23. Untuk Melangkah ke Depan
Ardhani membuka mata perlahan saat merasa mobil yang ia tumpangi mulai melambat. Benar saja, di sampingnya, Adam hendak memarkirkan mobil di pinggir jalan perumahan yang terlihat lengang.
"Katanya ke pantai," ucap Ardhani sedikit serak.
Adam menolehnya sesaat dan tersenyum kecil. "Di sini dekat pantai."
"Nggak kelihatan."
Samar-samar debur ombak terdengar saat kaca pintu mobil diturunkan.
Punggung Ardhani tiba-tiba menegak hingga menjatuhkan bungkus sandwich kosong dari pangkuannya. "Terus kita ngapain di sini?" tanyanya seraya mengambil bungkus tersebut.
"Minum dulu." Adam menyodorkan sebotol air mineral. "Kamu belum minum selesai makan tadi."
Ardhani menerima uluran botol yang telah terbuka tutupnya tersebut dengan diam. Ia membasahi kerongkongannya seraya memperhatikan sekitar.
"Kita tunggu bentar lagi, ya? Biasanya jam segini dia nyapu halaman rumahnya."
Kening Ardhani mengerut. "Siapa?"
Pandangan mata Adam tertuju pada rumah berhalaman luas yang berada di samping kiri mobil. Sorot matanya berubah sendu saat senyum kecilnya terukir. "Vanesha," jawabnya kemudian.
Udara di paru-paru Ardhani seolah tersedot habis seketika. "Bu-buat apa kita ngelakuin ini?"
"Ada yang mau kuceritakan ke kamu." Adam lalu menoleh Ardhani, menatap perempuan yang terkejut itu dengan seksama. "Lagian kamu dulu pernah tanya 'kan siapa Vanesha?"
"Terus kita nemuin dia, gitu?"
"Nggak perlu. Bisa dijamin tidurnya nggak akan tenang selama seminggu kalau aku berdiri di depannya. Cukup dari sini aja kita lihat dia."
Tak ada respon dari Ardhani. Perempuan itu terlalu terkejut saat ini. Siapa yang menyangka persetujuannya atas ajakan Adam empat jam yang lalu membawanya ke tempat yang tak terduga begini?
"Mau sandwich lagi? Di belakang masih a-"
"Nggak," potong Ardhani cepat.
Adam mengangguk-angguk, lalu mengetukkan jemarinya di atas roda kemudi. "Gimana kabar kamu selama ini, Dhan?"
Ardhani menghela napas berat, terlalu malas menjawab pertanyaan basa-basi.
Kekehan Adam mengalun. "Tersirat banget, sih?"
"Cerita apa sih yang mau kamu omongin sampai kita harus ke sini?"
Bibir Adam terkatup. Sorot matanya sempat gentar, sebelum ia bisa mengendalikannya. "Cerita tentang kesalahanku."
Sedetik setelah mengatakannya, pupil mata Adam bergerak menatap ke halaman rumah Vanesha. Saat Ardhani mengikutinya, ia melihat sesosok perempuan berambut hitam panjang menuruni undakan teras. Walaupun memakai daster rumahan, tubuh perempuan berparas teduh tersebut nampak langsing dan jenjang dari kejauhan.
"Itu Vanesha?" tanya Ardhani tanpa sadar.
"Iya."
Semua asumsi Ardhani tentang Vanesha pun terbukti seketika. Perempuan cantik yang membawa sapu tersebut bahkan nampak lebih menawan dibanding penampilan Ardhani setiap kali hendak berangkat kerja.
Another level sih ini, Dhaaaan...
"Aku kenal Vanesha di semester tiga." Adam memulai ceritanya. "Dia adik tingkat kuliahku setahun dari SMA Jakarta. Dari jaman dia maba udah banyak banget cowok yang deketin dia."
Bahu Ardhani melemas.
Ya iya lah, Daaaaam. Orang secantik itu mana mungkin ngga dilirik?
