16. Cinta Tak Mungkin Berhenti Secepat Saat Aku Jatuh Hati
Sepandai-pandainya tupai meloncat, pada akhirnya akan terjatuh juga. Sepandai-pandainya Ardhani menunda memberi tahu keadaannya kepada Ratna, pada akhirnya sang Ibu tahu lebih cepat dari yang ia duga. Saat Aofar baru saja meletakkan tubuhnya di atas ranjang, terlihat Ratna sedang berdiri di depan pintu kamar memandangnya heran.
"Kenapa kamu, Dhan?" tanya Ratna.
Ardhani meringis. "Um ... cuman keseleo, Bu."
Ratna berjalan mendekat. "Kok bisa?"
"Nab ... rak ..." ucap Ardhani lirih.
"Hah? Apa?"
"Nabrak, Bu." Giliran Aofar yang berbicara.
Raut wajah Ratna seketika panik. "Astaghfirullah, nabrak apa kamu, Dhan?"
Helaan napas Ardhani terdengar di seluruh penjuru kamarnya. "Nabrak motor."
"Ya All-"
"Tapi Ardhani nggak apa-apa, Bu," sela Ardhani. "Beneran. Cuma keseleo ini doang."
"Terus siku kamu kenapa diperban?" tanya Aofar.
Ardhani sedikit kikuk. "Oh, iya. Sama ini juga."
"Astaghfirullah, Ardhani Kejora." Ratna menggeleng pasrah. "Kamu meleng, ya? Terus gimana orang yang kamu tabrak?"
"Dia nggak apa-apa. Motornya cuma lecet dikit. Karena dia yang salah, dia nggak minta ganti rugi."
"Tapi dia tanggung jawab ke kamu?" tanya Aofar.
"Bang, dia masih SMP. Mana aku tega?"
Ratna menghela napas. "Nggak apa-apa. Ini mungkin teguran buat kamu karena jarang beramal, Dhan."
Kedua mata Ardhani menatap Ratna dengan pasrah.
"Dikasih obat, kan?"
"Iya, Bu. Kaya'nya dibawa Bintang."
"Oh ada Bintang?"
"Di bawah," sahut Aofar. "Heran deh. Kena musibah kenapa nggak langsung hubungi Abangnya, sih?"
"Bang, udah deh. Yang penting kan sekarang aku udah ada di sini."
Aofar membuang muka dengan malas.
"Ya udah, Ibu turun dulu siapin kamu makan biar bisa minum obat," ucap Ratna berjalan keluar kamar.
Saat Aofar turut berjalan mengikuti Ratna, Ardhani memangggil namanya. "Tolong panggilin Bintang dong, Bang."
.
.
Bintang memberikan plastik berisi obat-obatan luka Ardhani sebelum duduk di ranjang perempuan itu.
"Aturan minumnya ada di sini kan, Tang?"
"Hm."
Ardhani mengangguk kecil, lalu menatap Bintang yang memandangnya dengan diam. "Kenapa?" tanyanya.
"Kamu tuh tadi sebenarnya mau ke mana, sih?"
"Belanja." Ardhani menunduk menyembunyikan dustanya.
"Kan bisa waktu keluar sama aku. Aku jemput kamu ke sini, kita keluar bareng."
"Ya gimana lagi? Udah terlanjur gini, Tang."
"Kalau aku pergi, kamu jangan kaya' gini lagi, ya? Bisa stress sendiri aku mikirin kamu tapi nggak bisa langsung nemuin."
Tak ada jawaban dari Ardhani yang mencoba mendeskripsikan perasaan yang ia rasa saat ini.
"Minggu depan aku berangkat, kamu udah sembuh belum ya kira-kira?"
Kedua bahu Ardhani terangkat. "Tapi seharusnya aku udah membaik."
Bintang tersenyum. "Kamu ambil cuti, kan?"
"Iya, dua hari. Kalau masih belum bisa ngantor kaya'nya aku mau ajuin work from home aja."
