2. Takdir Apaan Sih Ini?

Hampir dua puluh tujuh tahun di dunia, Ardhani tak banyak memiliki momen memalukan yang ia alami di hidupnya. Selama ini ia cenderung mengambil jalan aman untuk setiap perbuatannya. Ia tak ingin dipermalukan karena egonya yang begitu tinggi. Mungkin itulah mengapa, bertemu orang yang dikenalnya di Madam Rose membuatnya syok berat dan gugup seperti ini.

Asem… siapa sih ini? Kenapa tahu nama panggilanku di rumah? Tengsin dooong kalau ketemu orang sini sendiri!

Rico : Coba kamu lihat baik-baik fotoku, trus pikirin siapa temen cowok rumah kamu yang seumuran.

Ardhani menurutinya, namun keburu kesal karena rasa malunya.

Ardhani : Iih… dibilangin juga. Aku tuh nggak pernah ngerasa punya temen rumah namanya Rico.

Rico : Nama lengkapku Maurico Adam.

Maurico… Adam?

Rico : Udah mulai inget?

Adam? Adam tetangga gagal nikah yang diceritain Ibu beberapa minggu yang lalu itu? Beneran dia?

Rico : Aku aja masih inget kamu dulu waktu ngaji pernah ngompol dan nangis karena malu. Masa' kamu nggak inget aku sih?

Tenggorokkan Ardhani mengerat seketika. Oh astaga… ingin rasanya Ardhani lenyap dan pindah rumah saat ini juga. Di antara banyaknya momen di masa kecil mereka, kenapa Adam hanya mengingat ituuuu? Dengan cepat Ardhani menggerakkan jarinya. Ia mencoba menyangkal kesalahpahaman belasan tahun silam, sebelum pria bernama Rico itu mengirimi pesan yang membuatnya ingin membanting ponselnya saat itu juga.

Rico : Btw, kamu main aplikasi ginian juga nih? Masih jomblo ya?

SIAAAAAALLLLLLLLL!!!!

"HAAAAAAAAAH!!!!" teriak Ardhani seraya membuang ponselnya di atas kasur. Ia kesal, malu, dan ingin menangis saat ini. Bagaimana mungkin seorang Adam yang tak bertemu dan tak berinteraksi dengannya selama bertahun-tahun bisa membuatnya merasa kacau dalam sekejap seperti ini? Hey... mana sifat sok cool Ardhani seperti biasanya?

"Heh? Ngapain sih teriak-teriak?" Aofar, kakak kedua Ardhani melihatnya dengan heran di depan pintu.

Kakak pertama Ardhani muncul setelahnya di belakang Aofar. Arman namanya. "Ada apa, Dek?"

Ardhani mati kutu. Ia pun hanya menyengir kaku. "Nggaaak... nggak ada apa-apa. Tadi ada kecoak di bawah kasur. Aku kaget."

Arman masuk, memeriksa dengan seksama kolong kasur Ardhani.

"Udah nggak ada kecoaknya, Bang. Aku teriakin tadi dia lari."

"Makanya jangan jorok jadi orang," sambar Aofar enteng.

"Apaan sih? Sana pergi!" hardik Ardhani.

Arman berdiri dan memandang adik bungsunya. "Besok nggak kemana-mana, kan?"

Ardhani menggeleng. "Kenapa, Bang?"

"Besok setelah sarapan ada yang mau Abang obrolin bareng." Arman menoleh Aofar. "Kamu juga, Far."

Aofar menautkan ujung telunjuk dan ibu jarinya, sebelum berlalu dari tempatnya.

"Udah kamu istirahat. Jangan banyak main hp."

"Iya," jawab Ardhani lirih seraya memandang punggung kakak pertamanya pergi.

***

Keluarga Ardhani hidup tanpa sosok Ayah sejak sembilan tahun yang lalu. Sang Ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan, tepat di hari ulang tahun Ardhani yang ke tujuh belas. Sejak saat itu, Arman lah yang menjadi kepala keluarga. Setiap keputusan hidup yang diambil seluruh anggota keluarga, harus melewati persetujuannya. Ia yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi di keluarganya. Arman benar-benar berhasil tumbuh dari anak sulung keluarga, menjadi pemimpin keluarga yang begitu melindungi ibu dan adik-adiknya.

"Seenak itu, Far?" tanya Ratna seraya melempar senyum kepada anak keduanya.

Aofar mengangguk semangat menggerogoti tulang ayam kare yang ada di piringnya. "Bumbunya kerasa sampai di tulangnya, Bu."

