12. Mulai Menyadari

❤❤❤

.

.

.

Meja makan kayu berwarna putih itu tak pernah hening sedetik pun dari tadi. Percakapan Adam dan Bintang tentang pekerjaan dan hobi, membuat meja yang berada di sudut restoran itu tak kalah hidup dari meja-meja lainnya. Hanya Ardhani yang tak bersuara. Ia lebih memilih mendengarkan pembicaraan, memainkan ponsel, dan terkadang mengedarkan pandangannya.

"Permisi."

Ketiga orang di meja itu pun menoleh ke satu sumber suara, seorang pramusaji yang berdiri di samping meja.

"Mohon maaf sebelumnya. Ternyata saat ini menu pancake sedang kosong. Mungkin mau diganti menu dessert lain?"

Ardhani yang merasa menu tersebut adalah pesanannya, segera menerima uluran buku menu dari pramusaji tersebut.

"Apple pie mungkin, Dhan?" usul Adam.

Bintang tertawa kecil. "Nih anak nggak suka apel."

"Oh."

"Waffle aja, deh," ucap Ardhani.

"Lagi?" tanya Bintang. "Bukannya kemarin kamu pesen itu juga?"

Ardhani menoleh Bintang yang duduk di sampingnya. "Nggak apa-apa. Enak."

"Coba banana split, deh. Ice creamnya nggak terlalu manis. Pasti cocok di lidah kamu."

"Hm ..." Ardhani bergumam mempertimbangkan saran Bintang. "Ya udah, banana split aja."

Pramusaji itu pun mengangguk dan berpamitan.

"Ardha." Bintang menggeser kursinya lebih dekat. "Kamu belum jawab pertanyaanku tadi."

"Yang mana?" tanya Ardhani.

"Dalam rangka apa kamu traktir Adam?"

Ardhani menatap Adam yang ternyata lebih dulu menatapnya. "Ya ada, lah," jawabnya asal.

Bintang mengerutkan kening, nampak tak puas dengan jawaban tersebut.

"Karena Dhani berhasil move on."

Baik Ardhani dan Bintang menoleh Adam yang nampak begitu tenang.

"Move on?" Bintang memastikan apa yang ia dengar.

Adam mengangguk.

"Bayar hutang," sahut Ardhani cepat. Dengan horor ia memberi tatapan peringatan untuk Adam.

Tawa geli Adam mengalun renyah. Sedangkan Bintang hanya mengangguk pelan seraya memperhatikan perempuan di sampingnya.

.

.

"Aku pulang bareng Adam aja, Tang."

Bintang yang berjalan di depan, tiba-tiba berhenti dan menghadap Ardhani dan Adam di belakang. "Kenapa?" tanyanya.

"Daripada kamu harus putar balik."

"Nggak apa-apa. Kan udah biasa aku antar kamu pulang."

Ardhani menggeleng dan menatap Adam di sampingnya untuk meminta bantuan. "Ng-nggak usah! Aku sama Adam aja. Lagian rumah kami satu komplek."

"Adam nggak bawa helm lagi, Ardha."

"Studioku dekat sini. Kami bisa lewat jalan tikus buat ambil helm lagi." sahut Adam. "Dhani biar bareng aku aja."

"Dia pakai dress panjang, Dam."

"Gunanya speedo meter kan buat ngontrol kecepatan, Bro."

Bintang terdiam beberapa saat, lalu menatap Ardhani. "Kabarin kalau udah sampai rumah, ya?"

Ardhani mengangguk.

"Hati-hati nyetirnya, Dam."

"86," sahut Adam seraya melakukan sikap hormat.

Tanpa mengucap kata lagi, Bintang berjalan menuju petugas valet.

***

"Nih."

Lamunan Ardhani mengingat punggung Bintang yang menjauh, seketika buyar karena sodoran helm dari Adam. "Aku yang pakai?" tanyanya memastikan.

Adam mengangguk, lalu menyalakan mesin motor. "Mungkin agak kebesaran. Kalau helm yang di studio pasti pas."

Ardhani naik dan memakai helm cokelat tua milik Adam. Vespa kuning itu pun melaju perlahan menuju jalan raya.

"Makasih ya, Dhan."

Kening Ardhani menaut. "Kamu ngomong apa, Dam?" tanyanya seraya mendekatkan diri.

"Makasih."

"Untuk?"

"Traktir makan."

Adhani terdiam seraya menatap kosong bagian belakang rambut ikal Adam yang diterpa angin.

