19. Semua Terasa Hampa Kala Hatimu Tak Dapat Kusentuh

Jika diresapi dalam-dalam, ada yang berbeda pada patah hati yang kini Ardhani rasakan. Rasa sakit, tak berdaya, dan ketidakrelaan yang bergumul di dadanya, memiliki porsi yang timpang dari pengalaman sebelumnya. Harus ia akui, saat ini ia tak bisa berdamai dengan perasaan bertepuk sebelah tangan, semudah pengalaman sebelumnya. Bibirnya memang lancar berkata terima, namun hatinya berteriak sebaliknya.

Seringkali pada satu waktu, semua jenis perasaan sedih Ardhani bergejolak dan memaksanya untuk mengasihani sisi terlemahnya. Ia merasa semakin rapuh tiap harinya. Hatinya mudah sekali terjatuh kala mengingat perasaan nyaman dan tenang yang Adam ciptakan saat mereka menghabiskan waktu bersama.

Namun perasaan rapuh dan lemah itu, secara tak langsung turut menciptakan benteng tinggi di sekeliling Ardhani untuk segera menepis dan mengesampingkan setiap hempasan perasaan yang merapuhkan logika. Setiap kali gelombang kesedihan itu datang, Ardhani lebih memilih menyibukkan diri daripada larut dalam perasaan yang menggerogoti dari dalam. Tak peduli apa yang akan terjadi nanti, atau jadi sekeras apa hatinya untuk membuka hati kembali, saat ini Ardhani memilih untuk meneguhkan hati untuk tak mengasihani dirinya lagi.

.

.

.

.

.

"Assalamu'alaikum."

Dari sudut matanya, Ardhani dapat melihat Ratna menoleh ke arah pintu.

"Wa'alaikumsalam. Udah selesai penampilannya, Far?"

"Udah, Bu."

Aofar berjalan di hadapan Ardhani yang sedang menatap layar televisi, sebelum duduk di samping Ratna.

"Gimana Tante Resti?"

"Tetep aja nangis walaupun Adam lolos babak pertama. Gimana lagi? Sekarang cuma bisa lihat anak tunggalnya dari live streaming."

Ardhani mendengarnya, namun tak sedikit pun menunjukkan reaksi.

"Kasihan ya, Far? Dia nggak pernah jauh dari anaknya."

"Ibu ajak aja Tante Resti jalan-jalan. Biar nggak sedih mulu."

"Besok Ibu udah janjian ajak Tante Resti bikin kue kering di sini, sih."

"Nah, gitu juga boleh."

"Kamu ikut ya, Dhan?"

Untuk pertama kalinya sejak kedatangan Aofar, Ardhani menolehkan kepala. Beberapa detik setelahnya, ia menggeleng seraya kembali menatap layar kaca.

"Kenapa?" tanya Ratna.

"Dhani lembur."

"Kamu kenapa sering lembur sih tiap Sabtu?" Giliran Aofar yang bertanya.

"Lagi banyak kerjaan," jawab Ardhani sebelum beranjak meninggalkan ruang keluarga, meninggalkan ibu dan kakaknya yang saling melempar tatapan heran.

***

Ponsel Ardhani berdering. Di ruang kerja yang hanya menyisakan dirinya seorang itu, ia menjawab telepon seraya menyandarkan punggung.

"Besok temenin cari hadiah dong, Dhan."

Ardhani memijat pangkal hidungnya. "Besok aku mau tidur seharian, Kak."

Di seberang sana, Jeya mendesah kecewa. "Bentar doaaaaaang."

"Nggak mau."

"Kamu nggak pengen jalan-jalan gitu?"

"Nggak. Pengennya tidur."

"Dhani, ih!"

Ardhani menghela napas berat. "Aku tutup, ya?"

"Kamu kok tumben nyebelin, sih?"

"Dah, Kak Jeya."

"Dhani!"

Tut tut tut...