"Tapi jangan makan tulangnya juga, Nak! Kamu kaya' ngga pernah Ibu kasih makan daging ayam aja."

Arman tertawa dan memukul pelan kepala Aofar untuk berhenti makan. "Arman mulai ya, Bu?"

Ratna mengangguk.

"Oke Adek-adekku... besok Abang mau melamar Binar."

Ardhani berhenti mengunyah anggur, sedangkan Aofar menyisihkan piringnya.

"Siang ini Abang mau belanja keperluannya sama Ibu." Arman menoleh Aofar dan Ardhani bergantian. "Kalian berdua di sini aja. Kemungkinan kami bakal pulang malam karena harus ke rumah sakit dulu."

"Kenapa tiba-tiba, Bang?" tanya Aofar.

"Bang Arman beneran udah yakin?" Giliran Ardhani yang menimpali. "Kalian berdua kan baru pacaran enam bulan."

Senyum Arman merekah. "Lamanya hubungan bukan jaminan, Dek. Selagi udah 'klik', mending nggak nunggu lama."

"Di lain sisi, kondisi Ayahnya Binar semakin kritis. Permintaan terakhir Ayahnya adalah untuk melihat anak tunggalnya jelas sama siapa," terang Ratna.

Aofar menoleh Arman. "Acaranya di rumah kan, Bang?"

Arman mengangguk. "Besok kamu sama Dhani ikut, ya? Tolong fotoin momen besok."

"Kenapa nggak bilang sebelum aku pulang sih, Bang? Kalau tahu kan aku kan bisa bawa kamera sama lensa yang lebih proper dari kos. Di kamarku sini cuma ada kamera sama lensa standard."

"Ya udah ngga apa-apa itu aja, Far. Nggak perlu kualitas muluk, yang penting hasilnya berkesan."

Ardhani yang duduk di samping Arman, menarik lengan kaos pria itu. "Nikahnya Abang masih lama, kan?"

"Kenapa emangnya?"

"Setelah nikah, Abang bakal keluar dari rumah ini?"

Suasana meja makan itu berubah hening. Arman tak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan membelai puncak kepala adik bungsunya selama beberapa saat. "Di manapun Abang tinggal, Abang bakal tetap jagain Ibu, Aofar, sama kamu."

Sarapan pagi hari keluarga itu pun berakhir dengan sendu.

.

.

Aofar membiarkan televisi di ruang tengah menyala walaupun ia nampak asyik dengan ponselnya. Sebagai anak rantau, setiap kali ia pulang ke rumah, banyak sekali hal yang ingin lakukan selagi berada di lingkungan masa kecilnya. Salah satunya adalah meluangkan waktu dengan teman-temannya.

"Dhan?"

"Hm?" Ardhani menyahut seraya mengunyah anggur di depan lemari es yang terbuka.

"Niken yang rumahnya di blok sebelah itu udah nikah ya?"

"Anaknya udah dua."

"Buset!" Aofar memandang Ardhani tak percaya. "Di feed Instagramnya nggak ada foto anaknya tuh!"

"Jaga privasi mungkin?" Ardhani terlalu ketagihan dengan anggur hijau di dalam lemari es, hingga membawanya ke meja makan. "Emang Bang Aofar, si tukang pamer kehidupan?"

"Ya ampun, Niken. Mantan tersayangku waktu SMP."

Ardhani tak menggubris Aofar. Anggur hijau di hadapannya lebih penting daripada Abang keduanya itu.

"Kalau Leo masih tinggal di blok sini nggak?" tanya Aofar seraya duduk di hadapan Ardhani.

"Udah pindah."

"Oh ya? Kapan?"

"Udah lama."

"Pindah ke mana?"

"Mana kutahu?"

"Ya ampun... teman-temanku ke mana semua?"

Ardhani melihat Aofar judes. "Bang Aofar yang ke mana selama ini? Dia yang pergi, dia yang ngerasa ditinggalin. Heran."

"Abangmu ini pergi karena ingin meraih mimpi, Dhan. Camkan itu!"

Tak ada tanggapan dari Ardhani yang sedang mengeluarkan biji anggur dari mulutnya.

"Siapa lagi ya anak-anak sini yang sepantaran sama aku?" gumam Aofar. "Niken. Leo. Ogan. Indah. Doni.... kalau Adam sepantaran Abang apa kamu ya, Dhan?"

