15. Manusia yang Mudah Sakit Hatinya
Warna-warni lampu kota dan lampu kendaraan yang berkilauan di sepanjang jalan, menjadi pusat pandangan Ardhani sejak duduk di dalam mobil dalam perjalanan pulang. Ia menikmatinya dengan tenang. Sayup-sayup musik Dewa pada album Bintang Lima yang mengalun lirih, menambah suasana syahdu sekaligus nostalgia dua orang yang ada di sana.
"Kamu kenapa seharian ini banyak diamnya, Ardha?"
Ardhani menoleh Bintang yang menatap lurus ke depan tanpa menunjukkan eskpresi berarti. "Emang kerasanya gitu, ya?"
"Iya lah. Filmnya jelek, ya?"
"Nggak," ucap Ardhani seraya kembali menatap jalanan lewat kaca mobil di sampingnya.
"Makanan di dua cafe tadi nggak enak?"
"Nggak juga."
"Lagi galau, ya?"
"..."
"Siapa sih yang udah bikin kamu galau, Ardha?"
Lagi-lagi Ardhani menoleh Bintang, namun kali ini tanpa suara.
"Dari dulu kamu nggak pernah cerita siapa orang yang bisa jungkir balikkan hati kamu."
"Apa itu penting, Tang?"
"Nggak tahu, ya. Aku cuma mikir, kalau misalnya aku tahu siapa orangnya, mungkin aku bisa bantu kamu biar nggak galau lagi."
Ardhani tertawa malas.
"Aku," ucap Bintang lagi "nggak suka lihat kamu kaya' gini, Ardha."
Butuh beberapa detik bagi Ardhani untuk kembali bersuara. "Kenapa?"
"Murung kamu nular. Aku lebih suka kamu cerewet dan banyak tawa kaya' di jaman kuliah."
"Setiap orang pasti berubah, Tang."
"Tapi tolong, kamu jangan." Bintang menghentikan laju mobilnya saat traffic light berubah merah. Ia menatap Ardhani dalam-dalam.
"Kamu maunya aku gimana?"
"Tetap jadi Ardhani yang bisa temani aku seperti ini."
Tak ada sahutan maupun perubahan ekspresi yang berarti dari Ardhai. Ia hanya turut menatap Bintang, mencari tahu apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan.
Mereka sampai di depan gerbang rumah Ardhani tak lama kemudian. Bintang melepas sabuk pengaman, lalu turut turun untuk membukakan gerbang.
"Besok..." Langkah Ardhani terhenti di depan Bintang. "Besok kamu ada acara?"
Bintang nampak berpikir. "Cuma sampai siang doang karena nganter Mama. Kenapa emangnya?"
"Keluar lagi, yuk?"
"Ayok!" Senyum Bintang mengembang lebar. "Mau ke mana besok kita?"
"Dipikir besok aja. Yang penting kita keluar dulu."
"Hokeh!"
"See you, Tang." Ardhani baru saja akan melangkah sebelum Bintang menahan lengannya.
"Makasih hari ini," ucap Bintang dengan senyum lebar yang tak luntur dari wajahnya.
"Sama-sama."
Ardhani meneruskan langkah. Ia terus berjalan tanpa menoleh Bintang yang masih berdiri di tempatnya. Sekali lagi Ardhani menguatkan hati, bahwa menghabiskan banyak waktu dengan Bintang adalah pilihan yang terbaik untuk saat ini.
.
.
Namun nyatanya, lubuk hatinya tak berkata demikian.
Ardhani menoleh jam beker yang ada di atas nakas kamarnya. Hampir jam empat pagi, dan dia belum juga bisa memejamkan mata. Tubuhnya lelah setelah berjalan-jalan bersama Bintang sejak pagi. Seharusnya seperti biasa, ia sudah tidur sejak jam sembilan malam tadi. Ia mengantuk, namun resah yang tak terjabarkan sungguh mengusik kesadarannya sampai saat ini.
Dengan enggan Ardhani beranjak dari ranjangnya. Ia berharap, ibadah di pagi hari ini bisa menjernihkan pikiran dan hatinya.
***
Dan di sinilah Ardhani berada. Di depan studio Adam, berdiri sendirian di samping motornya. Ia tak tahu pasti, apakah resahnya akan berakhir setelah ia menemui pemilik studio di hadapannya kali ini. Yang jelas, otaknya berkata bahwa ia harus memastikan hal apapun yang mengusik hatinya. Jadi sebelum jadwal bertemu dengan Bintang, Ardhani menyempatkan diri untuk datang ke sini sendirian.
"Lagian dia sendiri yang nawarin," bisiknya sebelum mantap melangkah masuk ke dalam.