"Seminggu ke depan, tiap pulang kerja aku ke sini, ya?"
"Ngapain?"
"Ketemu kamu, lah. Apa lagi? Cuma sampai jam sepuluh, kok.
Ardhani terdiam beberapa saat. "Terserah," ucapnya kemudian.
"Bilang aja kalau kamu mau dibawain sesuatu tiap aku pulang kerja."
"Hm."
Senyum Bintang berubah memohon. "Aku mau bener-bener punya banyak waktu sama kamu sebelum pergi, Ardha."
"Iya, boleh. Terserah kamu, Tang."
.
.
.
.
.
Benar, terserah Bintang. Karena sejujurnya Ardhani sudah tak bisa menolak atau menahan kehadiran sahabatnya itu. Semua terasa terlalu biasa. Tak memberikan kesan, dan tak pula membekas di perasaannya seperti yang sudah-sudah.
***
Dua hari berlalu dengan cepat. Baik Aofar dan Bintang menepati perkataan mereka masing-masing. Tiap pagi dan malam, Aofar mengantarkan makanan di kamar Ardhani. Laki-laki itu juga mengompres dan membalut perban kaki adiknya dengan rutin. Walau sesekali Ardhani harus menebalkan telinga mendengar gerutuan dan nasihat kakaknya, ia tetap bersyukur karena Aofar benar-benar merawatnya dengan baik.
Begitu pula dengan Bintang. Selepas pulang kerja, laki-laki itu selalu mengunjunginya. Membawakan berbagai macam makanan yang tak Ardhani minta, serta menemaninya menonton film ataupun series hingga malam tiba.
"Nanti Bintang ke sini lagi, Dhan?" tanya Ratna seraya duduk di samping Ardhani. Ibu dan anak perempuannya itu kini duduk bersama di sofa ruang tamu.
Ardhani mengalihkan pandangam dari laptop di pangkuannya. "Kaya'nya sih gitu, Bu."
"Bilang sama dia, jangan bawa makanan. Soalnya nggak ada tempat lagi di kulkas."
"Oke," jawab Ardhani seraya langsung mengirimi Bintang pesan.
"Kerjaan kamu masih banyak?"
"Masih. Kenapa, Bu?"
Ratna menguap. "Ibu mau naik. Ngantuk."
"Ibu tidur aja, nggak apa-apa. Kaki Ardhani udah nggak terlalu sakit kalau dibuat jalan ke kamar mandi, kok."
"Ya udah."
Saat Ratna baru saja berdiri, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Ardhani kembali fokus pada pekerjaannya. Ia tak menghiraukan siapa yang bertamu di siang hari ini, sebelum Ratna menyebutkan satu nama dengan riangnya.
"Eh, Adam."
Sekujur tubuh Ardhani mendadak kaku, bahkan untuk menoleh ke arah pintu.
"Dhani ada, Tante?"
Suara berat Adam yang terdengar di telinganya menambah debaran jantung Ardhani.
"Tuh, anaknya di ruang tamu." Ratna membuka pintu lebih lebar. "Ayo masuk, Dam."
Adam berjalan masuk. Kedua matanya langsung menemukan keberadaan Ardhani yang tengah memandangnya dengan terkejut.
"Tante mau tidur siang. Di kulkas ada banyak banget makanan. Ambil sesuka hati kamu, ya?"
"Iya, Tante. Terima kasih."
Sepeninggal Ratna, ruang tamu rumah itu mendadak sunyi karena dua orang yang saling diam dan saling beradu pandang. Adam lalu kembali melangkah. Ia berhenti di samping Ardhani dan menatap prihatin kaki perempuan itu yang dibalut perban cokelat.
"Du-duduk, Dam," ucap Ardhani memecah keheningan.
"Ada luka lain?"
Ardhani mengangguk kaku. "T-tapi udah mendingan, kok."
"Di mana?"
"Siku."
Adam menghela napas, lalu duduk tepat di samping Ardhani. "Aku baru aja dengar dari Mamaku. Maaf baru datang sekarang."