Demi ketampanan Nicholas Saputra, bagaimana bisa biji anggur yang siap untuk Ardhani keluarkan, malah tertelan dan tersangkut di tenggorokan? Seketika Ardhani pun terbatuk hebat hingga wajahnya memerah.

"Ya ampun! Makan anggur aja keselek? Dasar nih anak!" Aofar berdiri dan memukul-mukul pelan punggung Ardhani.

Biji anggur itu pun berhasil keluar. Ardhani terengah di tempat duduknya dengan dahi penuh keringat.

"Udah?"

Ardhani mengangguk lemah.

"Ya udah Abang tinggal gowes keliling komplek dulu, ya?"

"Ngapain?" tanya Ardhani dengan suara yang masih tercekat di tenggorokan.

"Mau cari tahu, siapa temen Abang yang masih tersisa di sini."

Dalam hatinya, Ardhani berdo'a agar Aofar tak pernah bertemu dengan Adam sampai kapan pun waktu tersisa di dunia.

***

Arman dan Aofar jelas memiliki peran yang berbeda bagi Ardhani. Berbeda usia lima tahun di atasnya, Arman menempati peran sebagai ayah pengganti baginya. Apapun yang dilakukan Ardhani harus sepengetahuan Arman. Siapapun yang bersama Ardhani harus dikenal Arman. Bahkan beberapa pilihan hidup yang Ardhani ambil hampir selalu melibatkan persetujuan dan arahan Arman. Hidup Ardhani bergantung pada kakak pertamanya, Arman Nugraha. Siapa sangka, beberapa jam yang lalu kakak tersayangnya itu telah melamar seorang perempuan berkarakter lembut dan anggun bernama Binar? Dan bahkan tak lama lagi, pria yang sedang menyetir seraya bercengkerama ringan dengan Ratna itu akan pergi untuk membangun sebuah kehidupan baru bernama rumah tangga.

Ardhani menyandarkan seluruh punggung dan lehernya ke sandaran kursi. Membayangkan rumah tanpa Arman selalu membuatnya bersedih.

"Lihat, Dhan! Muka kamu jelek banget di foto ini."

Dengan malas Ardhani menoleh Aofar yang duduk di bangku belakang bersamanya. Jika Arman adalah ayah pengganti, Aofar mungkin bisa disebut sebagai adik yang tak pernah dipunya Ardhani. Aofar hanya lebih tua dua tahun dari Ardhani, namun sifat kekanak-kanakan dan semena-mena pria itu membuat seluruh anggota keluarga setuju bahwa Ardhani lebih dewasa darinya. Apa yang Ardhani harapkan dari Aofar? Tak ada. Sejak kecil bisa dibilang Aofar adalah pembuat masalah di keluarga. Dan setelah lulus SMA, Aofar lebih memilih menjauh dari keluarga untuk berkuliah di universitas seni luar kota yang selalu menjadi impiannya.

"Mampir rumah Bu Ridwan dulu ya, Man?"

"Oke, Bu."

"Ngapain, Bu?" tanya Aofar.

"Mau info soal penggajian."

Mobil menepi di depan salah satu rumah yang terletak tak jauh dari rumah mereka. Ratna segera turun, menyapa seorang perempuan yang sedang menyapu di halaman.

"Itu Adam bukan sih?"

Celetukan Aofar membuat Ardhani dan Arman menoleh ke sisi seberang. Arman mengiyakan pertanyaan adiknya, sedangkan Ardhani langsung memerosotkan tubuhnya saat melihat sekilas sesosok pria yang sedang mencuci vespa kuning. Ya ampun, demi apa takdir akan secepat ini berlaku kejam padanya?

"Asik," seru Aofar bersiap keluar dari mobil.

"Bang Aofar mau ngapain?" pekik Ardhani seraya menahan lengan Aofar.

Baik Aofar dan Arman memandang Ardhani heran. "Nyamperin Adam," jawab Aofar heran.

"Nggak usah laaaah. Bentar lagi Ibu balik."

"Terus?"

"Kenapa, Dek?" Giliran Arman yang bertanya.

Ardhani kehilangan kata-kata untuk sesaat. "Na-nanti kalau Ibu balik, nggak bisa langsung pulang."

"Ya udah tinggal aja. Gampang ntar biar diantar Adam."

DAN MEMBUAT MEREKA SEMAKIN AKRAB??? HAH NO WAY! "Ngerepotin orang aja ah Bang Aofar ini. Nggak usah!" semprot Ardhani.

"Kenapa sih nih anak?" Aofar mulai tak habis pikir dengan tingkah adiknya.

