22. Enggan Kehilangan

Gajian dan long weekend.

Nikmat mana lagi yang bisa didustakan budak koorporat macam Ardhani? Sejak masuk ke dalam mobil dan menyetir seperti saat ini, dagunya terangkat penuh percaya diri. Kedua matanya menyapu setiap jenis toko yang ia lewati dengan riang. Walaupun ia tahu tak semua produk yang dijual toko-toko tersebut bisa ia beli, tapi setidaknya Ardhani tak akan ragu jika otaknya menyuruh berhenti.

Berhenti hanya untuk melihat-lihat. Apa lagi?

Kekehan Ardhani mengalun di dalam mobil saat pada akhirnya ia memilih supermarket langganan di dekat rumahnya untuk benar-benar berhenti. Paling tidak, di supermarket tua ini ia bisa membeli apapun yang ia butuh dan inginkan untuk kebutuhannya selama sebulan ke depan.

Saat akan membuka pintu, ponselnya berdering. Nama Johan yang tertulis di sana membuat Ardhani menghela napas ragu sebelum mengangkat.

"Udah pulang kerja, Dhan?"

"Udah."

"Ini di mana? Rumah?"

Tanpa sadar, Ardhani menutup mata merapal do'a. "Belum, aku mau belanja bulanan dulu."

"Oh..."

"Ada apa, Jo?"

"Nggak apa-apa, kangen aja. Kamu libur sampai Senin, tapi aku malah ada tugas di luar kota."

Ardhani menghela napas lega.

"Ya udah kalau gitu lanjut belanja aja."

"Hm."

"Sampai ketemu lagi."

Sambungan telepon yang terputus seolah mengembalikan energi Ardhani lagi. Tanpa menunggu lama, ia keluar dari mobilnya.

Ardhani berjalan menuju pintu masuk supermarket yang entah mengapa terlihat begitu ramai saat ini. Langkahnya yang mantap, perlahan memelan saat melihat dua orang yang ia kenal berdiri di depan pintu supermarket, tengah bercengkerama hangat seraya menikmati kudapan dari dalam mangkuk kertas. Alarm di kepala Ardhani tiba-tiba berteriak kencang untuk menyuruhnya pergi. Selangkah ia berbalik, namanya diserukan dengan kencang di halaman supermarket tersebut.

"Dhaniiiii!"

Kedua mata Ardhani terpejam panik.

"Ardhaniii!"

Dengan pasrah, Ardhani berbalik dan melihat Resti yang melambaikan tangan dengan riang kepadanya. Di samping perempuan yang seumuran dengan Ibunya tersebut, Adam hanya menatapnya tanpa ekspresi.

Langkah Ardhani selanjutnya terasa begitu berat. Ia mendekat, dan mencoba tersenyum setulus mungkin. Di depan Ardhani, Adam nampak berbisik kepada Resti hingga melunturkan raut senang perempuan itu begitu saja. Resti bahkan menggeleng dan menunjuk Ardhani sesaat. Sebelum langkah Ardhani benar-benar berhenti, Adam telah lebih dulu melangkah menjauh membawa dua troli penuh berisikan barang belanja.

Ah... Ardhani kembali mendapat pengabaian secara terang-terangan lagi rupanya.

"Kenapa sih tuh anak?" gumam Resti pelan, namun tetap bisa Ardhani dengarkan.

"Belanja bulanan juga, Tante?"

Resti kembali menoleh Ardhani dan tersenyum. "Iya. Kamu sendirian aja, Dhan?"

Ardhani mengangguk.

"Tante kira kamu tadi mau ikut pelatihan masak di dalam."

"Oh, lagi ada pelatihan masak?"

"Iya. Makanya hari ini rame banget, nggak kaya' biasanya."

Lagi-lagi Ardhani mengangguk, kehabisan kata-kata untuk meneruskan basa-basinya.

"Udah hampir dua bulan Tante nggak main ke rumah kamu untuk bikin kue bareng Ibu kamu. Sejak Adam pulang Tante jadi pengen masakin satu-satu makanan kesukaan dia, Dhan. Pengennya lepas kangen terus sama dia." Resti menutup cerita dengan tawa bahagia.

Untuk sesaat, Ardhani bingung untuk menanggapinya. "Ya... mumpung masih bisa ketemu, Tante," ucapnya kemudian.