Tak ada tanda kehidupan di lobby studio, begitu juga di area pantry. Ardhani melangkah menuju tangga, dan sayup-sayup terdengar suara musik saat ia hampir sampai di depan pintu yang menghubungkan lantai dua dengan ruang kerja dan studio Adam. Lewat kaca kecil di pintu, Ardhani melihat Adam duduk di hadapan komputer seraya menunduk. Musik rock yang mengalun garang dan keras di dalam sana, tak serta merta membuat pria itu berekspresi senada.
Ardhani mengeluarkan ponselnya. Ia tak mau mengganggu Adam dengan langsung masuk ke dalam. Namun beberapa kali dering menyambung, tak ada jawaban dari pria yang masih menunduk di atas kursi kerjanya itu. Tak menghiraukan pemikiran sebelumnya, Ardhani memilih untuk mendorong pintu perlahan.
Adam tak segera menyadari keberadaan Ardhani walau perempuan itu sudah menutup pintu. Laki-laki itu terus menunduk menatap ujung kedua jemari tangannya yang bertautan di atas paha. Kesadarannya baru terkumpul penuh saat Ardhani berdiri tepat di hadapannya.
Dengan segera Adam mematikan musik hingga ruangan itu sunyi seketika. "Dari tadi?" tanya Adam.
"Nggak, kok. Barusan."
Kedua mata Adam memicing. "Tidur jam berapa kamu?"
"Kenapa?"
"Mata kamu bengkak."
"Oh. Habis nonton series sampai jam dua," dusta Ardhani.
"Duduk dulu." Adam menarik sebuah kursi beroda, lalu beranjak menuju lemari es kecil merah di ujung ruangan. "Mau minum apa?"
Ardhani mengamati isi lemari es kecil tersebut yang dipenuhi kopi kaleng, air mineral, dan susu strawberry.
"Kemarin baru kubeli. Warna merah bagus, nggak?" tanya Adam riang.
"Bagus."
"Jadi mau minum apa?"
"Um, nggak usah, Dam. Aku nggak lama."
Adam terdiam, lalu berjalan menuju kursinya. "Kamu jadi pergi sama Bintang?"
Ardhani mengangguk.
"Oh."
Kesunyian ruangan itu membuat Ardhani tak nyaman. Tekadnya beberapa saat lalu menemui Adam karena ingin memperjelas perkataan pria itu kemarin pagi, mendadak lenyap digantikan gugup yang tak bisa ia kendalikan.
"Ada yang mau kamu omongin?" tanya Adam memecah kesunyian.
"Iya. Itu..." Ardhani menghela napas berat. "Gi-gimana kalau misalnya aku confess ke Bintang?"
Kedua pupil Adam melebar. "Kenapa tiba-tiba?"
"Timingnya pas."
Adam mengangkat alis, lalu mengangguk perlahan seraya menyandarkan punggung. Laki-laki itu tak tahu saja, bagaimana gugupnya Ardhani saat ini.
"Kalau karena timing, ya udah confess aja. Lagian dia mau pergi, kan?"
Ardhani mencerna baik-baik makna tersirat dari perkataan Adam. Laki-laki di hadapannya sekarang pernah mengatakan hal yang serupa, namun entah mengapa kali ini Ardhani merasakan ketidakramahan di dalam nada bicara Adam.
"Saranku siapkan diri untuk patah hati."
"Kenapa?" tanya Ardhani cepat. Bisa ia rasakan, emosi mulai merayap di benaknya.
"Karena Bintang nggak punya perasaan yang sama dengan kamu."
Kepala Ardhani berdenyut. Tak ia sangka, emosinya bergerak cepat ke kepalanya karena sebaris kalimat dari Adam. "Sok tahu!" sahutnya ketus.
"Akui aja, Dhan," ucap Adam tenang. "kalau selama ini perasaan Bintang nggak lebih dari sekedar perasaan sayang ke sahabatnya."
"Dia bilang dia butuh aku."
"Sebagai teman, kan?"
Bibir Ardhani terkatup tak bisa bicara.
"Nyatanya memang ada jenis perasaan seperti itu, Dhan." Ketenangan di wajah Adam berubah datar. "Nggak mau kehilangan, selalu peduli, selalu membutuhkan, tapi nggak punya cukup alasan lebih untuk menjadikannya sebagai rasa cinta. Sampai kapan pun, perasaan itu nggak bisa berubah menjadi perasaan yang lain. Menjadi perasaan yang kita harapkan, menjadi perasaan yang sama seperti yang kita rasakan. Perasaan itu nggak akan bergerak dari tempatnya, sampai akhirnya membiarkan kita menunggu dan mengharapkan sesuatu yang nanti akan menyakiti kita."