Dengan sekali tekan, Ardhani mengakhiri pembicaraan. Kepala Ardhani menoleh jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul delapan. Seumur-umur, ia tak pernah berada di kantor semalam ini pada hari Sabtu. Orang-orang dari divisi desain maupun video production yang terbiasa bekerja hingga malam pun, tak ada yang memilih untuk menghabiskan malam minggu mereka bekerja di kantor. Mungkin hanya orang yang tengah bersedih saja yang memilih sibuk daripada memiliki waktu luang untuk beristirahat atau bersenang-senang.

"Dan kamu orang sedih itu, Dhan," gumam Ardhani seraya tersenyum satir.

Ponsel Ardhani kembali berdering. Nama Arman tertera di layar.

"Kamu di mana?"

"Kantor, Bang."

Arman menghela napas berat. "Abang di depan kantor kamu. Kemasi sekalian barang kamu, kita cari makan."

Tak ada sanggahan dari Ardhani. Terdengar dari suaranya, Arman berada dalam mode serius dan tidak ingin dibantah.

***

"Besok Senin berangkat kerja nebeng Aofar aja. Setelah makan, Abang antar kamu pulang."

Ardhani hanya mengangguk seraya menatap lampu jalan dari balik kaca mobil.

"Mau makan di mana?"

"Boleh request yang mahal, nggak?"

Satu sudut bibir Arman terangkat. "Boleh."

"Restoran searah jalan pulang aja, Bang," ucap Ardhani seraya kembali menatap jalanan di sampingnya.

"Kamu nggak tanya kenapa Abang jemput kamu tiba-tiba?"

Tanpa menoleh, Ardhani menyahut. "Kenapa?"

"Karena Abang mau kasih tahu, kamu harus belajar nyetir mobil secepatnya."

Ardhani bergeming, memikirkan perkataan Arman sebelum kembali menoleh kakak pertamanya itu. "Kenapa aku harus belajar nyetir?"

"Mobil ini bakal Abang taruh di rumah nanti."

"Kan ada Bang Aofar."

"Kamu juga harus bisa nyetir buat antar Ibu ke mana-mana pakai mobil. Biar nggak ngandalin Aofar terus. Lagian kasihan Ibu kalau ke mana-mana dibonceng motor sama dia." Arman menoleh adik bungsunya sejenak. "Abang harus kasih tahu kamu langsung, karena kalau Aofar yang kasih tahu belum tentu kamu nurut."

Bibir Ardhani sedikit merengut. "Nggak, kok."

Arman membelokkan mobil ke jalanan yang lebih lebar. "Mau sampai kapan kamu nggak bisa nyetir mobil karena alasan trauma kecelakaan Ayah?"

Tak ada jawaban dari Ardhani.

"Minta ajarin Aofar tiap weekend. Atau kalau Adam bisa juga nggak apa-apa."

Kedua mata Ardhani terpejam saat ia menghela napas.

"Kaya'nya dia punya banyak waktu luang karena pekerjaannya. Selain itu dia kelihatan baik. Dia pasti mau kamu mintain tolong."

Ardhani lebih memilih memeriksa notifikasi ponselnya.

"Kalian masih sering keluar bareng, kan?"

Kepala Ardhani menggeleng.

"Kenapa? Berantem?"

Helaan napas Ardhani semakin berat. "Dia di luar negeri sekarang, Bang."

Kening Arman mengerut. "Oh, ya? Sejak kapan? Ngapain?"

Sungguh sebenarnya Ardhani malas untuk menjelaskannya. "Tiga minggu yang lalu. Ikut festival musik."

"Keren juga tuh anak." Arman tersenyum takjub. "Kapan baliknya?"

Andai Ardhani tahu, suasana hatinya mungkin tak akan sekeruh ini selama hampir satu bulan ini. "Nggak tahu," jawabnya singkat.

"Kalian nggak-"

"Aku ngantuk, Bang," sela Ardhani seraya merebahkan sandaran kursi. "Tidur dulu, ya? Bangunin kalau sampai."