"Nggak apa-apa. Makasih udah datang."
"Maaf juga udah nyakitin kamu hari itu."
Tak ada sahutan dari Ardhani.
"Aku ...." Adam menghela napas dan menunduk. "benar-benar menyesal, Dhan."
Ardhani sempat kehilangan kata menatap pria di sampingnya. Ia hanya menatap Adam dengan tatapan bersalah.
"Kamu kecelakaan setelah pulang dari studio, kan?" Adam menoleh perempuan di sampingnya.
Kedua mata Ardhani sudah tergenangi air ketika ia mengangguk pelan.
"Maaf, ya? Aku salah." Helaan napas Adam terdengar penuh penyesalan. "Aku nggak pernah berniat nyakitin kamu. Maafin aku, Dhan."
Tumpah sudah air mata Ardhani. Ia terisak, membuat air matanya semakin deras bercucuran.
"Dhan?" Adam mendadak panik. "Kalau kamu kesel sama aku, luapin aja. Pukul aku nggak apa-apa. Aku minta maaf, Dhan."
"Diem dulu, Dam!" Ardhani mengusap air matanya. "Aku juga mau minta maaf."
Adam nampak bingung. Ia pun menunggu Ardhani menenangkan diri.
"A-aku keterlaluan. Nggak bisa kontrol emosi." Ardhani menerima uluran tisu Adam. "Aku takut kamu benci sama aku."
Kedua mata Adam melebar. "Nggak lah, Dhan," ucapnya seraya menahan senyum.
"Aku ng-nggak pernah berantem sama orang."
Tawa singkat Adam lolos dari bibirnya. "Nggak mungkin lah aku benci kamu gara-gara hal itu doang."
Ardhani menangis seutuhnya, membuat Adam bingung sekaligus ingin tertawa di saat bersama. Tak ada yang bisa lakukan selain terus mengangsurkan tisu seraya menunggu tangis Ardhani reda. Di lain sisi, Ardhani merasa plong melepaskan semua beban yang selama tiga hari ini mengganjal hatinya. Di antara semua asumsi yang ia tumpuk sendiri, ia lega Adam tak membencinya, dan bahkan masih menunjukkan perhatian seperti biasanya.
"Udah belum nangisnya?" tanya Adam.
"..."
"Kalau belum, mau aku beliin sesuatu buat naikin mood kamu?"
"Bentar, Dam!"
"Oh, oke oke. Nggak apa-apa, aku tunggu. Santai aja, nikmatin nangisnya dulu. Kalau udah kelar bilang, ya? Kita ngobrolin hal lain yang bisa bikin kamu ketaw-"
"Adam bawel, ah!"
"Aw sakit, Dhan!"
"Pulang aja deh kamu kalau bawel!"
"Oke. Tapi besok pagi aku boleh ke sini lagi, ya?"
.
.
.
.
.
.
.
Dan keesokan paginya, Adam memenuhi ucapannya.
Ardhani yang duduk di depan teras, tersenyum melihat Adam melambaikan tangan di depan gerbang. Laki-laki itu segera mengayuh pedal sepeda menuju halaman.
"Mood kamu udah bagus, kan?"
Untuk beberapa saat Ardhani hanya menatap susu kotak rasa stroberi yang diangsurkan kepadanya. Harus ia akui, ia mulai menyukai minuman manis itu karena Adam. "Lumayan," jawabnya seraya menerima susu tersebut.
Adam duduk di samping Ardhani dan menoleh ke dalam rumah. "Di dalem nggak ada orang?"
"Bang Aofar barusan berangkat. Ibuku pergi senam di taman komplek."
"Oh..."
Ardhani mulai meminum susunya.
"Kaki kamu udah sembuh?"
"Belum sepenuhnya." Ardhani turut melihat kakinya. "Tapi udah mulai bisa dibuat jalan walaupun pelan."
"Kapan rencananya masuk kerja?"
"Kalau nggak besok ya lusa."