"Tapi sebagian dari mereka mundur karena tahu Vanesha sering banget disamperin sahabat cowoknya dari Jakarta. Sebagiannya lagi mundur karena udah dapet penolakan langsung."
"Kamu satu-satunya yang nggak ditolak?"
Adam tertawa kecil. "Aku salah satu yang ditolak, tapi aku satu-satunya yang nggak mau mundur."
Ardhani kembali menatap Vanesha yang mulai menyapu. "Dia kelihatannya baik."
"Memang. Selain baik, dia juga penyayang."
Sedikit penyesalan memuji Vanesha menyelinap dengan kurang ajar di benak Ardhani.
"Dua tahun aku deketin dia, dan kami mulai pacaran di semester terakhir aku kuliah. Bener-bener sebuah perjalanan yang panjang untuk bisa mengenal dia sebelum mengambil hatinya." Adam menarik napas dalam-dalam. "Bersama dia, aku seperti paham apa itu arti makna cukup."
"Kalau dia baik, kenapa kamu selingkuhin dia?"
Adam menatap Ardhani dengan sedikit terkejut. Hanya sesaat, sebelum parasnya berubah pilu. "Satu hal yang luput kuakui selama bertahun-tahun adalah cinta pertamanya," ucap Adam lirih.
Kedua pupil Ardhani melebar seketika. "Jangan bilang..."
Senyum Adam terukir tipis sebelum mengangguk. "Munafik kalau aku nggak peka siapa yang sebenarnya selalu ada di hatinya, Dhan. Tapi aku bisa apa? Aku bener-bener nggak mau kehilangan dia."
Ardhani hanya bisa ternganga.
"Semua cara kulakukan untuk mempertahankan dia. Aku bahkan menutup mata dengan semua reaksi tersiratnya. Pertungangan kami terjadi, sebagai salah satu bentuk keegoisanku untuk bisa secepat mungkin memilikinya."
"Apa Vanesha pernah ngomongin langsung bagaimana perasaan dia sebenarnya?"
Adam menggeleng. "Vanesha terlalu baik untuk menyakiti orang lain. Apalagi sama aku yang hampir nggak pernah berkata 'nggak' untuk semua yang dia mau. Asal kamu tahu, selama pacaran kami nggak pernah berantem."
"Lalu bagaimana kalian putus?
"Sekitar lima bulan setelah pertunangan, di halaman belakang rumah Vanesha, aku lihat dia menangis berdua dengan sahabatnya. Akhirnya selama belasan tahun, malam itu mereka berani mengungkapkan perasaan masing-masing." Pandangan mata Adam menerawang ke depan. "Selama enam tahun aku bersama Vanesha, aku seperti dipaksa mengakui dengan gamblang kalau sebenarnya selama ini aku nggak berhak mendapatkan tatapan penuh cintanya seperti malam itu."
Ardhani menatap lurus ke dalam dua bola mata Adam yang kini nampak sedikit redup.
"Vanesha mencintai sahabatnya sendiri sejak lama, Dhan. Justru aku orang baru di dalam hubungan mereka."
"Kalau benar ceritanya seperti itu, terus kenapa muncul asumsi kamu yang berkhianat, Dam?"
Perlahan Adam mendunduk, lalu menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak mau Vanesha yang disalahkan, terutama di keluarga dia sendiri."
Tenggorokkan Ardhani terasa mengerat, apalagi saat Adam tersenyum satir sendirian. Tangannya hendak terulur mengusap bahu Adam, sebelum ia menariknya kembali karena ragu.
"Walaupun berat, aku lega lihat dia sekarang bersama orang yang tepat." Adam kembali menatap Ardhani, mencoba menyunggingkan senyum samar.
"Sahabatnya sendiri itu, kan?"
"Hm." Adam mengangguk, lalu mengedikkan dagunya ke arah halaman rumah Vanesha. "Namanya Benny, bocah tengil Ibu Kota. Baru delapan bulan ini mereka menikah."