"Kaya'nya aku harus coba semua menu di sana, deh." Adam membelokkan kemudi ke sebuah jalan kecil. "Semuanya kelihatan enak."

"Kamu marah nggak sih Bintang ikut?"

Keheningan seketika menyelimuti percakapan dua anak manusia tersebut.

"Kenapa harus marah?" tanya Adam kemudian.

"Harusnya kan hanya kita berdua."

Adam tertawa kecil. "Selama kamu nyaman, aku juga ngerasa nyaman."

Ardhani termenung, menyelami jenis perasaan yang hadir di benaknya sekarang.

Ia lega Adam tak mempermasalahkan Bintang. Hanya saja ... mengapa ada sekelumit kesal yang turut hadir dalam benaknya?

.

.

"Ketemu!"

Ardhani yang menunggu di depan studio, menoleh Adam yang tersenyum sumringah seraya mengangkat sebuah helm berwarna tosca.

"Sekarang aman," ucap Adam seraya menyerahkan helm tersebut.

"Ini punya siapa, Dam?"

"Bukan punya siapa-siapa. Udah pakai aja."

Adam naik dan menyalakan mesin vespanya. Di sampingnya, sebelum memakai helm berwana cantik tersebut, Ardhani menemukan susunan huruf berukuran kecil yang terukir di bagian kiri bawah.

Vanesha?

.

.

.

Siapa?

***

"Pengumuman!"

Di pagi hari yang tenang itu, Ardhani dan Ratna yang sedang menikmati sarapan, harus terdistrak sejenak karena teriakan Aofar yang baru saja bergabung di meja makan.

"Aofar udah punya pekerjaan tetap."

Ratna seketika tersenyum sumringah. "Oh, ya? Di mana, Nak?"

"Rumah produksi iklan, Bu. Sama dengan kerjaan Aofar di Jogja."

"Alhamdulillah."

"Bang Aofar jadi manajer kaya' di Jogja, nggak?" Kali ini Ardhani turut menimpali.

Aofar menghela napas sabar. "Nggak dong, Dhan. Di sini Abang harus mulai dari bawah lagi."

"Nggak apa-apa. Yang penting dapat rejeki." Ratna meletakkan piring kosong di meja Aofar. "Kapan mulai kerja, Far?"

"Minggu depan." Aofar duduk di samping Ardhani. "Berarti Aofar udah boleh beli vespa kan, Bu?'

Ardhani menoleh Aofar cepat.

"Iya. Beli apapun yang kamu pengen, Far. Toh itu juga uang kamu sendiri." Ratna menatap anak keduanya dengan perhatian. "Kalau udah punya kerjaan tetap gini kan enak. Keuangan kamu jadi jelas."

Senyum Aofar mengembang gembira.

"Kenapa vespa, Bang?"

"Pengen aja. Cakep."

"Adam juga pakai vespa kan, Far?" tanya Ratna.

"Iya, Bu. Selama ini Aofar pengen banget punya vespa kaya' Adam."

Ratna kembali tersenyum. "Kalian tahu nggak, sih? Tante Resti di pengajian kapan hari bilang ke Ibu, kalau di berterima kasih sama kalian."

Kening Aofar mengerut. "Kenapa, Bu?"

"Katanya Adam sering cerita, kalau dia akhir-akhir ini mulai senang lagi main di luar gara-gara kalian. Tante Resti juga bilang, kalau Adam mulai seceria dulu."

Aofar tertawa. "Ya iya lah. Aofar gitu. Si paling asik kalau diajak main dan berteman."

Ardhani menunduk menatap lauknya yang tinggal sedikit. Bibirnya tersenyum sebelum memasukkan lauk tersebut ke dalam mulutnya.

"Baik-baik ya kalian sama Adam. Tante Resti pasti sedih kalau lihat Adam terpuruk lagi."

Meja makan itu menjadi hening. Aofar memilih acuh dengan menikmati sarapannya, sedangkan Ardhani kembali termenung karena kalimat yang diucapkan Ibunya.

***

Akhir bulan bagi seorang pekerja adalah waktu yang tepat untuk berbelanja. Di sebuah toko perawatan kecantikan, Ardhani dan Jeya berkutat dengan kebutuhan sehari-hari mereka.

"Hm. Kenapa varian micellar waterku nggak ada, ya?"

Ardhani menoleh Jeya yang baru saja menggumam di sampingnya. "Emang kenapa kalau pakai yang lain?"