Resti tersenyum dan mengangguk.

"Um... Dhani masuk dulu ya, Tante? Tante hati-hati kalau pulang."

"Iya, Cantik. Kamu juga hati-hati kalau pulang nanti, ya?"

Ardhani mengangguk lalu melambai kecil seraya berjalan masuk ke dalam. Ngilu dan amarah di dadanya tak dapat ia abaikan begitu saja. Ia butuh pengalihan agar emosinya bisa terkontrol. Tanpa menoleh ke belakang lagi, Ardhani melintasi keramaian lantai satu supermarket untuk mengambil troli.

"Gila apa? Menghindar apa benci, tuh?" omel Ardhani saat menaiki eskalator. "Natural aja kenapa, sih? Kalau Mamanya peka terus ngira ada yang nggak beres antara aku sama dia gimana? Apa malah nggak ngerepotin nantinya?"

Troli yang didorong Ardhani kembali mengarah ke eskalator kecil yang membawanya ke lantai paling atas supermarket.

"Paling nggak kan bisa tetep di sana sampai aku masuk. Nyapa dikit kek biar suasanya enak. Nggak malah nyelonong pergi gitu aja waktu Mamanya manggil."

Satu sabun mandi cair beraroma kopi mendarat sedikit kasar di troli Ardhani.

"Ya emang dulu aku nyuruh dia buat bersifat sewajarnya, tapi nggak gini juga, kan?" Napas Ardhani mulai memburu. "Terus kalau udah gini dia maunya gimana? Aku cuek ke dia juga, gitu? Nggak nganggep dia ada juga, gitu? Oke!"

Walaupun tahu beberapa orang menoleh padanya, Ardhani tetap bersungut-sungut seraya melempar kasar barang-barang yang akan ia beli.

"Lihat aja! Kalau nanti ketemu lagi aku nggak bakal lihat wajah dia sedikit, pun. Aku nggak akan pernah anggap dia ada. Mau dia nungging, kek. Jatuh, kek. Kelaperan, kek. Nangis, kek. Aku nggak peduli. Aku benci kamu, Dam! Aku bener-bener benci kam-"

BLARRRRRRRRRRR

Omelan Ardhani mendadak berhenti mendengar ledakan yang disusul suara teriakan yang tak seberapa kencang.

BLAR BLAR BLARRRRRRRRR

Ia menoleh panik ke sumber suara, begitu pula beberapa orang di dekatnya.

"Apa itu, ya?"

"Ledakan apa itu?"

"Tabung gas bukan, ya?"

Pertanyaan orang-orang di sekitarnya membuat Ardhani linglung. Ia belum pernah mendengar suara ledakan selain petasan. Benarkah tadi ledakan tabung gas?

"Akhh!"

Teriakan pengunjung di lantai tiga terdengar serentak saat lampu padam. Gedung supermarket tua ini tak memiliki jendela. Sekeliling Ardhani mendadak gelap gulita, gaduh dan panik pun mulai tercipta di sana.

Saat Ardhani sibuk mencari ponsel dari dalam tasnya untuk menyalakan senter, ia mendengar langkah kaki orang-orang di sekitarnya berlari menjauh.

"Mana, siiiih?" Ardhani mulai gemetar karena tak dapat menemukan ponselnya dengan mudah. Ia tak mungkin berjalan dalam kegelapan seperti ini. Ia takut, benar-benar takut jika harus berjalan di kegelapan sendirian.

Setelah menemukan ponselnya, Ardhani menyalakan senter dan segera berjalan menuju eskalator. Listrik yang mati membuat banyak orang menumpuk di sana. Saling dorong pun tak dapat terelakkan. Teriakan-teriakan kasar mulai terdengar karena panik yang dirasakan semua orang. Saat berada di tengah himpitan orang-orang, Ardhani memejamkan mata dan coba berpikir tenang.

"Telepon Bang Aofar. Iya, telepon Bang Aofar."

Belum sempat Ardhani menekan tombol panggil, ponselnya berdering karena panggilan masuk. Ia memastikan berkali-kali nama yang tertera di layar, sebelum tak bisa menjawabnya karena mendapat dorongan yang jauh lebih kuat dari belakang.