Ardhani memperhatikan sosok laki-laki yang baru keluar dari pintu dan berjalan mendekati Vanesha. Entah apa yang dibicarakan laki-laki yang berdiri dengan wajah khas bangun tidur tersebut, namun Vanesha dengan mudah tertawa hingga mencubit gemas kedua pipinya.
"Selama denganku Vanesha hampir nggak pernah seekspresif ini, Dhan." Senyuman Adam kini jauh lebih mengembang. "Di hadapanku dia adalah perwujudan anak baik yang pemalu."
"Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa pergi dari sini, Dam."
Adam menatap Ardhani lamat-lamat.
"Langsung ke pantai aja, atau tempat lain yang bisa hibur hati kamu."
Kekehan Adam mengalun. "Aku nggak apa-apa, Dhan. Nggak ada lagi yang tersisa untuk Vanesha."
"Kalau nggak tersisa apa-apa, kenapa kamu masih simpan barang-barang dia?"
"Karena saat itu belum ada alasan yang kuat buatku untuk membuka hati lagi."
"Jadi karena kamu sekarang udah bisa melepas Vanesha, kamu udah nggak menyimpan barang-barang dia?"
Adam mengangguk. "Bahkan sebelum aku berangkat ke Zurich."
Ardhani sempat terdiam, sebelum menghela napas berat. "Enak banget jadi cowok, move on-nya gampang," gumamnya.
"Apa?" tanya Adam seraya terkekeh.
"Kita di sini sampai nungguin mereka selesai mesra-mesraan di depan rumah atau gimana nih, Dam?" Ardhani mencoba mengalihkan percakapan.
Bibir Adam merapat menahan tawa. "Kenapa? Kamu nggak nyaman?"
"Perutku yang nggak nyaman. Dia minta diisi nasi, sandwich aja nggak cukup."
Tawa Adam pun meluncur tanpa bisa dicegah. Ia pun mulai menyalakan mesin. "Oke, siap. Kita ke pantai dan pesan makan siang untuk amunisi perut kamu dulu."
Mobil Adam pun melaju perlahan, seiring dengan rasa penasaran Ardhani di masa lampau yang sudah terbayarkan.
***
Dari tempat Ardhani duduk menikmati kelapa muda, punggung lebar Adam terlihat kokoh saat pria itu berdiri menatap bibir pantai yang menghantarkan ombak tenang. Mendung tipis yang bergelayut di langit membuat pemandangan yang Ardhani lihat di hadapannya sekarang terasa sendu sekaligus menenangkan.
Ardhani mengerjap, lalu meletakkan kelapa mudanya dengan cepat. Tanpa ponsel, ia tidak bisa mengalihkan perhatian dengan cara lain saat pemikiran macam tadi lewat tanpa permisi.
"Daripada nggak ngapa-ngapain kaya' gini, mending ke mall lihat-lihat handphone baru aja nggak, sih?" gerutu Ardhani pelan.
Jarum terpendek jam tangan Ardhani hampir berada di angka empat. Hampir tiga jam sudah ia dan Adam menghabiskan waktu di pantai pinggir jalan ini. Dari matahari yang masih terik di atas kepala, hingga berada dalam perjalanan pulang menuju ufuk barat dunia. Tak ada kegiatan spesial yang mereka habiskan. Hanya makan, berjalan-jalan, dan tidur sejenak di dalam mobil untuk mengistirahatkan badan. Tak ada pula percakapan berarti yang tercipta. Hanya obrolan ringan seputar mau pesan makan apa, mau pulang jam berapa, dan mau mampir ke mana sebelum sampai rumah.
"Lagian dari tadi nggak ada obrolan lebih penting yang mau diomongin, gitu?" Tanpa sadar Ardhani menggerutu lagi. "Ngobrolin apa yang masih belum jelas, kek. Mumpung tempatnya mendukung."
Seakan tersadar, Ardhani merapatkan bibirnya dengan segera. Perempuan itu pun memukul jidatnya sendiri dan kembali menikmati kelapa muda dengan sedikit jengkel.