Pintu mobil depan terbuka. Ratna masuk dengan perlahan. "Yuk yuk pulang yuuuuuk."

Arman memandang bingung kehadiran Ibu dan keributan kedua adiknya. "Jadi gimana, Far?"

"Pulang aja, Bang. Udah nggak mood maen," jawab Aofar ketus seraya melirik jengkel ke arah adiknya.

Ardhani hanya membuang muka. Mendapat perlakuan jutek dari Aofar jauuuuuuh lebih baik daripada menciptakan kemungkinan pertemuan dengan Adam. Yah... setidaknya itu langkah terbaik untuk saat ini.

***

Hari Rabu tiba, pertemuan dengan Bintang pun tak dapat Ardhani hindari lagi. Seperti biasa, Bintang akan menjadi seegois itu jika menyangkut tentang sesi curhatnya. Walau Ardhani beralasan mendadak sakit pun, Bintang akan bersikukuh untuk bisa bertemu dengannya.

"Pesan apa kamu?"

Ardhani menghela napas dan menutup buku menu yang belum sempat ia baca semuanya. "Es latte aja."

"Kamu udah makan? Kok pesen kopi?"

Oh... andai saja pria yang ada di hadapan Ardhani sekarang adalah orang yang menyambut perasaannya, Ardhani tentu akan meleleh mendapat perhatian sekecil itu. "Udah. Tadi sebelum pulang nyamil kentang," dustanya.

Bintang mendengkus. "Nyamil kok kentang?"

Tak ada tanggapan dari Ardhani. Ia memilih untuk mengedarkan pandangan selain ke arah Bintang. Sial, kelemahan Ardhani selalu sukses bertambah jika melihat pria itu berpakaian seragam serapi sekarang.

"Ardha?"

"Hm?"

"Lihat aku, dong! Aku mau mulai cerita."

Dengan enggan Ardhani menatap Bintang. Di luar perkiraan Ardhani, Bintang menyunggingkan senyum lebarnya. Entah apa yang sebenarnya berkecamuk di benak Ardhani, namun melihat Bintang tersenyum hanya untuknya seperti saat ini membuat sisi terdalam hatinya merasa sedih.

"Makasih saran kadonya kemarin. Melinda bilang dia seneng bukan main."

Oh, shi! "Itu aja yang mau kamu curhatin?"

Bintang menggeleng. "Ada lagi."

"Apa?" tanya Ardhani seraya memijat pangkal hidungnya.

"Dia nyuruh aku ke Bandung untuk nemuin dia. Katanya gara-gara kado kemarin dia kangen berat sama aku."

"Ya udah pergi aja."

"Ikut yuk? Libur panjang akhir tahun ini."

Ardhani melotot. "Ngapain?"

"Nemenin aku ketemu Melinda."

"Dan jadi obat nyamuk kalian di sana? Nggak!"

Bintang mengerjap. "Kenapa? Nanti aku yang minta ijin sama Bang Ar-"

"Nggak! Aku nggak mau!" potong Ardhani. "Gila kamu!"

Selama beberapa detik Bintang terdiam memandang Ardhani yang nampak begitu emosi. "Kenapa sih, Ardha? Kenapa nggak mau? Anggap aja liburan kita kaya' biasanya."

"Di sana kamu ketemu Melinda, Tang!"

"Terus?"

Ujung tenggorokan Ardhani terasa perih. Susah payah ia menelan ludahnya sendiri. Ingin rasanya Ardhani berteriak di hadapan Bintang jika hatinya bahkan sudah terasa sakit membayangkan pria itu pergi.

"Mas, pinjem korek boleh?"

Seorang pria berbadan tinggi besar yang datang, mengalihkan perhatian Ardhan dan Bintang.

"Saya nggak ngerokok, Mas," sahut Bintang ramah. "Sorry."

"Oh, iya nggak apa-apa, Mas. Santai aja." Pria itu menoleh Ardhani. "Makas..."

Ardhani memucat seketika melihat pria yang berdiri di sampingnya.

.

.

.

.

Di antara ratusan cafe di kota ini, mengapa ia harus bertemu Adam di tempat ini? Dan di antara puluhan pria di cafe ini... MENGAPA ADAM HARUS MEMINJAM KOREK PADA BINTANG SEPERTI SAAT INI????

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Ngetik cerita ini tuh bikin saya ketawa-ketawa geli sendiri 😂
Sekilas tentang kisah ini akan saya bagi di IG. Wqwqwq...

.

.

.

Ardhani pusing? Sama 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top