14. Dan Mulai Meyakini

Ardhani menunduk menatap cangkir dan piring yang masih nampak bagus itu. "Ini bukan punya kamu?"

"Bukan. Bukan punya siapa-siapa."

Lagi-lagi Ardhani terdiam, menciptakan keheningan yang canggung di pantry itu.

Tiba-tiba Adam menatap Ardhani. Dengan sorot mata berbeda, dan senyum di bibirnya. "Habis ini mau pulang atau mau nemenin aku revisi instrumen?"

"Um ... ini udah malem."

"Oh, oke."

"Tapi aku mau nemenin kamu."

Jika bisa, Ardhani ingin memukul bibirnya yang terlanjur berucap tanpa berpikir akibatnya. Ia semakin merasa kikuk saat senyum Adam mengembang lebar.

"Ya udah, temenin aku. Nanti aku antar pulang. Motor kamu taruh sini aja."

"Terus aku kerja besok gimana?"

"Aku antar," ucap Adam ringan.

Ardhani sungguh kehilangan kata-kata.

"Lagian besok aku juga mau ketemu klien di sini. Biar sekalian."

"Oh..."

"Oke?"

Kepala Ardhani mengangguk pelan.

.

.

Lewat kaca bening nan besar yang ada di depannya, Ardhani memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi Adam di setiap waktunya. Laki-laki itu tengah menabuh konga, sebuah alat musik yang memiliki rupa seperti gendang yang diberdirikan. Adam nampak begitu fokus pada setiap tempo yang ia ciptakan, hingga kerutan di kening dan alis tebalnya nampak jelas dari kejauhan.

Ardhani menghela napas perlahan. Harus ia akui, Adam terlihat luar biasa berkharisma malam ini.

Pandangan Ardhani tertuju pada pensil berwarna tosca yang tegeletak di meja kerja Adam. Ia tahu, pensil tersebut hanyalah pensil dari merk alat tulis terkenal, dan pasti tak ada hubungannya dengan benda berwarna tosca lainnya yang ada di studio ini. Hanya saja, saat ini ia menjadi lebih sensitif dengan warna tersebut. Perubahan ekspresi serta nada bicara Adam tiap kali berhadapan dengan benda feminim berwarna tosca, membuat Ardhani penasaran sekaligus merasa gelisah.

Pandangan Ardhani kembali teralihkan ke Adam yang nampak tengah menulis sesuatu di atas kertas. Ia menelaah kembali, perasaan apa yang sebenarnya ia rasakan malam ini.

.

.

Fix, Dhan. Kamu suka Adam.

.

.

.

***

"Motor kamu benar di studio Adam?"

Ardhani menghela napas lelah menanggapi pertanyaan Aofar. Kakak keduanya itu menanyakan hal yang sama ketika mereka duduk sarapan di meja makan tadi pagi. "Berapa kali harus kubilang sih, Bang? Iya, motorku ada di sana."

"Dan sekarang masih di sana?"

"Iya."

"Terus nanti kamu harus dijemput Adam dulu buat ke studio dia?"

"Iyaaaaaaa."

"Kenapa tadi waktu berangkat nggak mampir studio Adam dulu buat ambil motor? Kan searah."

Bibir Ardhani sedikit mengerucut. "Keburu," ucapnya singkat dengan nada berat.

"Ya udah, nanti Abang jemput kamu."

Air muka Ardhani berubah jengkel. "Ngapain? Nggak usah!"

"Kenapa? Adam maksa jemput kamu, ya?"

Kedua bola mata Ardhani melotot sejadinya-jadinya. "Mikir apaan sih, Bang?"

Semua pasang mata di ruangan Ardhani segera tertuju padanya. Dengan kikuk, ia pun berjalan keluar ruangan seraya masih memegang ponsel di samping telinganya.

"Bang Aofar jangan aneh-aneh, deh!" sambungnya saat sampai di toilet.

"Kamu yang aneh, Dhan."

Ardhani menatap pantulan wajahnya di cermin. Menelaah perkataan Aofar barusan.

Masa sih?

"Atau Abang tanya ke Adam aja langsung biar lebih jelas?"

"Bang!" Ardahni memijat pelipisnya yang tadi sempat berdenyut nyeri karena lonjakan emosi. "Udah deh, ngapain sih kaya' gini?"

"Abang ini khawatir."

"Aku kan sama Adam. Ngapain khawatir, sih?"

Aofar tak segera menyahut seperti sebelumnya. Beberapa detik berlalu, laki-laki itu hanya terdiam di seberang sana.

"Kalau nggak ada yang penting lagi aku tutup teleponnya, ya?"