Adam menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan kepalanya. "Bintang nggak mencintai kamu, Dhan."
Ardhani semakin berang. Kenyataan-kenyataan pedas yang menghantamnya sungguh menyinggung egonya. Tujuannya datang ke sini bukanlah untuk dikasihani. Ia tak mau kembali nampak menyedihkan di hadapan Adam untuk yang kesekian kali. Dengan kasar, Ardhani berdiri dan menatap Adam dengan marah.
"Tahu apa kamu soal cinta?" tanyanya menantang. "Kamu yang playboy dan selingkuh dari calon istri kamu emang pantas ngomongin cinta?"
Adam terdiam. Menatap kaku Ardhani yang berdiri di hadapannya.
Suasana ruangam itu kembali hening untuk beberapa saat. Menyadari Adam tak bereaksi apa-apa selain menatapnya, secuil perasaan bersalah pun langsung menghinggapi benak Ardhani. "Pa-paling nggak jangan berasumsi kalau Bintang-"
"Nggak, Dhan," potong Adam seraya tersenyum kecut. "Kamu bener. Aku nggak pantas ngomongin cinta."
Perasaan bersalah itu kembali menyerang Ardhani lebih hebat. Ingin sekali bibirnya mengucap maaf, namun ekspresi tenang Adam seolah mengingatkannya kembali pada kalimat-kalimat pedas lelaki itu beberapa saat yang lalu.
"Aku pergi," ucap Ardhani seraya meraih tasnya.
"Hm."
Tanpa menoleh ke belakang lagi, Ardhani melangkah pergi dengan perasaan yang semakin menyiksa dirinya sendiri.
.
.
Sepanjang perjalan menemui Bintang, Ardhani tak berhenti menangis menyesali perbuatannya. Semakin kencang tangisnya, semakin kencang pula ia menarik gas motor maticnya. Ia tak peduli bagaimana air mata memporak-porandakan sunscreen dan loose face powder di wajahnya. Ia sungguh menyesali keputusannya hari ini. Seharusnya ia tak bertemu Adam dan membuat keadaan menjadi semakin runyam. Seharusnya ia lebih bisa mengontrol emosi dan tak melontarkan perkataan sejahat itu pada laki-laki yang disukainya. Bagaimana ia harus menghadapi laki-laki itu setelah ini? Bagaimana jika Adam membencinya? Apakah lagi-lagi ia harus mengubur perasaan tanpa sempat terlebih dulu mengutarakannya? Apakah kisah cintanya harus kembali berakhir menyedihkan seperti sebelumnya?
Berbagai pertanyaan itu seolah akan meledakkan kepala Ardhani saat ini juga. Ia tak bisa mengendalikan isi kepalanya, hingga tubuhnya pun turut bergerak di luar kuasanya. Sebuah pegerakan motor yang memotong jalannya dengan tiba-tiba, membuat Ardhani tak bisa menggerakkan jari tangan untuk mengerem motornya seketika. Musibah yang tak diduga itu pun terjadi. Di tengah tangis karena perasaan bersalahnya, Ardhani juga menangis karena nyeri yang ia rasa.
***
Langkah kaki yang terburu terdengar hingga ranjang rawat Ardhani. Sedetik kemudian, tirai di hadapannya terbuka dan menampakkan Bintang yang terengah.
"Ardha!" Bintang menatap Ardhani prihatin. "Kenapa bisa gini? Mana yang luka?"
Ardhani tak menjawab, melainkan kembali terisak mengeluarkan air mata.
"Sssshhh. Udah udah, nggak apa-apa. Ada aku," ucap Bintang seraya megusap punggung Ardhani perlahan.
"Jangan hubungi Bang Arman, Tang."
"Iya."
"Bang Aofar juga."
"Iya, Ardha." Bintang melepas pelukan dan mengusap air mata di pipi Ardhani. "Dokter bilang apa?"
"Cuma keseleo pergelangan kaki kanan."
"Ada yang lain?"
"Dadaku sakit kena stang motor. Tapi nggak kenapa-kenapa waktu di rontgen."
Bintang menatap Ardhani pilu. "Ada luka lecet?"
"Siku." Ardhani menunjukkan luka di siku tangan kirinya. "Sisanya lecet kecil."
Beberapa saat Bintang hanya terdiam dan menghela napas. "Kamu kecapean karena kemarin seharian kita keluar, ya?"
Ardhani menggeleng. "Tadi aku ngantuk," dustanya.