Ponsel Ardhani terlepas dari genggamannya, terinjak oleh pengunjung lain yang juga dilanda kepanikan. Ia tak bisa menjangkau ponselnya, karena terpaksa maju karena dorongan orang-orang di belakangnya. Di tengah kepanikan yang menyerangnya, Ardhani mulai mengendus aroma hangus yang cukup kuat.

Kebakaran, ini kebakaran. Rapalnya dalam hati.

Saat Ardhani menginjak lantai dua, asap mulai nampak di sana. Menutup hidungnya dengan lengan, ia berjalan menembus asap yang menyesakkan untuk menuju eskalator terakhir. Antrian manusia terlihat lebih banyak saat ini, beberapa pengunjung yang berusia senja bahkan sudah nampak kesulitan mengambil napas. Di tengah panik dan ketakutan yang melandanya, Ardhani mencoba untuk tetap tenang dengan menutup mata dan berdo'a.

Ya Allah, selamatkan aku...

"Dhan!"

Aku takut, Ya Allah. Lindungi aku...

"Ardhani!"

Kedua mata Ardhani terbuka. Suara yang ia kenal, berkali-kali memanggilnya dengan keras dari bawah.

"Dhani kamu di mana?"

Suara itu terdengar menjauh. Seolah mendapat kekuatan tambahan, Ardhani turut berteriak kencang.

"Daaam! Adam!"

Tak ada sahutan. Di lain sisi Ardhani belum mendapat giliran turun. Ia pun kembali berteriak sekuat yang ia bisa.

"Adam aku di lantai dua!"

Lagi-lagi tak ada sahutan. Apa Adam tak mendengarnya? Atau laki-laki itu sudah pergi? Dengan sedikit arogan, Ardhani menggerakkan tubuhnya agar bisa lebih cepat menginjak eskalator. Kaki Ardhani terasa semakin lemas seiring banyaknya asap yang ia hirup. Kedua matanya lebih banyak terpejam menghalau perih saat menuruni eskalator. Ia hanya memanfaatkan satu tangannya yang berpegangan pada handrail untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

Lantai satu supermarket itu dipenuhi asap, sedangkan sudut yang dipakai untuk acara terlihat masih merah karena kobaran api yang belum padam di sana. Puluhan laki-laki mencoba memadamkannya dengan ember berisi air. Beberapa yang lainnya terlihat berlarian mengarahkan pengunjung yang baru turun untuk segera keluar dan mendapat pertolongan. Tak nampak keberadaan Adam di sana, bahkan sekedar bayangannya. Apakah suara tadi hanya halusinasi Ardhani saja?

"Dhani!"

Tubuh Ardhani tertarik ke samping begitu ia turun dari eskalator. Kakinya yang sudah lemas hanya bisa menuruti kemanapun langkah laki-laki yang memeluk pundaknya itu berjalan cukup jauh.

"Kamu nggak apa-apa, Dhan?"

Walaupun sangat kesulitan membuka mata, Ardhani tahu ia sudah berada di ruang terbuka.

"Dhani?" Suara panik dari laki-laki itu disusul dengan kedua tangannya yang merangkum wajah Ardhani. "Apanya yang sakit?"

"Perih." Ia mencengkeram bagian dada blouse-nya. "Sesak."

"Tenang, ya? Kamu duduk dulu dan buka mata kamu pelan-pelan."

Ardhani menurut. Setelah duduk di undakan jalur pedestrian, ia melawan perih di kedua matanya agar bisa memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi saja. Air mata Ardhani pun seketika menetes melihat sosok laki-laki di hadapanya yang menatap khawatir.

"Kamu bisa lihat aku dengan jelas, kan?"

Tak ada sahutan dari Ardhani yang terus meneteskan air dari kedua matanya.

"Ardhani jawab aku! Kamu bisa lihat aku dengan jelas, kan?"

Ardhani mengangguk dengan gemetar. "Iya, Dam. Bisa."

Adam menghela napas besar. Kerutan di dahinya nampak tak sedalam tadi.

"Dhani! Ya Allah, Dhaniiii! Kamu terluka?"

Ardhani menggeleng dan kembali menutup mata. Ia juga mengenal suara itu. "Nggak apa-apa, Tante."

"Apanya yang nggak apa-apa? Napas kamu masih berat, Dhan. Kita ke rumah sakit aja."

"Adam, tenang dulu." Kali ini Resti bersuara. "Biar Dhani coba mengatur napasnya sendiri dulu."