Walaupun tengah terpejam, Ardhani yakin bahwa kini Arman tengah menatapnya heran. Biarlah... lebih baik seperti itu. Menjawab pertanyaan Arman tentang Adam akan melemahkan hatinya. Jika seperti itu, Ardhani tidak akan bisa menghadapi malam yang tenang saat menjelang tidur nanti. Pikirannya akan dipenuhi tentang Adam, tentang bagaimana keadaan laki-laki iu sekarang, serta berapa lama lagi laki-laki itu kembali. Dan pada akhirnya, segala pemikiran itu akan bermuara pada linangan air mata Ardhani, serta kesedihannya menangisi dirinya sendiri.

Sungguh, Ardhani tak mau terjebak dalam siksaan rasa itu lagi.

***

"Kak Jeya?"

Jeya tersenyum jahil dan segera menghampiri Ardhani. "Udah pulang, kan?

"Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" tanya Ardhani.

"Kalau aku bilang, yang ada kamu nolak karena alasan capek lah, males lah, lembur lah." Jeya menarik tangan Ardhani untuk berjalan. "Dua minggu yang lalu kamu nolak ajakanku beli kado. Sekarang nggak ada alasan kamu nolak ajakanku belanja."

"Belanja ke mana?" Ardhani menghindari tatapan heran rekan-rekan kerjanya yang berpapasan di lobby. "Jangan diseret gini juga dong, kak!"

"Kalau nggak gini, kamu bakal lari." Jeya menoleh Ardhani sinis. "Kamu lagi dalam mode nyebelin, Dhan. Aku kesulitan memahami kamu sekarang. Jadi nggak usah banyak protes, dan nurut sama aku."

.

.

Ardhani membaca plakat toko di hadapannya, lalu menatap Jeya. "Kak Jeya mau beli kain?"

Jeya mengangguk seraya tersenyum.

"Mau bikin baju?"

"Lebih tepatnya kebaya."

Saat Jeya akan berjalan, Ardhani menghentikannya. "Apa ada sesuatu yang aku nggak tahu?"

Senyum Jeya semakin berkembang. "Dua minggu lagi Farhan mau lamar aku, Dhan."

Bibir Ardhani terbuka tanpa suara.

"Bukan lamaran yang mewah, sih. Cuma aku pengen pakai kebaya couple aja sama dia." Jeya mengakhiri kalimatnya dengan terkikik geli.

"Pantas Ibu belanja banyak bahan kue kemarin."

"Iya. Aku emang minta tolong Ibu kamu buat bikinin kuenya."

Kening Ardhani sedikit mengerut. "Bang Aofar tahu juga?"

"Ya iya lah. Dia aku mintain tolong buat motret."

"Dan cuma aku aja yang nggak tahu?"

Ekspresi Jeya berubah kaget. Hanya beberapa detik, sebelum ia tersenyum tulus. "Kamu kan sibuk akhir-akhir ini. Dan kaya'nya kamu juga lagi ada masalah. Inget ngga aku bilang apa sebelum bawa kamu ke sini tadi? Kamu lagi mode nyebelin. Aku nggak mau terlalu ganggu kamu."

Kedua mata Ardhani mulai berkaca-kaca. "Tapi bukan berarti aku nggak dikasih tahu kabar bahagia ini, kan?

"Oh... maaf, Dhan." Jeya meremas lembut kedua tangan Ardhani. "Aku nggak bermaksud kaya' gitu."

"Enggak." Ardhani tak kuasa lagi menahan air matanya. "Harusnya aku yang minta maaf. Maafin aku, Kak."

"Sssshhhh, udah udah. Jangan nangis." Jeya mengusap air mata Ardhani yang terlanjur turun. "Aku ajak kamu ke sini buat bantu pilihkan kain, bukan untuk nangis gini."

"Jangan marah sama aku, ya?"

"Nggak akan. Kamu adik aku, mana bisa aku marah semudah itu?"