Pede amat sih, Dhan? Nggak ada yang perlu diperjelas!
"Dam?" panggil Ardhani gusar.
Adam menoleh.
"Ayo pulang! Aku bosan!"
Tak ada pergerakan dari Adam. Laki-laki itu malah mengangkat panggilan di ponselnya yang baru saja berdering.
"Dih!" Ardhani tak sungkan-sungkan menunjukkan raut jengkelnya.
Dari tempatnya duduk, Ardhani melihat Adam mengakhiri panggilan dan berjalan mendekat. Tanpa ingin membuang waktu lagi, Ardhani pun berdiri dan bersiap pergi.
"Handphone kamu ketemu."
Perkataan Adam meghentikan kaki Ardhani. "Oh ya? Di mana?" tanyanya penuh harap, melupakan kejengkelannya beberapa saat yang lalu.
"Lantai dua. Layarnya pecah." Adam menunjukkan foto ponsel Ardhani yang mengenaskan.
Ardhani merasa sedih sekaligus lega. "Nggak apa-apa, lah. Yang aku butuhin data di dalamnya."
"Kuambilkan kalau pemeriksaan TKP kelar."
Kedua mata Ardhani memicing menatap Adam yang tengah memakai jaket. "Kok kamu bisa tahu keadaan handphone-ku?"
"Aku nitip pesan ke kepala security untuk hubungin aku kalau nemu handphone android putih dengan case gambar panda."
Bibir Ardhani sedikit terbuka tanpa suara.
"Ayo pulang."
"Kenapa kamu ngelakuin itu?"
"Apa?"
"Handphone-ku."
"Kenapa emangnya?"
Ardhani menunduk sesaat untuk mengambil napas dalam-dalam. "Dahlah. Ayo pulang," ucapnya berbalik menuju mobil.
"Salah, ya?" tanyanya.
Tak ada jawaban dari Ardhani yang terus berjalan.
"Dhan?" Adam menahan lengan Ardhani.
"Iya." Ardhani mengangguk tegas. "Lagi-lagi kamu membingungkan aku, Dam."
Tanpa Ardhani sangka, Adam malah menyunggingkan senyumnya. "Aku nggak bermaksud begitu."
"Kalau nggak bermaksud begitu, harusnya kamu pilih salah satu sikap apa yang harus kamu tunjukkan ke aku!" Nada bicara Ardhani mulai meninggi. "Sesaat kamu nggak peduli sama aku, jutek sama aku, dan sesaat kemudian kamu bisa begitu khawatir sama aku. Aku udah pernah bilang, kan? Aku nggak sepandai itu untuk memilah jenis perhatian. Aku nggak mau terjatuh lagi di masa-masa sulitku, Dam!"
Adam terdiam, dan melepaskan pegangannya perlahan.
"Aku sekarang pasti kelihatan bodoh di mata kamu, kan?" Kedua mata Ardhani mulai mengembun.
"Nggak lah, Dhan."
Tenggorokkan Ardhani terasa mengerat. "Asal kamu tahu, sampai saat ini pun perasaan sukaku nggak bisa sepenuhnya hilang. Susah tahu hilangin sepenuhnya! Jadi tolong, jangan seperti ini lagi," ucapnya dengan gemetar.
Senyum Adam terukir perlahan. "Aku senang dengarnya."
Kedua mata Ardhani yang basah menatap Adam dengan heran.
"Setahun lebih kita nggak ketemu, aku takut kamu benar-benar lupain aku."
"Astaga, Adam. Bagian mana dari perkataanku tadi yang nggak kamu ngerti?"
"Bukan begitu, Dhani."
"Mending kamu jutekin aku aja deh daripada-"
"Lima menit," ucap Adam seraya memegang pundak Ardhani untuk menghentikan perkataan perempuan itu. "Aku minta kamu dengerin aku lima menit dengan tenang."
Ardhani terdiam. Menunggu sekaligus memperhatikan raut wajah Adam yang nampak penuh kesungguhan.