"Itu dia. Kamu ngantuk karena kecapean." Bintang membetulkan jilbab Ardhani agar lebih presisi. "Aku urus administrasi dan obat kamu dulu, ya? Setelah itu kita pulang."
"Iya."
Baru saja Bintang berjalan, Ardhani memanggilnya.
"Jangan lama-lama." Aira mata Ardhani kembali menetes.
"Iya, Ardha." Ibu jari Bintang kembali mengusap pipi Ardhani. "Tunggu sebentar, ya?"
Sepeninggal Bintang, Ardhani kembali berhadapan dengan gejolak emosinya. Kali ini, ia merasa begitu takut membuat khawatir keluarganya, terutama Ratna.
***
Bintang bersiap turun saat baru saja mematikan mesin mobilnya, sebelum Ardhani menahannya.
"Ingat ya, Tang. Cari Bang Aofar, dan langsung ajak ke sini. Jangan kasih tahu Ibu dulu."
"Iya, Ardhani," ucap Bintang seraya mengusap puncak kepala Ardhani. "Kamu tenang aja, jangan mikir sesuatu yang berat dulu. Fokus sama kondisi badan kamu. Oke?"
"Satu lagi, Tang."
"Apa?"
"Jangan bilang kalau hari ini kita mau keluar bareng. Bilang aja aku yang hubungi kamu lebih dulu di rumah sakit."
Kening Bintang mengerut. "Kenapa?"
"Bang Aofar lebih emosional daripada Bang Arman, Tang."
Bintang mengangguk pelan. "Oke."
Setelah Bintang pergi, Ardhani mencoba menghalau segala gelisah dan rasa takut yang membayanginya. Sungguh, ngilu di kaki dan nyeri di dadanya seolah sudah tak berarti apa-apa. Ia lebih khawatir terhadap reaksi Aofar saat melihat keadaanya. Dan benar saja, setelah Aofar berjalan bersama Bintang keluar gerbang, kakak kedua Ardhani itu segera berlari dan membuka pintu mobil dengan kasar.
"Dhani! Astaghfirullah kenapa bisa gini, Dhaaaaan?"
Ardhani menghela napas. "Ibu di rumah ya, Bang?"
"Siapa yang nabrak kamu?"
"Ibu lagi tidur siang, nggak?"
"Pasti dia yang salah, kan?"
"Bang Aofar!" Nada suara Ardhani meninggi. "Aku nggak apa-apa. Oke? Ibu-"
"Nggak apa-apa darimananya? Kaki kamu kenap-"
"Cuma keseleo, Bang Aofar," potong Ardhani sabar. "Aku nggak apa-apa. Beneran nggak apa-apa. Tolong tenang dulu, dong!"
Aofar hanya terdiam seraya mengatur napas.
"Ibu lagi tidur siang, kan?" tanya Ardhani lagi dengan nada pelan.
"Iya."
"Ya udah, biarin. Jangan dibangunin. Nanti aja biar Ibu tahu sendiri." Ardhani mengulurkan kedua tangannya. "Sekarang bisa gendong aku ke rumah?"
"Kugendong aja, Ardha," sahut Bintang seraya mendekat.
"Nggak apa-apa, Tang. Biar Bang Aofar yang gendong." Kedua mata Ardhani menatap Aofar. "Bisa kan, Bang?"
Setelah menghela napas, Aofar meletakkan tangannya di bawah lutut dan punggung Ardhani. "Abang nggak mau gendong kamu lagi kalau kejadian ini terulang."
Ardhani merapatkan rangkulan di leher kakaknya ketika tubuhnya mulai terangkat.
"Ngerti, Dhan?"
"Iya, Bang."
"Trus Abang harus bilang apa nih nanti sama Bang Arman?" tanya Aofar saat melewati gerbang yang dibukakan Bintang.
"Bilangnya nanti aja. Kalau aku udah hampir sembuh."
"Jadi Abang harus bohong?"
Ardhani memejamkan mata dan menghela naps sabar. "Nggak bohong, Bang. Cuma menunda kenyataan. Nggak dosa kok itu."
"Jatuh dari motor ternyata bisa bikin mulut kamu licin ya, Dhan?"
Senyum Ardhani merekah.
"Nggak usah sok imut!"
"Biar nggak nyusahin Ibu, Bang Aofar aja ya yang rawat aku?"
"Tuh kan! Nyusahin!"
"Makasih, Bang Aofar."
.
.
.
BERSAMBUNG
.
.
.
Aofar si MVP chap ini
Si ganteng Bintang juga. Hehehe...
Adam ngga dulu, ya...
Lagi mode nyebelin soalnya 😧
Enjoy ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top