"Tapi, Ma-"

"Kamu ambil air mineral di mobil dan bawa ke sini!"

Adam menuruti perintah Resti dan berlari menjauh.

"Pemadam kebakaran dan tim medis katanya sudah dalam perjalanan ke sini, Dhan. Kedatangan mereka pasti lebih cepat dibanding perjalanan kita ke rumah sakit."

"Iya, Tante."

Resti menghela napas berat sebelum duduk memeluk Ardhani dari samping. "Ya ampun, Tante khawatir banget sama kamu, Dhan. Suara ledakannya bener-bener kenceng."

Tubuh Ardhani bersandar sepenuhnya ke Resti yang mengusap-usap punggungnya. Ia masih kesulitan untuk menghirup oksigen di sekitarnya.

"Dhan?"

Ardhani enggan membuka matanya walaupun suara Adam kembali ia dengar lagi.

"Ardhani?"

Hanya lenguhan lemah yang bisa keluar dari mulut Ardhani.

"Ma, kita ke rumah sakit aja deh, Ma!"

"Kita tunggu bentar lagi, Dam."

"Dhani udah kaya' gini, Ma."

"Dhani lagi nenangin diri. Kamu jangan tambah malah berisik deh, Dam!"

"Adam nggak tega lihat-"

Suara Adam terhenti begitu saja saat Ardhani menyentuh tangannya. Tanpa menegakkan tubuhnya yang bersandar penuh ke Resti, Ardhani mencoba membuka mata.

"Aku nggak apa-apa," lirih Ardhani. "Kita tunggu sebentar lagi."

Adam menghela napas berat. "Oke," ucapnya seraya meremas lembut jemari Ardhani.

Sirine pemadam kebakaran dan tim medis terdengar tak lama kemudian. Ardhani dan korban yang lain segera dikumpulkan untuk mendapat pertolongan dari tim medis saat sisa api dipadamkan oleh pemadam kebakaran. Dari jauh, Ardhani melihat Adam berdiri diam menatap lurus ke arahnya. Raut wajah laki-laki itu tak sekeras beberapa saat yang lalu. Tangannya memegang tas Ardhani dan sebotol air mineral yang belum terbuka. Entah makna apa yang tersirat dari gestur dan sorot mata laki-laki yang nampak sendu itu. Walaupun sulit untuk memungkiri, Ardhani merasa sedikit senang karena Adam tak sepenuhnya mengabaikan dirinya lagi.

***

"Mama kamu mana?"

"Aku suruh pulang dulu." Adam menadahkan tangannya di depan Ardhani. "Biar aku yang nyetir."

Ardhani sempat bingung, namun dapat memahami isyarat Adam dengan segera. Ia pun merogoh tas untuk mencari kunci mobilnya.

"Ini kita boleh masuk ke dalam bentar nggak, ya?" tanya Ardhani seraya menyerahkan kunci.

"Ke dalam mana?"

"Supermarket."

Kedua mata Adam membelalak. "Kamu nggak ingat hampir celaka di dalam sana?"

"Handphone-ku jatuh di eskalator."

Adam menghela napas, lalu membuka pintu mobil untuk Ardhani. "Bisa nggak sih kamu pikirkan hal penting dulu untuk kamu sekarang?" ucapnya dingin.

Ardhani mengernyit, namun tak bisa melayangkan protesnya. Aura Adam kini benar-benar terasa berbeda. Tak ada kehangatan dari tutur kata dan tatapannya. Tanpa berkata apa-apa, Ardhani masuk ke dalam mobil begitu saja.

Adam menyusul masuk. Sama seperti Ardhani, ia memilih diam saat menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobil. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa begitu kaku dan dingin. Hingga sampai tujuan, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibir dua anak manusia di sana.

***

Ratna berjalan cepat menuju teras rumah begitu Ardhani turun dari mobil. Kekhawatiran tercetak jelas di wajahnya yang dihiasi keriput samar.

"Kamu beneran nggak apa-apa kan, Dhan?"

Ardhani mengangguk pelan, dan nampak pasrah ketika sang Ibu memeriksa setiap inchi wajah dan tubuhnya.

"Alhamdulillah, Ya Allah. Ibu khawatir banget waktu diceritain Tante Resti."

"Dhani nggak apa-apa, Bu."

Ratna mengangguk. Kedua matanya mulai dihiasi air mata.

"Adam permisi, Tante."