"Kalau kubilang aku memikirkan kamu hampir tiap hari selama aku di Zurich, apa kamu percaya?"
Kedua bola mata Ardhani bergerak bingung.
"Kalau kubilang aku menyesal tiap kali mengingat perbuatanku di cafe siang itu, apa kamu percaya?"
Ardhani menggelengkan kepala dengan polos hingga membuat Adam tertawa. Sedikit kepedihan tersirat di kedua mata lelaki itu.
"Maafin aku, Dhan. Aku salah karena terlalu takut mengikuti hatiku."
Bibir Ardhani terkatup rapat seiring Adam mengusap lembut puncak kepalanya.
"Andai waktu bisa diulang, aku akan bilang kalau aku juga punya perasaan yang sama, Dhan."
Ardhani tak bisa bereaksi apa-apa. Seluruh isi kepalanya seolah lenyap tergantikan perkataan Adam.
"Nggak tahu kapan persisnya. Yang jelas aku mulai terganggu waktu lihat Bintang bisa masakin kamu, sedangkan aku ngiris sayuran biar presisi aja nggak bisa."
"Itu jauh sebelum aku suka kamu, Dam," sahut Ardhani lirih.
Adam nampak berpikir seraya mengangguk pelan. "Mungkin emang sebenarnya aku duluan yang suka kamu. Hanya saja rasanya masih tipis, dan belum sejelas sekarang."
Bahu Ardhani melemas. "Kamu nih... lagi bercanda, ya?"
Kekehan Adam meluncur begitu saja. "Kalau saja nggak ada Bintang, aku nggak akan ragu mengakuinya lebih cepat. Untuk urusan hati sebenarnya aku bukan tipikal orang yang menunggu."
"Bintang?"
"Kamu..." Tatapan Adam berubah sendu. "...punya cerita yang sana dengan Vanesha."
Ardhani menutup mulutnya.
"Aku nggak mau lagi hadir di tempat yang salah," sambung Adam.
"Ya Allah, Adaaaaam." Ardhani duduk di atas pasir pantai begitu saja saat merasa lemaa di kedua kakinya. Berbagai jenis perasaan memborbardir hatinya hingga membuatnya sedikit pening.
Adam turut duduk, memperhatikan raut wajah Ardhani dengan sedikit takut. "Maaf, ya?" lirihnya.
"Nggak tahu, deh. Aku pingin marah, tapi aku juga senang," gumam Ardhani.
"Senangnya aja yang dirasakan. Marahnya jangan."
Tatapan jengkel Ardhani seketika membuat Adam diam. Lelaki itu membuat gerakan seolah menutup resleting di mulutnya.
Detik berlalu dengan keheningan. Dua anak manusia itu memilih duduk berdampingan merasakan emosi mereka masing-masing seraya menatap debur ombak yang disinari cahaya keemasan.
"Selama di Zurich kamu nggak punya pacar?" tanya Ardhani selang beberapa menit kemudian.
"Nggak. Cintailah produk-produk Indonesia."
Dengkusan Ardhani meluncur satir.
"Cowok yang pernah ngantar kamu pulang itu siapa?"
"Pacarku."
Tawa Adam menggelegar di pinggir pantai itu. "Bohoooooong!" teriaknya.
"Beneran dia pacarku!" elak Ardhani tak terima.
"Kalau dia pacar kamu, nggak mungkin Aofar uring-uringan tahu Adiknya diantar cowok nggak jelas."
Kedua mata Ardhani tertutup saat ia menghela napas pasrah.
"Punya pengalaman di Zurich lumayan naikin namaku di kalangan film maker, Dhan."
Ardhani mendengarkan dengan seksama Adam yang mulai bercerita.
"Selama di sana pun aku jadi komposer dua film festival. Walaupun aku cuma jadi nominasi, tapi setelah itu banyak yang hubungin aku untuk diajak join proyek kecil-kecilan." Adam menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan cerita. "Sebulan aku di sini, aku langsung dapat tawaran jadi komposer film layar lebar. Dan itu rumah produksi yang cukup besar. Senang rasanya."