"Jangan terlalu sering main sama Adam."

Kaki Ardhani tak jadi melangkah. "Kenapa?" tanyanya ragu.

Lagi-lagi Aofar terdiam.

"Bang?"

"Akhir-akhir ini dia lagi sibuk, Dhan. Biar dia fokus sama kerjanya."

Ada kelegaan tak terdefinisikan yang mengalir di dada Ardhani mendengar alasan tersebut.

"Selesai ambil motor langsung pulang ya, Dhan?"

"Iya," sahut Ardhani lirih kemudian.

***

"Mampir beli es kelapa muda dulu mau, nggak?"

Ardhani menghampiri Adam dengan sorot mata penuh penyesalan. Pria itu kini tengah menyodorkan helm. "Kan aku udah bilang, aku naik ojol aja ke studio kamu."

"Emang kenapa?"

"Kamu kan sibuk," ucap Ardhani seraya memasang helm.

Adam tertawa ringan. "Aku emang mau keluar beli es kelapa muda, kok. Sekalian aja jemput kamu."

Ardhani naik ke atas vespa kuning Adam dengan diam.

.

.

"Aku langsung balik ya, Dam?"

Adam urung berjalan ke arah pantry. Ia berjalan ke arah lobby studio seraya membawa es kelapa mudanya yang masih terbungkus. "Kenapa?"

"Kamu kerja."

Senyum Adam terbit. Ia menarik tangan Ardhani untuk ikut dengannya ke pantry.

"Kamu kan yang kemarin bikin aku merevisi kerjaan. Sekarang kamu harus lihat hasil finalnya," ucap Adam seraya menuang isi minuman ke dalam dua gelas besar.

Ardhani seketika bingung. "T-tapi aku beneran nggak tahu musik, Dam."

"Itu nggak penting." Adam menyerahkan satu gelas ke tangan Ardhani, lalu menarik tangan tangan lainnya untuk berdiri. "Aku cuma butuh penilaian kamu sebagai pendengar."

.

.

"Gimana?"

Ardhani mengangguk seraya melepas earphone. Ia tersenyum kecil. "Yang ini kedengeran lebih semangat."

Senyum Adam mengembang. "Itu aja?"

Ekspresi Ardhani berubah panik. "Harus ada lagi, ya?"

Adam tertawa kencang hingga menutup mata. "Ya ampun, lucu banget."

Kedua pipi Ardhani seketika menghangat. Ia pun segera menunduk menyembunyikan rona pipinya yang mulai kentara.

"Udah, kok. Cukup." Adam menghapus setitik air di sudut matanya. Lagi-lagi ia tersenyum. "Makasih, ya?"

Ardhani kembali berani menatap Adam. "Aku udah boleh pulang?"

"Keburu banget, sih? Kenapa? Dicariin Aofar, ya?"

"Iya."

"Mau aku telponin dia buat ngijinin kamu?"

"Hah? Jangan! Nggak usah!" Ardhani mendadak panik.

"Soalnya dari tadi kamu kelihatan gelisah. Ada apa?"

Ardhani hanya bisa mengatupkan bibir rapat-rapat.

Ya kali aku bilang penasaran setengah mati sama benda-benda tosca di sini?

"Dhan?"

"Loh, beneran ada tamu."

Baik Adam dan Ardhani menoleh ke sumber arah secara bersamaan. Nampak Bobby dan Axel baru saja masuk dari pintu studio.

"Ardhani adiknya si Aofar!" Axel berjalan dengan antusias ke arah Ardhani. "Kebetulan nih, kita mau pesta. Ajak Abang kamu ke sini, gih!"

"Pe-pesta?" Dengan terbata Ardhani mengulang perkataan Axel. "Kalau gitu aku pulang dulu, ya."

"Lho, heh!" Axel menarik lengan Ardhani yang hendak pergi. "Nggak peka banget, sih? Kamu harus ikut!"

Ardhani menatap Adam yang nampak menahan senyum, lalu beralih ke Bobby yang sedang mengeluarkan pizza dan beberapa botol bir di atas meja.

"Bob! Jangan keluarin yang itu di siniiii!" seru Axel.

Bobby menoleh teman pirangnya datar. "Yang mana?"

Axel memberi isyarat tanpa suara untuk mengemas kembali bir-bir yang Bobby keluarkan.

"Kamu makan pizzanya aja, Dhan," ucap Adam seraya mendekat. "Lagian kamu belum makan malam, kan?"

"Iya pizzanya aja." Axel turut mendekat. "Jangan peduliin botol-botol yang dikeluarin Bobby. Itu punya dia semua, kok."