Ardhani memeluk Jeya sesaat.

"Kita masuk sekarang?"

"Yuk," ucap Ardhani seraya menggenggam tangan kakak sepupunya.

***

Saat termenung memandangi langit-langit kamarnya, ponsel di samping kepala Ardhani bergetar singkat. Nama Bintang muncul di sana, mengirimkan sesuatu lewat sosial media.

Ardhani meletakkan ponselnya dan kembali mengosongkan pikiran. Untuk sejenak ia menikmati hal ini. Tak memikirkan apa-apa, dan hanya bernapas mendengar detik jam dinding kamarnya.

Pintu kamar terbuka perlahan. Ratna sedikit membuka pintu dan melongokkan kepala.

"Aofar bawa terang bulan. Makan di bawah, yuk?"

Selama beberapa detik Ardhani hanya terdiam. "Dhani nyebelin ya, Bu?" tanyanya kemudian.

Ratna nampak terkejut sebelum melangkah masuk. "Maksudnya?"

"Dhani selalu nolak ajakan Ibu bikin kue."

"Ya ampun Ibu kira apa."

Ardhani meletakkan kepalanya di atas pangkuan Ratna yang sudah duduk di ranjang. "Minggu depan Dhani janji mau bantu Ibu bikin kue acaranya Kak Jeya."

"Kalau kamu sibuk nggak usah, Dhan."

"Nggak kok." Ardhani menyamankan kepalanya sambil memejamkan mata. "Dhani kangen buat kue sama Ibu."

Ratna terkekeh pelan. "Menurut kamu gimana kalau Ibu jualan kue kering lagi?"

Kedua mata Ardhani terbuka.

"Hitung-hitung ngisi waktu luang Ibu."

"Kalau Ibu capek nanti gimana?"

"Kalau kamu mau bantu Ibu dikit-dikit, kaya'nya Ibu nggak bakal kecapean. Nanti Ibu juga bakal batasin pesanan, kok. Janji."

"Hmmm..."

"Boleh, ya? Daripada Ibu nggak ngapa-ngapain, Dhan."

Ardhani menghela napas berat. "Oke. Ardhani juga bakal bantu," ucapnya kemudian.

Ratna nampak sumringah seketika. "Gitu dooong. Daripada tiap pulang kerja kamu di kamar mulu, mending kamu asah lagi kemampuan kamu. Kita jadi punya banyak waktu ngobrol kalau bikin kue."

Tatapan Ardhani berubah sendu.

"Dimulai dari lima pesanan seminggu dulu gimana?"

"Tiga. Maksimal tiga."

Walau nampak sedikit tak puas, pada akhirnya Ratna mengangguk setuju. "Oke, nggak apa-apa. Yang penting Ibu bikin kue sama kamu."

"Ibu kangen Dhani nggak, sih?"

Senyum Ratna terukir tulus. "Kangen. Tapi mau gimana lagi? Kamu sibuk akhir-akhir ini."

Menyibukkan diri biar nggak patah hati lebih tepatnya, Bu.

"Turun, yuk? Mumpung terang bulannya masih hangat."

"Ibu turun aja dulu. Dhani mau telepon Bintang bentar."

Kening Ratna mengerut. Perempuan itu nampal ingin mengatakan sesuatu, sebelum mengangguk. "Ya udah. Ibu tunggu di bawah, ya?"

Sepeninggal Ratna, Ardhani meraih ponselnya dan menghubungi nomor Bintang. Kalau dipikir-pikir, ia juga tak terlalu menanggapi laki-laki itu akhir-akhir ini.

"Ardhaaaaaaa."

Ardhani tersenyum Bintang memanggilnya dengan riang. "Kamu lagi ngapain?"

"Scrolling sosmed. Kamu?"

"Mau makan terang bulan," ucap Ardhani seraya beranjak berdiri. "Nanti kalau kamu belum tidur, aku telepon lagi ya, Tang? Aku ditunggu Ibu."

"Okeeeeee."