"Selamat, ya? Ini gerbang impian kamu."
Adam mengangguk. "Kerjaanku emang nggak punya kepastian tanggal dan nominal pemasukan. Tapi kalau bisa di maintance dengan baik, aku rasa bakal lebih dari cukup kalau buat hidupin satu orang lagi."
Kening Ardhani mengerut menelaah perkataan Adam, dan semakin dalam saat pria itu tersenyum kepadanya.
"Aku nggak bisa janjiin apa-apa sebagai jaminan, Dhan. Tapi setelah proyek di film pertamaku selesai, Mama Papaku akan datang buat nanyain apa saja kebutuhan kamu yang harus kupenuhi di masa mendatang."
Ardhani mengerjap. Sepersekian detik ia hanya bisa terdiam menatap Adam yang masih belum melunturkan senyumnya.
"Um..." Ardhani membuang muka seraya menenangkan degup jantungnya. "Dam, kita perjelas di sini, ya? Kamu mau melamar aku, gitu?"
Lagi-lagi Adam tertawa. "Iya. Setelah proyek film layar lebar pertamaku selesai, dan setelah aku dapat ijin Aofar lahir dan batin."
"Kenapa Bang Aofar?"
"Karena dia raja terakhir. Aku nggak perlu ijin lagi ke Bang Arman dan Ibu kamu, karena aku udah dapat ijin dari mereka sejak lama."
"Terus kamu nggak ijin aku, gitu?"
Adam mendekatkan kepalanya. "Emang perlu, ya?"
Meski sempat tak tahu harus berbuat apa, Ardhani memberanikan diri menepuk jidat Adam hingga membuat lelaki itu mundur kesakitan.
"Kamu udah ninggalin aku setahun lebih dengan menyedihkan, enak aja tiba-tiba ngelamar?"
Kekehan Adam mengalir. "Apanya yang tiba-tiba? Kan aku ada obrolan dulu."
"Aku nggak gampangan, ya!"
"Oh, siap." Adam berdiri di depan Ardhani dan membungkuk. "Bu Ardhani Kejora maunya bagaimana setelah ini?"
Ardhani menggigit bibir bawahnya menahan tawa. "Soal lamaran kupikirin nanti. Aku juga perlu waktu buat kasih pengertian ke cowok-cowok yang deketin aku, tahu!"
Giliran Adam yang menahan tawanya. "Siap. Kalau Ibu butuh bantuan, saya bisa hadir. Dijamin tidak akan ada kekerasan."
Tangan Ardhani terulur. "Daripada semakin malam, sekarang ayo kita pulang. Sebelum masuk tol kita cari makanan yang enak dulu."
Adam menarik Ardhani agar berdiri. "Seingatku dulu kamu sedikit lebih ringan," komentarnya.
"HEH!!!!"
"Tapi aku masih kuat, kok!" ucap Adam cepat seraya mengangkat kedua lengannya. "Aku masih bisa gendong kamu ke mobil, lho!"
"Karena kamu komentar berat badan, setelah makan kita cari oleh-oleh buat Bang Aofar." Ardhani berjalan terlebih dulu. "Feelingku dia ada di rumah waktu kita pulang nanti."
"Siap."
Ardhani membalikkan badan dan berjalan mundur. Ia memperhatikan Adam yang juga tengah menatapnya. "Kamu bukannya dulu bilang mau ke Zurich selama enam bulan aja, ya? Kenapa sampai setahun lebih?" tanyanya.
"Program beasiswanya emang cuma enam bulan. Karena merasa belum puas, aku cari ilmu lagi jadi asisten komposer di sana."
"Itu aja?"
Satu sudut bibir Adam terangkat. "Kamu mau jawaban apa emangnya?"
Ardhani menggeleng, dan tersenyun saat ia kembali berbalik badan. Saat ia hendak meraih daun pintu mobil, tangan Adam mendahuluinya.