"Wah ... awas kalau pada minta, ya!"

Ardhani tertawa kecil melihat ekspresi datar sekaligus kesal yang ditampakkan Bobby.

"Makan dulu, ya?" ucap Adam dengan suara yang lebih lirih. "Biar aku tenang lihat kamu pulang."

Sepersekian detik Ardhani terhanyut pandangan lembut Adam. Aliran darahnya berdesir merasakan dimensi waktu yang terasa melambat kala menatap sepasang mata hitam teduh di hadapannya.

"Oke, aku ikut makan."

"Yeeeey," sorak Axel girang.

.

.

"Project buat dokumenter kelar, Dam?"

Adam mengangguk. "Dibantu Dhani, Bob."

Bobby menoleh Ardhani. "Wah..."

Ardhani urung menggigit pizza. Ia pun menggeleng. "A-aku cuma komentar."

"Bisa dong ya ... kapan-kapan project pribadiku kamu komentarin juga," kali ini Axel turut berkomentar.

Kedua mata Ardhani memelas. "Aku beneran cuma komentar," ucapnya lirih.

Axel tertawa, lalu beralih menatap Adam. "Btw, Dam. Tadi di pantry aku nemu box barang-barang Nesha. Belum kamu buang juga?"

Lagi-lagi Ardhani urung menggigit pizza. Ia menatap Adam, memperhatikan bagaimana pria itu tetap makan dengan tenang.

"Atau mau dibantuin buang?" tanya Bobby.

"Nggak usah. Aku aja." Adam lalu berdiri dan menatap Ardhani. "Mau ikut cari minum di minimarket?"

Ardhani menatap Adam dengan penuh tanya.

"Nitip cola, dong," ucap Axel.

Bobby turut bersuara. "Aku juga."

Adam masih menatap Ardhani. "Yuk, Dhan."

"Um .... aku di sini aja."

Kening Adam mengerut samar.

"Belum habis," sambung Ardhani seraya menunjukkan sepotong pizza di tangannya.

"Oke." Kerutan di kening Adam semakin terlihat jelas. "Mau susu strawberry?"

Ardhani mengangguk.

Kaki Adam belum beranjak sedikit pun. Ia seperti hendak menyampaikan sesuatu.

"Nunggu apa, Dam? Uang?" tanya Bobby.

Axel segera merogoh sakunya.

"Nggak," sahut Adam sebelum menghela napas dan berjalan pergi.

"Yaelah, baru juga dikeluarin dari kantong." Axel kembali memasukkan uangnya.

Pandangan Ardhani beralih dari pintu yang ditutup Adam, menuju dua laki-laki di samping kanan dan kirinya. "Nesha ... siapa?" tanya Ardhani kemudian.

Bobbya dan Axel saling bertukar pandang.

"Vanesha," sahut Axel. "Nggak tahu?"

Ardhani menahan napasnya. "Kaya' pernah tahu namanya."

"Periksa aja barang-barang warna tosca di sekitar Adam." Bobby berbicara seraya meraih potongan pizza selanjutnya. "Hampir delapan puluh persen pasti ada nama Vanesha di sana."

Helm, bisik Ardhani di dalam hati. Seketika itu, jantungnya mulai berdegup kencang.

"Kamu beneran nggak tahu Vanesha? Aofar nggak pernah cerita?" tanya Axel lagi.

Kepala Ardhani menggeleng. "Emang Abangku kenal dia?"

"Nggak, sih. Tapi Aofar tahu kisah Adam dan Vanesha."

"Apa .... kisahnya?" tanya Ardhani lirih dan penuh ragu.

"Panjang dan ribet sebenarnya. Tapi intinya, mereka batal nikah karena kabarnya Adam selingkuh."

Penjelasan Axel benar-benar mengguncang Ardhani. Perempuan itu hanya bisa terdiam, menatap pria pirang di sampingnya dengan tatapan tak percaya.

"Tapi kalau boleh jujur, aku nggak percaya kabar itu, Xel," timpal Bobby. "Tahu sendiri kan gimana bucinnya Adam sama Nesha?"

"Adam sendiri yang cerita kan, Bob. Mau nggak percaya dari mana lagi?"

"Terus menurut kamu kenapa sampai sekarang Adam nggak bisa singkirin barang-barang Nesha?"

Axel mengedikkan bahu. "Merasa bersalah kali."

Percakapan dua laki-laki di kanan kirinya tak membuat Ardhani terlepas dari kekalutan hatinya yang datang tiba-tiba. Ia menatap ujung gigitan pizzanya, merasakan mual yang tiba-tiba terasa memekakkan perutnya.