"Kamu kenapa malam ini girang banget, sih?"

"Kamu bisa telepon aku. Tandanya kamu udah nggak sibuk di kerjaan." Bintang tertawa setelah itu.

"Ya udah. Aku tutup, ya?"

"Iya."

Panggilan terputus. Sebuah pertanyaan melintas di kepala Ardhani saat ia menatap layar ponselnya.

Ya ampun, berapa orang yang sudah kuabaikan?

Seiring langkah kakinya keluar dari kamar, Ardhani memantapkan diri untuk tetap produktif dan tidak mengabaikan lagi orang-orang terdekatnya karena perasaan yang mengganggunya akhir-akhir ini.

***

"Bang Aofar?"

Aofar nampak sedang melipat sajadah saat Ardhani membuka pintu kamarnya. "Ha?" sahut Aofar sekenanya.

"Abang nggak sunmorian kan habis ini?"

"Nggak."

"Ajarin aku nyetir mobil, ya?"

Kepala Aofar menoleh cepat ke arah adiknya yang masih berdiri di depan pintu.

"Berangkat sekarang nggak apa-apa, sih. Subuh-subuh gini jalanan pasti masih sepi."

Aofar melangkah mendekat. "Kamu salah makan?"

Ardhani memutar bola matanya. "Mau ajarin, nggak?"

"Emang kalau nggak mau, kamu minta ajarin siapa?"

"Aku aduin Bang Aofar ke Bang Arman."

"Nih anak, ya." Tatapan Aofar memicing. "Kenapa tiba-tiba mau belajar nyetir?"

"Biar bisa bantu Ibu jualan."

"Jualan?"

Ardhani mengangguk. "Kami mau jalanin usaha kue lagi."

Perlahan tapi pasti, binar lembut di kedua mata Aofar nampak jelas.

"Aku tunggu di bawah ya, Bang."

"Gitu, dong."

Kaki Ardhani urung melangkah. Ia menatap Aofar yang menyunggingkan senyum simpul.

"Nggak semuanya bisa dipukul rata untuk dihindari, Dhan. Apalagi orang-orang di sekitar kamu."

Tak ada sahutan maupun reaksi dari Ardhani.

"Sesibuk apapun kamu untuk mengalihkan perhatian, Abang harap kamu nggak bikin khawatir orang-orang."

Masih dengan mulut terkunci, Ardhani mengangguk sekali.

"Imbalannya nanti beliin lontong sayur, ya?" Aofar melepas peci dan kancing baju taqwanya. "Yang di taman komplek itu, tuh."

"Kok pakai imbalan?"

"Daripada kamu bayar kursus, kan? Jangan terlalu kikir jadi orang." Aofar bersiap menutup pintu kamarnya. "Udah sono tunggu di bawah!"

Senyum samar Ardhani terukir di depan pintu kamar berwarna cokelat yang tengah tertutup itu. Hatinya menghangat mendengar petuah Aofar. Andai waktu bisa diputar, di antara semua pilihan kesempatan, Ardhani akan memilih untuk menyayangi kakak keduanya itu jauh lebih awal dari yang ia rasakan sekarang.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Ooooh, setelah sekian lama. Kingin bingiiiiiitz ❤

Sekedar info aja sih, saya kembali berada di fase beradaptasi lagi dengan tempat kerja baru. Jadi mon maap kalau updatenya ngadat pol 🙏

Reader veteran di lapak saya pasti paham lah, yaaaa. Hehehe.

LALUUUUUUU.... HAHAHAHAHA

O2 aka Olan Oca udah bisa di PO 😄
Saya terlalu excited sampai gabisa berkata-kata banyak. Bang Olan kesayanganku bakal bisa kupeluk dan kuajak tidur setelah ini 🥰

See u, Guys 😘
Terima kasih sudah menemani saya berkarya selama ini ❤

.

.

.

Dear Ardhani sayang... ditunggu senyumnya yang lebih lebar.
We love u 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top