"Kalau tiba-tiba di kantor kerasa sakit gimana?"
"Ya tinggal izin pulang."
"Kabarin ya kalau ada apa-apa. Aku jemput."
Ardhani menghela napas dan memalingkan muka, tak tahu harus berkata apa.
"Semalam aku lihat mobil Bintang di luar gerbang." Adam mengalihkan topik.
"Emang. Tiap malam dia ke sini."
Kedua mata Adam melebar. "Tiap malam?"
"Hm," gumam Ardhani seraya mengangguk. "Sepulang dia kerja."
"Kamu udah confess ke dia?"
Di antara berbagai banyak hal, Ardhani tak memikirkan kemungkinan Adam akan menanyakan hal itu. "Kenapa emangnya?"
"Nggak apa-apa. Kali aja kalian udah jadian."
Ardhani menarik napas perlahan. "Kenapa emangnya kalau kami jadian?" tanyanya lagi.
Adam tersenyum. Lebar dan tulus. "Ya mau ucapin selamat, lah. Apa lagi?"
Sebenarnya Ardhani tak asing dengan perasaan ini. Ia pernah mendapat respon makna yang serupa dari orang yang berbeda. Benaknya menyimpulkan, jawaban tersebut mengartikan ia harus mundur perlahan karena tak mendapatkan balasan perasaan. Ia tahu ia harus belajar dari masa lalu. Hanya saja, tak bisa pungkiri saat ini lubuk hatinya merasakan patahan-patahan kecil yang terasa ngilu.
Senyum satir Ardhani pun terbit perlahan. "Asal kamu tahu, Dam. Aku nggak ada niatan untuk jadian sama Bintang."
Tak ada sahutan dari Adam. Dari sudut matanya, Ardhani tahu laki-laki itu tengah menatapnya.
"Aku cuma nggak mau selamanya jadi pengecut." Masih dengan senyum yang tidak sampai matanya, Ardhani membalas tatapan Adam. "Seperti kata kamu, kadang perasaan itu lebih mudah lenyap kalau kita ungkapkan. Aku pengen hapus perasaanku sepenuhnya untuk Bintang, Dam."
Adam masih terdiam. Teras rumah itu menjadi hening karena tak ada satu patah kata pun yang tersampaikan.
***
"Ngelamun mulu!"
Lamunan Ardhani segera buyar mendengar suara Aofar yang masuk ke kamarnya seraya membawa baskom berisi air hangat.
"Bintang udah datang belum, Bang?"
"Belum." Aofar duduk di samping Ardhani dan mengangkat kaki adiknya itu ke dalam pangkuannya.
"Aku sendiri aja yang kompres."
"Kenapa?" tanya Aofar seraya melepas balutan perban.
"Nggak apa-apa. Aku udah mulai bisa ngapa-ngapain sendiri."
"Yakin?"
"Iya. Udah mulai nggak seberapa sakit, kok. Buktinya naik turun tangga udah bisa."
"Ya udah ini yang terakhir." Aofar menutup bibir Ardhani dengan telunjuknya. "Nggak usah protes!"
Mau tak mau Ardhani menuruti kemauan kakaknya.
"Kata Ibu tadi Adam ke sini, ya?"
"Iya." Ardhani menatap Aofar hati-hati. "Adam nggak cerita?"
"Nggak, lah. Ngapain?"
"Kok nggak pernah main keluar sama dia lagi, Bang?"
"Kan Abang udah nggak freelancer lagi. Waktu kosongnya udah nggak sebanyak dulu. Kalau pengen ketemu ya saling main ke rumah." Dengan hati-hati Aofar mengompres kaki Ardhani.
Ardhani menipiskan bibir, merasa gatal ingin menanyakan sesuatu sebelum Aofar berucap terlebih dulu.
"Kenapa tiba-tiba tanya itu?" tanya Aofar terlebih dahulu.
"Ng-nggak apa-apa. Tanya aja." Ardhani memalingkan muka sejenak mengatur degup jantungnya yang mendadak cepat karena pertanyaan Aofar.