"Nggak enak aja. Nggak kebiasaan."

Kedua saudara perempuan itu lalu berjalan melintasi rak berbagai produk sabun cuci muka.

"Eh, Aofar beli motor baru ya, Dhan?"

"Bang Aofar cerita Kak Jeya?"

"Postingan sosmednya."

Kedua bola mata Ardhani bergerak malas. "Si Tukang Pamer emang."

"Ada Adam juga loh di fotonya."

Langkah kaki Ardhani melambat.

"Adam punya sosmed nggak, sih?"

"Nggak tahu."

Tatapan Jeya berubah heran. "Kamu tuh hidup di jaman apa, sih? Kok bisa-bisanya nggak tahu sosmed dia?"

"Nggak kepikiran aja."

"Emang bener 'Bang Arman kedua' kamu, Dhan. Tahu nggak? Jaman sekarang, sosmed tuh bisa kasih gambaran penggunanya."

Ardhani lalu turut berhenti melangkah. Ia memperhatikan punggung Jeya seraya menelaah perkataan perempuan itu.

.

.

Hampir lima belas menit Ardhani menunda tidur hanya untuk mencari akun sosial media Adam di berbagai platform. Nihil, ia tak mendapatkan hasil apa-apa. Akun sosial media Aofar pun juga tak membantu, karena kakaknya itu tak pernah menyematkan akun sosial media Adam dalam setiap postingannya.

"Apa minta tolong Kak Jeya aja, ya?" gumamnya lelah.

Ah ... sedari dulu Ardhani memang tak pandai mencari orang dengan cara seperti ini.

"Bentar." Ardhani menjauhkan ponsel dari wajahnya. "Aku ngapain, sih?"

Selama beberapa detik, Ardhani mematung menelaah jalan pikirannya.

"Lagian mau cari apa di sosmednya?"

Ardhani meletakkan ponsel di atas nakas, dan segera membaringkan diri dengan lelah di atas ranjang. Kedua matanya yang sudah mengantuk, menatap langit-langit kamarnya dengan kosong.

"Kenapa aku semakin sering mikirin Adam, ya?" gumamnya lirih.

Kedua mata Ardhani terpejam rapat. Sekuat mungkin ia menghalau kemungkinan-kemungkinan yang berterbangan secara liar di kepalanya.

"Nggak. Nggak mungkin, Dhani. Ini terlalu cepat." Ardhani menghela napas gusar. "Kamu cuma terbawa suasana."

Namun Ardhani tahu, sebagian hatinya menertawakan penyangkalan itu.

***

"Besok nonton, yuk?"

"..."

"Apa makan?"

"..."

"Atau ke mana gitu, kek."

Ardhani menghela napas lelah. "Besok aku masih kerja, Bintang."

"Kan cuma setengah hari. Ayolah, Ardha."

"Kamu nih lagi banyak uang atau gimana, sih? Ngajakin keluar mulu tiap weekend."

Bintang tertawa di seberang sana. "Iya, nih. Bingung buat siapa habisinnya."

"Sono sumbangin panti asuhan!"

Kelakar Bintang bertambah kencang.

"Udah, ah. Aku mau mandi, barusan banget ini sampai rumah. Capek."

"Besok gimana?"

"Lihat besok."

"Usahain, ya."

"Hm."

Ardhani pun lalu menutup sambungan. Ia tak segera berlalu ke kamar mandi, melainkan semakin menyamankan diri di sofa ruang tamu. Sepanjang menyetir pulang tadi ia sedikit mengantuk. Sesampainya di rumah, hanya tersisa rasa lelah yang terasa begitu nyata.

"Ardhani Kejora! Mandi dulu!"

Kedua mata Ardhani terbuka tiba-tiba. Ia pun merasa kesal karena teriakan Aofar membangunkannya dari tidur sesaat.

"Lah. Malah tantrum."

"Cuma mau tidur bentaaar," rengek Ardhani di atas sofa.

Aofar tertawa, lalu memotret wajah Ardhani dari dekat.

"Ngapain sih, Bang?"

"Jawab pertanyaan Adam."

Ardhani segera duduk. "Adam tanya apa?"

"Kamu udah pulang apa belum," jawab Aofar seraya pergi. "Dia mau kasih jamu buatan Mamanya."

.

.

"Kamu mau pergi?"

Ardhani menggeleng. Ia tengah berdiri di teras rumah, menyambut Adam yang baru saja datang.