"Selain itu aku juga merasa belum siap untuk pulang dan ketemu kamu. Enam bulan bagiku waktu yang singkat. Aku pasti jauh lebih nggak siap dari sekarang," ucap Adam.
"Sama." Ardhani tersenyum kecil. "Kalau saja kamu pulang lebih cepat, aku mungkin nggak akan mau hadapin kamu lagi."
"Berarti... perpisahan kita sebelumnya tepat, kan?"
Ardhani mengangguk. "Bisa jadi. Kita sama-sama butuh waktu untuk mempersiapkan diri."
Adam menarik napas dalam-dalam. Senyumnya turut terukir lembut. "Aku pernah dalam fase menyalahkan diriku sendiri atas keputusan yang kuambil, Dhan. Hampir tiap hari aku takut mengambil langkah yang salah. Aku takut menyesal."
"Manusia nggak akan pernah lepas dari rasa penyesalan, Dam. Penyesalan seharusnya bukan dihindari, tetapi diolah agar kita bisa menghadapi hari berikutnya dengan lebih baik lagi."
Pandangan Adam meredup. Kedua lengannya terbentang sejenak, sebelum ia turunkan. "Aku bener-bener ingin peluk kamu tahu, nggak?" ucapanya seraya menghela napas berat.
Ardhani tertawa dan mencubit pipi Adam dengan gemas. "Dah, ayo pulang."
Adam mengangguk, lalu lanjut membukakan pintu agar Ardhani masuk. Perjalanan dua anak manusia itu pun dihiasi oleh beragam cerita yang masing-masing mereka lewati saat terpisahkan jarak dan waktu. Tak ada lagi perasaan yang tertahan. Semua tercurahkan, dengan lisan yang dihiasi dengan tawa dan senyuman.
***
Sesuai dugaan Ardhani, Aofar akan menunggu kedatangannya di teras rumah. Dari kejauhan, kakak keduanya itu berdiri kaku seraya melipat lengan di depan dada.
"Ayo masuk," ajak Adam seraya mendekat membawa bingkisan dari mobil.
"Kamu nggak takut?" tanya Ardhani.
Adam meringis. "Bohong kalau enggak. Yah... kena pukul sekali dua kali nggak apa-apa, lah."
"Bang Aofar bukan orang yang kaya' gitu, ya!"
"Kamu nggak tahu aja, kalau menyangkut soal kamu dia bisa jadi sekejam apa."
Ardhani menghela napas, lalu membuka pintu pagar rumahnya. Ia dan Adam berjalan beriringan senormal mungkin di hadapan Aofar.
"Ngapain Bang Aofar berdiri di sini sendirian?" tanya Ardhani mencoba berbasa-basi.
"Ngapain?" Tatapan Aofar berubah mengintimidasi saat menoleh Adam. "Ngapain ya kira-kira aku berdiri di sini sendirian, Dam?"
Adam mengangkat bingkisan di tangannya dengan kaku. "Nung-nunggu oleh-oleh mungkin?"
"Nunggu kamu bawa Adekku pulang tahu, nggak!"
Kaki Adam reflek mundur perlahan saat Aofar setengah meneriakinya.
"Kamu bawa ke mana aja dia?"
"Bang, kami cuma-"
"Abang tanya ke Adam, Dhani! Bukan kamu!" sela Aofar tegas.
"Kami ke pantai, Far," jawab Adam. "Perjalanannya cukup lama. Makanya baru bisa sampai rumah jam segini."
"Kamu bawa dia berpergian jauh setelah kemarin dia hampir celaka?" Aofar mempersempit jarak dengan Adam. "Aku aja belum ketemu dia dari kemarin, Dam! Tahu-tahu dia kamu culik dari pagi."
"Culik apaan sih, Bang?"
"Diam, Ardhani! Abang tanya Adam!"
Kadua mata Adam tertutup saat ia menghela napas. "Sorry, Far. Ada yang nggak bisa ditunda lebih lama."