"Adam emang temen yang asyik, perhatian dan ceria. Tapi dia orang yang selalu nyimpen semuanya sendirian." Aofar melirik Ardhani. "Semua hal abu-abu yang berhubungan sama Adam itu harus diperjelas langsung sama dia. Nggak akan nemu jawaban kalau cuma dipikir sendiri."
Bibir Ardhani hanya terbuka tanpa suara. Kedua mata Aofar yang menatapnya kini terlihat dingin.
"Ya tapi itu kalau kamu butuh, sih," sambung Aofar seraya kembali mengompres kaki Ardhani.
"Butuh, Bang." Suara Ardhani terdengar lirih.
Aofar mengangguk kecil. "Bisa sendiri, kan? Jangan minta tolong Abang, ya?"
Tatapan Ardhani mengisyaratkan berbagai pertanyaan.
"Takut aja lepas emosi," jawab Aofar seolah mengerti pertanyaan dari dalam hati Ardhani. "Gara-gara dia kan, kamu begini?"
"Bang! Enggak!" sergah Ardhani cepat. "Nggak ada hubungannya sama dia!"
"Apapun lah, terserah. Yang penting Abang nggak mau tiba-tiba kelepasan pukul dia, dan bikin Abang kehilangan temen baik di sini."
Untuk beberapa saat, Ardhani kehilangan kata-kata.
"Abang pengen kamu bisa menemukan laki-laki baik pilihan kamu sendiri. Tapi kalau laki-laki itu nyakitin kamu, Abang nggak bisa diem aja, Dhan." Nada bicara Aofar terdengar lebih lembut. "Jadi Abang minta tolong, kamu jangan cari laki-laki yang berpotensi nyakitin kamu, ya? Karena nantinya bukan kamu aja yang akan merasa sakit. Ada Ibu, Bang Arman, Abang sendiri, dan pastinya Ayah juga."
Ardhani memilih menunduk saat merasa kedua matanya basah. Dadanya begemuruh mendengar perkataan Aofar. Sendu yang ia rasakan sejak tadi pagi semakin memendungkan hatinya. Sepeninggal Aofar dari kamarnya, Ardhani menangis meluapkan perasaan gundah yang ia rasa.
***
"Ardhaaaaaa."
Ardhani yang sedang membaca buku, menoleh Bintang yang berdiri di depan pintu kamarnya seraya mengangkat dua kotak donat. "Kan aku udah bilang, jangan bawa makanan lagi."
Bintang masuk dan duduk di ranjang Ardhani. "Hari ini ada diskon. Lumayan harganya. Lagian kamu suka donat ini, kan?"
"Kalau tiap hari kamu bawa makanan, bisa-bisa aku semakin melar cuma dalam beberapa hari, Tang."
"Nggak apa-apa." Bintang tersenyum gemas. "Pipi kamu waktu jaman SMA lucu, loh. Gemoy."
"Ya nggak cocok lah umur segini pipinya gemoy," ucap Ardhani seraya meletakkan buku di nakas.
Tawa Bintang mengalun. Ia mencari sesuatu di dalam tasnya. "Hari ini mau nonton apa?"
Ardhani memperhatikan Bintang sejenak. Ada desakan di dalam dirinya untuk mengatakan semuanya secara jujur. "Aku mau ngomong sesuatu boleh nggak, Tang?"
"Hm? Apa tuh?" Bintang berhasil mengeluarkan tablet dari dalam tasnya.
"Aku harap ini nggak merubah apapun-"
"Bentar." Jemari Bintang mengangkat dagu Ardhani. "Kamu habis nangis, ya?"
"Hm," gumam Ardhani setelah sempat terdiam.
Bintang mendekat dengan raut khawatir. "Kenapa? Kaki kamu ngilu lagi?"
"Iya," dusta Ardhani.
"Mau ke rumah sakit aja, nggak?"