"Ardhani, nih cobain yang tuna."

Ardhani menoleh Axel yang menyodorkan satu box pizza. "Aku udah kenyang, Xel. Makasih."

"Hah? Satu potong aja belum habis, mana bisa udah kenyang?" tanya Bobby.

Sebisa mungkin Ardhani memamerkan senyumnya. "Aku pulang duluan, ya? Udah dicariin orang rumah. Dari kemarin pulang telat terus soalnya."

Axel segera memasang tampang sedih. "Yah .... Ardhani."

"Sorry ya ... Sorry banget." Ardhani berdiri dan meraih tasnya.

"Ya udah, hati-hati."

"Hm. Makasih, Bob."

"See u, Ardhani."

"Dah, Axel."

Ardhani lalu benar-benar pergi daei studio Adam. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, ia tak dapat menyingkirkan berbagai pertanyaan tentang Adam yang berkeliaran di benaknya.

.

.

Semua yang aku denger ini bener nggak sih, Dam?

***

Entah sudah berapa lama Ardhani bergelung di atas ranjangnya. Seharusnya setelah mandi, ia bersiap untuk bekerja selama setengah hari di akhir pekan ini. Namun sebaliknya, ia memilih untuk kembali berada di balik selimut dan berdiam diri merenungi fakta-fakta yang semalam menghantamnya.

Pintu kamar Ardhani terbuka, menampilkan Aofar yang berkacak pinggang di sana. "Heh! Kamu nggak kerja? Tidur mulu!"

"Cuti," jawab Ardhani singkat.

Aofar berjalan mendekat, memeriksan keadaan adiknya. "Kamu sakit?"

"Nggak. Lagi males aja."

"Yang bener?"

"Iyaaaa," ucap Ardhani seraya mendorong Aofar keluar. "Udah Bang Aofar pergi sana. Kerja."

Seelah Aofar pergi, Ardhani kembali berada di kamarnya sendiri. Ponselnya bergetar singkat, nama Bintang tertera di sana mengirimnya sebuah pesan.

Bintang Anugerah Mulawan: Nanti sore nonton, ya?

Ardhani menatap pesan itu lamat-lamat. Menimbang, apakah seharusnya ia menghabiskan waktu dengan Bintang lebih lama agar tak memikirkan hal yang tidak penting seperti ini?

You: Keluar sekarang yuk, Tang.

Bintang Anugerah Mulawan: Kamu nggak kerja?

You: Nggak.

Bintang Anugerah Mulawan: Hokeee! Tunggu bentar, aku mandi.

Tak lama kemudian, pintu kamar Ardhani kembali terbuka. Ia baru saja akan memarahi Aofar sebelum melihat Ibunya yang ternyata berdiri di sana.

"Kenapa cuti?" tanya Ratna.

"Lagi males kerja, Bu."

"Hmmm. Kamu nggak sakit, kan?"

"Nggak, kok."

"Ya udah sana turun. Siram tanaman Ibu."

Ardhani memelas menatap Ibunya. "Itu kan jadwal hari Minggu."

"Nggak. Itu jadwal tiap kamu libur." Ratna tersenyum dan pergi keluar. "Buruan turun. Tanaman Ibu udah kelaperan minta sarapan."

.

.

Dengan sedikit enggan, Ardhani membuka pintu rumah. Ia berjalan ke arah tanaman Ratna, sebelum menyadari ada punggung yang familiar baginya tengah berdiri di sana.

"Adam?"

Adam menoleh seraya tersenyum, lalu mengulurkan susu kotak rasa strawberry. "Kemarin kenapa pulang tanpa ngabarin?"

Ardhani menerima pemberian Adam dan menunduk memperhatikannya. "Keburu," jawabnya singkat.

"Kamu nggak kerja?"

"Mau keluar sama Bintang."

"Oh ..."

Ardhani mengangkat pandangannya. "Kamu ke sini cuma mau kasih ini?"

Untuk beberapa saat, Adam terdiam menatap Ardhani. "Besok kamu juga mau keluar sama Bintang?"

"Iya."

"..."

"Kenapa?"

Adam menggeleng. "Nggak apa-apa."

"Makasih susunya, Dam."

"Hm. Sama-sama." Baru beberapa langkah Adam menjauh, ia kembali menatap Ardhani. "Besok aku seharian ada di studio. Datang aja, kalu mau ngobrolin sesuatu."

Ardhani hanya memandang punggung Adam yang menjauh. Bahkan sampai pria itu membuka gerbang, tak ada satu kata pun yang Ardhani ucapkan.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Hepi wiken ❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top