"Emangnya apa yang nggak bisa ditunda?"
Adam melirik Ardhani yang menggeleng seraya berucap 'jangan sekarang' tanpa suara.
"Um..." Adam menggaruk pelipisnya. "Menyatakan perasaanku."
Ardhani seketika menutup wajahnya dengan satu tangan.
"Dia udah nggak bisa move on dari kamu selama setahun sampai bikin dia nggak bisa lihat cowok lain lagi. Enak aja kamu tiba-tiba main nyatain perasaan?"
Satu tangan Ardhani yang lain turut menutupi wajahnya.
"Oh, ya? Nggak bisa lihat cowok lain?"
Tatapan tengil Adam yang terarah padanya adalah hal yang Ardhani lihat saat membuka mata.
"Terus kamu terima dia, Dhan?" Aofar ganti mengintimidadi adik kandungnya.
"Mau gimana lagi? Adam maksa." Kedua alis Ardhani terangkat congkak.
Adam membelalakkan matanya.
"Bener, Dam?" Aofar kembali melangkah lebih dekat.
Lagi-lagi Adam menghela napas. "Iya."
Sebuah pukulan yang mendarat di perut Adam membuat Ardhani memekik. Adam mundur dua langkah, sebelum tubuhnya terjatuh, Aofar menarik dan memeluk tubuhnya.
"Aku santet kamu kalau berani ninggalin Ardhani lagi," bisik Aofar. "Mulai saat ini jangan bikin dia bingung sendiri. Oke?"
Kekehan Adam bercampur dengan sakit yang ia rasakan. "Siap."
"Bang Aofar kasar banget, sih?" protes Ardhani.
"Itu nggak sebanding sama kelakuan dia ya, Dhan!"
Adam mencoba menengahi. "Aku nggak apa-apa, Dhan. Abang kamu bener, kok."
"Udah sana pulang!" Aofar meraih bingkisan dari tangan Adam. "Jangan lupa besok pagi kita vespaan sebagai ganti sunmori tadi pagi."
"Iyaaaaa."
Ardhani hanya bisa memandang Aofar heran.
"Ayo masuk, Dhan! Kamu belum cerita Abang soal kejadian kemarin," ucap Aofar seraya masuk ke dalam rumah.
"Masuk, Dhan." Adam bersuara setelah Aofar tal terlihat. "Mandi. Ngobrol bentar sama Aofar. Terus istirahat."
Selama beberapa detik Ardhani hanya memandang Adam. "Makasih hari ini," ucapnya kemudian.
"Hm. Sama-sama."
"Aku senang." Senyum Ardhani mengembang tak bisa ditahan. "Dan bahagia."
Adam turut tersenyum. "Aku juga."
"Jadi gini ya rasanya diantar pacar pulang?"
"Emang gimana rasanya?" tanya Adam.
Senyum Ardhani mengembang semakin lebar. "Nanti kuchat aja jawabannya."
"Ya ampuuuuun. Gemes bener, deh!"
Tawa keduanya mengalun di teras rumah yang sunyi itu.
"Aku pulang, ya?" Adam melangkah mundur.
"Hm. Sampai ketemu besok."
"Mimpi indah."
"Iya."
"See you."
"Udah sana cepat pulang!"
Adam tertawa saat membuka pagar. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ardhani memperhatikan punggung Adam yang menjauh di tengah keremangan pendar lampu jalanan komplek. Perasaan lega sekaligus bahagia membanjiri relung hati terdalamnya hingga membuatnya merapal do'a tertulus yang ia panjatkan seumur hidupnya.
.
.
.
Ya Allah, permudah urusanku untuk bisa terus bersamanya.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
One more chapter agaiiiiiiiin ❤
Bismillah, hahahahah. Maap-maap kalau misal ada typo dan bolong.
Enjoy yaaaaak. Hepi holidei, dan selamat Hari Raya Imlek bagi yang merayakan 🎊
.
.
.
POV jadi Ardhani waktu 'yang-yangan' 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top