"Bintang," panggil Ardhani sabar. "Aku nggak apa-apa, nggak perlu ke rumah sakit. Sekarang aku mau ngomong sesuatu. Kamu bisa dengerin aku sebentar?"
Kernyitan di kening Bintang semakin dalam. Walau nampak berat hati, laki-laki itu mengangguk pelan. "Mau ngomong apa?"
Ardhani menarik napas dalam-dalam, dan menatap lurus kedua mata Bintang.
"Aku nggak tahu sejak kapan aku mulai mikirin ini, Tang. Entah pertama kalinya kita ketemu waktu MOS SMA, atau saat kamu nemenin aku seharian setelah Ayahku meninggal. Tapi yang jelas, aku tahu benar apa yang aku rasakan buat kamu mulai saat itu. Aku bisa yakin, karena ternyata perasaan ini bukan hanya sesaat, Tang. Melainkan bertahun-tahun."
Bintang memundurkan kepalanya perlahan.
"Aku suka kamu, Tang. Selama bertahun-tahun."
"Ardha..."
"Aku sendiri pun kadang masih nggak nyangka, aku bisa punya perasaan sial ini sama sahabatku sendiri. Tapi sekuat apapun aku mengelak, aku tetap nggak bisa menepis kenyataan kalau perasaanku malah semakin menguat tiap harinya." Ardhani menghela napas dan memilih menyembunyikan air matanya. "Dan saat-saat di mana kamu pacaran sama Melinda adalah waktu yang berat buatku, Tang."
"Kenapa kamu nggak bilang dari dulu, Ardha?"
"Aku takut kamu menjauh. Aku nggak mau kehilangan sahabat sebaik kamu."
Bintang menutup mata dan menghela napas. "Ya ampun, Ardha."
"Tapi sekarang itu semua nggak penting, Tang," ucap Ardhani cepat. "Aku udah nggak punya perasaan yang sama sekarang."
Kedua mata Bintang memicing. "Kalau udah nggak penting, kenapa kamu ngomongin ini di saat aku mau pergi, Ardha?"
"Karena menurutku ini saat yang tepat."
"Dan bikin aku kepikiran ke depannya?"
Ardhani menggeleng. "Aku nggak maksud seperti itu, Tang. Aku nggak mau kamu kepikiran hal ini. Aku cuma nggak mau jadi pengecut."
"Mana bisa aku nggak kepikiran? Aku nyakitin kamu bertahun-tahun, Ardha."
"Bintang, dengerin aku." Ardhani menggenggam tangan Bintang. "Ini bukan salah kamu, ini salahku. Harusnya dari awal aku nggak punya perasaan suka sama sahabatku sendiri. Harusnya aku tahu diri dan menjaga persahabatan ini sebaik mungkin. Tapi nyatanya aku yang terbuai sama ekspektasiku sendiri, Tang."
Bintang terdiam dan memeluk Ardhani perlahan. "Maaf, ya?"
Dalam pelukan Bintang, Ardhani menggeleng. "Nggak. Kamu nggak salah."
"Aku sayang kamu, Ardha. Tapi bukan seperti sayang seorang laki-laki terhadap lawan jenisnya."
Relung hati Ardhani terasa ngilu dan lega di saat yang sama. "Iya, aku tahu. Maaf karena sudah salah mengartikan semuanya."
"Aku harap kamu bisa menemukan laki-laki yang jauh lebih baik, Ardha."
Lagi-lagi, air mata Ardhani menetes di luar kuasanya. Ia mengangguk pelan. "Kamu juga, Tang. Kamu laki-laki baik dan penyabar. Kamu layak dapat perempuan yang baik juga."
Sisa kunjungan Bintang di rumah Ardhani malam itu pun berlangsung tak seceria biasanya. Keduanya tenggelam dalam sendu masing-masing, dan berakhir dengan pamitnya Bintang tepat di pukul delapan.
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Pukpuk Ardhani sayang :'(
.
.
.
Au ah, Dam. Bingung ma kamu :'(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top