"Kok dandan?" tanya Adam seraya menyerahkan totebag.

"Nggak!" Gawat! Liptint aku kebanyakan apa, ya?

Adam menahan senyumnya. "Ya udah, aku balik."

"Gitu doang?"

Langkah Adam terhenti. "Emang mau ngapain lagi?"

Ardhani mematung sesaat. Iya juga, mau ngapain, gumamnya di dalam hati.

"Bilangin Tante Resti, makasih jamunya," ucap Ardhani kemudian.

"Buat aku nggak ada terima kasih?"

"Makasih."

Adam mendengkus. "Kamu udah mau tidur?"

"Kenapa?"

"Ikut aku beli terang bulan di luar komplek, yuk?"

"Yuk."

Senyum Adam terbit. Ia lalu berjalan melewati vespa kuningnya.

"Jalan kaki?" tanya Ardhani saat menyusul Adam.

"Hm. Nggak apa-apa, kan?"

"Nggak."

"Kalau kamu capek, kita naik motor aja."

"Nggak, Dam. Aman."

.

.

"Besok ada acara?"

Ardhani yang berjalan di samping Adam, nampak mengingat-ingat sesuatu sebelum menghela napas keras. "Bintang ngajakin keluar."

"Oh."

"Tapi belum aku 'iya'in."

Tak ada sahutan dari Adam.

"Kenapa, Dam?"

"Nggak apa-apa."

Harapan yang sempat melayang di benak Ardhani tadi segera surut dan mengempis.

"Oh iya. Aku minta maaf, Dhan."

Ardhani kembali menoleh Adam.

"Harusnya aku peka lebih awal kalau kamu sedang menghindari Bintang." Adam membalas tatapan Ardhani. "Malam itu kamu pasti kesel sama aku, kan?"

Lubuk hati Ardhani seolah disirami air sejuk yang menumbuhkan bunga di hatinya. "Iya," jawabnya seraya tersenyum tulus.

Raut bersalah Adam terukir jelas. "Aku beneran minta maaf, Dhan. Aku baru sadar hal itu sebelum tidur."

Ardhani menggelengkan kepala malu-malu. Fakta bahwa Adam memikirkannya sebelum tidur membuat senyum di wajahnya enggan memudar.

"Bulan depan Bintang pergi selama setahun, Dam." Tatapan mata Ardhani menerawang ke depan. "Sebenarnya aku bingung harus bersikap seperti apa sekarang."

Adam menunduk menatap kakinya. "Kenapa?"

"Takut salah langkah." Ardhani menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak mau semakin susah melupakan dia. Tapi di lain sisi, aku sedih karena harus berpisah."

"Kadang perasaan yang salah itu bisa lebih mudah lenyap kalau bisa kita ungkapkan."

Deru berisik suara kendaraan di jalan raya yang mulai terdengar, membuat Ardhani mendekat dan memperhatikan Adam baik-baik. "Jadi aku harus ngomong?" tanyanya.

"Kalau itu bisa buat kamu lepas dari Bintang, nggak ada salahnya. Toh, mau nggak mau setelah ini dia jauh dari kamu."

Ardhani nampak ragu. "Kalau respon Bintang malah semakin buat aku terikat gimana?"

Adam membalas tatapan Ardhani. Ia terdiam, sebelum sebuah tangan perempuan menepuk bahunya dari samping.

"Adam?"

Sepersekian detik Adam menatap perempuan pirang yang mengenakan kaos dan hot pants di sampingnya. "Shanaz?"

Perempuan itu berteriak girang dan memeluk Adam. "Ya ampun, akhirnya ketemu juga."

Ardhani reflek mundur saat tubuh Adam sedikit terhuyung karena pelukan tiba-tiba itu.

"Kamu kok di sini?" tanya Adam seraya melepas pelukan.

"Beli terang bulan itu," ucapnya seraya menunjuk gerobak terang bulan tak jauh dari sana. "Tiap kali ke sini tuh aku selalu berharap bisa ketemu kamu."

"Oh, kamu masih suka terang bulan itu?"

Shanaz memukul pelan dada Adam. "Ih ... kan kamu yang bawain terang bulan itu buat Mama Papaku waktu apelin aku dulu."

Adam tertawa. "Apa kabar, Shan?"

"Nggak sebaik waktu kamu jadi pacarku dulu." Shanaz lalu tertawa kencang dan menyadari keberadaan Ardhani. "Siapa, Dam?"

Ardhani tersadar dari proses scanningnya terhadap Shanaz.