Baik Ardhani dan Ratna menoleh bersamaan ke arah Adam.

"Terima kasih ya, Dam."

Adam mengangguk sekilas.

"Kamu selalu bantu Dhani waktu dia kesulitan. Tante berterima kasih sekali."

"Sama-sama, Tante. Adam balik dulu. Assalamu'alaikum."

Ratna melirik Ardhani sejenak. "Wa'alaikumsalam."

Ardhani melangkah masuk rumah saat Adam berbalik. Benaknya mulai dipenuhi segala macam perasaan yang menyesakkan hati. Semua bercampur menjadi satu, menciptakan desakan untuk mengeluarkan air mata yang mungkin sulit untuk berhenti.

.

.

.

Dan sisa waktu di hari itu, kembali membuat Ardhani menangisi dirinya sendiri setelah sekian lama merasa sanggup menyembuhkan luka hati.

***

Ardhani tak sepenuhnya tertidur walau telah bermenit-menit memejamkan mata. Sejak semalam, ia sudah kesulitan tidur karena harus merasakan berat di sekitar mata dan keningnya.

"Dhan, dilepas dulu mukenahnya."

Tak ada sahutan dari Ardhani yang sedang meringkuk di atas sajadah.

"Dhani?"

"Hmmm," gumam Ardhani sebagai sahutan.

"Bangun bentar, Nak. Dilepas dulu mukenahnya."

Ardhani  menurut. Ia duduk dan melepas mukenah tosca beraksen bunga.

Ratna membuka pintu lebih lebar untuk masuk. "Semalam kamu nggak tidur atau habis nangis?"

"Dua-duanya," lirih Ardhani.

Senyum Ratna terukir tipis. "Nangisin apa?"

"Drakor."

"Kenapa? Tokoh utamanya nggak bisa bersatu?"

Kening Ardhani mengerut kesal. "Dhani lihat drakor thriller, kok."

"Oh... kirain."

"Dhani ngantuk tapi nggak bisa tidur tuh kenapa ya, Bu?"

"Banyak pikiran."

Ardhani mendengkus seraya melipat mukenah.

"Turun, gih. Siramin tanaman Ibu."

"Sepagi ini? Matahari aja belum kelihatan, Bu."

"Emangnya kenapa?" Ratna melebarkan pintu dan berjalan keluar. "Nggak ada salahnya kasih mereka sarapan lebih awal."

.

.

Kedua pupil Ardhani melebar menatap siapa yang duduk di kursi teras rumahnya. Sosok itu tak kunjung berdiri ataupun bersuara walau ditatap Ardhani cukup lama.

Ardhani lalu tersadar dari kebekuannya, dan berpaling untuk mulai menyiram tanaman Ratna.

Nggak usah ge er, Dhan. Dia ke sini untuk Bang Aofar.

"Dhan?"

Hampir saja Ardhani melepaskan selang dari tangan saat merasa kehadiran Adam di sampingnya.

"Ada waktu luang?"

Ardhani menoleh Adam dengan heran.

"Aku mau ajak kamu ke pantai."

HAH????

Lamat-lamat Ardhani mencari tahu apa yang sebenarnya Adam mau lewat tatapan kedua mata laki-laki itu. "Kenapa ngajak aku?" tanyanya kemudian.

Adam menarik napas dalam-dalam dengan tenang. "Ada sesuatu yang seharusnya kutunjukkan sejak lama," ucap Adam kemudian.

"Apa?"

"Ayo pergi. Kutunjukkan di sana."

"Apa aku harus tahu?" tanya Ardhani lagi

Adam terdiam sejenak, sebelum kembali menarik napas dalam-dalam. Laki-laki berambut cepak itu menatap lurus dan berkata, "Iya. Terlepas bagaimana nantinya, aku nggak mau menyesal untuk yang kedua kalinya karena menunda."

Kerutan dahi Ardhani pun terukir semakin dalam setelahnya.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Fix, nggak bisa kelar tahun ini :')
*mencoba meng-pukpuk diri sendiri

Selamat menikmat liburan, teman-teman ❤
Yang dapat libur, selamat 🙆
Yang nggak dapat, sini nangis sama saya di pojokan 😂

.

.

.

Jangan dingin-dingin ya, Dam 😘
Ngga cocok. Gunung es cuma cocok sama Bang Tom 😈😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top