ada apa, Far?" tanya Arman.
Penuh hati-hati Aofar memasang ekspresi. "Aofar udah resign dari kerjaan."
"Hah?" Ratna memandang baik-baik anak keduanya. "Kenapa, Nak? Ada masalah apa di kerjaan kamu?"
Tawa Aofar terdengar pelan. "Nggak ada, Bu. Aofar pergi dari sana dengan baik-baik."
"Terus?" selidik Arman.
"Aku mau kerja di sini. Biar dekat sama keluarga."
Ardhani menganga tak percaya. Kakak keduanya yang ia kenal selama ini selalu mementingkan ego, baru saja mengatakan hal yang cukup mustahil baginya.
"Bentar lagi Bang Arman kan nikah dan nggak tinggal di sini lagi. Ya... paling nggak biar tetap ada laki-laki di rumah ini gitu."
"Jadi kamu pulang tanpa kabar kemarin itu posisinya udah resign?"
Aofar mengangguk. "Sisa barangku yang di sana udah aku paketin, Bang. Mungkin kalau nggak lusa ya besok datangnya."
"Kenapa nggak rundingin dulu sama keluarga sih, Far? Kenapa ambil keputusan sepihak aja?"
Ekspresi Aofar berubah bingung melihat reaksi Arman.
"Kerjaan kamu itu mimpi kamu dari sekolah! Masa mau kamu lepas gitu aja, sih? Di sini mau kerja apaan kamu?"
"Yaelah, Bang. Kolegaku banyak, gampang lah soal kerjaan."
"Karir kamu di sana udah tinggi, Far!"
"Terus kalau Bang Arman pergi, siapa yang bakal jagain Ibu sama Dhani?"
"Abang kan udah bilang! Walaupun-"
"Berhenti!" potong Ratna dengan suara berat.
Ratna berdiri meninggalkan duduknya, lalu berjalan mengitari meja makan untuk menghampiri anak keduanya. Dengan sayang, Ratna memeluk kepala Aofar.
"Makasih ya, Far. Makasih sudah mau pulang." Ratna melepaskan pelukan dan mengusap kening anak lelakinya yang mengernyit. "Ibu senang kamu di sini."
Ardhani melirik Arman yang mulai mengambil nasi dengan tampang kesal. Ia tak bisa melakukan apa-apa. Ketegangan yang sempat tercipta beberapa saat yang lalu membuatnya tersadar bahwa, seumur hidupnya ia tak pernah berdebat serius dengan saudaranya atas pilihan hidupnya sendiri seperti Aofar. Malam ini, kakak keduanya itu sedikit banyak telah mencerminkan sisi pemberontaknya yang sangat jarang Ardhani temui.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Haloooo... kalau ada yang nungguin, maap udah bikin kalian nunggu lama. Enjoy ya... mwah 💋
.
.
.
"Mana yang nyebelin, Dhan? Mana? Manaaaa? Ya ampun mana bisa yang kaya gitu ngga disayang sih, Dhan? 😭"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top