"Ardhani," ucap Adam. "Temen rumah."

"Oh ... kirain kamu udah ganti selera." Shanaz tertawa, lalu mengulurkan tangan. "Halo, Ardhani. Aku Shanaz, mantan Adam waktu SMA."

Adam hanya menggeleng dan tersenyum pasrah.

"Ardhani," ucap Ardhani seraya membalas jabatan tangan Shanaz.

"Kamu beli terang bulan topping apa, Shan?" Adam kembali berbicara.

Shanaz nampak girang. "Coba tebak!"

"Cokelat keju?"

"Ihhhh .... kok kamu masih inget kesukaanku sih, Dam?"

Lagi-lagi Adam tertawa, lalu melangkahkan kaki mendekati gerobak terang bulan bersama Shanaz, dan meninggalkan Ardhani yang tiba-tiba canggung dengan keadaan di sekitarnya.

.

.

.

Apaan, sih? Kalau cokelat keju sih semua orang juga suka!

.

.

.

***

"Yow, Ardha!"

Ardhani terdiam melihat Bintang yang duduk di kursi teras rumah, baru saja menyapanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Kamu nggak harus mandi dan bersiap cepet-cepet. Kita bisa keluar maleman nanti. Aku masih mau kerjain ini."

"Kalau ada kerjaan ngapain ke sini, sih?"

Bintang berhenti mengetik dan menatap Ardhani. "Kan kita mau malmingan."

"Aku belum bilang 'iya', kan?"

"Justru itu," sahut Bintang seraya kembali bekerja. "Karena kamu nggak kasih kabar apa-apa, kuanggap kamu setuju."

"Asli ya, Tang. Kamu semakin nyebelin sekarang."

Lagi-lagi Bintang berhenti. Laki-laki itu memandang Ardhani yang masih berdiri di depan teras. "Kenapa sih, Ardha? Kan aku cuma ajak kamu keluar," ucapnya seraya meletakkan laptop di atas meja.

Ardhani hanya menghela napas.

"Kamu ada janji lagi?"

Kedua alis Ardhani menaut.

"Nggak, kan? Terus apa alasan kamu nolak ajakan aku?"

"Emang harus ada alasan buat nolak ajakan kamu?"

"Jelas, dong. Kita bukan orang asing, Ardha."

Ardhani kembali terdiam. Sedangkan Bintang menutup mata seraya memijat pelipisnya.

"Sorry sorry. Aku kebawa emosi sama kerjaan mendadak ini," ucap Bintang lirih.

"Pulang aja. Kerjain di rumah."

"Udah aku coba, tapi nggak bisa. Aku butuh ketenangan buat ngerjain." Bintang menggenggam tangan Ardhani. "Maaf, ya? Aku kelepasan. Maaf banget."

"Terus kamu mau ke mana?" tanya Ardhani saat melihat Bintang memasukkan laptop ke dalam tas.

"Ke mana aja. Aku butuh nenangin diri dulu sebelum balik kerja."

Sebelah tangan Ardhani menahan lengan Bintang yang hendak melewatinya. "Tunggu sebentar, aku temani kamu kerja di luar."

"Nggak perlu. Aku bisa selesaiin ini-" perkataan Bintang terhenti saat Ardhani meraih tangannya.

"Lihat?" Ardhani menunjukkan jemari Bintang yang tengah gemetar. "Kamu selalu gini kalau nahan emosi."

Tatapan Bintang menyiratkan kilasan rasa kesal yang tertahan. "Orang-orang yang punya jabatan itu nyuruh aku buat kerjain tugas dia yang nggak selesai. Di hari libur pula. Bangsat!"

"Ssst!" Ardhani membekap mulut Bintang. "Kerjain nanti, aku temani. Sekarang tunggu, aku mau mandi dan siap-siap dulu. Oke?"

Bintang hanya mengangguk seraya mengatur napasnya yang menggebu.

"Jangan sentuh kerjaan. Main game aja," ucap Ardhani seraya masuk ke dalam rumah.

"Ardha."

Ardhani berhenti di ruang tamu, dan menatap Bintang lewat jendela rumahnya.

"Aku selalu butuh kamu. Makasih."

Tak ada tanggapan dari Ardhani. Pikirannya teralihkan, kepada pertanyaan mengapa degup jantungnya tidak berdebar kencang.

.

.

.

BERSAMBUNG

.

.

.

Dalam mode hepi menyambut libur di hari Senin besok

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top